Ah, aku lega, kini aku sudah ditalak oleh si Bang Panjul. Dan di rumah ini, dia sudah tidak ada lagi. Dia sudah kuhempas, tinggal menunggu sidang pertama perceraian kami berlangsung. Bukan hanya sidang perceraian aku, tapi juga sidang Mbak Widya. Semoga saja tidak ada kendala, biar si tukang selingkuh itu bisa cepat menikah dan merasakan bagaimana bila hidup bersama dalam sebuah pernikahan.Aku duduk-duduk manis di kasur empuk lantai atas tempat Mbak Widya sejak awal. Dan kini sudah aku tempati. Dia tidak bisa menolak karena aku juga berontak, tidak bisa diam.Kakakku itu masih di rumah ini. Ya, setidaknya sebelum dia dengan si Panjul belum menikah, bolehlah kukasih tumpangan dia sebentar. Aku juga tak kejam-kejam amat.Pagi ini adalah pagi pertama setelah statusku di mata agama sudah menjadi janda. Meski kecewa pada pernikahan ini, tapi hidup harus terus dijalani, seperti sebuah lagu yang sering diputar saat hatiku merasa hancur."Humh, wangi." Aku bergumam sendiri setelah usai masa
Kupingku jingkrak-jingkrak mendengar suara nyeleneh dari pintu depan. Ternyata eh ternyata, yang datang adalah ibunya si Bang Panjul. Dia datang ke rumah ini membawa rantang makanan. Oh, pasti request-an dari calon mantunya. Hebat, hebat."Iya, Wid, ini Ibu sengaja bawakan buat kamu. Sebentar lagi kamu 'kan akan jadi mantu Ibu yang paling cantik dan montok. Ibu akan sangat bangga!" sahut mulut si mantan mertuaku itu. Karena secara agama, dia telah jadi mantan mertua.Oh, mereka pasti sengaja ingin memanas-manasiku. "Ehm!" Aku hanya berdehem."Masuk, Bu, masuk! Aduh, wangi sekali masakan Ibu," kata si Mbak Widya sok manis. Sengaja ia lantangkan suaranya supaya aku mendengar. "Iya, Wid, sengaja, ini spesial buat kamu." Ibunya Bang Panjul menyahut lagi."Aduh, Ibu memang mertua yang baik. Eh, calon. Hihi." Si Mbak Widya sok manis."Iya, Ibu gak pernah gini sama si Nur dulu, tapi sama kamu, kamu 'kan spesial, Wid. Spesial, mantu cakep, ah!" Terus saja wanita paruh baya itu mengindahkan k
"Yaudah, Ibu pulang dulu ya, Wid. Ibu doakan kamu lancar cerainya sama si Aryo itu, biar bisa cepat nikah sama si Panjul. Ibu udah gak sabar mau pamer menantu wajah glowing, gak kumel kayak si Nur!" sungut ibu mertua secara hukum telah mencubit hatiku. Keterlalun dia menghinaku."Aku gak glowing, Bu, tapi cantik natural!" timpalku karena dia meledekku.Si Mbak Widya dan calon mertuanya itu terkekeh. "Haha, ada yang kesindir, Bu!""Iya, ya.""Lah, bukannya kalian menyindir dengan sebut nama? Ya jelas aku tersindir. Tapi perlu diingat, jangan sok jumawa, Mbak, kecantikan itu bisa lenyap kalau gak ada MODAL!" celetukku sembari berlalu."Ah, bilang saja iri. Si Panjul 'kan gajinya itu mandor, hanya dia sembunyikan aja darimu. Kan kamu itu kalau dipermak begimanapun, pasti wajahnya tetep anyep!" tandas wanita paruh baya itu dengan tajam."Ah, biar saja, yang penting hatiku tidak buruk rupa!" Mereka malah tergelak berdua. Biarkan saja, aku juga tidak mengusir Mbak Widya dengan paksa karena
"Mundur kamu, Nur, mundur!" Dia semakin ketakutan, "mau, kamu Mbak hajar? Atau kamu akan Mbak bunuh!" ancamnya."Boleh, setelah aku rusak wajahmu tapi ya, Mbak. Biar kamu bunuh aku, aku masuk ke surga, dan kamu sengsara di penjara." Aku tergelak tawa di depannya.Ujung bibir Mbak Widya menyungging menahan emosi. Terlihat kalau dia tidak menyangka aku tidak mundur atau takut sama sekali."Kamu kerasukkan! Kamu dulu baik dan ahli surga, sekarang gila kamu!" Dia lagi-lagi membahas masa lalu."Masa bodo, bodo amat! Ini masih panas, melepuh sih kalau ditekan ke kulit. Ayok!"Wanita yang telah menjadi duri di kehidupanku pun itu kini lari ke dalam kamarnya. Dia mengunci pintu mungkin karena ketakutan. Hahah, aku tertawa terbahak-bahak. Begitu saja takut!***"Aduh, kalau aku lama-lama di rumah ini, aku bakalan mati perlahan, Bang. Tapi, kalau aku keluar dari rumah ini, aku belum tau di mana si Nur simpan sertifikat rumah ini. Bagiku ini masih seperti mimpi dan bencana, kok bisa anak bodoh i
Dua Minggu berlalu, hari ini aku baru pulang dari pengadilan telah melakukan mediasi di sidang pertama. Yang hadir hanya aku ditemani si Minul, biar persidangan tidak ribet dan cepat usai. Alhamdulillah, lancar juga, dan tak ada omongan keluar dariku untuk rujuk. Sedang aku menuju sidang ke dua, pun dengan Mbak Widya, dia juga tengah menunggu sidang berikutnya dengn Mas Aryo. Bagaimanapun juga, aku harus memastikan mereka pisah. Tidak boleh sampai mereka rujuk, aku tak rela Mas Aryo yang baik masih jadi istrinya Mbak Widya si lakn*t."Gak sabar aku nunggu statusmu jadi janda, Nur. Hahaha …." Si Menul tertawa dalam penderitaanku. Eh, tapi bukan penderitaan, malah ini kegembiraan."Gila kamu, Nul, masak iya orang cerai kamu tertawain. Tapi gak papa lah, aku juga senang. Hahaha."Kami berdua tergelak tawa. Sampai akhirnya aku tiba di rumah dan si Menul pulang ke kandangnya, dan di rumahku di sana sudah ada si calon mantan suami. Sepertinya sedang ngapel sama si Mbak Widya. Cocok, cocok
Ya sudah aku juga tertawa. "Hahaha … biasanya orang yang pamer itu cuma buat lindungi diri aja dari kenyataannya. Karena orang yang asli kaya mah, kayak Pak Haji Gogon, dia tidak pernah pamer, cukup kita lihat saja sudah paham, dia orang berada. Sawah tanah banyak, mobil dan motor berjejer. Dan satu hal, dia istrinya satu, tidak pernah kedengaran selingkuh. Lah, ini, mental mandor aja udah selingkuh. Waras kamu, Bang? Kebayang kalau kamu kayak sultan, istrimu bisa satu kodi. Hahahah."Mbak Widya nyambar. "Enak saja, aku ini wanita mampu ya, Nur, bukan kayak kamu. Si Panjul selingkuh itu saat sama kamu aja, saat sama aku nanti, mana bisa dia melupakan gairahku di ranjang yang hot jeletot. Hemh!" Dia nyengir sinis penuh percaya diri.Aku tertawa lagi. "Hahaha … cuma soal ranjang. Jangan lupa, soal dapur juga harus mampu! Kalau suami sering makan di luar, itu artinya sering juga mampir ke warung remang-remang. Hahahah." Aku terus tak mau kalah, "pergi sana, kalau mau pacaran jangan di si
Saat ini Bang Panjul dan Mbak Widya masuk ke halaman rumah. Memang di kampungku kalau ada orang berselingkuh jarang diusir, tapi aku lega karena kami akan segera talak tiga. Ini tak buruk bagiku meski mereka masih ada di lingkungan ini."Mas Aryo, ke mari ternyata? Mau ngapain? Mau ngapel si Nur?" Bukannya mengucap salam dengan santun, Mbak Widya nampak menatap Mas Aryo sengit. Apa matanya katarak? Dia lebih pilih gandeng si Bang Panjul yang seukuran pria itu tak lebih tampan dari Mas Aryo. Wajah beda jauh, tubuhnya juga beda jauh, meski tingginya hampir sama. Hemh.Mas Aryo berdiri dari duduknya. "Jangan bicara sembarangan, aku bukan seperti kamu yang tukang tikung suami adik sendiri di saat kamu bersuami. Dan kalau memang saat ini aku mendekati adikmu, itu bukan hal yang harus digunjingkan, lagipula status kita sebentar lagi akan jelas bercerai. Aku bukan selingkuh," jawab Mas Aryo yang kucerna kalau dia tak khawatir mengiyakan dugaan Mbak Widya. Walah, kalau aku beneran didekati M
Bu Ajeng menimpali. "Walah, Nur, wajar kalau kamu gak kecewa berat, secara melepas pria hidung belang itu kan gak menyakitkan. Hihi.""Ah, somplak!" Mbak Widya pergi dengan kecewa duduk lagi ke tempat asalnya tadi, sebelum nanti akan dipanggil ke ruang depan untuk ijab qobul. Sebentar lagi seserahan akan datang. Seharusnya aku diam saja di kamar sambil minum es jeruk, tapi itu bisa buat mereka berpikir kalau aku cemburu. Dan sekarang, aku bukannya cemburu, malah ingin melihat mereka berdua menikah dan nanti ada drama baru. Hahah."Eh, udah datang tuh tamunya. Ayok, ayok! Siap-siap Wid!" seru beberapa warga. Aku biar nanti langsung duduk saja di sana, sekarang biarkan saja penerimaan dan pembukaan di sana oleh Pak Rt. Seharusnya pakai toa, biar kedengaran sampai kampung seberang. Tapi ibaratnya ini hanya masih nikah siri. Tapi meski nikah siri tetap saja bermodal untuk suguhan nasi dan lauk. Untung saja yang keluar modal itu si Bang Panjul. Aku hanya penyedia tempat.Aku bersantai dulu
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa