PoV Nur***"Nur, asyik banget. Abang ada perlu sama kamu!"Degh!Di sela-sela perselorohan antara aku dan Menul, tiba-tiba muncullah seorang pria yang membuat mataku membola. Si Menul saja sampai kaget. Ada apa lagi dia datang? Apalagi ini dalam suasana ramai. Ah, mau cari mati kah?"Bang Panjul, ngapain?" protes si Menul. Aku melihat dari raut wajahnya dia sama sekali tak suka dengan kedatangan pria ini. Aku juga sama, tidak suka sama sekali."Aku mau bicara sama kamu, Nur!" ujarnya lagi dengan nada yang agak naik. Bola matanya tidak berhenti tatap sana dan tatap sini. Apa dia aneh dengan tempat kerjaku ini?"Halah, sepertinya mau minjem duit, Nur!" celetuk si Menul lagi. Aku pun hanya diam tanpa menanggapi si Bang Panjul."Diam kamu gentong minyak!" hujat si Bang Panjul pada si Menul. Dia sok iye. Ngomong-ngomong, pelangganku yang sedang duduk menikmati makan siang pun sama gendutnya. Semoga tidak tersinggung.Si Menul pun tak diam. "Enakkan aku gentong minyak. Itu tandanya aku se
PoV Nur**"Huhah, huhah, ayok bayar 128 rebu. Es teh manisnya 4 gelas. 4 kali 5 rebu. Terus kerupuknya tadi habis 10 rebu. Jadi total 158 rebu. Ayok bayar!" Aku menagih janjinya yang akan membayar si pelanggan tadi."Hah? Kira-kira dong, Nur. Kamu namanya memeras aku. Mana mungkin dia makan segitu. Dia bukan buto ijo!" Dia malah berdalih."Heh, Bang, dia itu memang segitu makannya. Saya dekat dengan rumah dia. Ayok bayar!" Pria di sana membela dan meminta si Panjul langsung bayar. Untung saja ada saksi. Haha."Eh, tapi …." Si Bang Panjul keteteran."Jangan tapi-tapian, ayok bayar!" gertakku."Nur, sini, kita bicara dulu!"Dia malah menarik tanganku sampai keluar kedai. Orang-orang di sana pun heran. Aku memaksa supaya dia lepaskan tarikan tangannya. "Lepaskan!""Eh, Nur. Jangan berontak kenapa. Kita bisa bicara baik-baik. Abang bayar 30 ribu dulu, ya. Abang gak ada uang. Abang belum gajian. Gajian baru Minggu depan!" Dia mengelak."Enak saja. Pelangganku tadi sudah lari, dan itu gara
Panjul PoV*"Bang, kata temanku, dia lihat kamu di sebuah warung di perbatasan kota dekat yang mau ke arah jalan tol. Kamu ngapain, Bang? Jam 2 siang lagi. Kamu ngapain? Proyek di sana?" Widya menyergapku yang sedang duduk santai menikmati kopi hitam buatan sendiri. Karena dia tidak pernah membikinkanku kopi kalau tidak sedang manja-manjaan. Aku sudah biasa. Aku langsung tercengang dengan pertanyaan darinya barusan. Apa yang dia duga? "Maksudnya kamu apa, Sayang?" tanyaku langsung berdiri dan memegang kedua tangannya. Tak kulupakan senyum manis terpaksa ini supaya dia suka."Maksudnya, ada temanku yang suka arisan bilang kalau lihat kamu lagi duduk-duduk santai di warung sana. Di dekat yang mau masuk gerbang tol itu. Tapi kamu ngapain, Bang? Bukannya jam segitu kamu kerja di kota ya? Atau ada proyek di sana?" Dia mengulang lagi pertanyaan. Mungkin dipikirnya aku belum jelas mendengar, padahal sudah jelas dan paham. Hanya bingung ingin menjawab apa karena itu memang benar. Aku seri
PoV Panjul**"Eh, Bang, hari ini aku mau ke arisan. Uang yang kemarin tinggal sedikit. Besok aku minta lagi. Cicilan ke si Engkoh sudah Abang yang handle ya. Kalau gitu Widya berangkat dulu!" pamitnya tanpa beban. Sedang aku di sini mikir, dari mana cari uang untuk tutupi kebutuhan. Masak iya harus gali lobang tutup lobang terus!"Eh, eh, eh, mau ke mana kamu, Wid?"Baru saja akan duduk lagi, terdengar suara ibu yang menegur istriku yang molek dan cantik itu. Tak menunggu lama aku langsung bangkit dan lari ke sumber suara."Apaan sih, Bu! Widya mau nyalon. Ibu mau ikut? Tapi maaf, gak ada jatah. Minta dulu aja uangnya sama anak Ibu!" sungut Widya menanggapi ibuku. Ternyata beda sekali dengan Nur. Harkh, apaan! Jelas Widya lebih dari segalanya. Mainnya juga dia lihai. Apalagi saat aku sogok dia dengan uang yang merah-merah. Semalaman dia sanggup di atas. Huwh …"Nyalon, nyalon! Sekali-kali pas Ibu ke sini lihat kamu itu lagi beberes atau lagi msak. Malah nyalon! Hemh!" sinis Ibu."Ah,
POV PanjulSialan! Si Bang Tompel malah datang ke rumah. Untung Widya sedang nyalon, jadi mereka tidak ketemu di sini. Aku ketar-ketir karena dia nagih, tapi alhamdulillah masih bisa diberi waktu."Baik, gue kasih waktu satu bulan sampai akhir bulan depan. Ingat, kalau gak ada bulan depan, kunci gue tarik!" ancamnya dengan wajah sangar. Dia itu makelar sewa, wajahnya seperti genderuwo dan rambutnya ikal dikuncir di belakang. Ih!"Baik, Bang, baik. Saya ini punya kerjaan tetap. Abang jangan khawatir. Saya baru beli furniture, Bang, maaf ya, Bang!" Dia langsung pergi tanpa mau tawar menawar lagi. Aku saja bicara sendiri seperti orang gila tak ia ladeni. Sudah pasti bulan depan aku digusur. Huwh, hari ini masih bisa mengelus dada. Entah kalau bulan depan. Sialan!"Eh, Abang? Tadi orang siapa? Preman, ya? Wajahnya serem. Ngapain dari sini?"Seperti dikagetkan petir di siang bolong. Sejak kapan Widya sudah berdiri di hadapanku? Wajah dan rambutnya masih sama seperti saat dia pergi. Apa ga
PoV Nur*"Apa? Mas Aryo berniat menjadi calon suami, Mbak Nur?" Laras terkejut mendengar ceritaku sekaligus curhatan barusan.Aku manggut-manggut pelan dengan ragu. "Tapi Mbak belum kasih jawaban. Hanya Mbak seperti diambang menolak. Soalnya Mbak masih trauma. Takut kalau Mas Aryo itu ingin manfaatkan Mbak saja seperti yang sebelum-sebelumnya."Laras kini tertegun menatap dasar lantai. Aku hanya diam melamun memikirkan kenapa Mas Aryo bilang begitu padaku. Kenapa tidak perempuan lain? Apa karena aku banyak harta warisan."Lalu Mas Aryo bilang apa lagi, Mbak?" tanya Laras lagi. Dia seperti penasaran dengan kelanjutannya."Kelanjutannya ya?" tanyaku.Dia manggut-manggut histeris."Bersambung dulu deh, Ras. Episode akan lanjut nanti, ya," jawabku berkelakar.Laras geleng-geleng kepala. "Astaga, Mbak. Serius dong Mbak ah!" Dia protes.Aku nyengir. "Hihi. Ya gitu, Ras. Terus katanya Mas Aryo bilang, dia memberanikan diri karena hatinya susah dipaksakan bila harus memilih yang lain. Dia se
"Pokoknya awas kalau kamu gak bayar ya, Wid. Uang kamu di aku bukan cuma ratusan ribu, tapi jutaan! 4 juta itu bukan daun singkong. Daun singkong aja gak gratis!" Terdengar suara seorang wanita mengamuk di depan rumah mewah Mbak Widya. Aku ke mari berkunjung karena katanya Mbak Widya sakit. Baik atau buruknya dia, aku harus tetap ada perhatian. Dia satu-satunya saudaraku. Kalau sakit, ya aku tengok. Dapat kabar dari tetangga Mbak Widya yang sering jajan ke tempat kerjaku."Timbang uang segitu juga ngomel! Nanti kalau investasi aku berhasil, kubayar lebih!" angkuhnya terdengar ke mari. Aku belum mau mendekat, takutnya aku iba dan malah bayarin. Ogah ah, niat aku cuma jenguk. Benar saja, wajah Mbak Widya kurang glowing. Dia teramat pucat seperti mayat dua hari tidak makan dan minum.Nur, kapan mayat makan dan minum? Sableng kamu! Batinku cekikikan."Halah, investasi, investasi. Investasi daun singkong atau daun kelor? Kamu janji-janji sudah beberapa hari sampai aku tagih kemari karena
"Saya kemari mau menagih hutang Mbak Widya yang sudah menunggak selama dua Minggu. Saya menagih karena uang Mbak Widya itu besar. Mbak Widya seminggu setor ke saya dua ratus ribu. Jadi kalau Mbak Widya 2 minggu tidak setor artinya uang saya di Mbak Widya itu sudah empat ratus ribu. Saya sekarang mau minta bayarannya."Degh!Hutang dan hutang lagi ternyata. Pria yang aku pikir selingkuhannya Mbak Widya ternyata datang untuk menagih hutang entah bekas apa.Dari celah aku melihat wajah Mbak Widya semakin pucat. Aku juga menyingkirkan diri sejenak karena sepertinya Dia melihatku yang berada di sini mengintainya. Kuharap tidak kelihatan dan dia berpikir hanya bayangan saja."Aduh, Bang, saya benar-benar minta maaf. Saya baru bisa bayarnya mungkin bulan depan. Saya lagi kena musibah, Bang. Lihat saja saya saat ini sedang sakit. Tapi suami saya masih bekerja dan nanti akan saya lunasi ya. Ketimbang satu juta dua ratus doang. Itumah kecil. Abang kan tahu bagaimana saya, dan kalau saya bayar i
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa