Seandainya dia juga tahu bahwa aku tidak seperti yang dia pikirkan. Wanita ini sudah bersamaku selama empat tahun lebih, tetapi tidak bisa membaca pikiranku. Jangankan dia, Jenar yang sudah menikah denganku selama lima tahun pertama bersama, juga tidak bisa membaca aku. Dina membelai pipiku ketika aku hanya diam, sedangkan tangannya yang lain turun ke bawah tubuhku. Dia tersenyum penuh kemenangan melihat aku hanya diam. Namun saat tangannya memegang bagian pinggang celanaku, aku menahan tangannya itu. “Kita hanya akan melakukan ini bila aku menginginkannya.” Aku melepaskan tangannya dan sedikit mendorong tubuhnya menjauh dariku. Anak. Aku hanya mau punya dua anak saja. Apa dia pikir biaya membesarkan seorang anak itu murah? Belum lagi berbagi waktu antara pekerjaan dengan mereka tidaklah mudah. Bagaimana aku harus membanting tulang lebih keras untuk membiayai satu orang anak lagi? “Sampai kapan kau jual mahal begini?” Dia menarik piyamaku sehingga langkahku terhenti. “Kau jajan di
~Jenar~ Jeffrey tidak menjawab pertanyaanku. Dia justru mencium aku habis-habisan, lalu keluar dari kamar, karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku tersenyum melihat ke arah pintu. Tanpa membersihkan diri, aku berbaring. Aku ingin tidur dengan membayangkan dia ada di sini bersamaku. Seolah mendengarkan harapanku, saat membuka mata pada pagi harinya, aku melihat dia berbaring bersamaku. Setelah mencium keningnya, aku membersihkan diri di kamar mandi, lalu menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anakku. “Wah, wah, ada yang sedang jatuh cinta,” goda Moira yang menyikut lenganku. “Berapa ronde kali ini? Apakah semalaman?” “Mo!” pekikku terkejut. Bian hanya tertawa mendengarnya. “Belum waktunya untuk bersenang-senang. Kita sedang punya masalah besar.” “Ah, santai saja,” kata Moira dengan entengnya. “Biarkan Frank yang mengurus segalanya. Kamu cukup duduk dengan tenang dan tunggu instruksi darinya.” “Tetapi,” Bian melirik ke arah para karyawannya, “menuntut seora
Sebelum menikah, kami sepakat untuk punya satu orang anak saja. Namun saat Jeff naik pangkat, dia berubah pikiran. Dia mau kami punya dua orang anak. Dia sangat perfeksionis dan memikirkan masa depan lebih jauh dari yang sanggup aku rencanakan.Dia mau membesarkan anak-anak kami dengan nyaman. Kami bertanggung jawab penuh atas mereka sampai mereka cukup umur untuk hidup mandiri. Karena itu, jumlah anak kami disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kami. Untuk mencegah punya anak lagi, dia mengambil langkah ekstrem. Sejak itu, aktivitas ranjang kami menjadi lebih nikmat.“Dia bukan istriku,” jawabnya singkat. “Hanya kamu yang perlu tahu segalanya tentangku.”Itu adalah hal terbaik dalam hubunganku dan Jeff. Kami tidak menyimpan rahasia apa pun terhadap satu sama lain. Setiap hal yang aku kerjakan sepanjang hari, apa yang aku alami, pasti akan aku ceritakan kepadanya. Begitu juga dengannya. Hanya rahasia perusahaan yang tidak kami bahas.Ketika ada orang yang mencoba memprovokasi kami, mere
Aku tahu dia belum selesai bicara dan sengaja menggantung kalimatnya. Karena hanya aku yang bisa mengerti, maka aku bertanya. Dia tidak akan berani menyentuh aku seujung rambut pun di depan keluarga suamiku. Dia selalu memastikan hanya ada kami berdua ketika menyakiti aku. Tentu saja dia tidak akan berterus terang. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. “Tidak ada tetapi, Jenar. Kamu salah paham,” katanya dengan senyum menghiasi wajahnya. “Tidak perlu pergi, Nak.” Ayah berdiri dari tempat duduknya. “Kami sudah membuat Jax dan Remy tidak nyaman dengan kehadiran kami. Seharusnya kami yang pergi, bukan tuan rumah.” “Ayah?” panggil Ibu bingung. Dia melihat ke arah Lauren, meminta dukungan. “Ayah, kita belum selesai bicara. Bagaimana dengan—” tanya Lauren sambil melihat Dina dan Ibu secara bergantian. Pria itu tidak mau tahu dan berjalan keluar rumah. Yang lain pun terpaksa mengikutinya. Wahyo menatap aku dengan tajam, tetapi aku tidak membalasnya. Aku hanya menundukkan kepala, menatap la
Wanita ini hebat juga. Aku tidak pernah tahu bahwa dia pantang menyerah. Mungkin dia belum pernah ditolak oleh siapa pun sehingga dia bersikeras begini. Aku tidak mau mempermalukan dia lebih jauh. Dia layak untuk mengangkat kepalanya ketika keluar dari rumah ini.Seharusnya dia menurut saja dan pergi dari rumah ini. Tidak ada tempat untuknya di antara kami berdua. Setelah menyakiti aku selama bertahun-tahun, dia masih berusaha untuk memprovokasi kami. Dia pikir aku tidak tahu bahwa Jeff sudah lama tidak menyentuhnya. Aku mengenal suamiku dengan baik, tetapi dia berani membuat aku meragukannya. Maka aku tidak segan lagi.“Yang kamu rasakan kepada suamiku bukan cinta. Kamu terobsesi kepadanya. Dia adalah suami sahabatmu sendiri, Dina. Apa kamu pikir aku berbohong saat mengatakan dia hanya mencintai aku?” Aku menoleh ke arah Jeff.“Aku mengizinkan dia tidur dengan perempuan pertama yang menawarkan tubuh kepadanya.” Aku membelai pipi suamiku. “Aku yang memberinya lampu hijau untuk tidur d
Apa mungkin Wahyo datang, lalu membawa mereka pergi? Dina pasti sudah mengadu kepadanya. Dia punya senjata. Dengan pistol itu, bisa saja dia mengancam Jeff dan menyuruh mereka ikut bersamanya. Oh, Tuhan. Aku tahu misi ini sangat berbahaya.Namun mengapa keluargaku yang mereka ambil? Mengapa tidak aku saja? Akulah yang masuk ke rumah mereka dan mengambil semua bukti itu, bukan suami dan anak-anakku. Sudah cukup aku yang sakit dan menderita, tidak perlu mereka juga merasakannya.“Sayang.” Terdengar suara Jeff memanggil. “Jenar!” Itu benar-benar suara Jeff. Mengapa dia bicara begitu khawatir? “Sayang, bangun! Aku di sini! Kami di sini!”Mendengar itu, aku membuka mataku. “Mama! Mama, ada apa??” seru Jax dan Remy. “Pa, ada apa dengan Mama?” Iya, ini suara suami dan anak-anakku.Jeff duduk di sisiku, sedangkan Jax dan Remy berdiri di sisi tempat tidur. Aku mengedipkan mata dan mereka bertiga masih ada di dekatku. Mimpi. Syukurlah, aku hanya bermimpi! Aku segera duduk dan memeluk suamiku. T
~Jeffrey~ Aku melihat Franky yang gelisah sendiri dengan pakaian yang dia kenakan. Kami tidak punya banyak waktu, jadi aku berjalan lebih dahulu. Pria di depanku berjalan dengan santai, lalu mengangguk ke arah petugas yang ada di balik sebuah meja. Aku melakukan hal yang sama. Pria itu berhenti di depan sebuah ruangan. Dia menoleh ke arahku, lalu menggerakkan kepalanya sebagai sinyal bahwa ini ruangan yang aku cari. Aku mengangguk dan memasuki ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka. Aku tidak perlu memeriksa semua meja, karena aku tahu yang mana meja kerja laki-laki berengsek itu. Enak saja dia mendekati orang tuaku untuk meminta restu menikahi Jenar. Kami belum bercerai, dia sudah melangkah lebih dahulu. Apa dia dan Dina begitu terobsesi dengan kami sampai melakukan segala cara untuk memisahkan kami? Franky datang, dia langsung berjongkok di balik meja yang sama denganku. Aku memeriksa barisan laci sebelah kanan, sedangkan dia yang kiri. Aku bekerja secepat mungkin dan terhenti k
Tidak. Kami baru saja bersama lagi. Aku mohon. Jangan sampai terjadi lagi hal yang buruk kepadanya. Lalu lintas masih padat seusai jam makan siang, jadi aku kesulitan untuk tiba di rumah Moira lebih cepat. Melihat ada ambulans tidak jauh di depanku, aku mengikuti dari belakang.Aku tidak menduga bahwa mobil itu menuju kompleks tujuanku. Sudah ada banyak ambulans dan mobil polisi di depan rumah Moira. Jantungku yang berdebar dengan cepat, berdetak lebih kencang lagi. Begitu berisik sehingga suara dan bunyi di sekitarku hanya samar-samar aku dengar.“Kasihan wanita itu. Darahnya banyak sekali.”“Yang pria lebih kasihan. Mereka masih berusaha untuk memompa agar jantungnya berdetak lagi. Apa menurutmu dia akan selamat?”Beberapa orang mengerumuni seseorang yang berbaring di garasi luar. Langkahku terseok-seok, tidak kuat membayangkan siapa yang berbaring di sana. Yair. Pengawal Moira. Aku merasa berdosa bernapas dengan lega, tetapi aku bersyukur itu bukan Jenar.Pintu depan rumah itu tera