Dalam penerangan cahaya mentari yang menyinari, ruangan kantor tersebut terlihat lebih manusiawi. Alan Stuart, sedang kedatangan salah satu tamu 'kesayangannya,' Pria itu melirik rendah. Kedua orang itu yang saling tidak berbicara satu sama lain. Meraih gelas kecil berisikan martininya, sang pria menyesap sekilas. "Kali ini ada maksud apa dengan kunjungan mu?" "Kita sudah menahan terlalu lama, kapan kau akan melancarkan serangannya?" "Sabar," dihembuskannya rokok dari mulut, membuat si perempuan terbatuk dan sedikrit tidak nyaman. Meliri melalui ujung mata, "Tenang, semua harus berjalan dengan sempurna. Jika salah sedikit, pengawal keluarga Dendanious akan mengetahui dengan segera pergerakan kita di belakangㅡit's more dengerous." Mata perempuan itu entah mengapa dipenuhi dengan bara api yang berkobar luar biasa. Membuat sang pria tersenyum. Lalu, mendengar suara lembut perempuan berambut cokelat itu berkata, "Jika rencana menghancurkan perusahaan Mino sulit, bawa istrinyaㅡpernikaha
Sepasang mata hitam saling menatap satu sama lain. Pasangan ayah dna anak ini saling terdiam ketika Clarissa selesai mengucapkan kalimatnya. Tuan Levebvè sedikit khawatir, bagaimanapun juga, putri bungsunya jarang sekali untuk berbicara serius. Terutama ketika ia melihat raut wajah Clarissa dipenuhi dengan ekspresi cemas luar biasa. Pria yang sudah berumur itu menghela napas. Dia memtaikan televisi, dan beranjak dari duduknya, "Ikut papa." Clarissa mengikuti ke mana sang ayah mengajaknya. Mereka memasuki ruang kerja. Tuan Levebvè kemudian mengunci pintu dan duduk di salah satu sofa. Menitah sang putri untuk segera duduk. "Ada apa, Clarissa?" tanya nya, "Tidak biasa bagimu berbicara serius seperti ini." Gadis itu tampak menghela napas dan menarik napas berulang kali. Seolah kegugupannya telah menutupi apa yang hendak ia sampaikan. Berdehem untuk menetralisir rasa gugup, Clarissa menatap sang ayah. "Aku ingin bertanya, apakah hubungan ayah dengan keluarga Dendanious masih terjalin
Albert saat ini sedang berada di Turki. Sudah kurang lebih ia berada di sini selama 3 hari. Seharusnya, ia sudah kembali ke New York kemarin, hanya saja client perusahaan dari pihak Turki tampaknya memiliki sedikit kendala teknis sehingga harus membuatnya menunggu. Sebenarnya bukan masalah besar, hanya lebih ke arah etika saja. Ia sendiri tidak keberatan, anggap saja pergi ke negara ini menjadi salah satu healingnya setelah bekerja begitu keras di perusahaan Next In Company. Banyak orang yang iri karena jabatannya sebagai sekretaris pribadi Mino, masalahnya, mereka tidak mengetahui betapa melalahkannya bekerja di bawah tekanan supervisor diktator seperti sahabatnya. Banyak karyawan perusahaan yang hendak keluar karena tegasnya seorang Louis Mino Dendanious, akan tetapi mereka urungkan niat sebab Mino selalu memberikan bonus yang setara dengan kerja keras mereka. Sebagai perusahaan riset teknologi, banyak sekali uang, keringat, dan juga darah yang dikeluarkan. Namun, semua itu terbay
Malam ini, ditemani dengan gemerlap cahaya kota New York, dan cuasa yang sedikit mendung, tidak menghalangi kedua pria tersebut untuk saling bertemu di tempat yang telah dijanjikan. Tempat ini, merupakan bar milik salah satu keluarga Venhouven, lebih tepatnya, usaha sampingan milik Mathew. Mino datang ke tempat ini lebih dulu, dia mengobrol bersama staff yang ada di bar, seraya memesan cocktail. Malam ini dia tidak mau terlalu mambuk, agar tidak membuat sang istri khawatir. Setelah mengetahui bahwa Irene tidak memiliki campur tangan terhahdap dirinya, Mino mulai mengevaluasi perasaannya.Setidaknya, dia mulai sadar bahwa mencintai Irene, ada sebuah anugerah yang tak terbatas. Sejak menikahi perempuan itu, jujur saja, walau banyak ups and down dalam perjalanan perusahaan dan kisah cinta mereka, tapi pernikahannya dengan Irene memberikan banyak sekali manfaat yang tidak terduga. "Meja di atas sudah siap?" Pelayan Bar yang sedang mengocok alkohol memberika anggukan, "Ya, manager kam
Tuan Levebvè terdiam sejenak. Dia pribadi tidak akan mengira jika anak keturnannya akan berbuat sekacau ini. Apabila sang Ibu, nyonya Lissabeth, mengetahui apa yang dilakukan oleh salah satu cucunya, diaㅡsebagai seoranga ayahㅡsudah jelas akan habis ditangan sang Ibu. Clara, ada apa dikepala anak gadisnya satu itu? Mino menunggu dengan tenang, dia sendiri tampak tidak terganggu dengan seberapa lama pria tua di depannya ini memerlukan waktu untuk menetralisir rasa terkejutnya sendiri. Beruntung bahwa Irene saat ini masih disibukkan dengan persiapan peresmian pembukaan klinik terbarunya dengan para dokter lainnya. Dia memiliki estimasi bahwa mungkin sekitar jam 10 malam, Irene baru akan kembali.Apakah tidak khwatir? Sejujurnya sangat mencemaskan, terutama ketika Mino merasa kehadiran Irene yang semula terus menerus ada di Manor, kini harus kembali pulang-pergi kerja. Dia tidak masalah, sama sekali tidak mencoba mendeskriminasi serta mendikte istrinya. Hanya saja, perbedaan itu tetap
Malam ini, Irene sudah meminta izin kepada Mino untuk pulang terlembat. Suaminya mengizinkan dengan syarat bahwa dia harus membawa Lee dan beberapa bodyguard lainnya. Irene sendiri tidak masalah, karena Lee sudah seperti jiwanya yang lainㅡselalu mengikuti kemana pun Irene berada."Here, take the money," ujar Irene. "Kau belilah minuman dan eatery di cafe terdekat, aku dan para dokter lainnya masih membahas perihal peresmian untuk seminggu ke depan." Lee kali ini tidak ragu-ragu untuk mengambil uang yang diberikan oleh Irene. Pria itu mengucapkan, "Terima kasih," lalu pergi dari sana bersama dua temannya. Sementara Irene kembali masuk ke dalam klinik untuk kembali membahas hal yang ia tinggalkan. Di kedua tangannya kini menggenggam makan malam yang telah dibelikan oleh Lee barusan. "Here, everyone. Makan malam dulu." Semua orang yang berada di ruangan menoleh ke arah Irene, lalu tersenyum lembut seraya menyambut makanan yang datang. "Woahh, thank you Irene," ucap salah satu staff, y
Gelap. Kesan pertama yang dirasakan oleh Irene. Perempuan itu terus memberontak, sebelum kemudian merasakan rasa kantuk liar biasa tak tertahankan. Jika diperkirakan, sebelum kegelapan menelan, mobil ini mengemudi terlalu cepat, ada sekitar 3 hingga 4 orang yang berjaga di dalam mobil. Ketika terbangun, pandangan matanya masih tidak bisa menemukan apapun, hal ini dikarenakan matanya ditutup oleh kain hitam pekat. Sementara suasana di sekitar terasa remang, tapi juga terlihat mewahㅡbisa dilihat dari lampi cendelier yang menggantung di atas kepala Irene. "Bagaimana, apakah ponselnya sudah dihancurkan?"Salah satu dari orang itu menganggukan kepalanya. "Ya, aku sudah membuang ponsel itu di tengah jalan. Seharusnya dengan banyak mobil yang melintasi dijalan tol, bukan hal mustahil apabila ponselnya akan rusak.""...." yang bertanya tadi segera menggeplak kepala rekan kerjanya, "Bodoh, rusak dan hancur adalah dua definisi yang berbada.""Aku tahu," ujarnya, sedikit mendengus, "Lagi pula
Perlahan, kelopak mata Irene terbuka, manampilkan retina hazelnya yang indah. Bahkan, pria yang menjadi paman Mino ini, mau tiba mau terpesona oleh kecantikan mata hazel tersebut. Akan tetapi, mata tersebut tidak memancarkan cahaya sama sekali. Alih-alih, sebuah tatapan dingin diberikan kepada sosok pria di hadapannya. Dan mau tidak mau, pria itu memundurkan sedikit langkah kaki. Mengangkat sebelah alis guna menyembunyikan rasa terkejutnya, "Wow, apakah kau marah kami culik?" Irene terdiam beberapa detik, "Kami?" kata ini cukup mengganggu, berarti pelaku di balik penculikan yang menggelikan ini ada dua orang. "Selain diri mu, siapa lagi?" Alan Stuart tidak menyangka jika wanita di depannya ini sungguh cerdas. Tidak, bukan hanya itu, alih-alih ketakutan karena diculik, dia justru langsung menanyakan point penting dari semua iniㅡpelaku penculikan Irene. Tertawa, "Hebat, sungguh hebat Mino bisa memiliki pasangan yang ringan kepala seperti mu. Siapa sangka bahwa kau begitu cerdas untu