Berjalan keluar dari hotel dan menuju mobilnya, Akran masuk dan memacu dengan kendaraan dengan kecepatan tinggi, ia seperti kehilangan dirinya, dan tidak tahu apa yang dia akan lakukan hidupnya benar-benar hancur, dan yang menghancurkan ternyata adalah ayahnya sendiri. Lelaki itu ingin sekali marah pada dirinya yang begitu mudah dikendalikan oleh orang, Ia memacu dengan kecepatan tinggi, ia tidak tahu harus pergi kemana, rindu putrinya yang meninggal dan ingin mengunjungi makam putrinya tetapi sangat jauh.Keadaan sama juga di alami Hanie sudah beberapa jam yang lalu ia berada di apartemen Brian, tak ada kata terucap, tatapan matanya kosong.Brian berjalan menuju wanita itu dan duduk di sebelahnya. "Apa kau pikirkan, sayang. Aku janji akan segera mengantarkanmu menemuinya untuk bertanya banyak hal dan kita akan segera bertemu dan berkumpul dengan putri kita. Ayolah jangan bersedih lupakanlah yang telah berlalu, Hanie. Kita tidak mungkin bisa mengubahnya bukan dan kita pun tidak boleh
"Kau ingin tahu Kisah Mamamu?" tanya Subagio pada Anaknya angkat yang sekarang ia buang karena ia menganggap sudah cukup memberikan kasih sayang dan cinta. Waktunya ia membahagiakan keluarganya sendiri."Akan ku ceritakan dan kau Brian juga harus mendengarnya, ini terjadi juga karena Ayahmu walaupun tidak sepenuhnya salah, tetapi karena kejadian ini aku kehilangan anak dan istriku," jelasnya sambil duduk di sofa didepan mereka.Subagio menceritakan segalanya, tidak ada satupun yang ditutupi. Hanie menatap Pria paru baya itu."Andai kau tidak bersama lelaki ini aku tidak mungkin melepaskanmu dan tetap akan menganggap kau sebagai putri sendiri," ucapnya pada Hanie, "Aku mengerti, Papa. Trimakasih telah merawatku selama ini, apa bisa aku tetap memanggilmu Papa," ucap Hanie pada Subagio.Lelaki itu menghela napasnya, ia menatap penuh kasih sayang bagaimana pun dialah dulu yang merawat Hanie karena ibunya mengalami stres berat dan terakhir ia menjatuhkan dirinya dari balkon rumahnya, saat
"Duduklah kembali, dan tunggulah di sini bibi tengah mengemasi pakaian putri kalian," ucap Subagio lagi ia membalikan badannya dan berjalan ke kamar yang cucu angkatnya itu."Sudah siap semua, tidak ada yang tertinggal?" tanya Subagio pada Asisten rumah tangganya itu."Tidak ada Tuan, semua sudah siap, Nona kecil juga sudah cantik," ucap Asisten rumah tangganya itu."Berikan padaku!" perintah Subagio "Baik, Tuan," ucap wanita paruh baya itu sambil mengangkat Nona kecilnya lalu menggendongnya dan memberikan pada majikannya."Ayo ikut Kakek," ucap Subagio pada cucunya.Lelaki itu berjalan keluar sambil memberi perintah kepada Asisten rumah tangganya sekali lagi. "Tolong bawa kopernya ke bawah!" "Baik, Tuan," ucap wanita paruh baya itu sambil menggeret koper dan keluar dari kamar itu lalu menuruni tangga berjalan di belakang tuannya.Setelah sampai di lantai dasar Subagio berjalan keluar rumah melewati Hanie dan Brian sambil berkata, "Ayo, kuantar sampai di mobilmu dan tugas kalian san
Di kediaman Manan, Sudah satu Minggu Suster Rida bekerja mengasuh anak-anak Manan. Karena keberadaan suster Rida ia merasa tidak di butuhkan. semua di atasi oleh suster Rida, hanya ketika suster itu sedang sip malam di rumah sakit ia mempunyai kesempatan bersama anak-anaknya. Namun tiba-tiba saja Manan meminta pihak rumah sakit untuk memberikan dua sip saja pada Suster Rida sehingga Safia jarang bisa bersama anak-anak di pagi, siang malam hari.Suster Rida begitu sangat cekatan, semuanya teratasi tanpa harus membangunkan Safia, saat Suster Rida bertugas maka akan digantikan oleh bi Ira, itu membuat Safia merasa benar-benar tidak dibutuhkan bahkan ia merasa semakin jauh dengan anak-anaknya. ia pun mulai sedikit sinis pada kedua wanita itu yaitu bi Ira dengan Suster Rida.Suatu pagi saat sarapan Safia telah memasang muka cemberutnya. dengan tetap melayani Manan mengambilkan makanan untuk pria itu."Kau kenapa muka ditekuk dari tadi?" tanya Manan pada Safia."Aku bosan kau melarangku men
Safia melangkah ke kamar anak-anak, pada saat ingin membuka pintu ternyata pintu terkunci, ia mengetuk pintu berulang kali tetapi tidak juga terbuka.Kembali ia mengetuk pintu lebih keras dan tak lama kemudian pintu terbuka, dan Suster Rida muncul dengan busana rumahan karena hari ini dia shif dua.Safia menyerobot masuk dengan menyibakkan tubuh suster Rida. "Lama sekali sih, bukanya, kamu ngapain saja sih? Kenapa harus di kunci segala?" tanyanya sengit."Maaf bu tadi saya habis mandi dan Den Amar terjaga takutnya lari-larian ke mana-mana, bagaimana kalau lari keluar dan jatuh di tangga," ucap Suster Rida memberikan alasan."Ya sudah sana pergi sarapan dulu sama Mbak Ira!" perintahnya pada gadis itu."Tetapi bu ...?" tanya Suster Rida."Sudah gak usah tetapi-tetapian kamu sarapan dulu saja!" bentak Safia sedikit jengkel.Suster Rida menghela nafasnya tangannya mengepal ia berusaha untuk tidak tersinggung dengan apa yang dikatakan Nyonyanya. "Tuan Manan melarang anda menggendong baby
Manan terkejut saya memeriksa cctv di layar handphonenya, ia melihat perubahan pada diri Safia secara drastis dan penuturan Suster Rida pun membuat ia semakin cemas dan khawatir. 'Apa benar istrinya itu mengalami baby blues? Kalau benar ia akan melakukan sesuatu agar anak-anaknya aman,' pikirnya. Tanpa bertanya dengan yang ahlinya ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah, ia segera menghampiri sekertarisnya untuk mereschedule jadwalnya hari ini karena ingin pulang sebentar untuk melihat anak dan istrinya.Setelah itu, Manan pun keluar dari kantornya dan memasuki lift khusus, dengan sangat gelisah ia berdiri di dalam lift menunggu lift berhenti bergerak. Tak lama kemudian terdengar bunyi dan pintu terbuka, Manan pun keluar dengan langkah lebarnya menuju mobilnya yang ada di basement.Manan masuk dalam mobilnya lalu ia pun melajukannya dengan kecepatan tinggi sebab ia segera sampai di rumah dan mencegah sesuatu yang lebih fatal lagi. Ia melewati beberapa kendaraan, untung saja saja saa
Manan sangat panik tidak biasanya seperti ini, ia keluar dari kamar dan ia pun berteriak memangil Ira dari lantai atas.saat itu Ira sedang mencuci dengan mesin cuci. ia pun segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari lalu menaiki tangga untuk menemui tuannya itu."Iya Tuan, Anda kelihatan panik sekali," ucap Ira dengan wajah cemas."Tolong kamu lihat istriku, Ira, dia pingsan setelah saya marah," ucap Manan dengan penuh penyesalan sambil mencoba melakukan panggilan. Namun sepertinya tidak ada jawaban.Maaf Tuan, seharusnya Anda tidak memarahi nyonya, karena orang yang baru melahirkan itu hati sangat sensitif, boleh saya berdua dengan nyonya, Tuan? Tidak perlu panggil Dokter, Tuan," ucap Ira."Baiklah, tolonglah Ira, aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan," ucap Manan."Anda tenang saja intinya Anda harus lebih bersabar menghadapi Nyonya, Tuan," ucap Ira."Ya sudah, masuk sana saya tunggu di luar," jawab Manan."Baik, Tuan saya tutup kamarnya dulu," ucap Ira dan Manan mengan
Safia hanya terdiam, Manan menghembuskan nafasnya. 'Apakah aku salah, telah memperlakukan Safia seperti tadi,' pikirnya.Manan keluar dengan pikiran yang tidak menentu. ia merasa bersalah tapi tidak bisa untuk mengabaikan kata-kata dari Suster Rida.Manan berjalan menuruni tangga dan melewati rumah tamu lalu masuk ke dalam mobilnya lalu menjalankan dengan kecepatan sedang keluar gerbang rumahnya.Safia memejamkan matanya, membiarkan Manan pergi begitu saja. Rasa kecewanya begitu dalam, mengapa Manan lebih percaya dengan suster itu dibandingkan dirinya.Safia bangun dari tidurnya dan meraih handphonenya yang ada nakas. ia melihat rekaman yang dikirim Ira, rasa kesalnya tiba-tiba saja meluap. ia tidak habis fikir kenapa Suster Rida bisa melakukan itu pada dirinya dan dengan keilmuannya dengan mudah mempengaruhi suaminya itu.Safia pun heran kenapa ia tidak berkonsultasi dengan teman dokternya itu sebelum menyangka kalau dirinya telah mengidap sindrom baby blues.Safia berfikir bagaimana
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan