Aku hampir loncat. Niat menghindari bertemu seseorang, tapi karena memperhatikan pasangan selingkuhan barusan, aku jadi kecolongan. Mbak Widya sudah berdiri kokoh di hadapanku saat ini. Gagal untuk menghindar. Hadeuh, malas!"Mbak?" kagetku.Dia menyunggingkan bibir. "Jangan kaget begitu. Aku biasa belanja di toko. Lah kamu, ngapian ke mari? Mentang-mentang banyak uang karena bisa kerja. Hemh!" omelnya dengan tatapan seperti biasa.Sebelum menjawab kutatapi sekujur tubuhnya. Perut buncit, lalu dia pakai busana minim sekali. Mencetak seperti cetakan kue putri ayu. Bahkan perut bawahnya terlihat."Mau beli apa kamu? Sejak kapan kamu keluar pakai jilbab rapi! Biasanya pakek daster lusuh!" protesnya. Dia seperti tak suka dengan gayaku sekarang.Memang sudah beberapa Minggu ini aku berubah mengenakan hijab. Meski belum di rumah sepenuhnya juga pakai, tapi saat keluar sekarang aku dihijab. Biasanya hanya pakai baju rapi saja, lalu rambut diikat bawah. Bayangkan bagaimana aku dulu."Aku ke s
Nur! Sebentar, jangan dulu pulang!" pintanya. Aku pun mendekat lagi ke arahnya yang kini duduk angkuh menyender ke stang motor.Namun, tiba-tiba ada perempuan yang dengan lantanh berteriak memanggil nama Mbak Widya."Eh, Widya?"Kami berdua menoleh. Entah siapa perempuan itu karena sekarang Mbak Widya wajahnya dipasang panik. Aku sedikit heran, pasti ada masalah.Mbak Widya yang tadi ada niat bicara denganku pun sekarang malah ambil helm lalu mengenakannya rusuh."Widya, tunggu!" Wanita itu menyergah Mbak Widya yang sepertinya akan kabur naik motor matic barunya. Ada apa ini? Apa Mbak Widya memintaku diam untuk melihat sebuah drama?"Tolong kembalikan uang saya sekarang juga. Saya mau pakai buat anak saya bayar uang study tour. Cuma 500 ribu ini. Dan kamu katanya baru beli motor baru! Mana uang saya? Beli motor saja bisa. Hemh!" Teguran wanita paruh baya itu membuatku kaget. Kalau Mbak Widya sudah jangan ditanya. Dia teramat panik. Hutang lagi?"Bu, saya gak bawa uang banyak! Saya ua
[Jadi gimana jawabannya, Dek? Apa Dek Nur mau jadi istri Mas Aryo? Mas serius! Mas tidak sedang bercanda. Hanya saja ya itu, Mas bukan orang kaya.]Malam hari saat Mas Aryo dan aku saling berkirim pesan, ada pesan barusan di akhirnya. Waktu itu aku belum menjawab, karena kalau menolak, jujur aku juga lumayan tertarik padanya.Aku ragu harus menjawab. Tapi ini lebih ke rasa malu. Bersiap untuk mengetik, aku pun berkali-kali mengatur pernapasan supaya tidak salah menuliskan.[Begini saja, kalau Mas serius, datang saja ke rumah. Hehe]TerkirimBerkali-kali aku sudah menepuk kening dengan mengutuk diri sendiri. Kenapa kamu lancang membalas begitu? Bagaimana kalau benar dia datang ke mari untuk melamar?Dengan cekatan Mas Aryo membalas lagi. Aku sudah tak enak duduk dan kedua tangan memegang HP pun malah getar-getar. Ini begitu grogi. Sampai-sampai mataku tidak membuka dan belum bisa mengintip apa isi pesannya.Eh, tapi aku salah. Bukan pesan dari Mas Aryo yang datang, tapi ini malah pesan
"Hah, Mas Aryo?" Aku terkaget-kaget dari atas sini. Si manik mata ini tidak salah lihat. Di sana ada Mas Aryo yang duduk rapi dan ada Laras yang wara-wiri menyiapkan suguhan kecil-kecilan.Sejak kami berkirim pesan malam itu dan tidak ia balas, aku merasa Mas Aryo hanya bercanda dan menganggap angin lalu. Lalu, sekarang di ada di sini dengan sepasang perempuan dan laki-laki paruh baya.Aku sudah tak enak hati. Tangan seperti kebas dan kesemutan dengan maksud kedatangan mereka. Degupan jantung ini setelah diselidiki lebih cepat dari detikkan jarum jam. Apa yang salah? Kenapa aku berasa begini?"Sebentar ya, Mas, Bu, Pak," ucap Laras ramah. Dia mengarah ke mari untuk naik ke atas tangga.~Aku langsung lari kembali ke kamar berpura-pura masih berkutat memakai pakaian ini. Aku juga sebelumnya segera minum segelas air biar sedikit tenang.Di situasi seperti ini ada panggilan masuk dan deretan chat dari orang yang kurang waras. Aku langsung memblokir nomornya. Dasar tidak punya muka!Tok
"Jadi, kapan tanggal pernikahannya, Budhe? Laras juga mau siap-siap."Aku kaget dengan tanggapan Laras. Jelas kutegur dia. "Eh!"Laras malah nyengir. "Mbak, kalau diam itu tandanya terkesima dan tersanjung. Iya 'kan?"Hadeuh, anak ini bisa saja buat aku jadi salah tingkah. Kurang ajar, pikiranku sekarang malah terus menyebut nama Mas Aryo. Hati juga malah sudah tersugesti.Namun, di tengah-tengah kediaman kami saat aku yang terlihat sangat memendam kegugupan dan rasa malu, tiba-tiba muncul sesosok perempuan yang kini tidak mengetuk pintu. Tatapanku menajam ke arah pintu.Sepertinya dia nyelonong masuk saat pintu pagar masih membuka lebar."Eh, ada apa ini?" Mbak Widya kaget melihat ada mantan suami dan juga mantan Pakde–Budeknya. Aku sudah sadar akan kedatangannya sejak awal. Tapi keluarga Mas Aryo nampak kaget melihat Mbak Widya datang. "Widya?" Budhe yang amat tercengang."Kalian lagi ngapain?" Mbak Widya nyosor pertanyaan tanpa mengucap salam sambil nyelonong masuk. Mas Aryo meli
"Eh, apaan kamu sih, Mas? Kamu maksudnya ingin memanas-manasi aku? Kamu belum move on sehingga kamu lebih memilih Nur dibanding wanita lain? Ini unsur disengaja 'kan?"Mendengar apa yang diucapkan oleh Mbak Widya tiba-tiba perasaan yang awalnya terenyuh pun kini seakan tahu diri. Iya, apa itu alasan Mas Aryo memilih wanita seperti aku? Secara logika, kenapa bisa ia tidak memilih wanita lain dan lebih memilihku?"Sama sekali apa yang kamu katakan itu tidak ada dalam kamus lamaranku terhadap adikmu, Wid," kata Mas Aryo lembut tapi masih menatap diriku. Dia tidak bicara sambil memandang Mbak Widya meski dia sedang menanggapi perempuan itu. Bagaimana bisa hati ini plin-plan dan kini tidak tahu diri lagi. Tadi aku sudah malu, namun sekarang tatapannya membuatku meleleh. Apalagi binar bola matanya seperti orang yang tidak sedang menyimpan kebohongan. Andai di sini ada pakar ekspresi, pasti aku akan meminta bantuan untuk mengartikannya."Jangan gila kamu, Mas, dia adikku! Mana bisa kamu begi
PoV WidyaDatang ke rumah aku langsung menggerutu kesal habis-habisan. Mana bisa tadi si Aryo melamar si Nur, mantan adik iparnya, di hadapanku pula. Dia sungguh keterlaluan. Aku semakin yakin, kalau Aryo susah move on sehingga dia mengambil Nur demi mendekatiku lagi. Sudah yakin 1000%. Tapi kenapa dia tidak bilang langsung saja padaku? Ya, tapi pasti akan aku tolak. Tidak mungkin aku menceraikan si Panjul, apalagi keadaanku sedang hamil. Secara sepertinya kerjaan dia sudah gak jelas.Nur benar-benar bod*h. Andai dia menerima, pasti dia akan sakit hati ke sekian kalinya. Apalagi sekarang dia sok bergaya ngartis. Baju yang ia pakai tidak kumal dan dekil seperti dulu. Ternyata dia ingin juga tampil beda. Dasar cewek dekil! Kalau dekil, ya dekil saja.Kuacak rambut kepala setelah membanting tas ke atas kasur. Lalu berjalan ke arah cermin memandangi tubuh yang sebentar lagi tak akan indah seperti ini terus. Pasti aku gendut dan bentuknya tak beraturan. Harkh, andai bukan untuk mendapatkan
"Siapa yang ngontrak?" tanyaku penasaran.Si Fitri simpan HP di meja lalu dia menjawab, "itu, si Lastri. Dia 'kan baru pindah dari rumah mertuanya. Nyari kontrakan di daerah sini, karena ada iklan kontrakan kosong. Kamu mau ikut ke sana? Kita hampiri dia!" "Oh si Lastri teman SD kamu itu, Fit?" "Iya, dia. Dia katanya mau ajakin kita ngerujak. Mau gak? Kamu 'kan lagi bunting! Enak lho ngerujak, seger!" serunya. Hinggga akhirnya kami pun pergi dengan sepeda motorku yang masih cicil ini. Si Fitri tahunya aku beli cash. Gengsi kalau bilang nyicil.~~POV Widya"Di sini kontrakannya? Bukannya ini sudah gak bisa dihuni ya? Halamannya kotor banget waktu itu. Kayak Beberapa tahun gak ditempatin!" ejekku dengan angkuh. Ini adalah kontrakannya Lastri, teman si Fitri. Sebenarnya aku juga kenal, hanya tak akrab.Kami sudah tiba 10 menit yang lalu."Heem, ini kontrakan aku. Apa kabar, Widya? Lagi hamil ya? Perut kamu buncit," tutur Lastri sembari membawa buah-buahan untuk dirujak, dan juga ule
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa