“Terima kasih karena sudah memberikan aku tempat untuk menenangkan diri, Nyonya Mi Ra. Lain kali, mainlah ke unitku. Aku mengundangmu minum teh bersama.” Dua orang wanita berbeda generasi berjalan bersisian menuju pintu. Sebelum benar-benar membuka pembatas antara unit apartemen miliknya dan koridor di luar sana. “Pasti. Aku pasti akan mengunjungi nanti. Aku senang bisa mengenalmu, Nova.”“Aku juga senang bisa mengenalmu, nyonya Mi Ra. Maafkan sikapku yang sempat mencurigaimu,” kata Nova. Raut wajah bersalah menjadi beban paling berat yang Nova pikul saat ini. Terlalu banyak ditempa oleh rasa sakit membuat Nova hampir tidak memiliki sedikitpun celah dalam hatinya untuk mempercayai orang baru. Semua orang yang ia temui seakan berpotensi menyakitinya. Meninggalkan jejak luka yang begitu dalam di benaknya hingga membuat Nova trauma. Senyum tulus Mi Ra mengusik sedikit rasa bersalah. Pun, memaki Nova dengan sisi rasa bersalah yang tidak kunjung pudar. “Kalau begitu, aku pergi dulu. S
“Berita duka cita. Pada hari ini, keluarga besar Vineta Furniture harus kehilangan atasan tercinta kita, Pak Reno. Beliau meninggal dunia tadi malam karena kecelakaan. Manajemen memutuskan untuk menghentikan operasional serentak hari ini untuk memberikan penghormatan terakhir pada beliau. Saya harap semua karyawan meluangkan waktu untuk ikut pergi melayat ke rumah mendiang Pak Reno siang ini.” Jena menahan napas saat setiap kata terucap dari mulut sang manajer. Pria tampan itu berdiri di ujung meja di ruang rapat berkapasitas dua puluh orang ini. Wibawa Nathan bahkan masih mampu menghipnotis semua mata orang-orang yang ada di sana. Tidak terkecuali Jena. Jena hanyalah sebagian kecil dari sederetan jabatan yang disanding oleh orang-orang di ruangan ini. Hanya seorang asisten manajer baru yang direkrut seminggu lalu. Peluh di pelipis Jena mengalir deras. Dadanya mendadak sesak namun situasi memaksanya untuk tetap terlihat baik-baik saja. “Jena,” panggil Nathan. Pria itu memiringkan
"Vira? Apakah kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Ameera serta sentuhannya di tangan Vira mengagetkan wanita itu. Sejak menginjakkan kaki di restoran favorit mereka, Vira lebih banyak diam. Ameera tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Vira. Diamnya wanita itu lantas membuat suasana berubah menjadi canggung. "A-aku tidak apa-apa. Hanya sedang berpikir, perbedaan waktu antara New York dengan Jakarta cukup jauh. Jadi aku sedang berpikir bagaimana cara kita menghabiskan waktu secara virtual. Bukankah Itu mengasyikkan?" Senyum Vira mengembang. Terlihat hangat dan meneduhkan. "Aku tidak menyangka kamu akan memikirkannya sejauh itu.""Tentu aku harus memikirkan setiap hal tentang persahabatan kita. Aku tidak ingin kita hilang kontak setelah berjauhan." Harapan demi harapan terus diucapkan hingga menimbulkan rasa takut akan sebuah perpisahan.Mendengar itu Ameera semakin dilema. Perasaannya dimainkan oleh gelombang keraguan dalam dada. Meski begitu, Ameera tidak ingin kegel
Nova membisu, meski tahu tuduhan yang Mark layangkan padanya tidak memiliki dasar. Jauh di dalam lubuk hatinya ia mengerang. Sakit hati. “Sudah aku duga, kamu menyukai sepupuku.” Mark menyambung lagi. Raut wajahnya kecut, bahkan ia tak sungkan memalingkan wajahnya ke arah lain. Semakin menggebu menunjukkan kekecewaannya pada Nova.“Ini semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Mark. Dengarkan aku dulu. Bukankah seharusnya saat ini aku yang marah padamu?” Mark diam. Otot-otot di wajah yang semula menegang kini mengendur. “K-kenapa harus kamu yang marah? Jelas-jelas hari ini kamu kabur dari rumah sakit hanya demi menemui Mario. Sedangkan kamu tahu sebentar lagi kita akan menikah. Anak kita juga menunggu kamu di rumah sakit.” Sekali lagi, Mark berhasil membuat mental Nova hampir jatuh. Astaga! Apakah pria ini tidak bisa sedikit saja berpikir positif? Baru bertemu selama beberapa menit saja, Mark sudah berhasil membuat Nova geram setengah mati. Sikap posesif Mark tidak bisa diganggu
“Aku setuju dengan rencana keuangan yang sudah kau susun. Tapi ku harap kau jangan menulis namaku di surat saham. Aku akan memberikan detailnya padamu lewat email.” Tubuh tinggi menjulang, beranjak dari kursi kemudian berdiri seiring mulut Mario yang terus mengoceh. Di depannya, Angga bersedekap. Kedua tangannya mengunci area dada bidangnya yang sedikit terekspos karena tiga kancing kemeja bagian atas sengaja dibuka. Bukan, bukan untuk menarik para lawan jenis yang sengaja berlalu lalang di depan meja mereka, melainkan karena suasana rapat internal dengan Mario membuatnya gerah. “Baiklah. Aku tunggu detailnya malam ini. Agar aku bisa menyelesaikannya sesegera mungkin dan kembali ke Indonesia,” balas Angga. Sebelah alis Mario terangkat, mengejek. “Kau yakin akan kembali ke Indonesia?” “Aku harus. Ada seseorang yang akan menuntutku untuk kembali.” Jawaban Angga terdengar menarik bagi Mario. Niatnya pergi pun urung. Alih-alih meninggalkan Angga sendiri di kafe ini, seperti niatnya
Tepat di depan pintu masuk, dua orang pria bertubuh besar berdiri di sisi kanan dan kiri pintu sambil menatap Aurora penuh selidik. Di pikirannya, tak terlintas situasi apa yang sedang terjadi di butiknya saat ini. “Permisi,” gumam Aurora sambil melangkah mendekati pintu. Namun, tangan kedua orang itu menghadang jalannya.“Apakah anda Nona Aurora? Pemilik butik ini?” tanya salah satu bodyguard dan diangguki oleh Aurora.“Tuan dan nyonya sudah menunggu anda sejak setengah jam lalu. Mohon bersikap profesional di hadapan mereka.” Aurora menelan ludah berat. Tuan? Nyonya? Siapa mereka?Meski peluh di tubuhnya mengucur deras karena situasi tegang yang ia hadapi saat ini, Aurora mencoba menepis pikiran negatif yang terus berseliweran di kepala. Sambil memupuk keberanian dan sikap profesional, Aurora melangkah masuk ke dalam. Di sana sudah ada empat orang asing yang berdiri mengelilingi butik. Dilihat dari bagaimana cara mereka berinteraksi, Aurora menduga mereka adalah sekelompok keluarg
Wanita mana yang tak sakit hati mendengar sebuah pengakuan dari sosok di luar rumah tangganya? Terlebih lagi, pengakuan itu adalah hal yang tidak mungkin mustahil terjadi mengingat sosok itu pernah menjalin hubungan dengan suami Kania.Baik Kania maupun Bryan terdiam. Pemandangan itu lantas membuat Amanda menyuarakan kemenangannya. Ia berjalan mendekati Bryan, meraih tangan pria itu lalu menaruh tangan Bryan di atas perutnya.“Sayang, ini anak kita. Kamu tidak berniat menyapanya?” tanya Amanda. Senyumnya menyimpan misteri yang terlalu dalam untuk digali. Kania yang duduk di atas brankarnya, menatap tingkah mantan kekasih suaminya ini dengan sorot tak suka dan penuh kebencian. Kedatangan Amanda membuat suasana hati Kania semakin hancur. Sudahlah tubuhnya masih lemah karena pendarahan tadi, kini mentalnya kembali diuji oleh sikap Amanda. Namun, apalah daya. Kania tidak memiliki upaya untuk menghalau Amanda. Apalagi Bryan sama sekali tidak memberikan penyanggahan apapun. ‘Sepertinya a
Nova menatap lekat-lekat wajah putranya. Tidak menyangka bayi mungil itu kini berada dalam dekapannya. Dari wajah, hidung, dan bibir, Nova perlu berbangga diri karena tiga bagian wajah itu merupakan warisan darinya. “Mama kasih kamu nama Cerran, abjad depan yang sama dengan putri mama juga. Mama harap kamu menjadi anak yang penyayang dan selalu bahagia.” “Aku sudah memberinya nama Darren, kenapa kamu ubah lagi?” Terlalu fokus dengan sang buah hati, Nova hampir saja melupakan eksistensi Mark yang ada di sana. Ia menatap Mark yang duduk di sofa, di sudut ruangan tengah menata dua helai terakhir pakaian Nova ke dalam mini koper.“Kamu bisa memanggilnya dengan nama itu. Tapi di sini, aku adalah pemegang hak penuh atas Cerran. Jadi aku bebas memberi nama untuk anakku,” balas Nova acuh. Ia tidak.memungkiri perubahan sikapnya terhadap Mark belakangan ini. Hasrat untuk bercengkrama dengan Mark, ataupun meromantisasi hubungan keduanya tak lagi Nova miliki. “Kamu masih marah sama aku?” Mark
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.