Sirene ambulans meraung ganas, memasuki pekarangan kelewat terburu. Ini entah ambulans yang ke berapa. Dua perawat bergegas turun dari mobil, disusul dengan beberapa perawat jaga lain berlari menghampiri dari belakang.
Bangkar serta dua roda depan diturunkan, disusul dengan dua roda lainnya di bagian belakang bangkar. Sedari tadi, bahkan sebelum ambulans ini datang, dari banyak ambulans lain sebelumnya, para korban berlumuran darah telah menjadi pusat perhatian mengenaskan.
Beberapa di antara pengunjung rumah sakit membekap mulutnya sendiri demi menyaksikan kengerian manusia-manusia yang berlumuran darah dan memar parah dari peliknya kejadian beruntun.
"ICU! ICU! Pasien gawat kecelakaan!"
Para perawat menggiring dua bangkar yang tiba dari ambulans menuju ruangan ICU, kepanikan jelas kentara di langit-langit gedung beraroma disinfektan yang terlampau menyengat. Dua dokter spesialis ikut berlari memburu waktu yang sudah laiknya bom, bila terlambat maka akan usai, begitulah.
Dua bangkar dorong dengan dua pasien berbeda, kedua bangkar sempurna tiba di ruangan berperalatan medis lengkap. Ruangan yang berbeda. Pintu di tutup, pasien dipasangi banyak belalai. Kedua korban sudah dalam keadaan tak sadarkan diri saat ditemukan, beruntungnya nyawanya masih bertahan.
Kardiograf tunjukkan garis-garis naik turun yang tak dimengerti. Kedua kondisi korban yang berbeda. Luka yang berbeda. Dan kisah yang berbeda. Dokter spesialis masuk ke dalam ruangan seorang korban wanita muda, seorang perawat membantu dokter memakai baju kedinasan birunya sebab si dokter telah melakukan syarat kebersihan higienis pada tangannya.
Sang dokter berjalan ke arah meja berperalatan silver, memakai sarung tangan karetnya sembari mengamati pasiennya. Seorang perawat memberi beberapa informasi.
"Kecelakaan pada rute cepat jalan tol layang. Dua puluh menit lalu dievakuasi." ujar perawat. "Pendarahan pada kepala. Mungkin diduga lantaran terpelanting dan terbentur terlalu keras di dalam mobil."
Dokter itu hanya diam terus pandangi wanita yang terbaring lemah, ia masih menangkap jelas gurat wajah tersiksa di sana. Dokter itu akhirnya mengangguk. Suasana panik begitu mendominasi.
Kardiograf terus berbunyi yang anehnya malah terasa memacu detak jantung siapapun yang mendengarnya. Terjebak dalam waktu yang sempit.
"Hubungi keluarganya segera." ujar dokter kembali.
Perawat itu menatap dokter dengan skeptis disertai balut gelisah. "Tak ditemukan identitas, Dok."
***
Saluran televisi sedang berseru-seru menayangkan jeda iklan suatu bursa perlengkapan rumah tangga. Pria sipit itu menoleh sesaat kala menyadari film aksi kesukaannya baru saja dijeda oleh pariwara aplikasi belanja daring, tangannya yang sibuk menyeduh teh terhenti sejenak, kini menatap layar besar televisi di ruang duduk.
Mendengus pelan, "Apa pula yang ditayangkan. Semua peralatan mulai harga sepuluh ribu?" pria sipit itu menggelengkan kepalanya. Mendecak. "Mereka hanya menjual barang gaib, menarik pengguna bodoh untuk mengunduh aplikasinya dan membuka promosi, alih-alih memang menjualnya dan para calon pembeli harus berebut dalam berapa waktu saja. Begitu pun banyak manusia bodoh mengira harga memang telah dipangkas."
Membawa tehnya keluar dari bar mini rumahnya, menyesap tehnya sembari mengambil remote televisi di atas meja serendah lutut dan kembali mendudukkan dirinya di sofa.
Kendati mengkal, tetap saja terpaksa menyaksikan iklan bodoh itu terus berseru-seru belu-belai yang trivia sembari menyesap teh panasnya sedikit demi sedikit. Kini pikiran pria itu mendadak melompat ke tempat lain.
Ditolehkannya kepala, menerawang ke luar jendela besar. Di luar, langit senja tengah kelabu. Orang dulu bilang itu pertanda buruk. Entah memang cuaca sedang ekstrem, akan datangnya hujan, atau memang semesta sedang ingatkan sesuatu yang penting. Ada pertanda rikuh yang sebabkan belenggu pada hati.
Ponselnya bergetar di atas meja serendah lutut. Mengambil cepat ponselnya. Mengangkat panggilan telepon dengan cekatan.
"Jo, Naya menghilang."
yang diseberang sana menjeda kalimatnya. Terdengar samar suara saliva yang ditelan kasar. Telepon juga terdengar sesekali bergemerisik tanda yang diseberang sana tengah dilanda kegusaran."Bagaimana bisa, Bu?" jawabnya kesusahan. Mendadak pria itu merasai adanya getir aneh.
Ada hela dengan tarikan napas yang terdengar basah, tergugu menahan tangis. "Gadis itu, dia menghilang setelah kami bertengkar hebat beberapa jam lalu. Gadis itu pergi mengemudi dalam keadaan kalut dan kacau.”
Jonathan menimpali, “Sudah coba mengubungi ponselnya?”
Yang diseberang sana meremat jemari, “Sudah. Ibu sudah menghubunginya, terakhir kali hanya ada satu pesan balasan, namun ketika Ibu kembali menghubungi nomornya, tidak aktif. Mungkin dia mematikan ponselnya. Ibu khawatir sekali, intuisi ini membuat ibu tidak tenang. Tolong, tolong, Jo. Jika Naya menghubungimu, tolong beri tahu ibu. Ibu benar-benar tidak tenang." paruh baya di seberang sana berkata cepat, tersirat kecemasan yang bukan hanya secara parsial.
Ia terdiam sejenak, mana mau gadis itu menghubunginya. Mustahil.
Sebelum menjawab, satu dehaman gugup lolos kala dirinya sadar bahwa panggilan telepon masih terus berlangsung, bahkan wanita paruh baya di ujung sana masih menunggu jawabannya dengan gurat wajah gusar."Baik, Bu. Akan kukabari bila Naya menghubungiku. Ibu istirahatlah."
Hanya terdengar jawaban standar dari suara serak basah yang ia dengar, setelah itu panggilan telepon usai begitu saja. Tidak ingin cepat-cepat mematikan ponselnya, segera ia cari nomor dalam kontak di ponselnya.
Calling Si Sadis Naya..
Menunggu beberapa jenak waktu, namun tak kunjung ada jawaban. Bahkan pun nomor teleponnya berada di luar jangkauan. Ia mulai merasa panik, Naya adalah tanggung jawabnya. Dalam dan di bawah pengawasan.
Segalanya akan menjadi runyam bila gadis itu pergi meski bukan untuk melarikan diri. Atau entahlah apa alasan dia pergi dan menghilang. Yang jelas, Naya harus tetap di Hamburg. Itu adalah syarat mutlak.
Jonathan ikut panik jujur saja.
"Kamu di mana, Nay." bergumam sendiri. Pakau dicencang situsi kompleks.
Ia kembali menelepon nomor yang sama setelah diputus operator begitu saja sebab tak ada jawaban. Kini ia putuskan untuk mengirim pesan suara. Berharap wanita itu akan mendengarnya nanti.
"Naya, ini aku Jonathan. Aku tahu kamu tidak peduli, tapi kamu di mana? Ibumu, semua orang mencemaskanmu. Jangan bertindak bodoh, Nay. Pulanglah, pukul aku semaumu, tapi jangan seperti ini."
Jonathan mengakhiri pesan suara dengan satu hela berat. Memikirkan gadis itu membuatnya jeri. Kembali hendak menyesap teh, tangannya mematikan ponsel. Sebelum ia sempat meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.
Ponselnya kembali berbunyi, gelembung pesan tampil dilayar kunci ponselnya. Ada satu pesan singkat masuk yang mencuri atensi, membuat si pria segera kembali mengangkat ponselnya tiga puluh senti dari jarak pandang.
FROM Ibu Naya
Jo, Naya ada di rumah sakit. Kecelakaan. Ada hal penting yang harus kubicarakan.Kelu lidahnya tanpa terniat. Otaknya bahkan tidak memercayai yang baru saja dia dapat dan cerna dari sebuah pesan kakao singkat. Tidak, pria bermata sabit itu tidak percaya.
Gadis itu masih baik-baik saja beberapa jam lalu kata ibu. Mereka memang bertengkar, tapi ini tidak mungkin, kan?
Mengacak rambutnya frustrasi, ia letakkan cangkir tehnya yang belum separuh diminum ke atas meja, membuat air kecokelatan itu beriak dan jatuh membasahi permukaan meja.
Terkesiap bukan main dan buru-buru bangkit, "Ya Tuhan. Kali ini kau terlalu hebat, Nay. Terlalu."
Awalnya hanya putih yang menusuk mata bahkan dikala matanya memejam. Mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan retina matanya lantaran sinar mentari menelisik celah tirai, ditutupinya dengan tangan berusaha menghalangi sinar di depan wajah. Kepalanya terasa nyeri, semua benda bahkan ruangan terasa berputar. Mengerjap setengah menyipit, matanya menyapu objek apapun yang dilihatnya dengan tatap sayu yang gamang. Butuh waktu yang hampir-hampir memualkan untuknya biasakan diri dari kepala yang pening. Rasanya ingin muntah seakan dijungkir-balikkan. Tetapi perlahan rasa pening kemualan itu sirna dan digantikan kebingungan baru. Kali ini adalah sebuah kamar seukuran 5x5 bercat putih. Kini tatapannya terarah pada tangannya sendiri, sembari membolak-balik tangannya dengan jarum infus dan sebuah belalai panjang dengan alat yang menjepit jari telunjuknya. Wanita itu menoleh kesana-kemari, lantas mengerang dan refleks menyentuh lehernya. Batang lehernya dipasang gips membuatnya tak leluasa ke
Suara televisi rumah sakit berdengung seperti lebah, Naya menatap sedikit terkejut pada berita dan saluran gosip di layar datar di sana. Seminggu berada di rumah sakit, merasa penat dengan kunjungan dokter dan rencana terapi, baru kali ini ia menyalakan televisi dan sekonyong saja menemukan banyak berita simpang siur tentangnya disiarkan. Ia tahu itu hanya untuk pemancing pemirsa. Bahkan tak ayal membuat judul yang begitu heboh seakan itu benar. Tetapi ini sungguh memuakkan. Naya adalah seorang model. Ia bergabung dengan salah satu agensi besar yang menaungi para artis, aktor, dan model sekitar enam tahun lalu. Kala itu usianya masih 22 tahun dan masih menempuh studi di salah satu universitas kenamaan, awalnya mengambil jurusan ekonomi namun tak menyangka awal dari terpilihnya dia menjadi gadis sampul malah membawanya pada kesuksesan. Setidaknya ingatan baik yang satu itu tidak hilang dari kepala Naya. Maka dari itu, sebenarnya ia tak lagi terkejut dengan berita, gosip, wartawan,
Halo, ini Ich! Sebelumnya terima kasih sudah mau membaca notes ini. Sebelum masuk lebih jauh ke dalam cerita. Seperti empat chapter sebelumnya yang sudah kamu baca, aku ingin memberi tahu bahwa di sini ada dua pasang tokoh: Jonathan Grease dan Naya Oswald serta Yuga dan Ichi. Tentunya, dari sini point of view akan menyesuaikan alur cerita. Aku ngga akan membuat kamu bingung, jadi akan aku usahakan untuk membuat ini semudah mungkin untuk dipahami. Aku juga berharap kalian bisa memahami kode kode implisit yang berusaha aku sisipkan di dalam alur. Semoga transisi dan pergantian sudut pandang antartokoh di cerita ini tidak membuat kalian bingung ya. Dan semoga ceritanya tidak membosankan hahaha. Terima kasih, enjoy!
Aku dan mata sabitmu.Izinkan aku melayang bersama mereka—ialah ribuan asa dan harapan yang diludahkan ke hampanya udara, tanpa tersentuh iba, dari partikel kecil yang manusia sebut sebagai ... dosa.Ludahi aku juga bila kau rasa naif ini hanyalah racun.*Dulu ia enggan percaya pada setiap alasan apapun. Pikirnya, seseorang yang alami ‘masalah berkelas’ hanya tengah coba cari-cari alibi tolol, setidaknya yang mampu dijangkau bagi otak sempit yang berpredikat sebagai akal sehat manusia.Padahal tak ayal, hanya lempar dan salahkan hal lain demi sempurna menutupi atau entah pun mengelak pada suatu hal berdosa yang ia lakukan, semata dilakukan guna cuci tangan dari segala perkara yang mendera.Para naif yang terjebak dengan masalah berkelas ini misalnya, mereka hanya sekadar ingin keluar dari rumah lantaran didera bosan atau barangkali penat menghadapi setiap omelan orang tua.Semacam alih-alih berkata bahwa pertengkaran, kedisharmonisan, kasih-sayang yang tak adil, dan alasan klise labi
Halo, ini Ich! Sebelumnya terima kasih sudah mau membaca notes ini. Sebelum masuk lebih jauh ke dalam cerita. Seperti empat chapter sebelumnya yang sudah kamu baca, aku ingin memberi tahu bahwa di sini ada dua pasang tokoh: Jonathan Grease dan Naya Oswald serta Yuga dan Ichi. Tentunya, dari sini point of view akan menyesuaikan alur cerita. Aku ngga akan membuat kamu bingung, jadi akan aku usahakan untuk membuat ini semudah mungkin untuk dipahami. Aku juga berharap kalian bisa memahami kode kode implisit yang berusaha aku sisipkan di dalam alur. Semoga transisi dan pergantian sudut pandang antartokoh di cerita ini tidak membuat kalian bingung ya. Dan semoga ceritanya tidak membosankan hahaha. Terima kasih, enjoy!
Suara televisi rumah sakit berdengung seperti lebah, Naya menatap sedikit terkejut pada berita dan saluran gosip di layar datar di sana. Seminggu berada di rumah sakit, merasa penat dengan kunjungan dokter dan rencana terapi, baru kali ini ia menyalakan televisi dan sekonyong saja menemukan banyak berita simpang siur tentangnya disiarkan. Ia tahu itu hanya untuk pemancing pemirsa. Bahkan tak ayal membuat judul yang begitu heboh seakan itu benar. Tetapi ini sungguh memuakkan. Naya adalah seorang model. Ia bergabung dengan salah satu agensi besar yang menaungi para artis, aktor, dan model sekitar enam tahun lalu. Kala itu usianya masih 22 tahun dan masih menempuh studi di salah satu universitas kenamaan, awalnya mengambil jurusan ekonomi namun tak menyangka awal dari terpilihnya dia menjadi gadis sampul malah membawanya pada kesuksesan. Setidaknya ingatan baik yang satu itu tidak hilang dari kepala Naya. Maka dari itu, sebenarnya ia tak lagi terkejut dengan berita, gosip, wartawan,
Awalnya hanya putih yang menusuk mata bahkan dikala matanya memejam. Mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan retina matanya lantaran sinar mentari menelisik celah tirai, ditutupinya dengan tangan berusaha menghalangi sinar di depan wajah. Kepalanya terasa nyeri, semua benda bahkan ruangan terasa berputar. Mengerjap setengah menyipit, matanya menyapu objek apapun yang dilihatnya dengan tatap sayu yang gamang. Butuh waktu yang hampir-hampir memualkan untuknya biasakan diri dari kepala yang pening. Rasanya ingin muntah seakan dijungkir-balikkan. Tetapi perlahan rasa pening kemualan itu sirna dan digantikan kebingungan baru. Kali ini adalah sebuah kamar seukuran 5x5 bercat putih. Kini tatapannya terarah pada tangannya sendiri, sembari membolak-balik tangannya dengan jarum infus dan sebuah belalai panjang dengan alat yang menjepit jari telunjuknya. Wanita itu menoleh kesana-kemari, lantas mengerang dan refleks menyentuh lehernya. Batang lehernya dipasang gips membuatnya tak leluasa ke
Sirene ambulans meraung ganas, memasuki pekarangan kelewat terburu. Ini entah ambulans yang ke berapa. Dua perawat bergegas turun dari mobil, disusul dengan beberapa perawat jaga lain berlari menghampiri dari belakang. Bangkar serta dua roda depan diturunkan, disusul dengan dua roda lainnya di bagian belakang bangkar. Sedari tadi, bahkan sebelum ambulans ini datang, dari banyak ambulans lain sebelumnya, para korban berlumuran darah telah menjadi pusat perhatian mengenaskan. Beberapa di antara pengunjung rumah sakit membekap mulutnya sendiri demi menyaksikan kengerian manusia-manusia yang berlumuran darah dan memar parah dari peliknya kejadian beruntun. "ICU! ICU! Pasien gawat kecelakaan!" Para perawat menggiring dua bangkar yang tiba dari ambulans menuju ruangan ICU, kepanikan jelas kentara di langit-langit gedung beraroma disinfektan yang terlampau menyengat. Dua dokter spesialis ikut berlari memburu waktu yang sudah laiknya bom, bila terlambat maka akan usai, begitulah. Dua bang
Aku dan mata sabitmu.Izinkan aku melayang bersama mereka—ialah ribuan asa dan harapan yang diludahkan ke hampanya udara, tanpa tersentuh iba, dari partikel kecil yang manusia sebut sebagai ... dosa.Ludahi aku juga bila kau rasa naif ini hanyalah racun.*Dulu ia enggan percaya pada setiap alasan apapun. Pikirnya, seseorang yang alami ‘masalah berkelas’ hanya tengah coba cari-cari alibi tolol, setidaknya yang mampu dijangkau bagi otak sempit yang berpredikat sebagai akal sehat manusia.Padahal tak ayal, hanya lempar dan salahkan hal lain demi sempurna menutupi atau entah pun mengelak pada suatu hal berdosa yang ia lakukan, semata dilakukan guna cuci tangan dari segala perkara yang mendera.Para naif yang terjebak dengan masalah berkelas ini misalnya, mereka hanya sekadar ingin keluar dari rumah lantaran didera bosan atau barangkali penat menghadapi setiap omelan orang tua.Semacam alih-alih berkata bahwa pertengkaran, kedisharmonisan, kasih-sayang yang tak adil, dan alasan klise labi