“Mas Randi!” ucapku kaget.
“Oh, jadi begini kelakuan Kamu, di belakangku! Dasar murahan!”Aku hanya terdiam, mendengar segala ucapannya. Justru, dia yang berkhianat, mengapa sekarang dia menyalahkanku.“Apa kamu bilang? Bukankah kamu yang menghianati Reina!” Pak Herman mendekati Mas Randi, mendorongnya.“Kamu siapa? Berani melawan saya! Dia itu masih istri saya!” kata Mas Randi menantang Pak Herman.“Suami macam apa yang tega menduakan istrinya, demi perempuan lain yang lebih kaya! Ceraikan Reina, karena dia tak pantas untuk pria sepertimu!” Pak Herman menonjok wajah Mas Randi.Mas Randi seketika memegang wajahnya yang melebam.“Hentikan!” teriakku saat Mas Randi ingin membalas pukulan Pak Herman.“Apa-apaan kalian ini! Pergi Mas, aku sudah tak sudi lagi melihat wajahmu! Jangan pernah kembali lagi dalam kehidupanku!” Aku mengusirnya pergi.Sudah cukup segala derita yang dia torehkan di hati. Aku tidak ingin dia kembali di saat diri ini telah mampu menghapus namanya dalam hati.“Maaf, Pak, sebaiknya Bapak pulang saja, saya butuh waktu untuk menyendiri.”“Rei!” panggil Pak Herman. Namun, aku terus melangkah meninggalkannya yang masih berdiri.Aku menangis menumpahkan segala luka. Hanya sedikit bahagia yang kudambai, tapi mengapa selalu duka yang kurasakan.***“Reina, tolong kamu ambil gaun ungu yang ada di sana.” Meisa menunjuk sebuah lemari kaca. “Kamu, pakaikan pada manekin yang ada di depan,” perintahnya.“Baik, Kak,” ucapku.“Meisa, saja. Aku kan lebih muda darimu,” katanya, selain cantik dia juga baik hati.“Oke, Meisa,” ucapku mengacungkan jempol.Aku bergegas mengambil gaun memakaikannya dengan hati-hati pada manekin yang terletak di dekat pintu. Hari pertama rasanya berdebar-debar, takut melakukan sebuah kesalahan.Tugas pertama selesai, aku bergegas kembali ke dalam, menjahit sebuah gaun mewah, dengan desain yang luar biasa. Aku tidak menyangka Meisa sangat ahli dalam mendesain pakaian.“Aduh!” pekikku tanpa sengaja menabrak seorang pria. “Maafkan saya, Pak.”Pria itu hanya mengangguk, berjalan meninggalkanku.“Mei, gaun untuk pernikahan Ayna sudah kelar belum?” ucapnya menghampiri Meisa.“Belum, empat puluh persen lagi kelar, tuh!” Meisa menunjuk gaun yang sedang aku jahit.Pria itu tak asing, aku seperti pernah melihatnya. Pria yang menabrakku kemarin, mungkin gaun yang aku jahit ini milik calon istrinya.Dia berjalan mendekatiku, memegang gaun yang sedang aku jahit. “Aynaterus saja menanyakan gaun ini.”“Iya, Kak, bentar lagi juga kelar,” ucap menghampiri kami. “Kak Hasan, perkenalkan dia karyawan baru kita, Reina.” Meisa memegang pundakku.“Jangan khawatir, jahitannya rapi dan bagus kok!” Meisa berjalan menghampiriku. “Reina, ini Hasan kakakku satu-satunya.”Aku menangkupkan tangan di dada. Aku kembali melanjutkan menjahit gaun. Pak Hasan duduk di sofa yang terletak di samping jendela.“Assalamualaikum,” salam seorang wanita masuk ke dalam.“Wa’allaikumsalam,” jawab kami hampir bersamaan.Wanita itu kelihatan sangat cantik dan elegan. Dia menghampiri Meisa, memeluk dan mencium kedua pipinya.“Mei, gaunku sudah kelar belum?” tanyanya.“Tuh!” Meisa menunjuk ke arahku.“Jadwalmu fiting baju kan masih seminggu lagi, pernikahanmu juga masih satu bulan lagi,” ucap Meisa.“Aku sudah enggak sabar mau lihat hasil desainmu!” ujarnya. “Hasan, kapan kamu akan menyusulku untuk menikah?” tanyanya mendekati Hasan.“Sudah jangan menggoda terus Kak Hasan,” bela Meisya.Ayna duduk di sofa. “Ayolah bangkit dari kesedihanmu. Move on, ikhlaskan Humaira, tak mungkin selamanya kau hidup sendiri,” nasehat Ayna.Pria itu hanya diam tak menimpali, bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka. Seperti ada luka yang tak terlihat di dalam hatinya.Meisa menepuk pundak Ayna pelan.“Sudahlah ... mungkin suatu saat dia akan menemukan jodohnya.”“Reina, habis ini temani aku beli kain, ya?” ajak Meisa.“Baik, Mei,” jawabku mengangguk.“Ya sudah Mei, aku pergi dulu ya! Ada meetting soalnya,” pamit Ayna mencium kedua pipi Meisa.“Hati-hati, jangan ngebut, ngebut bawa mobilnya,” pesan Meisa.“Jangan khawatir,” jawabnya berlalu meninggalkan kami.Beberapa saat setelah Ayna pulang, Hasan kembali masuk ke dalam. Dia memeriksa berkas-berkas yang ada di meja Meisa.“Mei, gimana penjualan bulan ini?” tanyanya.“Ada peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan bulan lalu si, Kak.” Meisa menatap kakaknya. “Kak, bisa enggak beli bahan sebentar, aku lagi sibuk banget nih!” pintanya.Pria itu hanya mengangguk mengiyakan.“Reina, temani kakakku beli bahan-bahan,” pinta Meisa. Dia memandangku penuh harap.“Baik, Mei,” jawabku mengiyakan.Aku tak berani membantahnya karena aku hanya karyawan baru.“Jangan khawatir, ada Pak Mahmud sopir kakak juga yang menemani kalian. Aku mengangguk mendengar penuturan Meisa.Di butik aku hanya bertugas membantu menjahit di bagian yang mudah-mudah saja, sedang bagian yang sulit Meisa yang mengerjakan. Aku lebih banyak melayani pelanggan atau membantu menyiapkan apa yang dia butuh kan.Kami hanya terdiam saat berada di dalam mobil. Pak Hasan duduk di depan bersama Pak Mahmud.“Nak Reina tinggal dimana?” tanya Pak Mahmud memecah keheningan.“Di Jalan Tentara, Pak,” jawabku.“Tinggal dengan siapa, Nak?”“Bersama kedua putri saya, Pak.” Aku memandang ke arah luar saat lampu merah. Ada banyak anak jalanan, menghampiri mobil-mobil yang terparkir menunggu lampu hijau. Ada yang mengamen, ada pula yang menjual koran. Seorang gadis kecil seusia Nela dan Neli menghampiri mobil yang kami tumpangi bersama kakaknya.Miris saat mendengar mereka menyanyikan lagu yang tak sesuai dengan umur mereka. Aku lantas membuka tas mengambil sedikit uang untuk mereka.Aku mengurungkan niat untuk membuka kaca jendela, karena Pak Hasan telah lebih dulu memberikan selembar uang seratus ribuan untuk mereka. Aku kembali meletakan uang yang tak seberapa banyak kembali ke dalam tas. ‘Tak menyangka orang angkuh seperti Pak Hasan memiliki hati yang baik.Aku berbasa-basi sama Pak Mahmud selama di perjalanan. Sesekali aku melirik Pak Hasan melalui kaca spion. Aku penasaran dengan sikapnya. Mana mungkin pria semapan dan sebaik dia belum menikah di usia yang sudah cukup matang.Sesampainya di toko, Pak Hasan membeli Berbagai jenis kain seperti kain Brokat, kain ini paling sering digunakan sebagai gaun pesta, gamis ataupun kebaya. Kain Organza, jenis kain ini biasanya hanya digunakan sebagai pemberi aksen mewah atau bahan tambahan yang di jahit di bagian luar gaun, ada juga kain satin, kain Embrador, lace dan kain lainnya.Tak memerlukan waktu lama untuk memilih karena semuanya telah dipersiapkan oleh toko. Pak Hasan dan Meisa sudah biasa mengambil kain di toko kain Pak Tarno.Saat perjalanan pulang pun masih sama hening ... tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.***Tepat jam empat sore aku pulang menunggu angkutan umum, karena jarak rumah dan butik lumayan jauh. Sebelum pulang ke PAUD Bunda untuk menjemput Nela dan Neli.“Ayo Nak, Bapak antar,” tawar Pak Mahmud.“Tapi, Pak.” Aku memandang Pak Mahmud dan Pak Hasan bergantian takut sang pemilik mobil tak setuju.“Naiklah!” perintah Pak Hasan.Aku pun ikut pulang bersama mereka.“Pak Mahmud, saya berhenti di PAUD Bunda saja,” pintaku.“Loh, kenapa enggak sekalian sampai rumah?” tanyanya melirikku melalui kaca spion.“Saya mau jemput anak-anak saya dulu, Pak.”***“Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum keluar dari mobil. Pria itu hanya mengangguk.Aku bergegas masuk ke dalam.“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam saat masuk ke dalam kelas.“Bunda!” teriak mereka berhambur memelukku.“Tadi gimana belajarnya, Sayang?” tanyaku menatap mereka.“Bunda, tadi kami bikin gambar ini.” Nela menunjukkan buku gambarnya.“Ini Bunda, Ayah, Nela dan Neli.” Dia menunjuk satu-satu gambar di bukunya.Aku terharu melihatnya, tak tahu harus bagaimana memberitahu mereka, bahwa ayah dan bundanya kini tak mungkin lagi dapat bersama.“Bu Reina,” ucap Bu Ayu menghampiri kami.Aku menjabat tangannya. “Maafkan saya ya Bu, karena terlambat menjemput mereka. Terima kasih juga, karena Ibu, sudah membimbing dan menjaga anak-anak saya.”“Itu sudah kewajiban saya. Nela dan Neli pintar dan baik dalam mengerjakan tugas, mereka juga tidak rewel,” terangnya.“Kalau begitu saya permisi, Bu Ayu.” Aku menggandeng Nela dan Neli berjalan keluar untuk pulang.“Reina ....”“Ada apa kamu menemui saya, lagi!”“Reina, maafkan saya.”Bersambung ....“Reina, maafkan saya,” ucap Pak Herman menghampiriku yang baru keluar dari sekolah.Entah, mau apalagi dia menemuiku. Aku merasa tidak dengan kehadirannya. Apalagi beberapa kali dia mengutarakan keinginannya untuk menikah.“Bapak tidak salah, tidak perlu meminta maaf.” Aku berjalan meninggalkannya.Pria itu tetap kekeh berjalan mengikutiku.“Saya antar pulang,” tawarnya.“Maaf, Pak. Saya tidak ingin ada fitnah di antara kita karena saya masih berstatus istri orang. Sekali lagi maaf.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada.“Baiklah, tunggu sebentar.” Pria itu berlari menuju mobilnya, tak lama dia kembali menghampiri kami membawa sebuah kantong keresek yang berisi penuh. Dia mendekati putriku, berjongkok dan berbicara pada mereka. “Kalian mau es krim tidak?” tanyanya.“Mau, Om, tapi ....” Nela memandangku. Begitu juga Pak Herman.“Jangan takut, Om, teman mama kamu kok!” akunya pada anak-anak.“Boleh enggak, Bunda?” tanya Neli memandangku.Aku mengangguk mengiyakan.“Hore ... makasih ya
“Reina!” teriak Raya berjalan mendekatiku. “Jauhi Randi atau akan aku membuat perhitungan denganmu!” ancamnya.“Tidak perlu teriak, insya Allah sebentar lagi aku akan menggugat cerai, Mas Randi,” ucapku menahan amarah. “Kalau sudah tidak ada yang akan dibicarakan, silahkan pergi!” perintahku.“Ayo pulang!” Mas Randi menarik tangan Raya. “Maaf,” pintanya sebelum meninggalkanku.Aku masih terpaku memandangnya pergi. Tak perlu lagi kusesali ataupun tangisi, biarlah yang terjadi, semua sudah takdir Illahi. Aku kembali ke dalam, ternyata kedua Nela berdiri di pintu.“Bunda, siapa tante tadi, kenapa, dia ajak Ayah pergi?” tanyanya.Aku memeluk Nela, tidak menjawab pertanyaannya. Dia masih terlalu kecil, belum saatnya dia untuk tahu. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi.“Ayo, Sayang sudah malam bobok.” Aku melepas pelukan, menggendong Nela masuk ke dalam, merebahkannya di atas tempat tidur dan membelainya hingga dia tertidur lelap.Aku duduk memandang foto pernikahan kami yang m
“Maukah kamu menemaniku ke rumah, Ayna?” pintanya.“Baik, Pak.”Aku menerima tawarannya. Biasanya ada Pak Mahmud bersama kami, jadi aku tidak harus berjalan berdua saja dengannya.Seminggu lagi adalah hari pernikahan Ayna—sahabat Pak Hasan. Mendengar nama Ayna, aku kembali teringat dengan nama Humaira. Ayna tempo hari pernah membicarakannya. Siapakah Humaira—wanita yang membuat Pak Hasan tak mampu pindah ke lain hati? Sebegitu spesialkah wanita itu untuknya.“Baiklah, Pak saya buatkan kopi sebentar.” Pria itu menganggukkan kepala.Aku bergegas ke dapur untuk membuatkannya kopi. Aku masih ingat takaran kopi yang biasa Meisa buatkan untuknya. Setelah selesai aku bergegas kembali ke ruangan.“Ini, Pak.” Aku meletakan kopi di hadapannya.“Suruh, Meisa untuk menyiapkan gaun Ayna. Setelah ini kita akan ke sana,” perintahnya.“Biar saya saja yang menyiapkan gaun Ayna. Meisa sedang sibuk di depan.” Aku bergegas mengemas gaun Ayna.“Sudah siap semua, Rei?” Pak Hasan menghampiriku yang sedan
“Terima kasih, Pak,” ucapku saat kami tiba di depan Paud Bunda untuk menjemput anak-anakku.“Aku tunggu di sini, nanti aku antar kalian pulang,” ucap Pak Hasan saat aku akan turun dari mobil.“Terima kasih, Pak. Biar kami pulang sendiri. Nanti. Bapak telat lagi pertemuannya,” tolakku.“Pertemuan dibatalkan.” Pak Hasan membuka pintu, dia turun terlebih dahulu. Aku pun mengikutinya. Kami masuk ke dalam sekolah untuk menjemput anak-anak. Seperti biasa, Nela dan Neli sudah dalam keadaan bersih dan harum. “Bunda ....” Mereka berlari kecil menghampiriku. Aku berjongkok dan memeluk mereka.“Yuk pulang,” ajakku. Pada saat melihat Pak Hasan, mereka memandang pria itu heran. “Siapa, Bunda?” tanya Neli.“Teman kerja, Bunda.” Aku mengusap rambut Neli.“Sama kaya Om Herman ya, Bunda?” tanya Nela.Aku menoleh ke belakang, memandang Pak Hasan yang berdiri di belakangku.“Beda, Sayang. Om Herman itu teman Bunda waktu bekerja di tempat yang dulu. Kalau Pak. Hasan ini, atasan Bunda di tempat kerja y
Setelah dua bulan akhirnya aku resmi bercerai dengan Mas Randi. Hak asuh kedua putri kami, jatuh ke tanganku. Aku merasa lega, sedih, dan kecewa.Kebersamaan selama delapan tahun kini harus berakhir tragis karena kehadiran orang ketiga. Akan tetapi aku harus tetap bangkit demi kebahagiaan kedua putriku.***Hari ini begitu melelahkan, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kerja sama dengan perusahaan Ekspo yang diterima Meisa membuat butiknya semakin maju, gaun produksinya diekspor keluar negeri.“Rei, masih kurang berapa gaun lagi?” tanya Meisa mendekatiku.“Masih kurang lima lagi, Mei,” jawabku.Setiap model gaun yang diproduksi, Meisa hanya dibuat tiga potong dengan varian warna dan hiasan yang berbeda.“Mbak ada paket.” Tampak seorang kurir masuk ke dalam butik membawa sebuah paper bag berwarna merah muda di tangannya.“Paket untuk siapa ya, Pak?” tanya Sifa—karyawan yang paling lama bekerja di butik Meisa.“Reina Atmaja,” ucapnya.Aku menghampiri kurir saat dia menyebut namak
Malam begitu sunyi, tinggal aku yang masih terjaga seorang diri. Aku mengambil sebuah mushaf, membuka dan membacanya perlahan untuk mengusir rasa sepi. Srek ... srek ...Terdengar suara langkah kaki di seret dari luar rumah. Aku tetap melanjutkan membaca mushaf di tangan. Suara langkah kaki terdengar kembali. Kali ini disertai suara derit benda yang digesekkan pada dinding rumah.Aku begitu khawatir, bila ada orang yang ingin menyakiti kami. Aku bergegas mengambil HP yang berada di atas nakas, mencari nomor Mila, lalu menghubunginya.Satu-dua kali tidak ada jawaban. Aku kembali menekan nomornya. “Halo, Assalamualaikum, Mil.”[Ada apa Rei, malam-malam gini telepon?”]“Ada orang di luar rumah. Aku takut orang itu akan mencelakai kami.” Suara derit itu kembali terdengar, tepat di samping kamar.[Maaf Rei, aku sedang liburan bersama anak-anak kafe ....]Panggilan telepon tiba-tiba terputus. Suara derit terputus, berganti suara ketukan keras di jendela.Aku semakin ketakutan, apalagi
“Rei, selamat ulang tahun.” Pak Hasan menjabat tanganku. “Maaf, aku tidak tahu kalau kamu ulang tahun hari ini, jadi aku tidak bawa kado. Sebagai gantinya besok aku akan mengajak kalian liburan ke pantai.”“Benarkah, Kak!” Meisa tampak berbinar, mendengar pernyataan kakaknya.“Aku mengajak Reina bukan kamu!” Pak Hasan menoel hidung mancung Meisa.“Katanya kalian, berarti aku juga dong!” Meisa memandang kakaknya dengan mata manja.“Maaf, Pak. Saya tidak bisa karena hari minggu biasanya waktu saya bersama anak-anak,” tolakku. Mana mungkin aku pergi liburan dan meninggalkan anak-anak sendiri di rumah.“Ajak mereka. Kita akan liburan bersama besok. Ajak Sifa dan karyawan lain juga,” ucapnya memandang Meisa.Aku merasa tidak enak hati pada Pak Hasan dan Meisa. Tidak ada hubungan apa-apa diantara kami. Akan tetapi, mereka sangat begitu baik padaku. Bahkan, mereka menganggapku seperti keluarga.Setelah memotong kue, aku melanjutkan menjahit gaun pengantin Raya. Gaun berwarna putih gading d
Liburan Bersama Pak Hasan Benar saja Pak Hasan begitu sulit melupakannya. Dia begitu cantik dan anggun. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Pak Hasan dan Humaira berjalan meninggalkan kami.Aku pun mendekati anak-anak, menghentikan permainan mereka. Kami lantas menuju kamar bilas untuk mandi dan berganti pakaian. Waktu juga sudah sore, rombongan kami, sudah berkumpul semua. Kami siap untuk kembali. Namun, Pak Hasan belum kembali, entah ada di mana dia saat ini dan entah apa yang mereka bicarakan.Tiba-tiba hatiku rasanya cemas dan gelisah entah mengapa, dadaku juga rasanya begitu sesak.“Rei, Kak Hasan ke mana?” tanya Meisa mendekatiku.“Tadi dia pergi dengan seorang wanita. Dia memanggilnya Humaira,” terangku.“Humaira!” ucapnya terbelalak kaget. Aku menggelengkan kepala, karena tidak tahu pasti siapa perempuan itu. Meisa tampak kecewa mendengar Pak Hasan bersama dengan Humaira. Aku tidak tahu betul bagaimana hubungan Humaira dan Pak Hasan. Akan tetapi pria itu tampak masi
POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal
Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya
Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A
“Apa kamu menyukai Aisyah, Reina?” tanya Umi saat kami tiba di rumahnya.“Bagaimana menurutmu dengan gadis itu?”Aku lantas menceritakan pada Umi, seperti Aisyah. Walau belum lama kami saling mengenal. Namun, aku merasa senang dan nyaman saat bersama Aisyah. Aku seperti memiliki seorang teman dan adik perempuan.“Bagaimana caranya memberitahu Mas Hasan tentang perjodohan ini, Umi?” Aku memandang Umi yang duduk di sampingku.Kami pun membahas bagaimana cara untuk memberi tahu Mas Hasan tentang rencana perjodohannya dengan Aisyah.“Kamu coba yang membujuk Hasan untuk menerima Aisyah,” pinta Umi.Umi juga memintaku untuk memberitahukan rencana perjodohan ini secara perlahan padan Mas Hasan.Aku pun mengiyakan. Dulu aku memang tidak menyukai kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Sekarang pun, aku masih sama. Namun, keadaan yang memaksa untuk menerima hal itu. Sebenarnya aku juga lebih senang hidup sendiri, dari pada memiliki seorang madu. Namun, entah apa yang ada di pikir
Seorang gadis berpenampilan seksi berjalan menuruni tangga secara perlahan. Dia memakai celana di atas lutut dengan tank top berwarna merah. Rambut gadis itu tergerai panjang dan berwarna merah. Dia berjalan menghampiriku dan Umi. Tanpa memberi salam, gadis itu langsung duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan kami.“Sinta, perkenalkan ini Reina.” Bu Anis menunjukku. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Beliau uminya Hasan.” Bu Anis menunjuk Umi.Umi memandang gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia duduk dengan satu kaki berada di atas kaki yang lainnya. Aku sangat risi melihat kulit pahanya yang terlihat jelas. Aku lantas memandang Umi, tak percaya dengan gadis pilihannya.“Umi, apa enggak salah ini?” bisikku.“Umi tidak tahu juga, teman Umi yang merekomendasikannya,” jawab Umi.Bu Anis pun menjelaskan kedatangan kami pada anaknya.“Untuk mahar saya mau seratus juta. Pesta harus diselenggarakan di gedung yang mewah,” ucap gadis itu. Bu Anis yang
Dua minggu setelah kedatangan Umi. Umi kembali menghubungiku. Dia bilang sudah menemukan calon istri kedua untuk Mas Hasan. Aku dan Umi pun janji untuk bertemu dengan gadis itu usai pulang kerja.“Mas, nanti sore aku ada keperluan sebentar. Aku pulangnya agak telat, ya.” Izinku pada Mas Hasan saat kami sedang sarapan di meja makan.“Mau ke mana?” tanyanya memandangku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.“Umi memintaku untuk mengantarkan ke rumah temannya,” ucapku bohong.Aku takut Mas Hasan marah, jika aku berterus terang. “Oh, baiklah. Nanti biar anak-anak bersamaku,” ucapnya. “Terima kasih, Mas.” Aku lega dia mengizinkan untuk pergi bersama Umi. Sejak Umi meminta Mas Hasan untuk menikah kembali, dia jarang sekali ke rumah Umi. Berbeda denganku yang sering berkunjung ke rumahnya. Selesai sarapan kami pun bersiap untuk berangkat kerja. “Aku berangkat dulu, ya.” Pamit Mas Hasan. Sebelum berangkat, dia mencium keningku.“Hati-hati, Mas.” Aku mengulurkan tangan dan menc
“Tidak, Umi, hanya Reina istri Hasan, tidak akan pernah ada yang lain.” Pernyataan Mas Hasan begitu mengejutkanku. Umi menyerahkan Haikal pada Meisa. Dia lantas memandang Mas Hasan. “Hasan, kamu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Kamu harus memiliki keturunan untuk meneruskan perusahaanmu!” “Umi. Tolong mengertilah, hargai setiap keputusan yang diambil oleh Kak Hasan, karena dia pasti lebih tahu yang terbaik untuk dirinya.” Meisa menyentuh bahu Umi. “Bayangkan jika Meisa yang berada di posisi Reina, apakah Umi tidak merasa terluka? Meisa memandang wajah uminya yang sudah mulai mengeriput.Meisa memang sangat baik dia selalu berpihak pada kami. Dulu dia yang juga ikut andil dalam hubunganku dengan Mas Hasan.“Tidak, Umi tetap menginginkan Hasan untuk menikah kembali. Jika Reina tidak mau di madu, dia bisa meminta cerai dari Hasan!” Umi memandangku.Aku hanya bisa diam mendengarkan semuanya. Sakit, tapi mau bagaimana lagi aku memang wanita yang tidak sempurna, ka
Saat aku sadar, aku melihat Mas Hasan tertidur bersandar ranjang dengan tangan sebagai tumpuan kepala.“Mas,” lirihku memanggilnya. Mas Hasan tidak mendengar panggilanku. Aku pun meraih tangan Mas Hasan. “Mas.”Mas Hasan pun terbangun dan memandangku. “Kamu sudah sadar, Sayang.” Aku menganggukkan kepala. Merasa lelah berbaring, aku beringsut untuk bangun. “Ah ...!” pekikku saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah perut.Masa Hasan cepat-cepat bangun dan membantuku kembali berbaring. “Kamu jangan bangun dulu,” perintahnya.“Mas, memangnya apa yang terjadi dan kenapa perutku sakit sekali.” Aku memandang perutku yang sudah rata, tapi aku tidak melihat keberadaan bayiku.“Ketubanmu pecah dan mengalami pendarahan hebat saat terjatuh, terpaksa dokter, melakukan tindakan operasi sesar untuk mengeluarkan bayi kita.” Mas Hasan menggenggam erat tanganku. “Usai operasi, kamu juga sempat kritis karena HB kamu yang sangat rendah,” terang Mas Hasan. “Terus bagaimana dengan keadaan
“Ibu Reina,” Panggil seorang pria yang berdiri di sampingku. Dia memandangku lalu beralih memandang HP-nya dan kembali memandangku.“Iya, siapa, ya?” Aku memandang pria itu dengan saksama. Aku belum pernah melihat atau mengenalnya sebelumnya, kenapa dia bisa tahu namaku?“Saya, Alzam, temannya Dayu. Suami ibu tadi meminta saya untuk mencari, Bu Reina,” terang pria itu. “Sekarang suami saya ada di mana?” tanyaku. “Di sana.” Alzam menunjuk ke arah luar pantai. Alzam memasukkan HP yang dibawanya ke dalam tas. “Mari Bu, saya antar ke keluarganya.” Alzam mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Namun, aku menolak uluran tangan Alzam.“Iya, terima kasih.” Aku menangkupkan sedua tangan sejajar dengan dada. Seketika aku merasa lega, mendengar keberadaan Mas Hasan dan anak-anak. Aku pun bangun dan mengikuti langkah pria berwajah putih bersih itu. Pada saat itu matahari juga sudah mulai tenggelam di ufuk barat.Tak lama berjalan, tampak Mas Hasan dan anak-anak sedang duduk di pin