Di kamar Rona, buku-buku yang sedari tadi telah disiapkan Rona bertumpuk memenuhi meja riasnya, cahaya mentari yang masuk melewati kisi-kisi jendelanya, berpendar transparan saat Rona menyentuhnya perlahan. perasaan yang tak dapat dijelaskan memenuhi rongga dadanya, perasaan bersemangat melebihi apapun menjalari seluruh sumsum tulangnya.
Nam mengetuk pintu perlahan, memastikan bahwa putri semata wayangnya telah terjaga, "apa kamu masih tidur?" Suara lembut memasuki rongga telinga Rona, tak biasanya ibunya bersuara lembut seperti itu, seketika perasaan bergidik dan pikiran-pikiran negatif tentang pernikahan berputar-putar di kepalanya.
''Rona, pamanmu mau berbicara,tolong keluarlah!" Nam mendorong pintu dengan pelan, manik matanya menangkap Rona sedang bersenang-senang dengan cahaya yang ia coba genggam.
"Tentang Apa? Rona tak berselera.
"Tentang pekerjaan!" Nam terlihat sangat antusias mengatakannya pada Rona, sebelum meninggalkan kamar itu dia tersenyum tipis pada Rona.
Rona melonjak dari dipan yang didudukinya, setengah badannya mencondong ke depan, suatu keadaan langka yang terlihat seperti adegan pengukuhan kepala osis. senyumnya tertahan di ujung bibir nya yang sengaja ia gigit dengan pelan.
Pendaran cahaya dari balik dinding berubah menjadi cahaya terang yang hangat, setelah beberapa menit mencoba mengatur lonjakan kebahagiaan di dalam rongga dadanya, Rona memasang muka tenang saat menemui pamannya, ia tak ingin terlihat begitu bahagia mendengar apapun perihal pekerjaan, akting alami yang dilakukannya membuahkan hasil yang setimpal.
"Ada yang mau paman sampaikan," Samos membuka suara sebelum Rona duduk, perasaan Samos yang masih menyimpan kesal pada gadis itu di keluarkan dengan suara deheman serak nya yang khas. "Kamu sudah mencoreng wajah kami dengan tingkah mu yang tak tau malu itu!" Samos merendahkan suara namun terdengar menekan Rona.
Dibiarkan pamannya berkata sepuasnya, memang sepantasnya dia mendapat semprotan pedas itu, lelaki yang ia percaya malah meninggalkannya begitu saja.
"Aku mau kamu mengerti Rona! Situasi sekitar sedang tak menguntungkan keluarga kita!" Samos semakin merendahkan suaranya. "Rumor tentangmu telah menyebar luas, aku ingin kamu mempertimbangkan untuk bekerja diluar, hingga mereka lupa akan rumor itu." Samos mencoba menutup kemungkinan yang akan terjadi jika Rona tetap berada di desa itu.
Rona menahan senyumnya, ia tahu jika ia melakukannya di depan pamannya, akan terlihat seperti tak memiliki tata krama sama sekali, kemudian bertanya, "Aku akan bekerja apa?" Rona memasang muka polos, tampak seperti kucing yang sedang meminta makan pada majikannya.
"Kamu bisa kerja di tempat teman paman, di percetakan buku." Samos berkata dengan memainkan alisnya sebelah, berharap Rona bersedia dengan tawaran itu, sebelum ia mengeluarkan opsi kedua, Rona menjawab dengan cepat. "Iya, jika itu yang Paman inginkan." Gejolak dalam dada Rona mengencangkan detak jantungnya, semakin berdebar ia semakin bertambah rasa senangnya.
Di antara banyaknya kejadian yang telah dialami Rona, kebahagiaan kali ini tak dapat ditandingi dengan apapun. Samos yang melihat gelagat pasrah dari Rona kembali membuka suara, "Kamu dapat berhenti kapanpun, tapi pikirkan tentang rumor itu, paman harap kamu bisa mengerti.'' Suara serak berubah menjadi kata-kata iba yang di lontarkan Samos menyentuh perasaan Rona, betapa keluarga nya begitu memperdulikan keadaannya dengan apa yang telah diperbuatnya keluarganya masih begitu peduli.
Samos meninggalkan Rona yang masih pada lamunannya, pikiran-pikiran mengutuk diri sendiri dilakukan otaknya secara terus-menerus. Nam menghampiri Rona yang duduk terdiam, matanya sayu memandang kedepan.
"Kamu tak setuju dengan usulan pamanmu?" Nam mencoba berbicara dengan nada yang dilembut-lembutkan.
"Tidak juga." Rona tak ingin berkomentar lebih jauh, sebab ia tak ingin ibunya mengetahui perasaan senang yang membuncah di dadanya.
"Dengarkan kata pamanmu sekali ini saja, permintaannya juga demi kebaikan kamu Rona." Nam mengelus rambut Rona yang telah lama tidak ia lakukan.
"Iya Bu." Rona menjawab singkat, namun tatapannya terlihat begitu setuju dengan apa yang dikatakan paman Samos kepadanya.
"Siapkan semua baju kamu, kalau kamu setuju besok kita akan ke kota." Nam menahan rasa bahagianya, ia memalingkan wajah kemudian berbalik meninggalkan Rona yang masih duduk di sofa rumah mereka.
Udara hangat memenuhi kamar Rona, buku-buku perihal bagaimana cara membuat CV yang baik dan pekerjaan yang tepat disusunnya kembali di dalam rak putih miliknya, rak yang sudah sesak dengan buku-buku pelajaran dan kertas-kertas coretan menambah sesak kamar kecil itu. Rona mengayun-ayunkan diri, mematut diri di cermin, berputar-putar, kemudian tersenyum lagi, tak ada cara tepat yang dapat ia lakukan untuk mengeluarkan energi dari buncahan kebahagiaan di dadanya.
"Aku bahkan belum melakukan usaha apapun, keberuntungan dengan sendirinya datang padaku, kupikir ini adalah buah dari apa yang dilakukan Gavin kepadaku, satu kemalangan kemudian datanglah satu keberuntungan." Rona berbicara di dalam hati, menutup mata kemudian memikirkan hal-hal baik yang akan menimpanya hari-hari esok.
***
Matahari semakin menanjak, menaiki langit dengan sedikit rasa malas sebab awan menutupi sebagian wajahnya, Maven tak begitu peduli dengan cuaca hari itu, ujian tengah semester yang sedang ia lalui banyak menyita pikirannya, jawaban yang ia tulis di kertas ujiannya membuat ia bingung tak terkendali, perihal soal bahasa indonesia yang menginginkan ia membuat sebuah puisi dengan tema cinta akan tetapi jari-jarinya bahkan tak dapat menuliskan satu kata pun, ia bahkan menulis puisi sedih yang tak berujung, rasa kesal pada dirinya sendiri ia lampiaskan pada kalimat singkat pada puisinya.
"Aku tak ingin disebut pujangga, perasaan ini nyata untukmu, untuk kekasih mendungku."
Sedang di ruang kelas, suguhan pemandangan tumpukan kertas menambah denyut ketir pada kepala Maven, betapa ia membenci keadaan saat ia harus terjebak pada cinta masa lalunya, gerakan tangannya didominasi oleh perasaan menggebu-gebu namun pikiran nya seperti mati rasa, perasaan janggal yang setiap hari dalam setahun hidupnya selalu tentang gadis itu, telah enam tahun berlalu namun gadis itu tetap diposisi yang sama di dalam pikiran Maven.Seorang gadis berambut sebahu mencuri perhatian Maven yang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar, suara lantang yang dikeluarkan gadis itu, tampak seperti preman yang sedang menguasai papan pengumuman, gadis yang tak tahu aturan dengan segala ambisi dan kekecewaan yang menyatu pada wajahnya menarik perhatian Maven."Maaf, bisakah aku yang duluan membaca?" Meskipun terdengar kata maaf, gadis
Rencana kepergian Rona untuk menghindari cacian buruk tetangga terhadapnya, terdengar di telinga Mateo. Awan belum sempat menggantung, cuaca sedang tak mendukung namun bara di hati Mateo memanaskan wajah dan telinganya."Berani-beraninya gadis itu meninggalkan desa ini, sedang aku yang harus menanggung malu akibat ulahnya" Mateo merasa sangat dirugikan atas tindakan Rona yang pergi bersama pria lain sedang lamarannya telah masuk ke keluarganya, betapa gadis itu juga telah memberi senyum manis kepadanya ketika ia datang melamar. Cibiran para tetangga yang menyangkut pautkan dirinya telah mencoreng nama baik Mateo, seseorang yang berkuasa ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis yang terbilang tak terlalu terpandang darinya.Kekesalan Mateo tak dapat ia tahan lagi, perasaan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya tak dapat
Keesokan harinya Rona, Samos dan Nam berangkat menuju kota Baru. Rona terdiam melihat setiap keindahan yang ada, kemudian termenung. Benar yang dikatakan ibunya kepadanya, pamannya memilihkan tempat tinggal dan pekerjaan yang nyaman bagi Rona, Rona tak sabar merapikan dan menyusun ulang kamar baru dirumah keluarga sahabat pamannya itu.Suasana baru dan hiruk pikuk perkotaan mengembangkan senyum Rona sedari perjalanan, ia membayangkan segala sesuatu yang belum terjadi dengan hal-hal yang lebih mengarah kesenangan. Samos mengenalkan satu persatu tempat yang mungkin saja akan membantu Rona kedepannya."Disini minimarket terdekat!" Samos menunjuk sebuah minimarket berlogo merah di sebelah kanan mobil mereka sedang mobil tetap melaju dengan lambat.Rona mengangguk set
Rona tersentak sehingga sebuah bingkai foto di depannya hampir lepas dari genggamannya, ia membenamkan keterkejutannya dengan matanya yang mencari-cari kebenaran.''Lelaki yang kulihat di bus, apakah dia putra sulung paman Andrew?" Rona bertanya sendiri, menimbang jawaban sendiri dan mencoba mengkorelasikan wajah Paman Andrew dan bibi Linka pada foto lelaki di hadapannya."Itu Lucas, putra pertama bibi," Linka menjawab pertanyaan dalam benak Rona membuat Rona tersentak yang kedua kalinya. Dia mengingat betul lelaki yang sibuk bertanya kepadanya di dalam bus dan dia tak menanggapinya dengan baik."Umurnya berapa bi?" Rona menanyakan sesuatu yang sesungguhnya dia telah tahu jawabannya, dia pasti seumuran dengan Gavin
Rambu lalu lintas menandakan mobil yang mereka tumpangi harus berhenti, Rona membuka ransel yang dibawanya, dikeluarkan buku catatan yang dibawanya dari rumah, coretan-coretan beserta foto Gavin yang menempel pada halaman pertama buku itu membuat Rona kembali mengingat kesenangan-kesenangan besar pada hal-hal kecil yang dilaluinya bersama Gavin, meski harus menjalin kasih tanpa restu ibunya, Rona masih bisa merasakan kehangatan dari Gavin, lelaki pekerja keras yang ditemui pertama kali pada lokasi pembangunan infrastruktur desa membuat Rona jatuh cinta pada sekali pandang, Gavin yang acuh dan gigih tak berkutik saat disapa oleh Rona. Rona yang tampak malu dan menyembunyikan wajahnya di balik kepala yang menunduk membuat Gavin menahan senyum di pangkal bibirnya."Perkenalkan ini Rona, kakak sepupuku!" Rena menarik tangan Gavin agar dapat menyambut tangan Rona yang sedari tadi membentuk s
Aku tak bersemangat.Mengatakan hal tersebut bukanlah hal yang mudah bagi Rena. Rena melawan rasa sesaknya, hal-hal yang sering disebut dengan getaran menghantam kepalanya, getaran yang sering terjadi belakangan ini membuat dia semakin tak memiliki keinginan untuk hidup."Cobalah terlebih dahulu Rena!" Sora meyakinkan Rena yang duduk diatas dipan kecil di halaman rumahnya. Sebuah rumah kecil yang didesain khusus oleh Samos bergaya eropa, meski mereka tinggal di pedalaman desa, namun Samos memiliki mimpi besar ingin menetap di eropa, meskipun itu tak pernah terwujud namun dia realisasikan dengan bentuk rumahnya dengan corong asap yang sedikit menggelitik perut para tetangga yang lewat."Aku gak mau mencoba apapun Bu!'' Rena benar-benar tak dapat menahan rasa pesim
Sementara itu, Gavin menunduk pada jalan yang tak asing yang selalu dia lewati, Tak ada yang dapat ia harapkan melebihi apapun pada siapapun kecuali pada dirinya sendiri, kembali didatanginya pelabuhan tempat pelariannya bersama Rona, kejadian demi kejadian terekam pada setiap memorinya, rasa sesal dan rindu menghimpit dada Gavin, air mata nya tak ingin keluar namun matanya telah berkaca-kaca sedari tadi."Aku tidak akan membiarkan Rona dinikahi siapapun!"Jelang hujan yang tak ingin lepas dari awan membuat suasana menjadi dingin dan tenang, Gavin memikirkan hal-hal apa saja yang dapat membantunya keluar dari masalah itu kemudian membawa Rona kembali padanya."Aku cuma butuh uang!" Gavin menarik kerahnya sendiri, membuat dia terlihat bodoh dan mengenaskan.
Ruang tamu keluarga Andrew begitu ramai, kedatangan Rena membuat Rona bahagia tak main-main, Rona yang mendambakan seseorang yang dapat diajaknya berkeluh kesah akhirnya mendapat pelita juga. Begitupun dengan Cal, senyumnya mengembang dari pagi hingga ke malam kemudian kembali ke pagi lagi, Ia tak dapat menahan rasa berdebar dan sesuatu yang menggelitik di atas perutnya. Rena yang memiliki pekerjaan baru tak segan-segan melakukannya dengan baik dan penuh semangat, Keberadaan Rena melumpuhkan titik fokus pada kepala Cal dan nampak jelas oleh Linka."Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering melakukan kesalahan dan kikuk," Linka menggoda Cal, dia mengerti bahwa sesuatu sedang tak berjalan dengan benar pada perasaan Cal kepada Rena.Cal tersenyum malu mencoba menyembunyikan perasaannya dari ibunya, meski ia tahu itu mustahil, f
Lima baris kursi telah disiapkan keluarga Samos untuk menyambut kedatangan Maven beserta keluarganya, senyum mengembang di setiap insan yang berada disana.Desas-desus gadis seratus juta menjadi buah bibir hangat bagi ibu-ibu bermulut besar di kampung itu."Kau tahu? Gadis itu dilamar lagi!""Yah, aku juga mendengar itu, lebih nya mereka menyiapkan uang seratus juta full!!!""Kasihan sekali, mereka tak tahu bahwa gadis itu sudah tak suci."Obrolan-obrolan panas yang dibuat wanita-wanita kampung di sela-sela ramai dan khidmat nya acara lamaran Rona
Sesaat setelah Maven kembali kerumah, Radi langsung menanyakan perihal pelayarannya kali ini, setelah dua bulan mereka tak pernah berbincang sedikitpun."Bagaimana dengan pelayaranmu kali ini?""Lumayan melelahkan, ombak Februari masih terbilang tinggi,'' Maven menjawab seadanya."Apa kamu mau menikah?"Pertanyaan Radi begitu mendadak membuat Maven terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan cepat, "yah""Baguslah, umurmu sudah masuk dua puluh lima tahun, Ayah harap kamu sudah cukup matang untuk menikah""Tapi, aku belum punya apa-apa."
"Maaf Rona aku harus kembali ke Makassar, aku tidak enak kalau terlalu lama ditempat ini, sesuatu yang mau kupastikan sudah terjawab, aku mohon tunggu aku yah beberapa saat lagi, aku pasti datang jemput kamu."Kata-kata perpisahan Maven membuat Rona menanggung rasa yang sama saat ditinggalkan oleh Gavin, akan tetapi perbedaan terbesarnya adalah, Maven menjelaskan dengan detail bahwa dia akan kembali sedang Gavin pergi tanpa menjelaskan apapun."Aku akan tunggu," tak terasa air mata Rona menetes yang disambut cepat oleh tangan Maven untuk menghapusnya."Aku janji gak akan lama, tapi bersabarlah.""Iya!" Rona mengangguk.Perpisah
Peluh yang keluar dari pori-pori Lucas membat Maven bergidik jijik, "Luar biasa keringatmu teman, sepertinya bisa dijadikan air mandi untuk seminggu!" Maven mengejek dengan gaya Khas Lucas yang tengil.Lucas terengah-engah, napasnya yang dikumpulkan di rongga paru-parunya keluar dengan paksa lewat mulutnya."Kamu harus mencobanya besok! Udara disini sangat bagus untuk berolahraga," tukas Lucas.Andrew menilik keluar, melihat Lucas yang baru saja pulang berolahraga membuat dia tersenyum bangga, anak itu memang pantas disebut anaknya.Lucas masuk lewat pintu belakang, peluhnya bisa saja menetes ke dalam ruangan yang sudah dibersihkan ibunya. Sedang Rona menunggu dengan tak sabar, tak biasanya A
Andrew tak menjemput Lucas seperti biasanya, Lucas yang meminta, dia akan naik angkutan kota jika itu diperlukan, namun ojek motor adalah pilihan yang paling pas."Dari tadi kamu bengong dan terus melamun,'' Lucas menyadarkan Maven yang masih mempertahankan lamunannya."Maaf." Maven terkesiap dengan cepat ucapan itu keluar dari mulutnya."Sudah aku bilang, gak usah kamu pikirin, lama-lama kamu bisa stres, sekarang pikirkan bagaimana caranya Rona membalas cinta kamu!" Ucapan Lucas yang terakhir membuat Maven tersadar, peran penting dalam sebuah hubungan adalah mendapat balasan yang baik dari pasangan baik itu perasaan maupun perhatian.Maven tergesa-gesa mengangkat ransel yang ditandainya seba
Angin Desember, ritual pemanggil flu paling alami, setelah terombang-ambing selama tiga bulan lebih di atas kapal yang melaju di antara ombak dan perpisahan di setiap pelabuhan, Maven menyunggingkan senyumnya, kini waktunya kembali, meski kepalanya masih terasa berdenyut tak mengurungkan niatnya untuk datang menemui Rona."Kamu mau langsung pulang?" Maven bertanya pada Lucas yang mengangkat barangnya di sela-sela ramainya siswa yang baru saja turun dari kapal."Iya, aku sangat rindu ibuku!" Lucas menjawab tak seperti biasanya, pengalaman yang dialaminya selama berlayar terus mengingatkannya pada ibunya, pelayaran yang terasa ingin membunuhnya pelan-pelan."Aku ikut!" Maven mengacungkan telunjuk nya seperti anak kecil yang ingin memberi jawaban di dalam kela
Ruangan gelap membentuk kisi-kisi cahaya yang datang dari luar membuat Maven tak bisa tidur, Maven tidak pernah merasakan suhu tubuhnya meningkat, sesaat setelah mengingat hal-hal yang telah diucapkannya pada Rona.Gadis itu memiliki pesona yang tak dapat mengalihkan pikiran Maven terhadapnya,Kulitnya selembut embun dan senyumnya yang membuat siapapun dapat terpikat. Semenjak pertemuan nyatanya dengan Rona, Maven semakin giat melakukan apapun, membaca buku-buku yang dapat membuatnya sukses lebih cepat serta hal-hal yang membuat dia terlihat dewasa dan mampu menjadi tempat bersandar bagi Rona."Tunggu aku, Jika kau ingin. Tapi percayalah aku akan membuatmu ingin menungguku."Persiapan pelayaran terakhir yang dilakukan Maven akan membawa nya ke tahap
Dua Puluh Enam November, tepat hari ini adalah hari kelahiran Ruth sejak Dua Puluh Empat tahun yang lalu, kehidupannya yang terbilang masih terbayang-bayang pada masa lalu kelam,membuat Ruth harus bersabar setiap mendengar ujaran kebencian dari para tetangganya, setelah memutuskan bercerai dengan suaminya, Ruth memilih tinggal sendiri, dibanding harus kembali kerumah orang tuanya.Kehampaan yang terasa mengusik hari-hari yang dilewati oleh Ruth.Lelaki yang dicintainya mencintai orang lain, bahkan gadis itu adalah sepupu nya sendiri.Aku tak tahu harus bagaimana Vin, semenjak pertemuan itu aku benar-benar tak dapat melupakanmu, aku mencintaimu. Aku harus apa?Ruth menghempaskan tubuhnya pa
Percakapan singkat yang terjadi antara Cal dan Andrew membuat suasana menjadi hening dan menegangkan. Rasa sesak yang tiba-tiba dirasakan oleh Rena juga dirasakan oleh Cal, tak ada yang berani mengeluarkan suara apapun bahkan suara batuk kecil yang tertahan di tenggorokan Maven dibiarkannya menjadi air liur kemudian ditelannya pelan-pelan.Ada ketidaksetujuan yang terdengar begitu keras dari ucapan Andrew meski tak diucapkan secara langsung.Rena mempertahankan posisinya agar terlihat baik-baik saja, akan banyak hal yang mungkin saja dapat membuatnya tampak lebih kikuk lagi, Rona mengerti perasaan Rena, digenggamnya pelan tangan gadis itu, dengan bahasa isyarat mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.Andrew tak melanjutkan ucapannya, fokusnya kembali tertuju