“Pak Angga, kau darimana saja?” Angga baru saja masuk ke area ruang tamu rumahnya dan pertanyaan Chris menjadi sambutan atas kedatangannya. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan, pukul sepuluh malam dan kedua matanya masih betah terjaga setelah berkendara mengelilingi kota. “Mencari udara segar. Kenapa kau masih di sini?” Angga bertanya balik. “Bukankah jam kerjamu sudah berakhir tiga jam lalu?” “Kau tidak menjawab pertanyaanku, pak. Hari ini kau menghilang begitu saja tanpa kabar.” Chris terlihat frustasi. Pria itu mengikuti langkah Angga menuju ruang kerjanya. Sudah larut malam pun Ambisi Angga untuk bekerja masih berkobar. Tidak ada pelampiasan lain dari penuhnya kepala yang diisi oleh bayangan sang istri. Menenggelamkan diri pada tumpukan dokumen dan menghadiri rapat-rapat penting adalah upaya Angga untuk mengurangi sakit di dada. Sakit jantungnya tidak seberapa mematikan dibandingkan sakit hati karena kehilangan sang istri. Angga duduk di kursi kebesarannya
“Sayang, aku sudah membuatkanmu sup buntut. Lihatlah, penampilannya menggugah selera, bukan?” Chris duduk di kursi salah satu sisi meja makan. Ia menelan salivanya dengan berat. Pemandangan di depannya membuat Chris mematung tak menyangka.Ia hendak menyuap kembali sesendok nasi lengkap dengan sup buntut ketika seseorang di sampingnya bersuara. Ya, Angga. Pria itu terlihat asik bermonolog ke arah kursi kosong di seberangnya. Perlu beberapa kali bagi Chris mengucek kedua matanya saat melihat pemandangan memiluka itu. “Bagaimana? Enak tidak?” kata Angga lagi pada satu titik yang sama. Lidah Chris kelu, kata-kata yang menumpuk di kepalanya tidak ada satupun yang terungkap. Matanya masih awas memantau gelagat aneh bosnya. Entah apa yang terjadi dengan pria itu setelah menghilangkan jejak seharian ini. Puas bermonolog, Angga beralih pada Chris di sampingnya. Gerakan kepala Angga perlahan memutar dan berhenti tepat di depan wajah Chris. Sorot mata Angga kosong, dengan serabut merah ti
Nova kalah dengan tekadnya sendiri. Apalagi ketika Chris melayangkan permohonan berkali-berkali bahkan rela bersimpuh di hadapan Nova. Disinilah Nova berada sekarang. Bagaikan dejavu, Nova dibawa kembali pada situasi dimana dirinya dikelilingi oleh sekelompok orang yang memandangnya rendah. “Eomma, aku sudah membawanya kemari. Kau harus mengenalnya dulu.” Mark tidak memberi jarak sedikitpun pada Nova yang berdiri di belakangnya. Pria itu nampaknya benar-benar menepati janjinya untuk membuat keluarganya yakin akan hubungan mereka.Ya, pada akhirnya Nova luluh dengan permohonan maaf Mark beberapa hari lalu. Tentunya, dengan beberapa kesepakatan yang sudah disetujui oleh keduanya.Meski bukan yang pertama kalinya Nova akan berhadapan pada keluarga sosialita ini, jantungnya belum bisa berpacu normal apalagi membiasakan diri untuk berbaur dengan situasi saat ini.Seorang wanita paruh baya, dan pria yang duduk di samping wanita itu kompak mengangkat kepalanya. Kedatangan putra mereka bers
Suasana di ruang makan seketika berubah hening setelah Mark menyatakan sebuah pernyataan yang mencengangkan banyak pihak. Tidak terkecuali Nova yang duduk di sampingnya. Dahi Nova berkerut heran. Tidak menyangka Mark akan mengucapkan itu disaat mereka telah membuat komitmen untuk menghindarinya. Tidak hanya Nova, kedua orang tua pria itu juga tak kalah terkejut. Namun masing-masing dari mereka memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikannya. “Jadi, kamu benar-benar sudah menodai Nova dengan nafsumu, Mark?” tanya papa Mark dengan wajah yang sudah berubah jadi merah padam. Nova khawatir, setelah ini akan terjadi pertumpahan darah antara ayah dan anak. Papa Mark bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya. Bersiap untuk melampiaskan emosinya pada sang putra. “I-iya, Appa. Aku kalah dengan nafsuku sendiri hingga menghamili Nova. Tapi kumohon jangan salahkan Nova. Aku yang memaksanya saat itu dan aku gelap mata,” balas Mark panjang lebar. Pria itu nampak tak takut dengan ancaman amar
Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen, suasana di dalam mobil yang Nova tumpangi hening. Menatap ke luar jendela mobil, pemandangan kota ternyata jauh lebih indah dibandingkan bayangan masa depannya bersama sosok pria di samping Nova sekarang.Tidak ada yang menjamin pernikahannya dengan Mark berujung bahagia di tengah restu yang tak kunjung terikat di dalam hubungan mereka.Sesuai dugaan Nova sebelumnya. Pertemuan kedua dengan orang tua Mark kali ini akan berakhir sama. Sama-sama merendahkan harga diri Nova. Nova mendesis ketika desakan di perutnya terasa semakin brutal. Kegelisahan yang sedang ia rasakan berdampak pada reaksi janin dalam kandungannya.“Nova, kamu kenapa? Perutmu sakit?” Suasana berubah cair karena pergerakan Nova terlihat tak nyaman. Sambil mengendalikan kemudi mobil, sesekali pandangan Mark beralih pada jalanan dan Nova secara bergantian. Sebelah tangannya terulur mengelus perut buncit Nova. Sekedar memberikan ketenangan pada malaikat kecil yang bersemayam
Lift membawa Nova bersama sosok pria asing yang tiba-tiba menyapanya. Kernyitan di dahi Nova semakin rapat, berusaha menggilir ulang jejak ingatan pada beberapa momen sebelumnya.“Maaf, apa kamu mengenal saya?” tanyanya. Sudah tahu memori otaknya belakangan ini tidak bekerja cukup baik, Nova masih memaksa ingatannya untuk bekerja lebih keras. Menimbulkan efek pening yang menjalar hingga ke belakang lehernya. Tubuh Nova hampir oleng, kurang istirahat adalah salah satu dari sekian banyak alasan menurunnya imun. Tangan besar di punggungnya sigap menahan, seakan tahu kondisi kesehatan Nova sedang tidak baik-baik saja. “Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu. Sorot dari bola mata keabuan miliknya memeluk Nov dengan hawa panas dan dingin secara bergantian. Otot-otot di tubuh Nova seolah kaku saat pandangannya bertemu dengan manik indah di depannya selama beberapa detik–tak kunjung bangkit dari posisi nyaman dalam kurungan bisep kekar itu. Sadar ini salah, Nova lantas menarik tubuhnya. Berp
Degup jantung berdetak kencang. Buru-buru kunci unit apartemennya dikunci dua kali. Nova membangun dinding pembatas antara dirinya dengan pria yang tinggal disebelah.“Memalukan! Kapan sih kamu tidak bersikap ceroboh, Nova?” Nova merutuki sekian banyak kebodohan yang sudah ia lakukan tadi. Bermonolog sepanjang koridor lantai ini. Membahas hal-hal absurd yang tiba-tiba melintas di pikirannya begitu saja, tanpa tahu kalau di belakangnya, sosok pria yang baru ia kenal mengikuti langkah Nova. Dadanya masih bergemuruh ketika Nova memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi. Tumpukkan handuk di lemari dirampas salah satunya, dan ditenteng menuju ruangan besar dekat tempat tidur. Guyuran air shower seolah meluruhkan segala pikiran Nova tentang Mario. Pria yang kini hanya dibatasi oleh sekat dinding yang cukup tebal. Bersyukurlah, unit apartemen ini memiliki kualitas yang sangat baik dalam hal memberikan kenyamanan sekaligus melindungi privasi penghuninya.Enyahnya pikiran tentang Mar
Kenyataan hidup terlalu kejam hingga Angga hampir tak bisa menyeimbangkan antara realita dan ilusi. Ditinggal sosok yang ia cintai jauh lebih sakit dibandingkan kehilangan keluarga. Menatap nanar pemandangan kota di siang hari. Bersama secangkir kopi panas yang ia bikin dengan mesin kopi otomatis, di sinah Angga berada sekarang. Berdiri tegap di sisi jendela besar yang membatasinya dengan hiruk kota. Pandangan Angga memindai suasana bawah sana, orang-orang sibuk berlalu lalang. Berlomba dengan waktu hanya untuk menikmati udara segar barang sekejap. Sambil menyesap sisa kopinya hingga tandas, Angga menarik ingatannya pada momen awal dimana untuk pertama kalinya, Angga mengenal sosok sang istri. Lima tahun lalu..Semua orang berlomba-lomba untuk menemukan peruntungan dari setiap ketukan pintu lobi. Barisan orang-orang terlihat menatap khawatir ke arah resepsionis di dalam salah satu gedung paling ikonik diantara deretan gedung dengan popularitas yang tak kalah epik. Angga baru saja
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.