"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku di suatu pagi tatkala Mas Wira sedang mengancingkan kemejanya."Boleh. Tanya aja," sahutnya mempersilakan."Emm ... itu ... punggung Mas Wira bekas kena luka apa?" tanyaku hati-hati."Oh ... ini. Biasalah, akibat sok jagoan," jawabnya santai."Maksudnya?" Alisku bertaut.Mas Wira tersenyum. "Kejadiannya sudah sangat lama. Sewaktu aku masih SMA. Sok-sok nyelametin cewek pas tawuran ya jadi gini lah.""Oh. Trus keadaan ceweknya gimana?" tanyaku."Untungnya tidak apa-apa. Dia selamat, dan aku bersyukur sekali mendengarnya. Meski setelahnya, lukaku yang jadi dobel. Di belakang juga di depan." Mas Wira menunjuk dadanya sendiri.Mungkin maksudnya hatinya juga turut merasakan kesakitan. Meski tak menanyakan apa penyebabnya, namun aku merasa jika Mas Wira sedang membicarakan wanita itu. Seorang wanita yang dicintainya sejak masih SMA. "Maksudnya, Mas menyelamatkan cewek yang Mas suka itu?" tanyaku seraya menelan ludah. Pahit.Ia mengangguk. Jemariku me
Dengan tubuh gemetaran, aku pun bergegas masuk ke dalam kamar. Pikiranku kosong, dan kedua telapak tanganku sangatlah dingin. Sepasang tungkai kakiku lemas tak bertenaga. Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.Tak berapa lama, pintu didorong dari luar. Mas Wira masuk dengan terburu-buru."Yessi, anak kita sungguh kuat, ya—""Dia bukan anak kamu, Mas!" potongku cepat dengan suara bergetar.Mas Wira mendekatiku dan mencoba meraih tanganku, namun segera kutepis."Yessi, tidak semua yang kamu dengar tadi itu benar," ujarnya meyakinkanku."Tapi memang kebenarannya begitu, kan?" Aku membuang tatapan ke arah lain, tak berniat memandang wajahnya yang menghiba."Yessi—""Bodoh sekali aku berharap lebih pada sesuatu yang memang tidak pantas untuk diharapkan!" Lagi-lagi aku memotong tegas perkataannya. "Apa maksudmu?" tanyanya.Kuhela napas demi melonggarkan dada yang terasa amat sesak. Seiring bulir-bulir air mata yang kini mulai berjatuhan tanpa bisa kutahan lagi.
"Hufftt ...!" Aku mendengkus kuat-kuat, begitu membuka mata dan berhasil mengumpulkan kesadaran beberapa detik yang lalu, ternyata Tuhan masih memberikan cadangan nyawa untukku.Ya, aku masih hidup.Padahal akan lebih baik jika aku tiada saja. Entah apa maksud dari Sang Pemilik Nyawa membiarkanku tetap hidup hingga saat ini. Apakah Ia terlalu senang melihatku menderita?Apakah Ia senang karena tengah mempermainkanku?Pandanganku kemudian beralih ke sebelah kiri.Apakah dengan menarik selang infus yang menancap di tanganku, akan membuatku mati dengan seketika? Aku sudah bersiap untuk menariknya. Akan tetapi, pintu mendadak terbuka dan Mas Wira pun masuk ke dalam. Membuatku urung melakukannya.Seketika aku langsung memalingkan wajah. Rasanya tak sudi aku melihatnya setelah teringat akan pengakuannya yang membuatku tak sadarkan diri. Pengakuan cinta sekaligus kebej*tan yang telah dilakukannya, nyatanya berhasil membuatku melambung tinggi ke angkasa namun akhirnya terhempas saat itu juga
Setelah dua hari diopname, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tak ada pesan khusus dari dokter untukku. Beliau hanya menyarankan agar pikiranku jangan terlalu stres. Sungguh mustahil jika aku tidak stres. Masalahku yang bertubi-tubi seperti tak ada habisnya, sudah cukup memeras otakku. Apakah aku harus kembali ke psikiater lagi? Bosan rasanya jika harus menenggak obat penenang terus-terusan.Akan tetapi, jika tidak seperti itu bisa dipastikan sebentar lagi aku akan dirawat di RSJ.Dan selama dua hari aku menginap di rumah sakit, selama itu pula tak ada satu orang pun dari keluargaku atau keluarga suamiku yang datang menjengukku. Sedih? Tidak sama sekali.Keluargaku jelas tidak tahu jika aku sedang dirawat. Dan keluarga suamiku? Wah, tentu akan lebih baik jika mereka tidak datang. Aku tak pernah mengharapkan kedatangan mereka sama sekali. Dan syukurnya, Tuhan mengerti akan keinginanku.Beberapa saat kami hanya saling diam. Hingga mobil yang kami tumpangi melewati pondok tempat ber
"Kenapa kau dulu tidak menikahi Priska saja? Bukankah ibumu lebih menyukainya ketimbang aku? Orang tuanya bahkan lebih kaya dari orang tuaku. Pasti kalian akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah diberi oleh orang tuaku!" Mas Wira melirik tajam ke arahku. Mungkin tersinggung dengan ucapanku barusan. Biar saja. Aku memang sengaja ingin memancing emosinya. Namun sayangnya hanya sebentar. Setelahnya, ia kembali fokus menatap layar macbooknya."Priska cantik, modis, kuliahnya di luar negeri. Apa lagi yang kurang darinya?" "Dia bahkan memiliki daya tarik yang mampu memikat lelaki. Aku saja yang wanita kagum padanya." Lagi, aku kembali memancingnya.Sial! Lelaki itu bahkan terlalu asik dengan pekerjaannya. Ia tak mengacuhkanku sama sekali. Kesabaranku nyaris habis sekarang."Aku ingin cerai saja," ucapku akhirnya. Mas Wira kembali menghadiahiku tatapan tajam yang menusuk. "Kamu bilang apa?""Aku sangat lelah. Aku benar-benar ingin menyerah. Tolong lepaskan aku. Bisa kan?" ucapku memela
Jantungku kian bertalu-talu. Sampai-sampai aku bisa mendengar suara degup jantungku sendiri. Siapa pemilik nomor ini?Foto profilnya kosong, bahkan namanya saja tidak ada. Sepertinya memang sengaja tidak ditulisnya. Kusentuh tombol hijau guna memanggil si pengirim foto tak bernama. Hanya berbunyi tut ... tut ... tut .... Namun sepertinya tidak aktif.Apakah ini nomor baru Mas Wira? Menurut pengakuannya bukankah dia yang telah memerkosaku? Tapi untuk apa dia mengirimiku gambar ini? Apakah dia bermaksud menerorku? Tidak mungkin. Mas Wira tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti ini.Apakah kutelepon Mas Wira saja, ya? Aku ingin menanyakan hal ini padanya. Namun ketika aku sudah bersiap meneleponnya, tiba-tiba saja aku urung melakukannya. Aku tidak boleh gegabah. Sebaiknya, kucari tahu dulu sembari diam-diam menyelidiki Mas Wira. Apakah benar dia pengirimnya?***Jam menunjukkan angka lima tatkala Mas Wira sampai di rumah. Wajahnya terlihat tegang bercampur lelah tak seperti biasanya.
Aku baru saja masuk ke dalam kamar dan tak menemukan keberadaan Mas Wira di sana. Sudah pukul delapan malam namun suamiku itu belum juga turun untuk makan malam. Tidak biasanya ia seperti ini."Mas ...!" Kupanggil dia seraya mengetuk pintu kamar mandi. Siapa tahu ada di dalam. Namun tak ada sahutan. Sepertinya memang kosong. Ke mana ya, Mas Wira?Samar-samar, aku mendengar suara Mas Wira sedang mengobrol di balkon. Aku lantas berjalan ke arah sana. Pintu balkon dalam keadaan terbuka sedikit. Agar tidak ketahuan, aku memilih mengintip keluar melalui gorden yang sedikit kusibakkan.Tampak Mas Wira yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya dengan raut wajah tegang. Sampai-sampai aku bisa melihat rona wajahnya yang memerah karena emosi. Sedang berbicara dengan siapa dia? Kenapa bisa sampai seemosi itu?Kutajamkan pendengaranku demi mendengar obrolannya."Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!"
Pikiranku melayang entah ke mana. Padahal aku sedang menggoreng ikan sekarang. Teror dari orang itu membuat pikiranku seketika buntu. Setelah insiden itu, Mas Wira hanya menenangkanku saja. Meski aku berharap ada suatu tindakan yang dilakukannya untukku. Entahlah, aku sendiri pun enggan memaksanya. Kelelahan yang menggelayut di wajahnya membuatku cukup merasa segan untuk mengganggunya."Non, jangan ngelamun, nanti ikannya gosong," bisik Bi Inah yang membuatku spontan terkejut."Oh ... iya, Bik." Tanganku dengan lincah membalik ikan di penggorengan."Daging prestonya kayaknya sebentar lagi mateng tuh, Non." Bibi mengingatkan sambil menunjuk tungku sebelah yang di gunakan untuk memasak rawon menggunakan panci presto.Aku pun mengangguk. Bik Inah lantas beranjak dari sisiku. Seperti tak sadar, aku pun kembali dalam lamunanku. Tak berapa lama, aku dibuat terkejut dengan bunyi nyaring dari panci presto. Buru-buru kukecilkan api kompor. Setelah agak lama dan kupastikan rawonku telah mat
Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta
POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih
Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g
Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te
"Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t
"Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada
POV Wira.Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang ceria dan juga cantik. Pertama kali melihatnya adalah ketika ia menjadi salah satu siswi baru di sekolahku. Pada saat itu aku langsung tertarik padanya. Hingga secara kebetulan, aku dan dia saling berkenalan ketika kami sedang sama-sama menunggu jemputan sepulangnya dari sekolah."Yessi." Suaranya terdengar merdu ketika menyebutkan namanya.Keakraban pun terjalin di antara kami. Tanpa kusadari, rasa tertarik yang sebelumnya kurasakan, lambat laun tumbuh menjadi cinta. Meski aku juga pernah merasakan jatuh cinta pertama kalinya saat masih duduk di bangku SMP, namun entah mengapa kali ini rasanya amat berbeda.Gelombangnya begitu kuat, sampai-sampai aku susah tidur akibat memikirkannya. Akan tetapi, aku cukup tahu diri untuk tidak mengungkapkan padanya. Dengan tubuh super gendut yang kumiliki, gadis mana yang bersedia menerimaku. Andai pun mau, mungkin saat itu dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri alias terhipnotis.Yessi yang
Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut."Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" "Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka."Kamu suka rumah ini, Yessi?" Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?""Aamiin.""Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?""Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya."Tadi
Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya."Gimana?" tanyanya."Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. Bang Yossi kemudian beralih memperha