"Pokoknya awas kalau kamu gak bayar ya, Wid. Uang kamu di aku bukan cuma ratusan ribu, tapi jutaan! 4 juta itu bukan daun singkong. Daun singkong aja gak gratis!" Terdengar suara seorang wanita mengamuk di depan rumah mewah Mbak Widya. Aku ke mari berkunjung karena katanya Mbak Widya sakit. Baik atau buruknya dia, aku harus tetap ada perhatian. Dia satu-satunya saudaraku. Kalau sakit, ya aku tengok. Dapat kabar dari tetangga Mbak Widya yang sering jajan ke tempat kerjaku."Timbang uang segitu juga ngomel! Nanti kalau investasi aku berhasil, kubayar lebih!" angkuhnya terdengar ke mari. Aku belum mau mendekat, takutnya aku iba dan malah bayarin. Ogah ah, niat aku cuma jenguk. Benar saja, wajah Mbak Widya kurang glowing. Dia teramat pucat seperti mayat dua hari tidak makan dan minum.Nur, kapan mayat makan dan minum? Sableng kamu! Batinku cekikikan."Halah, investasi, investasi. Investasi daun singkong atau daun kelor? Kamu janji-janji sudah beberapa hari sampai aku tagih kemari karena
"Saya kemari mau menagih hutang Mbak Widya yang sudah menunggak selama dua Minggu. Saya menagih karena uang Mbak Widya itu besar. Mbak Widya seminggu setor ke saya dua ratus ribu. Jadi kalau Mbak Widya 2 minggu tidak setor artinya uang saya di Mbak Widya itu sudah empat ratus ribu. Saya sekarang mau minta bayarannya."Degh!Hutang dan hutang lagi ternyata. Pria yang aku pikir selingkuhannya Mbak Widya ternyata datang untuk menagih hutang entah bekas apa.Dari celah aku melihat wajah Mbak Widya semakin pucat. Aku juga menyingkirkan diri sejenak karena sepertinya Dia melihatku yang berada di sini mengintainya. Kuharap tidak kelihatan dan dia berpikir hanya bayangan saja."Aduh, Bang, saya benar-benar minta maaf. Saya baru bisa bayarnya mungkin bulan depan. Saya lagi kena musibah, Bang. Lihat saja saya saat ini sedang sakit. Tapi suami saya masih bekerja dan nanti akan saya lunasi ya. Ketimbang satu juta dua ratus doang. Itumah kecil. Abang kan tahu bagaimana saya, dan kalau saya bayar i
"Mbak, di rumah ada yang cari Mbak Nur. Ini katanya mau nagih utang.""Hah?"Aku kaget saat mendengar di kejauhan sana suara Laras. Setelah aku tanya pasti yang datang adalah yang menjual kontrakan, ternyata bukan. Katanya dia datang perwakilan dari pinjaman online yang nunggak. Astaga! Kapan aku pinjam online?Tak banyak berpikir lagi aku segera menuju ke rumah. Di sana sudah ada orang menunggu yang kehadirannya Laras pertanyakan. Saking penasarannya, tidak memakan waktu lama diriku sudah tiba. Si Abang tukang ojek kusuruh ngebut dengan kecepatan kuda kebelet pipis. Ah, sudahlah, jangan bercanda."Assalamualaikum!" sahutku di rumah sendiri. Masuk melewati pintu sudah ada Laras dan satu orang pria dengan dandanan rapi. Ini sudah pukul empat. Kalau dia tukang nagih online, kenapa di luar jam kerja? Atau memang jam segini juga bisa?Laras dan pria itu menoleh diiringi jawaban salam. Aku yang masih bingung pun ikut duduk saja dan segera bertanya. Eh, tapi sudah keduluan. "Saudari Nur?" t
Dan aku melihat ada keanehan. Pria itu jadi sedikit gugup. Apa dia takut? Aku sama sekali tidak pernah melakukan pinjaman online jadi tidak tahu bagaimana prosedurnya. Jadi memang hanya kirimkan identitas KTP saja kah?"Maaf, saudari Nur telah melanggar etika sebagai peminjam. Jika anda mengancam seperti ini kami juga bisa mengancam balik dan kami sudah memiliki pengacara yang lebih handal. Anda bisa balik terjebloskan ke penjara." Mendengar penjelasannya barusan aku juga sampai meneguk liur kaget. Bagaimana kalau sampai benar aku di penjara. Ah, tapi aku sama sekali tidak pernah melakukan pinjaman ini. Laras yang ada di dekatku pun kini kaget. Apakah Laras tahu menahu tentang pinjaman online? Apa memang semudah itukah mengirimkan identitas seseorang untuk meminjam?"Mbak, ntar saya cari tahu dulu ke teman saya yang suka pinjam online, ya." Laras berbisik dan langsung lari. Sepertinya dia ragu kalau apa yang dikatakan oleh pria ini hanya sebuah omong kosong dan penipuan. tapi kalau
"Oke, silahkan! Tapi anda harus buktikan dan tunjukkan dulu mana foto verifikasi KTP beserta wajahnya Mbak saya. Bukankah saat meminjam online kami mengirimkan identitas lalu diminta identitas dan juga wajah yang asli sama dengan identitas tersebut?" Lantang Laras bertanya lagi.Lah, apa yang dia katakan barusan benar-benar tidak pernah aku mengerti. Maksudnya apa?"Ras?" Aku menegurnya. Dia hanya mengedipkan sebelah bola matanya bermaksud aku harus diam."Saya tadi sudah memperlihatkan semua dokumen-dokumen yang terkait. Tidak ada hak Anda untuk meminta kembali untuk ke sekian kalinya!" Lah, pria itu seperti berdalih!"Maaf, kalau anda tidak bisa membuktikan verifikasi wajah beserta wajah asli si pemilik identitas, itu artinya Anda hanya datang untuk menipu Mbak saya. Dan ingat penipuan seperti ini akan dihukum minimal 5 tahun penjara. Ini bisa masuk ke dalam kasus penipuan. Bagaimana?" Aku kaget dengan cara bicara Laras yang memang sepengetahuanku dia bukan sekolah jurusan hukum. "
Tiba-tiba Menul datang tanpa sepengetahuanku seperti biasanya. Dia menertawakan mantan mertuaku itu. Aku pun menegurnya memperingatkan supaya tidak terlalu tertawa seperti itu. Apa dia mau kemasukkan lalat mulutnya itu?"Hahaha. Tapi aku punya kabar yang pasti bikin kamu terkejut, Nur!" tuturnya setelah jarak kami semakin dekat.Berita yang mengejutkan tentang apa? Batinku rusuh."Berita apaan?" Aku bertanya dengan heran. Langsung kubawa Menul duduk di dalam. Dia suka riweuh."Aduh, jangan tarik-tarik, Nur!" protesnya, karena tangannya masih kutarik untuk duduk."Ada apa? Berita apa? Apa BLT cair? Aku gak dapat, Nul. Mungkin gak didata sama RT jaman dulu. Haha!" Aku malah berseloroh."Hush!" Dia menimpuk tanganku, "bukan!" sergahnya."Lalu apaan? Tarif BPJS turun kah? Hihi!" komentarku lagi.Dia lagi malah menepuk tangan ini. "Bukan! Jangan bahas soal gituan. Gak akan terjadi, yang ada kepala mumet, Nur! Jangan ngarep dikasih pemerintah. Gak kekasih nyesek! Ini soal mbakmu! Mbak Widya
Aku hampir loncat. Niat menghindari bertemu seseorang, tapi karena memperhatikan pasangan selingkuhan barusan, aku jadi kecolongan. Mbak Widya sudah berdiri kokoh di hadapanku saat ini. Gagal untuk menghindar. Hadeuh, malas!"Mbak?" kagetku.Dia menyunggingkan bibir. "Jangan kaget begitu. Aku biasa belanja di toko. Lah kamu, ngapian ke mari? Mentang-mentang banyak uang karena bisa kerja. Hemh!" omelnya dengan tatapan seperti biasa.Sebelum menjawab kutatapi sekujur tubuhnya. Perut buncit, lalu dia pakai busana minim sekali. Mencetak seperti cetakan kue putri ayu. Bahkan perut bawahnya terlihat."Mau beli apa kamu? Sejak kapan kamu keluar pakai jilbab rapi! Biasanya pakek daster lusuh!" protesnya. Dia seperti tak suka dengan gayaku sekarang.Memang sudah beberapa Minggu ini aku berubah mengenakan hijab. Meski belum di rumah sepenuhnya juga pakai, tapi saat keluar sekarang aku dihijab. Biasanya hanya pakai baju rapi saja, lalu rambut diikat bawah. Bayangkan bagaimana aku dulu."Aku ke s
Nur! Sebentar, jangan dulu pulang!" pintanya. Aku pun mendekat lagi ke arahnya yang kini duduk angkuh menyender ke stang motor.Namun, tiba-tiba ada perempuan yang dengan lantanh berteriak memanggil nama Mbak Widya."Eh, Widya?"Kami berdua menoleh. Entah siapa perempuan itu karena sekarang Mbak Widya wajahnya dipasang panik. Aku sedikit heran, pasti ada masalah.Mbak Widya yang tadi ada niat bicara denganku pun sekarang malah ambil helm lalu mengenakannya rusuh."Widya, tunggu!" Wanita itu menyergah Mbak Widya yang sepertinya akan kabur naik motor matic barunya. Ada apa ini? Apa Mbak Widya memintaku diam untuk melihat sebuah drama?"Tolong kembalikan uang saya sekarang juga. Saya mau pakai buat anak saya bayar uang study tour. Cuma 500 ribu ini. Dan kamu katanya baru beli motor baru! Mana uang saya? Beli motor saja bisa. Hemh!" Teguran wanita paruh baya itu membuatku kaget. Kalau Mbak Widya sudah jangan ditanya. Dia teramat panik. Hutang lagi?"Bu, saya gak bawa uang banyak! Saya ua
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa