Teman-teman pasti sudah tidak sabar mau tahu apa yang terjadi kepada Moira dan Jenar. Sabar, ya. Semuanya akan dibukakan pada bab selanjutnya. Bila pembaca menyukai cerita ini, mohon dukungannya dengan memberi komentar atau gem. Share novel ini kepada mereka yang suka membaca juga. Terima kasih. ♡♡♡ Salam sayang, Meina H.
Tidak. Kami baru saja bersama lagi. Aku mohon. Jangan sampai terjadi lagi hal yang buruk kepadanya. Lalu lintas masih padat seusai jam makan siang, jadi aku kesulitan untuk tiba di rumah Moira lebih cepat. Melihat ada ambulans tidak jauh di depanku, aku mengikuti dari belakang.Aku tidak menduga bahwa mobil itu menuju kompleks tujuanku. Sudah ada banyak ambulans dan mobil polisi di depan rumah Moira. Jantungku yang berdebar dengan cepat, berdetak lebih kencang lagi. Begitu berisik sehingga suara dan bunyi di sekitarku hanya samar-samar aku dengar.“Kasihan wanita itu. Darahnya banyak sekali.”“Yang pria lebih kasihan. Mereka masih berusaha untuk memompa agar jantungnya berdetak lagi. Apa menurutmu dia akan selamat?”Beberapa orang mengerumuni seseorang yang berbaring di garasi luar. Langkahku terseok-seok, tidak kuat membayangkan siapa yang berbaring di sana. Yair. Pengawal Moira. Aku merasa berdosa bernapas dengan lega, tetapi aku bersyukur itu bukan Jenar.Pintu depan rumah itu tera
~Jenar~ Aku tidak bisa bicara melihat peluru itu melesat dengan cepat dan mengenai dada kanan Moira. Dia tertegun sejenak dan memeriksa tempat di mana peluru itu bersarang dengan tangannya. Tanpa hati, Wahyo melepaskan peluru kedua. Aku tidak menunggu dan meninju wajahnya dengan keras sampai terdengar bunyi pada lehernya. Suasana seketika hening hingga aku yakin bunyi jarum jatuh pasti akan terdengar. Aku melakukan hal yang perlu aku lakukan, berlari mendekati Moira. Aku baru melangkah, rambutku ditarik dengan kuat dari belakang, menghentikan langkahku. Aku berteriak kesakitan, tetapi dia menarik aku sampai punggungku bertemu dadanya, lalu melingkarkan tangannya di leherku. “Aku sudah memberi peringatan, tetapi kamu abaikan.” Dia menempelkan mulut pistol di pelipisku. “Lawan aku lagi, maka aku tidak akan segan-segan menghabisi anakmu di depanmu.” “Ti-tidak,” kataku, mulai ketakutan. “Ja-jangan sentuh anakku.” “Kalau begitu, berhenti berbuat bodoh dan ikut denganku.” Dia menarik ak
Tidak peduli dengan rasa lelah dan perih, aku pergi ke rumah sakit bersama Moira. Dia memaksa aku untuk makan. Walaupun lidahku tidak bisa merasakan, aku memaksakan diri untuk menghabiskan semua makanan juga kue yang dia siapkan untukku.Jeff berdiri mondar-mandir di lobi menuju ruang gawat darurat. Ketika pintu otomatis terbuka, dia menoleh. Begitu dia menyadari bahwa aku yang datang, dia mendekat dan memeluk aku begitu erat. Aku tidak protes merasakan aku kesulitan bernapas. Ini tidak apa-apanya dengan yang aku rasakan saat bersama Wahyo.“Apakah dia menyakiti kamu. Ada yang terluka? Kita periksakan keadaanmu, ya?” Jeff membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Dia melihat wajahku baik-baik, lalu turun ke leher. “Apa dia yang melakukan ini?” Aku meringis merasakan sentuhannya di kulit leherku yang terluka.“Aku tidak apa-apa. Bagaimana keadaan Mo?” tanyaku ingin tahu.“Kamu lebih penting bagiku. Kamu harus diperiksa oleh dokter.” Dia merangkul bahuku dan berniat membawa aku ke ruan
~Jeffrey~Jenar menolak untuk dijemput dan mengatakan akan diantar oleh teman baiknya. Dia tidak menyebut nama orang yang dia maksud membuat aku semakin khawatir. Franky menyuruh aku untuk pergi dan menunggu istriku di lobi.Wajahnya terlihat jauh lebih tua hanya beberapa jam berada di rumah sakit. Mungkin aku juga punya ekspresi yang sama. Akhirnya aku menyadari satu hal yang tidak aku perhatian sebelumnya. Pria ini mencintai wanita yang ada di ruang ICU itu.“Sebaiknya kamu makan atau minum sesuatu. Tidak ada gunanya kamu menunggu dia di sini, lalu mati sebelum sempat melihat dia membuka mata.” Aku melirik ke arah tas bekal yang dibawakan oleh asistennya, tetapi tidak juga disentuhnya.“Apa kamu tidak bisa punya sedikit simpati saat bicara?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.“Aku tidak suka basa-basi.” Melihat dia berjalan mendekati tempat duduk di mana tas itu berada, barulah aku berjalan menuju elevator.Cukup lama aku menunggu sampai bisa melihat dia lagi berdiri di hadapanku.
~Jenar~Dina didatangi polisi di kantornya. Akhirnya, dia ditahan juga. Padahal Franky sudah melaporkan perbuatannya dan Wahyo sejak hari Senin lalu. Apa harus ada kejadian penembakan baru mereka menahan para penjahat itu? Aparat hukum di negara ini memang harus berbenah.Anak-anak pulang dari sekolah, kami langsung menuju apartemen. Untuk membeli bahan makanan, kami mampir ke swalayan yang ada di dalam gedung. Ada banyak petugas keamanan di gedung ini, jadi kami aman dari serangan orang jahat. Siapa tahu Wahyo nekat lagi.“Mama mau masak apa?” tanya Jax yang mengintip adonan di atas konter.“Donat dan roti goreng. Kalian mau?” Aku melihat Remy dan Ardi menyusul Jax. Mereka begitu ingin tahu camilan apa yang akan kami siapkan.“Maauu!!” jawab mereka bertiga serentak. Aku dan Bian tertawa mendengarnya.Kami menikmati kudapan itu bersama sambil menonton film kartun yang diputar salah satu saluran. Jax dan Ardi berebut menceritakan ujian yang mereka hadapi tadi. Aku senang melihat mereka
~Jeffrey~ Wahyo yang sudah menembak Moira dan para pengawalnya, lalu membawanya entah ke mana. Apa yang terjadi sampai Jenar yang dituduh menembak sahabatnya? Pistol itu milik pria berengsek itu, mengapa jadi istriku yang disalahkan? Franky bodoh itu juga tidak berguna. Dia tidak bisa membawa istriku pulang. Apa gunanya menjadi kuasa hukum Jenar? Bian sudah pulang dan anak-anak akhir tertidur. Namun aku tidak tahu harus bicara apa besok bila mereka mencari Jenar. Ardi juga ikut menangis menanyakan mamanya. Franky menyuruh aku untuk berbohong, jadi aku tidak bisa memberi tahu bahwa mamanya ada di rumah sakit. “Apa maksud Bapak?” tanya Franky yang masih bisa bicara dengan tenang, ketika aku harus mati-matian menahan amarahku. “Kita sudah bicara kemarin sore, dan Jenar akan dibebaskan hari ini.” “Ada banyak sekali saksi yang mengatakan bahwa dia masuk ke rumah mereka dan mengambil barang berharga yang ada di rumah mereka. Kami tidak bisa membebaskannya dan membiarkan dia terus melakuk
~Jenar~“Ada apa? Mengapa kau terus melihat ke arah pintu itu?” tanya Dina dengan nada mengejek. “Kau pikir kau akan dibebaskan hari ini?” Dia tertawa terbahak-bahak.“Kau akan ada di sini sampai sidang putusan. Tidak akan ada yang bisa membantu kau keluar setelah kejahatan besar yang kau lakukan,” katanya lagi.“Heh! Apa kau tidak bisa diam?? Kepalaku sakit mendengar suara cemprengmu. Kalau kau masih ribut juga, aku tarik lidahmu itu!” ancam wanita yang berada satu sel denganku.Dina menutup mulut dan tidak bicara lagi. Wanita di dekatku itu kembali berbaring dan melanjutkan tidurnya. Aku pikir hanya aku saja yang terganggu dengan ejekan Dina, ternyata ada yang berpikiran sama denganku. Suasana sekitarku tenang lagi.Franky tidak akan ingkar janji. Dia pasti mencari bukti yang bisa membebaskan aku dari semua tuduhan. Aku harus percaya kepadanya dan menunggu dia melakukan tugasnya. Jeff juga tidak akan tinggal diam melihat aku dikurung begini.Pintu itu akhinya terbuka dan seorang pri
“Franky ikut serta, jadi dia pasti akan mengusahakan agar usaha kami itu tidak diketahui oleh siapa pun. Sebaiknya kita jangan bahas ini lagi.” Dia menundukkan kepalanya. “Aku tahu ini tidak adil untukmu dan anak-anak, tetapi aku harus pergi ke luar negeri lagi hari Senin nanti,” katanya pelan.“Tidak apa-apa.” Aku memegang tangannya yang ada di atas meja. “Kamu adalah tulang punggung keluarga kita, jadi pekerjaan ini sangat penting. Aku dan anak-anak akan baik-baik saja di sini. Ada Bian dan Franky yang akan membantu kami jika ada hal buruk yang terjadi.”Jeff tidak mengatakan apa pun lagi. Dia hanya menggenggam tanganku, lalu menciumnya. Walaupun dia diam, aku tahu pikirannya sedang berkecamuk. Selama Wahyo masih bebas, kami belum bisa tenang. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya terhadap kami.Franky dan Bian membawa anak-anak kembali. Mereka bertiga tidak berhenti bicara mengenai makanan yang mereka pilih di restoran. Setelah kedua sahabatku itu pulang, Jeff mengaj