Hening, tiada percakapan yang terdengar di ruang keluarga Samos, paman Rona memaki dalam diam kelakuan keponakannya itu sudah melewati batas, tak ada tanda-tanda akan dimulainya percakapan.
''Kita tak bisa berdiam diri seperti ini, Rona bisa saja pergi lebih jauh lagi," Nam membuka suara di antara dominasi suara kipas yang menderu dan jangkrik kedinginan.
"Kita akan mencari kemana? Kamu bahkan tak tahu Rona ada dimana!" Sora memecah suara terdengar seperti lengkingan yang tertahan.
"Ini semua kesalahan putrimu, seandainya saja dia tak mengajak Rona kesini, tidak mungkin Rona memiliki kesempatan untuk pergi." Nam tak sabar lagi.
"Kau bilang kesalahan Rena?" Sora mengerang. "Jika putrimu tau tata krama dan bisa menjaga nama baik keluarganya tak mungkin dia pergi seperti itu!" Detak jantungnya seperti ingin meledak, matanya sengaja dia besarkan terlihat seperti drama kucing kejepit.
Samos tak tinggal diam, lelaki ramah namun tegas itu bisa saja membuat kedua wanita di depannya terdiam tanpa kata, namun sebagai pria dia punya peran penting dalam menengahi adu mulut tersebut. Sedang Rena tak acuh, seakan tak ada yang terjadi, meski dia tahu masalah besar sedang di depan matanya.
Waktu berjalan lebih lambat, pukul sembilan malam terasa lebih mencekam dari biasanya, gigil gigi ke gigi membuat suasana semakin tak menentu. Rena tak dapat menahan kantuknya, tetapi keluarga mana yang akan tidur pulas apabila salah seorang keluarganya hilang, meskipun dia ada dalam rencana menghilangnya Rona, setidaknya dia akan memperlihatkan sisi peduli nya sedikit.
"Bagaimana jika kita ke Makassar besok pagi, Rona tak mungkin pergi hanya di sekitar sini, ambisinya ke kota besar bisa jadi tolak ukur untuk kita, bukannya dari ia kecil Rona selalu merengek ingin tinggal di kota?" Sora memberi saran yang bisa saja disanggah oleh Nam, akan tetapi sorot mata keputusasaan Nam terlihat lebih memiliki harapan mendengar ucapan dari Sora.
Kantuk yang tertahan di ujung mata Nam, digelayuti rasa tak sabar dan gelisah, anak perempuan semata wayangnya berani mencoreng abu ke mukanya, putri yang dia besarkan tak kekurangan sedikitpun perhatian darinya.
"Sebaiknya kau tidur Nam, besok selepas subuh kita akan berangkat ke Makassar, tak usah kau risaukan, kita pasti bertemu Rona."
Tentu saja, Nam berpikir mereka tak merasakan apa yang dia rasakan, Rona tak pernah pergi jauh, dia tak tahu apa-apa dan masih terlalu polos untuk berdiri sendiri diluar sana, begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada Rona, gadis malang itu tak mungkin melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Tapi, rasa khawatir Nam seketika berubah menjadi kesal yang begitu dalam. Rona gadis kecil itu telah mempermalukan dirinya, apapun alasannya dia tak boleh meninggalkan rumah, tak ada alasan yang tepat untuk seorang gadis melarikan diri dari rumah.
Sora tahu persis perasaan gelisah yang menghantui Nam, Rona sudah dianggap anak kandungnya sendiri, sedari Rona kecil dialah yang berperan penting membesarkan gadis itu, di balik sikap depresi Nam yang bertahun-tahun setelah ditinggal mati ayah Rona, gadis kecil yang punya ambisi dan cerdas itu terlihat memiliki banyak rahasia yang sengaja kemas dengan rapat, namun satu yang Sora tahu Rona sangat ingin tinggal di kota, memiliki banyak kenalan dan juga ingin berpendidikan tinggi.
"Kau belum juga tidur?" Samos mengusap pelan tangan istrinya. Pria itu memiliki kepribadian yang dapat membuat setiap orang salah sangka, senyumnya yang hangat namun sikapnya yang dingin akan membuat orang disekelilingnya canggung jika berhadapan dengannya.
"Aku tidak bisa tidur, Rona membuatku sangat khawatir."
"Tidurlah, besok kita akan mencarinya" Samos mencoba menenangkan hati istrinya, "kita akan menemukan Rona besok, kita perlu tenaga untuk perjalanan besok, jadi kuharap kau bisa memperhatikan kesehatanmu.''
Ditempat lain, Bus yang ditumpangi Rona melaju perlahan memasuki kota Makassar, Rona tak henti-hentinya berdecak kagum dalam diam, matanya berbinar tampak seperti seorang anak kecil yang diajak naik bianglala oleh orang tuanya.
"Kamu pernah ke Jakarta sebelumnya?" Lucas kembali mengakrabkan diri dengan Rona, sifat ramahnya yang tak biasa akan membuat beberapa orang akan sedikit jengkel dengan sikap sok dekatnya itu.
"Sering, setiap tahun aku berkunjung ke rumah pamanku," Rona menjawab santai, tanpa memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia mengenal Gavin, dia berbicara seolah dia sendirilah yang melakukan perjalanan hebat itu.
Suara Rona terdengar hilang dan timbul saat bersinggungan dengan deru mobil bus tua yang mereka tumpangi, Lucas tak dapat mendengar dengan jelas, namun dia mengangguk seakan mendengar seluruh jawaban yang dilontarkan Rona.
"Aku akan turun di terminal depan, Institut ku ada di sekitar sini," Lucas tersenyum kecil, Gavin tahu dibalik ucapannya itu ada rasa bangga pada diri Lucas yang bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang itu.
"Yah, aku juga akan turun di Sudiang, aku akan tinggal beberapa hari dirumah kenalan ibuku," Gavin menimpali.
"Bagaimana denganmu Nona?" Lucas tanpa sadar bertanya lagi, Rona menjawab singkat. "Dekat pelabuhan."
Lucas menatap prihatin, gadis itu terlalu muda untuk bepergian sendirian, itulah yang pertama kali terpikir oleh otaknya saat tak mendengar seluruh jawaban yang diutarakan Rona tentang Jakarta, sebenarnya dalam lubuk hati Lucas, dia ingin sekali menawarkan jasanya untuk sekedar menemani Rona hingga ke Pelabuhan lalu memesan tiket. Tetapi wajah gadis itu terlihat menantang dan sangat angkuh membuat Lucas mengurungkan niatnya.
Pagi sekali mereka bersiap, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, Sora sibuk mengurus Samos yang tak dapat memilih baju apa yang pantas dipakai ke kota besar.Rena bersolek di depan cermin segiempat kecil yang ada di kamarnya, selalu menyenangkan baginya untuk bepergian jauh dan membayangkan betapa hebatnya diluar sana, di luar desanya yang begitu membosankan."Sudah jam berapa ini, kita bisa terlambat menemukan Rona!" Sora berteriak kepada seisi rumah, sedang Nam terduduk dalam keheningan, entah sejak kapan dia duduk di kursi ramping itu, matanya sembab akibat tak tidur semalaman dan terus saja meneteskan air mata.Meskipun keluarga mereka memiliki sebuah mobil tetapi sangat jarang mereka gunakan, pandangan sinis para tetangga membuat mereka sedikit cangg
Rona menghabiskan makanannya dengan lahap, pandangan mata Gavin yang hanya tertuju padanya membuat Rona memasang muka penuh tanya. Pelabuhan saat ini benar-benar sesak dan penuh."Ada apa?" Rona menaikkan alisnya mendapati Gavin tak henti-hentinya memandangnya"Tidak apa-apa, aku bahagia bisa bersama kamu seperti sekarang," Gavin berkilah sembarangan, akan tetapi di dalam lubuk hatinya ada sesal yang begitu besar, bisa saja dia tak dapat membahagiakan Rona, atau bisa saja Rona menderita karena ikut bersamanya.Setelah berjam-jam tak membuahkan hasil sedikitpun, Samos memasang muka datar namun kecewa, tak ada jawaban kemana perginya Rona. Rasa gelisah yang tertahan di hati Nam dan Sora membuka pikiran Rena sedikit, dia sedikit bersimpati dengan apa yan
Di tempat lain, Mateo mengangkat tangan dengan gestur putus asa sekaligus naik darah, gadis yang beberapa hari lalu ia pinang, melarikan diri bersama pria lain, amarah yang membuncah di ubun-ubun Mateo dia lepaskan dengan satu pukulan keras pada tembok rumahnya."Kita batalkan saja rencana pernikahannya!" Giri membuat suasana bertambah panas dan tak menentu."Tentu saja, gadis itu telah mempermalukan aku," Mateo mengepal tangannya. "Bagaimanapun juga dia harus menerima ganjarannya.''Bagian yang tak bisa hilang dari pandangan adalah Mateo seseorang yang berkuasa di desa itu, barang tentu akan memalukan Rona dengan sangat keji.Desas-desus tentang Rona yang lari bersama pria menjadi berita terhangat
Suara pekikan dan tawa bergantian memenuhi ruangan kelas. Lucas berdongeng seperti biasanya. Betapa dia telah terpukau kepada gadis yang ditemuinya di dalam bus, Gadis yang menutup kepala dan sebagian wajahnya menggunakan Scarf tampak begitu misterius, dengan lagak seorang pendongeng handal Lucas mendekatkan wajahnya yang berjerawat kepada wajah Maven."Kamu tidak tahu gadis itu, dia benar-benar menantang!" Lucas berbisik namun terdengar seperti angin yang bergerak lambat."Jangan dengar bualan gila itu Maven!" Loa menyela, "dasar pemimpi gila!" Loa tertawa begitu keras hingga memperlihatkan gigi gerahamnya yang paling akhir. Lucas tak terima, ia memutar balik wajahnya dan memasang muka menyeringai seperti hendak menelan Loa hidup-hidup.Suasana kelas semakin pan
Di kamar Rona, buku-buku yang sedari tadi telah disiapkan Rona bertumpuk memenuhi meja riasnya, cahaya mentari yang masuk melewati kisi-kisi jendelanya, berpendar transparan saat Rona menyentuhnya perlahan. perasaan yang tak dapat dijelaskan memenuhi rongga dadanya, perasaan bersemangat melebihi apapun menjalari seluruh sumsum tulangnya.Nam mengetuk pintu perlahan, memastikan bahwa putri semata wayangnya telah terjaga, "apa kamu masih tidur?" Suara lembut memasuki rongga telinga Rona, tak biasanya ibunya bersuara lembut seperti itu, seketika perasaan bergidik dan pikiran-pikiran negatif tentang pernikahan berputar-putar di kepalanya.''Rona, pamanmu mau berbicara,tolong keluarlah!" Nam mendorong pintu dengan pelan, manik matanya menangkap Rona sedang bersenang-senang dengan cahaya yang ia coba genggam.
Sedang di ruang kelas, suguhan pemandangan tumpukan kertas menambah denyut ketir pada kepala Maven, betapa ia membenci keadaan saat ia harus terjebak pada cinta masa lalunya, gerakan tangannya didominasi oleh perasaan menggebu-gebu namun pikiran nya seperti mati rasa, perasaan janggal yang setiap hari dalam setahun hidupnya selalu tentang gadis itu, telah enam tahun berlalu namun gadis itu tetap diposisi yang sama di dalam pikiran Maven.Seorang gadis berambut sebahu mencuri perhatian Maven yang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar, suara lantang yang dikeluarkan gadis itu, tampak seperti preman yang sedang menguasai papan pengumuman, gadis yang tak tahu aturan dengan segala ambisi dan kekecewaan yang menyatu pada wajahnya menarik perhatian Maven."Maaf, bisakah aku yang duluan membaca?" Meskipun terdengar kata maaf, gadis
Rencana kepergian Rona untuk menghindari cacian buruk tetangga terhadapnya, terdengar di telinga Mateo. Awan belum sempat menggantung, cuaca sedang tak mendukung namun bara di hati Mateo memanaskan wajah dan telinganya."Berani-beraninya gadis itu meninggalkan desa ini, sedang aku yang harus menanggung malu akibat ulahnya" Mateo merasa sangat dirugikan atas tindakan Rona yang pergi bersama pria lain sedang lamarannya telah masuk ke keluarganya, betapa gadis itu juga telah memberi senyum manis kepadanya ketika ia datang melamar. Cibiran para tetangga yang menyangkut pautkan dirinya telah mencoreng nama baik Mateo, seseorang yang berkuasa ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis yang terbilang tak terlalu terpandang darinya.Kekesalan Mateo tak dapat ia tahan lagi, perasaan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya tak dapat
Keesokan harinya Rona, Samos dan Nam berangkat menuju kota Baru. Rona terdiam melihat setiap keindahan yang ada, kemudian termenung. Benar yang dikatakan ibunya kepadanya, pamannya memilihkan tempat tinggal dan pekerjaan yang nyaman bagi Rona, Rona tak sabar merapikan dan menyusun ulang kamar baru dirumah keluarga sahabat pamannya itu.Suasana baru dan hiruk pikuk perkotaan mengembangkan senyum Rona sedari perjalanan, ia membayangkan segala sesuatu yang belum terjadi dengan hal-hal yang lebih mengarah kesenangan. Samos mengenalkan satu persatu tempat yang mungkin saja akan membantu Rona kedepannya."Disini minimarket terdekat!" Samos menunjuk sebuah minimarket berlogo merah di sebelah kanan mobil mereka sedang mobil tetap melaju dengan lambat.Rona mengangguk set
Lima baris kursi telah disiapkan keluarga Samos untuk menyambut kedatangan Maven beserta keluarganya, senyum mengembang di setiap insan yang berada disana.Desas-desus gadis seratus juta menjadi buah bibir hangat bagi ibu-ibu bermulut besar di kampung itu."Kau tahu? Gadis itu dilamar lagi!""Yah, aku juga mendengar itu, lebih nya mereka menyiapkan uang seratus juta full!!!""Kasihan sekali, mereka tak tahu bahwa gadis itu sudah tak suci."Obrolan-obrolan panas yang dibuat wanita-wanita kampung di sela-sela ramai dan khidmat nya acara lamaran Rona
Sesaat setelah Maven kembali kerumah, Radi langsung menanyakan perihal pelayarannya kali ini, setelah dua bulan mereka tak pernah berbincang sedikitpun."Bagaimana dengan pelayaranmu kali ini?""Lumayan melelahkan, ombak Februari masih terbilang tinggi,'' Maven menjawab seadanya."Apa kamu mau menikah?"Pertanyaan Radi begitu mendadak membuat Maven terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan cepat, "yah""Baguslah, umurmu sudah masuk dua puluh lima tahun, Ayah harap kamu sudah cukup matang untuk menikah""Tapi, aku belum punya apa-apa."
"Maaf Rona aku harus kembali ke Makassar, aku tidak enak kalau terlalu lama ditempat ini, sesuatu yang mau kupastikan sudah terjawab, aku mohon tunggu aku yah beberapa saat lagi, aku pasti datang jemput kamu."Kata-kata perpisahan Maven membuat Rona menanggung rasa yang sama saat ditinggalkan oleh Gavin, akan tetapi perbedaan terbesarnya adalah, Maven menjelaskan dengan detail bahwa dia akan kembali sedang Gavin pergi tanpa menjelaskan apapun."Aku akan tunggu," tak terasa air mata Rona menetes yang disambut cepat oleh tangan Maven untuk menghapusnya."Aku janji gak akan lama, tapi bersabarlah.""Iya!" Rona mengangguk.Perpisah
Peluh yang keluar dari pori-pori Lucas membat Maven bergidik jijik, "Luar biasa keringatmu teman, sepertinya bisa dijadikan air mandi untuk seminggu!" Maven mengejek dengan gaya Khas Lucas yang tengil.Lucas terengah-engah, napasnya yang dikumpulkan di rongga paru-parunya keluar dengan paksa lewat mulutnya."Kamu harus mencobanya besok! Udara disini sangat bagus untuk berolahraga," tukas Lucas.Andrew menilik keluar, melihat Lucas yang baru saja pulang berolahraga membuat dia tersenyum bangga, anak itu memang pantas disebut anaknya.Lucas masuk lewat pintu belakang, peluhnya bisa saja menetes ke dalam ruangan yang sudah dibersihkan ibunya. Sedang Rona menunggu dengan tak sabar, tak biasanya A
Andrew tak menjemput Lucas seperti biasanya, Lucas yang meminta, dia akan naik angkutan kota jika itu diperlukan, namun ojek motor adalah pilihan yang paling pas."Dari tadi kamu bengong dan terus melamun,'' Lucas menyadarkan Maven yang masih mempertahankan lamunannya."Maaf." Maven terkesiap dengan cepat ucapan itu keluar dari mulutnya."Sudah aku bilang, gak usah kamu pikirin, lama-lama kamu bisa stres, sekarang pikirkan bagaimana caranya Rona membalas cinta kamu!" Ucapan Lucas yang terakhir membuat Maven tersadar, peran penting dalam sebuah hubungan adalah mendapat balasan yang baik dari pasangan baik itu perasaan maupun perhatian.Maven tergesa-gesa mengangkat ransel yang ditandainya seba
Angin Desember, ritual pemanggil flu paling alami, setelah terombang-ambing selama tiga bulan lebih di atas kapal yang melaju di antara ombak dan perpisahan di setiap pelabuhan, Maven menyunggingkan senyumnya, kini waktunya kembali, meski kepalanya masih terasa berdenyut tak mengurungkan niatnya untuk datang menemui Rona."Kamu mau langsung pulang?" Maven bertanya pada Lucas yang mengangkat barangnya di sela-sela ramainya siswa yang baru saja turun dari kapal."Iya, aku sangat rindu ibuku!" Lucas menjawab tak seperti biasanya, pengalaman yang dialaminya selama berlayar terus mengingatkannya pada ibunya, pelayaran yang terasa ingin membunuhnya pelan-pelan."Aku ikut!" Maven mengacungkan telunjuk nya seperti anak kecil yang ingin memberi jawaban di dalam kela
Ruangan gelap membentuk kisi-kisi cahaya yang datang dari luar membuat Maven tak bisa tidur, Maven tidak pernah merasakan suhu tubuhnya meningkat, sesaat setelah mengingat hal-hal yang telah diucapkannya pada Rona.Gadis itu memiliki pesona yang tak dapat mengalihkan pikiran Maven terhadapnya,Kulitnya selembut embun dan senyumnya yang membuat siapapun dapat terpikat. Semenjak pertemuan nyatanya dengan Rona, Maven semakin giat melakukan apapun, membaca buku-buku yang dapat membuatnya sukses lebih cepat serta hal-hal yang membuat dia terlihat dewasa dan mampu menjadi tempat bersandar bagi Rona."Tunggu aku, Jika kau ingin. Tapi percayalah aku akan membuatmu ingin menungguku."Persiapan pelayaran terakhir yang dilakukan Maven akan membawa nya ke tahap
Dua Puluh Enam November, tepat hari ini adalah hari kelahiran Ruth sejak Dua Puluh Empat tahun yang lalu, kehidupannya yang terbilang masih terbayang-bayang pada masa lalu kelam,membuat Ruth harus bersabar setiap mendengar ujaran kebencian dari para tetangganya, setelah memutuskan bercerai dengan suaminya, Ruth memilih tinggal sendiri, dibanding harus kembali kerumah orang tuanya.Kehampaan yang terasa mengusik hari-hari yang dilewati oleh Ruth.Lelaki yang dicintainya mencintai orang lain, bahkan gadis itu adalah sepupu nya sendiri.Aku tak tahu harus bagaimana Vin, semenjak pertemuan itu aku benar-benar tak dapat melupakanmu, aku mencintaimu. Aku harus apa?Ruth menghempaskan tubuhnya pa
Percakapan singkat yang terjadi antara Cal dan Andrew membuat suasana menjadi hening dan menegangkan. Rasa sesak yang tiba-tiba dirasakan oleh Rena juga dirasakan oleh Cal, tak ada yang berani mengeluarkan suara apapun bahkan suara batuk kecil yang tertahan di tenggorokan Maven dibiarkannya menjadi air liur kemudian ditelannya pelan-pelan.Ada ketidaksetujuan yang terdengar begitu keras dari ucapan Andrew meski tak diucapkan secara langsung.Rena mempertahankan posisinya agar terlihat baik-baik saja, akan banyak hal yang mungkin saja dapat membuatnya tampak lebih kikuk lagi, Rona mengerti perasaan Rena, digenggamnya pelan tangan gadis itu, dengan bahasa isyarat mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.Andrew tak melanjutkan ucapannya, fokusnya kembali tertuju