Raya bangun terlambat dengan tubuh terasa remuk. Bahkan ini sudah jam sembilan pagi, sangat tidak pantas seorang tamu bangun kesiangan di rumah orang. Tapi apa daya, dia sangat lelah setelah melakukan ritual suami istri itu.Alangkah malunya dia jika ketahuan menghabiskan malam penuh kemesraan di rumah Tante Wulan. Tapi keberuntungan sedang berpihak, Tante Wulan tidak terlihat sedang berada di rumah, motor matic yang biasanya terparkir manis di halaman rumah tidak terlihat dari tadi.Raya baru saja selesai mandi, di kamar mandi tadi dia hampir saja menjerit saat melihat penampakan dirinya. Bekas itu bertebaran di sana sini. Raya sudah menggosok untuk menghilangkannya, tapi tidak berhasil, bekas itu malah berubah menjadi kebiruan.Raya mengendap-endap keluar dari kamar mandi. Mengawasi jika saja tante Wulan tiba-tiba muncul. Dia bernafas lega saat berhasil masuk ke dalam kamar. Namun perasaan lega itu tidak berlangsung lama, matanya menangkap tersangka yang mewarnai kulitnya itu sedang
Fajar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia yakin saat ini mereka tengah di buntuti. Marsel memang laki-laki yang takkan menyerah sebelum mendapatkan apa yang di inginkannya. Fajar tidak tau pasti apa yang membuat Marsel sangat membenci Raya, sehingga dia berniat melenyapkan nyawa wanita itu.Mobil berpacu dengan waktu, Fajar tetap waspada dengan mobil yang mungkin akan muncul tiba-tiba di belakang mereka, Fajar tidak boleh lengah sedikit pun. Mereka tengah membelah jalan lintas antar propinsi. Propinsi yang paling dekat dengan palembang adalah propinsi Jambi, hanya daerah itu tujuan mereka sementara ini."Kita mau kemana?" tanya Raya masih dengan wajah cemas."Jambi.""Apa ada keluargamu di sana?""Tidak.""Lalu, kita akan tinggal dimana?""Jangan banyak bertanya, aku bisa menciummu sampai pingsan jika saja mulutmu masih mengoceh."Raya mengatupkan mulutnya karena ancaman itu. Dia tidak mau terlibat sentuhan fisik lagi dengan Fajar.Kondisi jalan cukup lengang, sekarang su
Fajar berubah kesal, mobil itu malah mengalami kebocoran ban di jalan sepi. Belum ada pertolongan saat ini, para pengguna lebih memilih pura pura tidak melihat saat Fajar meminta bantuan melalui kode jarinya. Maklum, jalan lintas sumatra masih rawan perampokan dengan menggunakan berbagai modus."Bagaimana ini?" gumam Raya. Dia ikutan keluar dari mobil memandang ban mobil dengan putus asa."Tidak ada tanda-tanda bengkel di dekat sini." keluh Fajar. Kemudian, mata Fajar membesar."Aku tau caranya.""Apa?"Fajar mengambil jaketnya dari dalam mobil. Lalu menyodorkan pada Raya."Gulung dan masukkan jaket ini ke perutmu!""Apa?" Raya memandang Fajar tak percaya."Kau pura-pura hamil, dan seolah -olah mau melahirkan, pasang wajah memelas mu, tidak ada orang yang akan tega melihatmu, apa lagi orang yang memiliki istri dan anak.""Aku tak mau, kau saja!" ketusnya sambil melipat tangannya."Kalau aku yang hamil, aku akan disangka gila, bukannya menolong, orang malah lari, lakukan sekali ini saj
Mereka sedang duduk di kedai kecil yang menjual makanan ringan beserta gorengan hangat. Perut yang belum sempat diisi sudah meronta- ronta minta makan. Segelas teh manis dengan sepiring gorengan tandas dalam sekejap. Wajah dan penampilan mereka benar-benar kusut, keringat dan debu menempel di wajah mereka.Raya awalnya tidak mau mencoba memakan jajanan pinggir jalan itu dengan alasan penjual dan tempatnya kurang bersih. Tapi melihat Fajar yang melahap semuanya , dia pun mencobanya dengan penasaran. Satu gigitan dia menelaah rasa gorengan tersebut. Lumayan, pikirnya. Gigitan kedua, enak. Akhirnya dia menghabiskan satu gorengan berupa bakwan itu tanpa pikir panjang lagi."Aku mau lagi," ucapnya entah kepada siapa. Fajar dari tadi bersikap cuek padanya. Tidak tertarik menjawab komentar Raya. Raya menjadi kesal, penjual masih asik dengan wajan dan minyak panas di hadapannya. Raya berdiri mendekati keranjang yang dibuat dari anyaman bambu untuk meniriskan bakwan yang habis digoreng, keran
Di tengah keputus asaan Raya, pertolongan datang tidak disangka- sangka. Seorang pria tua pedalaman yang biasa disebut suku Kubu di Jambi menyelamatkan mereka. Laki- laki tua itu kebetulan sedang berburu burung Balam di hutan, tanpa pikir panjang laki-laki yang yang menyuruh Raya memanggilnya 'pak Wo' itu mengangkat tubuh berat Fajar masuk ke dalam mobil."Tidak ada rumah sakit di sekitar sini, jarak rumah sakit kurang lebih tiga jam lagi, suamimu bisa mati kehabisan darah." Bahasa indonesia yang lancar dan fasih, berbeda dengan perkiraan Raya. Dia mengira suku Kubu itu tidak bisa berbaur dengan manusia modren."Pak wo bisa menyetir?" Laki-laki itu mengangguk. "Kita kerumah saya saja." Benar benar laki-laki yang tulus, mereka meninggalkan penjahat itu tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Raya yakin, mereka belum mati, tapi mengurus Fajar lebih utama saat ini.Raya hanya bisa mendekap kepala suaminya itu. Darah segar terus megalir dari punggung di bawah bahunya. Raya sangat taku
Raya menyelami mata sayu dan lelah milik Fajar, tak ada tatapan bercanda dan mengejek seperti biasanya. Tanpa suara, tanpa perdebatan. Semakin lama dia menantang mata itu, hatinya semakin berdesir hebat, ada rasa berbunga-bunga yang tidak bisa dijabarkan bagaimana wujudnya.Raya memutuskan kontak mata lebih dulu, menggelengkan kepalanya dan menunduk menatap lantai kayu yang dilapisi tikar anyaman rotan. Raya bangkit, merapikan baskom berisi air hangat dan memeras handuk basah itu. Kemudian mengangkat mangkok bubur sekalian baskom kecil itu menuju dapur rumah panggung. Semua gerakan itu tidak luput dari pandangan Fajar, bagaimana lengan ramping dan mulus itu terulur membawa dua barang secara bersamaan. Bagaimana rambut indah itu tergerai bebas dan disematkan ke telinga kirinya. Wanita itu, layak di juluki bidadari yang sedang tersesat di Bumi. Belum habis renungan Fajar, Raya kembali muncul di pintu kamar, menutup pintu yang mulai lapuk itu dengan perlahan dan berjalan bimbang ke arah
Entah berapa lama, saat mereka berhenti hanya untuk mengambil nafas. Kemudian melanjutkan lagi dengan cara yang lebih manis dan indah. Raya menempelkan keningnya pada kening Fajar, menetralkan detak jantungnya yang menggila.Ringisan Fajar menyadarkannya, bahwa memadu kasih tidak tepat saat ini. Suaminya itu baru saja selamat dari maut."Apa aku menyakitimu?" tanya Raya cemas. Mengamati wajah Fajar yang terssenyum hangat. Laki-laki itu menggeleng, tadi lukanya sempat tertekan ke bantal karena Raya menumpukan badannya ke tubuhnya, hal itu membuat luka itu terasa nyeri kembali."Kau baik-baik saja?" Raya mengusap pipi Fajar berlahan, menikmati kasarnya bakal janggut yang belum sempat dicukur."Aku sangat baik.""Syukurlah." Raya mengehela nafas lega, saat Raya menjauh, Fajar menahan pergelangan tangannya."Jangan menjauh, tetaplah di sini." Fajar menunjuk dadanya. Raya mengamati wajah Fajar, tidak ada jaminan baginya untuk tidak melakukan apa apa dengan laki-laki itu jika mereka terus s
Raya belum mengedipkan matanya, lalu dengan susuah payah dia menelan air liurnya sendiri. Diikuti oleh matanya yang mengerjap tidak fokus. "Hmmm ... kita, sedang di kampung, tidak ada hotel di sini." Suara Raya nyaris berisik. Fajar menghela nafasnya, membuangnya kemudian. Ini masih terlalu pagi untuk berfikir ke arah situ. "Kau merindukanku? Kau menginginkannya juga?" Pancing Fajar. Raya meremas jari-jarinya sendiri. Kemudian mengangkat wajah putus asanya, tentu saja dia sangat merindukan laki-laki itu. Hubungan tempat tidur adalah ke istimewaan yang paling indah yang dia dapatkan dari suaminya itu.Raya akhirnya mengangguk, mengabaikan rona merah yang menjalar di pipinya. Fajar tersenyum sumringah, baru kali ini Raya jujur dengan dirinya."Sepertinya kita harus bersabar dulu," kata Fajar mengelus lengan Raya, dia melihat bulu-bulu halus di lengan itu meremang."Mendekatlah, Raya!""Eh?"Raya kembali kebingungan, entah apa yang terjadi padanya saat ini, bunga bunga itu terus saja be
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa
Raya berlari ke pintu keluar saat dia mendengar Fajar mengetok pintu beberapa kali. Dia sempat tertidur sejenak, setelah selesai bersih-bersih dan memasak ala kadarnya. Dia cukup puas dengan hasil masakannya kali ini, setidaknya rasanya sudah mulai ada kemajuan. Cuma masakan sederhana, goreng ikan Nila balado di tambah dengan sayur kangkung. Raya merapikan rambutnya, menghela nafas lalu membuka pintu perlahan. Fajar tersenyum lembut, mengusap pipi istrinya lalu mengecup kening putih itu sekilas. "Aku belum mandi, bau." Fajar mengendus dirinya. Raya tidak setuju jika Fajar mengatakan dirinya bau, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak enak, kalaupum berkeringat, maka yang menguar adalah aroma cologn khas yang digunakannya.Raya berniat memeluk, namun karena Fajar mengurai pelukan lebih dulu, dia mengurungkan niatnya. "Mandilah! Setelah itu kita makan siang." Raya memberikan handuk pada suaminya. Fajar meraih handuk itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil menunggu
Angin sepoi-sepoi meniup dan mempermainkan rambut Raya yang sehalus sutra. Sebagian menutupi wajahnya sehingga dengan refleks jari -jari yang baru belajar memegang alat- alat dapur itu merapikan dan menyelipkannya di belakang telinga.Matanya awas mengamati sang suami yang bekerja dengan beberapa orang pria dewasa lainnya, menggunakan alat kusus dari besi untuk mencongkel batu yang masih tertanam di dalam pasir sungai. Sesekali Fajar mencuri pandang pada istrinya yang duduk manis di sebuah saung yang tak jauh darinya.Raya persis seperti istri yang diidamkannya. Walaupun terlahir sebagai anak manja, tapi karena cintanya, dia merelakan tangan halusnya belajar memasak untuk menyenangkan Fajar.Fajar masih ingat, bagaimana putus asanya Raya saat dia tidak berhasil memecahkan telur tanpa merusak kuningnya. Gadis itu hampir menangis, niat hati akan membuatkan telur mata sapi, tapi memecahkan telur saja tidak bisa."Ini sudah yang kedua puluh butir, tapi aku bahkan belum berhasil...." Raya
Malam yang temaram, pekat malam tanpa bulan dengan kamar yang diterangi lampu lima watt. Dua manusia yang dimabuk cinta saling mereguk dahaga yang tak terpuaskan. Saling memberi dan menerima, menikmati ibadah terindah yang penuh pahala. Ibadah luar biasa di tutup dengan tertidur pulasnya Raya dan Fajar setelah itu. Kali ini rasanya berbeda, mungkin karena Raya tak lagi melakukannya dengan setengah hati. Ibadah kali ini sangat berkesan bagi keduanya, penuh cinta dan kelembutan. Setiap detik berjalan khusyuk dan indah.*****Setelah mandi jam lima subuh, Raya langsung menemani Mak Wo ke dapur. Kali ini dia tak ingin lagi membuat teh manis yang gagal, dia bertanya tanpa malu pada Mak Wo bagaimana cara menakar gula untuk segelas teh manis. Sangat mudah, tapi sulit bagi Raya. Dia baru menyadari, bahwa dirinya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk melayani suami dalam urusan perut. Jangankan memasak yang enak, segelas teh manis yang bagi sebagian besar orang sangat sepele, malah sulit bagin