Share

Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya
Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya
Author: Ayra N Farzana

Kata Tetangga

Author: Ayra N Farzana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Mas, nanti pulang kerja, mampir ke minimarket sekalian ya! Susu anak-anak habis,” pintaku pada Mas Randi, suamiku, yang akan berangkat kerja. Dia hanya mengangguk mengiyakan.

Kami menikah, selama lima tahun, dikaruniai dua orang anak perempuan sekaligus. Urusan belanja bulanan memang biasa mas Randi yang melakukannya. Aku hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan lain sebagainya pada tukang sayur yang lewat.

Namaku Reina, seorang ibu rumah tangga, Mas Randi tidak mengizinkanku bekerja, dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anak. Dia tidak ingin anak-anak di rawat oleh asisten rumah tangga, karena khawatir kalau mereka tidak memperlakukan anak-anak dengan baik.

Terkadang aku merasa bosan, melakukan aktivitas monoton setiap harinya. Namun, kehadiran Nela dan Neli putri kembar kami, sedikit menghiburku.

Mas Randi bukan tipe suami yang romantis, dia tergolong suami yang sangat cuek. Terkadang aku merasa kalau dia tidak benar-benar mencintaiku.

“Mbak, penampilannya kusut amat! ntar, suaminya di ambil orang lo!” ucap ibu-ibu kompleks yang sedang membeli sayur. Aku tak menanggapi ucapan mereka, toh mas Randi tak pernah mempermasalahkannya.

Sehari-hari aku memakai daster, dengan rambut yang di jepit ke atas, mau berdandan bagaimana coba? Mau makan aja terburu-buru, bahkan mau ke kamar mandi saja, terkadang harus membawa si kembar karena rewel. Bayangkan sendiri bagaimana repotnya.

Si kembar Nela dan Neli berusia tiga tahun, mereka lagi aktif-aktifnya. Terkadang saat aku berbenah rumah, mereka berantem saling berebut mainan. Saat itulah butuh kesabaran yang ekstra.

Mas Randi berangkat kerja jam delapan, pulang jam empat sore, terkadang apabila ada pertemuan mendadak, malamnya dia akan berangkat lagi.

Nela dan Neli sudah tidur, jam menunjukkan pukul delapan malam, mas Randi belum pulang. Aku duduk di ruang keluarga, istirahat sejenak, menonton TV sambil menunggunya pulang. Tak berapa lama terdengar suara motor di depan rumah. Aku berjalan menuju pintu, untuk menyambut kedatangan mas Randi.

“Kok sampai malam mas?” ucapku menghampirinya, Mas Randi membuka helm lalu turun dari motor.

“Maaf, dek. Tadi nggak sempat ke mini market, ada pertemuan soalnya,” jawab Mas Randi.

“Ya, nggak apa-apa Mas, Mas sudah makan?” tanyaku seraya mengambil alih tas kerjanya.

“Sudah tadi, aku mau mandi dulu, gerah soalnya.” Mas Randi berlalu, masuk ke kamar mandi.

Aku bergegas ke kamar, meletakkan tas di atas nakas, lalu menyiapkan pakaian ganti, sebuah kaos lengan pendek, dengan celana selutut.

HP mas Rendi bergetar saat aku meletakan  pakaian ganti mas Randi di atas tempat tidur, tampak nama Raya disertai foto seorang wanita muda dengan gaya dan dandanan kekinian.

‘Akh ... mungkin dia rekan kerja mas Randi,’ Pikirku.

“Dek, lagi ngapain?” Mas Randi tiba-tiba memelukku dari belakang.

“Apa-apaan sih mas, nanti anak-anak lihat,” ucapku berusaha melepaskan diri, tapi mas Randi makin erat memelukku.

“Nggak bakalan lihat, anak-anak sudah tidur.” Mas Randi menunjuk Nela dan Neli yang tidur satu kamar dengan kami, dengan tempat tidur yang berbeda. Lampu kamar akhirnya di matikan.

Lewat tengah malam, aku terbangun karena haus, berjalan keluar, mengambil minum di dapur. Namun, saat melewati ruang tamu,  terdengar Mas Randi sedang berbicara lewat telepon. Dia kelihatan bahagia sekali dari nada bicaranya. Aku urungkan niat ke dapur untuk mengambil minum dan kembali ke kamar.

Aku berusaha memejamkan mata. Namun, pikiranku tak mau terpejam, masih penasaran, siapa yang bicara lewat telepon dengan mas Randi tengah malam begini.

Hingga suara azan subuh terdengar, aku beranjak dari tempat tidur, mandi lantas menunaikan kewajiban dua rakaat. Melakukan aktivitas memasak  sebelum si kembar Nela dan Neli bangun.

“Dek, masak apa?” mas Randi menghampiriku yang sedang masak telur balado.

“Masak telur, Mas. Mas mau aku Buatkan kopi?” Aku menoleh mas Randi yang duduk di meja makan.

“Boleh,” jawabnya, aku lantas membuatkan kopi hitam, dengan satu sendok gula kesukaannya.

“Ini Mas, kopinya!” aku meletakan kopi di hadapan Mas Randi. “Oh, iya Mas, tadi malam mas bicara sama siapa?” karena penasaran aku bertanya pada mas Randi.

“Oh ... i-tu, Aldi, teman kerja mas, lagi ada masalah katanya,” jawab Mas Randi, sedikit tergagap. Ucapan Mas Randi mungkin benar, Aku hanya mengangguk mengiyakan.

A

Aku berlanjut menyiapkan makanannya di atas meja, saat meletakan telur balado di atas piring, Mas Randi memeluk dari belakang, meniup telingaku, nakal.

“Apaan si Mas! Geli tau!” aku mencoba melepas pelukannya. “Mas, lepaskan dong, aku kan lagi menyiapkan makanan buat Mas,” ucapku mencoba melepaskan diri darinya.

“Makanan entar aja! Aku mau makan yang ini saja,” ucapnya sebelum mengendongku masuk ke kamar.

Setelah memandikan Nela dan Neli kami berempat duduk di meja makan untuk makan bersama.

"Neli mau es cream. Nanti pulang kerja beli ya!” pinta Neli kepada Ayahnya menggunakan logat  ala anak balita.

"Nela juga mau.” Nela nggak mau kalah sama Neli.

“Ya, nanti ayah belikan! Bunda mau minta juga enggak?” tanya mas Randi, melihatku.

“Bunda, enggak minta apa-apa?” jawabku.

“Ya, sudah ayah berangkat  dulu ya!” Selesai makan mas Randi, pamit untuk berangkat kerja. Tak lupa dia mencium Nela dan Neli bergantian, lalu mengulurkan tangannya kepadaku.  Aku mencium punggung tangan mas Randi.

Saat membersihkan meja makan kudapati HP mas Randi tertinggal.

Ada sebuah pesan dari Raya.

[Ran, jadi jemput aku enggak?]

Lantas aku membuka log panggilan. Ternyata yang menelepon mas Randi semalam adalah Raya. Aku melihat foto dirinya yang tampak muda, cantik, seksi dan terawat di Hp mas Randi.

Bersambung ....

Related chapters

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Pertengkaran

    “Reina ....” Entah sejak kapan pria itu ada di hadapanku. Aku lantas menyerahkan HP kepadanya. Mas Randi bergegas pergi, karena waktu juga sudah siang. Aku sedikit berlari menghampiri si kembar mengendong mereka, bergegas untuk mengikuti pria itu. Tak lupa aku menyambar dompet diatas meja. Aku menitipkan si kembar Nela dan Neli ke rumah Mila, tetangga sekaligus sahabat terbaikku.Aku berlari menuju ke pangkalan ojek. Aku ingin melihat sendiri siapa sebenarnya Raya, dan ada hubungan apa dia dengan Mas Randi?“Bang, ke jalan laut ya!” Aku naik ke boncengan motor sambil mengenakan helm. Tanpa banyak tanya tukang ojek langsung melajukan motornya. “Cepat sedikit ya, Bang!” perintahku. Abang tukang ojek menjawab dengan menganggukkan kepala. Aku memilih langsung menuju kantor Mas Randi, karena dia pasti menjemput wanita bernama Raya ke rumahnya, jadi aku putuskan untuk menunggu di depan kantornya saja.Tepat jam delapan aku sampai di kantor Mas Randi. Aku duduk menunggu di sebuah warung

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Benarkan Kata Tetangga

    Aku menarik koper keluar kamar, melemparnya ke arah Randi yang sedang duduk di kursi. “Apa-apaan ini Rei!” teriaknya. “Apa?! Apa kamu bilang!” jawabku, aku mendorong tubuh pria yang sudah mengisi hari-hariku beberapa tahun ini. “Pergi kamu dari sini, Mas! Aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!” “Apa kamu bilang?!” ucapnya marah.Dia mendekat, menarik rambutku yang tergerai. “Kamu pikir bisa hidup tanpa aku! Kamu itu cuma seorang istri dalam sangkar emas, yang tidak tahu dunia luar, mana mungkin kamu bisa bertahan tanpa seorang suami!” Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.“Lepaskan! Bila menyakitiku bisa membuatmu bahagia, maka lakukanlah itu, tanpamu aku pasti bisa! Ceraikan saja aku!” Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku. Dia menghempaskan lalu mendorongku, hingga aku terjerembap ke lantai.“Kau mau berpisah denganku?” Dia berdiri membelakangiku. Mas Randi berubah, tidak lagi seperti suami yang aku kenal, suami yang penuh dengan kasih sayang.“Ceraikan saja aku, M

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Mulai Bangkit

    Hingga larut malam, aku belum bisa tidur, berdiri di samping jendela, memandang keluar, menikmati indahnya gelap malam. Semilir angin membelai wajah, lalu masuk ke dalam kamar, bulan berbentuk sabit, menyubangkan sedikit sinarnya agar gelap malam tak terlalu mencekam.Kelelawar nampak beterbangan berpindah dari dahan ke dahan lainnya, mencari buah yang mulai masak. Tak terasa tetes-tetes air mulai berjatuhan membasahi pipi, mengingat kebersamaan kami.***Pagi menjelang, mataku bengkak sisa tangis semalam, si kembar masih tampak nyenyak dalam mimpi mereka.Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa aku masak, tapi tidak ada apa pun di sana. Sayup-sayup suara tukang sayur terdengar. Aku keluar untuk berbelanja. Tampak empat ibu mengerumuninya.“Pak, bayam, sama cabainya mana?” tanyaku.“Ini, Bu,” ucap tukang sayur, menunjuk barang yang aku pinta.Aku lihat Bu Mirna dan Bu Anna sedang berbisik, sesekali melirik ke arahku.“Kami sudah bilang

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Glow up

    “Assalamualaikum.” Aku mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah Mila.“Wa’allaikum salam,” jawab Mila. “ Kamu, enggak mandi dulu?” tanyanya.“Enggak akh ... aku sudah kangen sama anak-anak,” ucapku menghampiri mereka. Mana mungkin aku bisa dengan santai saat anak-anak masih ada di rumahnya, dia sudah terlalu banyak membantu, jadi aku tidak mau terlalu merepotkannya.“Mil, kalau aku bekerja mengenakan jilbab gimana?” tanyaku memandang Mila.“Enggak apa-apa sih! Itu kan hak kamu,” jawabnya yang sedang duduk di lantai bermain lego bersama kedua putriku.“Aku takutnya, kalau aku berjilbab akan mempengaruhi pelanggan kafe kamu,” terangku sambil membereskan mainan yang berserakan di lantai.“Enggaklah ... terserah kamu yang penting kamu nyaman,” ucapnya yang juga membantu membereskan mainan.“Terima kasih ya, Mil.” Aku memeluk Mila. Aku ingin menutup aurat, mungkin kejadian di kafe adalah teguran dari Allah, mereka menggodaku karena auratku yang masih terbuka. Kejadian di kafe tidak ak

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Tetap Berusaha Apa pun Hasilnya

    “Mas Randi,” ucapku kaget melihatnya berada di kafe. Jarak kantor tempatnya bekerja, memang agak jauh dari kafe, jadi hampir tidak pernah dia ke kafe ini saat jam istirahat.Raya berdiri. “Jadi, kamu sekarang bekerja sebagai pelayan!” hinanya dengan intonasi tinggi, membuat semua mata tertuju padaku.“Iya, tak ada yang salah dengan pekerjaan ini,” jawabku. “Dasar rendahan,” makinya mempermalukanku di hadapan semua orang.Aku memang wanita miskin, tidak sekaya dan secantik dirinya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, begitulah nasibku, Mas Randi sudah di ambilnya dan kini dia mempermalukanku. “Lebih mulia menjadi pelayan, dari pada menjadi perebut suami orang!” sungutku kesal.“Apa kamu bilang!” ucap Raya tak terima seraya menggebrak meja.“Ada apa ini?” tanya Pak Herman yang berjalan menghampiri kami.“Pelayan ini, telah menghina saya!” fitnah Raya menunjukku.“Dia ....” “Reina, kamu ke dalam!” Perintah Pak Herman sebelum aku menjawab.“Baik, Pak.” Dengan perasaan kesal berjalan meningga

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Pria Lagi

    “Mas Randi!” ucapku kaget.“Oh, jadi begini kelakuan Kamu, di belakangku! Dasar murahan!”Aku hanya terdiam, mendengar segala ucapannya. Justru, dia yang berkhianat, mengapa sekarang dia menyalahkanku.“Apa kamu bilang? Bukankah kamu yang menghianati Reina!” Pak Herman mendekati Mas Randi, mendorongnya.“Kamu siapa? Berani melawan saya! Dia itu masih istri saya!” kata Mas Randi menantang Pak Herman.“Suami macam apa yang tega menduakan istrinya, demi perempuan lain yang lebih kaya! Ceraikan Reina, karena dia tak pantas untuk pria sepertimu!” Pak Herman menonjok wajah Mas Randi.Mas Randi seketika memegang wajahnya yang melebam.“Hentikan!” teriakku saat Mas Randi ingin membalas pukulan Pak Herman.“Apa-apaan kalian ini! Pergi Mas, aku sudah tak sudi lagi melihat wajahmu! Jangan pernah kembali lagi dalam kehidupanku!” Aku mengusirnya pergi. Sudah cukup segala derita yang dia torehkan di hati. Aku tidak ingin dia kembali di saat diri ini telah mampu menghapus namanya dalam hati.“Maaf,

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Malasnya Bertemu Mantan

    “Reina, maafkan saya,” ucap Pak Herman menghampiriku yang baru keluar dari sekolah.Entah, mau apalagi dia menemuiku. Aku merasa tidak dengan kehadirannya. Apalagi beberapa kali dia mengutarakan keinginannya untuk menikah.“Bapak tidak salah, tidak perlu meminta maaf.” Aku berjalan meninggalkannya.Pria itu tetap kekeh berjalan mengikutiku.“Saya antar pulang,” tawarnya.“Maaf, Pak. Saya tidak ingin ada fitnah di antara kita karena saya masih berstatus istri orang. Sekali lagi maaf.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada.“Baiklah, tunggu sebentar.” Pria itu berlari menuju mobilnya, tak lama dia kembali menghampiri kami membawa sebuah kantong keresek yang berisi penuh. Dia mendekati putriku, berjongkok dan berbicara pada mereka. “Kalian mau es krim tidak?” tanyanya.“Mau, Om, tapi ....” Nela memandangku. Begitu juga Pak Herman.“Jangan takut, Om, teman mama kamu kok!” akunya pada anak-anak.“Boleh enggak, Bunda?” tanya Neli memandangku.Aku mengangguk mengiyakan.“Hore ... makasih ya

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Tutup Panci Penyok

    “Reina!” teriak Raya berjalan mendekatiku. “Jauhi Randi atau akan aku membuat perhitungan denganmu!” ancamnya.“Tidak perlu teriak, insya Allah sebentar lagi aku akan menggugat cerai, Mas Randi,” ucapku menahan amarah. “Kalau sudah tidak ada yang akan dibicarakan, silahkan pergi!” perintahku.“Ayo pulang!” Mas Randi menarik tangan Raya. “Maaf,” pintanya sebelum meninggalkanku.Aku masih terpaku memandangnya pergi. Tak perlu lagi kusesali ataupun tangisi, biarlah yang terjadi, semua sudah takdir Illahi. Aku kembali ke dalam, ternyata kedua Nela berdiri di pintu.“Bunda, siapa tante tadi, kenapa, dia ajak Ayah pergi?” tanyanya.Aku memeluk Nela, tidak menjawab pertanyaannya. Dia masih terlalu kecil, belum saatnya dia untuk tahu. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi.“Ayo, Sayang sudah malam bobok.” Aku melepas pelukan, menggendong Nela masuk ke dalam, merebahkannya di atas tempat tidur dan membelainya hingga dia tertidur lelap.Aku duduk memandang foto pernikahan kami yang m

Latest chapter

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Ending

    POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   POV Umi

    Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Mungkin Pergi Jauh lebih Baik

    Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Keputusan Akhir

    “Apa kamu menyukai Aisyah, Reina?” tanya Umi saat kami tiba di rumahnya.“Bagaimana menurutmu dengan gadis itu?”Aku lantas menceritakan pada Umi, seperti Aisyah. Walau belum lama kami saling mengenal. Namun, aku merasa senang dan nyaman saat bersama Aisyah. Aku seperti memiliki seorang teman dan adik perempuan.“Bagaimana caranya memberitahu Mas Hasan tentang perjodohan ini, Umi?” Aku memandang Umi yang duduk di sampingku.Kami pun membahas bagaimana cara untuk memberi tahu Mas Hasan tentang rencana perjodohannya dengan Aisyah.“Kamu coba yang membujuk Hasan untuk menerima Aisyah,” pinta Umi.Umi juga memintaku untuk memberitahukan rencana perjodohan ini secara perlahan padan Mas Hasan.Aku pun mengiyakan. Dulu aku memang tidak menyukai kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Sekarang pun, aku masih sama. Namun, keadaan yang memaksa untuk menerima hal itu. Sebenarnya aku juga lebih senang hidup sendiri, dari pada memiliki seorang madu. Namun, entah apa yang ada di pikir

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Dia, Pilihanku

    Seorang gadis berpenampilan seksi berjalan menuruni tangga secara perlahan. Dia memakai celana di atas lutut dengan tank top berwarna merah. Rambut gadis itu tergerai panjang dan berwarna merah. Dia berjalan menghampiriku dan Umi. Tanpa memberi salam, gadis itu langsung duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan kami.“Sinta, perkenalkan ini Reina.” Bu Anis menunjukku. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Beliau uminya Hasan.” Bu Anis menunjuk Umi.Umi memandang gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia duduk dengan satu kaki berada di atas kaki yang lainnya. Aku sangat risi melihat kulit pahanya yang terlihat jelas. Aku lantas memandang Umi, tak percaya dengan gadis pilihannya.“Umi, apa enggak salah ini?” bisikku.“Umi tidak tahu juga, teman Umi yang merekomendasikannya,” jawab Umi.Bu Anis pun menjelaskan kedatangan kami pada anaknya.“Untuk mahar saya mau seratus juta. Pesta harus diselenggarakan di gedung yang mewah,” ucap gadis itu. Bu Anis yang

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Gadis Itu

    Dua minggu setelah kedatangan Umi. Umi kembali menghubungiku. Dia bilang sudah menemukan calon istri kedua untuk Mas Hasan. Aku dan Umi pun janji untuk bertemu dengan gadis itu usai pulang kerja.“Mas, nanti sore aku ada keperluan sebentar. Aku pulangnya agak telat, ya.” Izinku pada Mas Hasan saat kami sedang sarapan di meja makan.“Mau ke mana?” tanyanya memandangku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.“Umi memintaku untuk mengantarkan ke rumah temannya,” ucapku bohong.Aku takut Mas Hasan marah, jika aku berterus terang. “Oh, baiklah. Nanti biar anak-anak bersamaku,” ucapnya. “Terima kasih, Mas.” Aku lega dia mengizinkan untuk pergi bersama Umi. Sejak Umi meminta Mas Hasan untuk menikah kembali, dia jarang sekali ke rumah Umi. Berbeda denganku yang sering berkunjung ke rumahnya. Selesai sarapan kami pun bersiap untuk berangkat kerja. “Aku berangkat dulu, ya.” Pamit Mas Hasan. Sebelum berangkat, dia mencium keningku.“Hati-hati, Mas.” Aku mengulurkan tangan dan menc

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Madu untuk Suamiku

    “Tidak, Umi, hanya Reina istri Hasan, tidak akan pernah ada yang lain.” Pernyataan Mas Hasan begitu mengejutkanku. Umi menyerahkan Haikal pada Meisa. Dia lantas memandang Mas Hasan. “Hasan, kamu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Kamu harus memiliki keturunan untuk meneruskan perusahaanmu!” “Umi. Tolong mengertilah, hargai setiap keputusan yang diambil oleh Kak Hasan, karena dia pasti lebih tahu yang terbaik untuk dirinya.” Meisa menyentuh bahu Umi. “Bayangkan jika Meisa yang berada di posisi Reina, apakah Umi tidak merasa terluka? Meisa memandang wajah uminya yang sudah mulai mengeriput.Meisa memang sangat baik dia selalu berpihak pada kami. Dulu dia yang juga ikut andil dalam hubunganku dengan Mas Hasan.“Tidak, Umi tetap menginginkan Hasan untuk menikah kembali. Jika Reina tidak mau di madu, dia bisa meminta cerai dari Hasan!” Umi memandangku.Aku hanya bisa diam mendengarkan semuanya. Sakit, tapi mau bagaimana lagi aku memang wanita yang tidak sempurna, ka

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Kenyataan Pahit

    Saat aku sadar, aku melihat Mas Hasan tertidur bersandar ranjang dengan tangan sebagai tumpuan kepala.“Mas,” lirihku memanggilnya. Mas Hasan tidak mendengar panggilanku. Aku pun meraih tangan Mas Hasan. “Mas.”Mas Hasan pun terbangun dan memandangku. “Kamu sudah sadar, Sayang.” Aku menganggukkan kepala. Merasa lelah berbaring, aku beringsut untuk bangun. “Ah ...!” pekikku saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah perut.Masa Hasan cepat-cepat bangun dan membantuku kembali berbaring. “Kamu jangan bangun dulu,” perintahnya.“Mas, memangnya apa yang terjadi dan kenapa perutku sakit sekali.” Aku memandang perutku yang sudah rata, tapi aku tidak melihat keberadaan bayiku.“Ketubanmu pecah dan mengalami pendarahan hebat saat terjatuh, terpaksa dokter, melakukan tindakan operasi sesar untuk mengeluarkan bayi kita.” Mas Hasan menggenggam erat tanganku. “Usai operasi, kamu juga sempat kritis karena HB kamu yang sangat rendah,” terang Mas Hasan. “Terus bagaimana dengan keadaan

  • Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya   Awal Petaka

    “Ibu Reina,” Panggil seorang pria yang berdiri di sampingku. Dia memandangku lalu beralih memandang HP-nya dan kembali memandangku.“Iya, siapa, ya?” Aku memandang pria itu dengan saksama. Aku belum pernah melihat atau mengenalnya sebelumnya, kenapa dia bisa tahu namaku?“Saya, Alzam, temannya Dayu. Suami ibu tadi meminta saya untuk mencari, Bu Reina,” terang pria itu. “Sekarang suami saya ada di mana?” tanyaku. “Di sana.” Alzam menunjuk ke arah luar pantai. Alzam memasukkan HP yang dibawanya ke dalam tas. “Mari Bu, saya antar ke keluarganya.” Alzam mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Namun, aku menolak uluran tangan Alzam.“Iya, terima kasih.” Aku menangkupkan sedua tangan sejajar dengan dada. Seketika aku merasa lega, mendengar keberadaan Mas Hasan dan anak-anak. Aku pun bangun dan mengikuti langkah pria berwajah putih bersih itu. Pada saat itu matahari juga sudah mulai tenggelam di ufuk barat.Tak lama berjalan, tampak Mas Hasan dan anak-anak sedang duduk di pin

DMCA.com Protection Status