Share

Bab 2

Author: MysterRyght
last update Last Updated: 2024-11-25 15:32:47
Sudut pandang Anya:

Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajahku saat itu, tapi kata-kata yang terucap oleh Maximus bukanlah hal yang biasa didengar orang awam. Wajahku pasti terlihat syok, dengan mulut yang menganga.

"Anya, kamu dengar, nggak?"

Aku tersentak mendengar suara Maximus.

"Apa kamu belum puas bermain sendiri, Pak Maximus? Jangan bawa-bawa aku dalam hal omong kosongmu," jawabku dengan ketus.

Rasanya aku ingin mengamuk! Memangnya dia menganggap aku ini perempuan apa? Eh, benar juga, Maximus itu buta. Apa dia pikir aku ini pelacur?

"Aku ini perawat, Pak Maximus, bukan perempuan binal. Aku menerima pekerjaan ini karena bayarannya tinggi, bukan karena penismu besar." Aku sendiri tidak tahu mengapa aku mencetuskan hal itu, tapi aku bisa melihat seringai di wajahnya.

"Coba bilang sekali lagi," katanya.

"Apa?"

"Yang tadi kamu bilang. Katakan sekali lagi."

"Karena bayarannya tinggi?"

"Setelah itu."

"Bukan karena penismu be ...."

Aku bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatku saat dia menyela, "Sial, kamu bikin aku terangsang. Katakan hal yang lebih nakal. Aku suka mendengarnya, bikin batangku jadi keras."

"Kamu menjijikkan, Pak Maximus," kataku dengan penuh penghinaan.

"Aku bisa bayar kamu."

"Kamu pikir aku pelacur?!" bentakku.

"Tiga miliar. Buat jadi partner seks pribadiku," ujarnya. Mulutku pun kembali ternganga. Tiga miliar?

"Kamu pikir aku nggak bisa menghasilkan uang sebanyak itu ...?"

"Setahun bekerja pun kamu nggak akan bisa dapat sebanyak itu, Anya. Sebelum kamu berkhayal terlalu tinggi, asal tahu aja, kalau mau aku bisa tidur sama perempuan mana pun tanpa perlu bayar," cetus Maximus.

"Walaupun dengan keadaanmu sekarang ini?" balasku.

"Ya jelas, bukan sekarang. Namun, kalau mau bayar, aku bisa cari orang yang mau tidur denganku," jawabnya.

"Kalau gitu, bayar aja," balasku ketus.

"Tadi aku menawarkan ke kamu, 'kan?" jawabnya seolah-olah tawarannya adalah hal yang wajar.

"Maksudku tawarkan aja ke orang lain," jelasku.

"Kalau aku menginginkan orang lain, kamu pikir aku nggak akan menawarkan ke mereka? Padahal dadamu rata begitu," celetuknya. Sontak, aku melihat ke arah dadaku sendiri. Bagaimana dia bisa tahu?

"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Selama ini kamu yang bantu aku duduk di kursi roda. Aku bisa tahu kalau dadamu rata," tambahnya seakan-akan dia bisa membaca pikiranku.

"Kenapa nggak tawarkan aja ke orang lain?" tanyaku lagi.

"Karena aku masih punya harga diri. Nanti orang-orang akan bilang kalau aku hanya memikirkan urusan ranjang walaupun keadaanku seperti ini. Aku nggak mau jadi bahan gosip orang banyak," tandas Maximus.

"Lalu, kamu pikir aku nggak akan menyebarkan gosip tentang kamu?"

"Aku bisa suruh kamu tanda tangani kontrak," jawabnya.

"Kalau gitu, kenapa nggak suruh mereka tanda tangan kontrak aja?" debatku.

"Yang benar aja. Masa aku harus bikin kontrak buat setiap wanita yang kutiduri? Kamu pikir itu nggak merepotkan?" cemooh Maximus. "Kalau wanitaku hanya kamu, aku hanya akan terikat denganmu. Kalau nantinya ada gosip tentang urusan ranjangku, aku tinggal menyelidiki kamu."

"Walaupun begitu, jangan libatkan aku dalam urusan mesummu," ujarku seraya membawa nampan dan berjalan menuju pintu keluar.

"Pikirkan baik-baik, Anya. Tiga miliar untuk tidur bersamaku selama setahun," tambahnya saat aku bergegas keluar dan langsung menuju ke dapur.

Ini benar-benar gila! Ada apa dengan pria itu?

Apakah pria-pria yang terbiasa mendapatkan semua keinginan mereka selalu bersikap di luar kendali seperti ini? Mengapa Maximus bertingkah seperti itu? Apa benar dia mau membayar 3 miliar agar aku mau tidur dengannya selama setahun? Aku tidak mengerti jalan pikiran orang-orang kaya seperti Maximus. Apa yang mereka pikirkan?

Ya, sebenarnya aku membutuhkan uangnya. Tawaran Maximus benar-benar datang di saat yang paling tepat. Ayahku, Dandi Wijaya, telah kecanduan berjudi. Terakhir kali aku berbicara dengan ibuku, Martina Fawzi, di telepon, aku baru tahu kalau ayahku sudah menggadaikan tanah pertanian keluarga kami.

Mungkinkah Maximus sudah mengetahui tentang hal ini? Tidak, bagaimana mungkin dia bisa tahu? Aku sedang berada di kamarku saat menelepon ibuku. Meskipun aku menggunakan speaker telepon, Maximus tidak akan bisa mendengarku, karena aku berada di balkon. Lagi pula, kamarku berseberangan dengan kamar kosong, dan kamar Maximus masih berjarak dua kamar dari kamarku.

Sudahlah, aku tidak mau memikirkannya lagi. Mungkin Maximus hanya hilang akal sesaat setelah bermasturbasi. Mungkin kalau akalnya sudah kembali, Maximus akan menyadari betapa konyol tawarannya tadi.

Ketika aku memasuki kamarnya untuk memberikan obat, Maximus sudah tidak menyebut-nyebut masalah itu lagi. Syukurlah, akhirnya aku bisa bernapas lega.

Saat malam tiba dan aku sudah kembali ke kamarku, aku pun sudah melupakan tawaran Maximus seakan-akan percakapan itu tidak pernah terjadi.

Namun, itu tidak bertahan lama. Pada pukul 9 malam, ibuku menelepon lagi.

Sebenarnya, saat masih bekerja sebagai perawat di rumah sakit terkenal, gajiku tidak terlalu buruk. Namun, aku ingin membangun rumah yang layak untuk keluargaku. Itulah sebabnya aku menerima tawaran pekerjaan sebagai perawat pribadi Maximus.

"Bu," jawabku.

"Ann, maaf ya, Ibu ganggu kamu terus."

"Nggak apa-apa, Bu," kataku walaupun sebenarnya aku merasa tidak baik-baik saja. Namun, bagaimana mungkin aku bilang begitu?

Ibuku telah bekerja tanpa lelah demi menyekolahkan aku. Selain itu, Ibu masih menghidupi adik laki-lakiku. Adikku itu telah menyia-nyiakan kesempatan hidupnya, menikah di usia dini, dan masih bergantung pada ibuku.

"Ibu nggak mau menyeret kamu dalam masalah keluarga, tapi ... apa kamu punya kenalan yang bisa pinjamkan uang untuk melunasi utang-utang ayahmu?" tanya Ibu dengan penuh kecemasan. "Nanti Ibu kembalikan uangnya, Ibu janji. Masalahnya ... kamu tahu sendiri betapa sulitnya keadaan di desa, 'kan?"

"Ibu butuh berapa?"

"Sekitar 1 miliar, Ann," jawab Ibu.

"Apa?!" pekikku. "Dari mana kita bisa dapat uang sebanyak itu? Cari pinjaman sebesar itu pun nggak akan semudah itu!"

Aku bisa mendengar Ibu berdesah penuh penyesalan. Hatiku tidak tega mendengarnya.

"Maafkan Ibu, Ann. Ibu nggak mau membebani kamu, tapi Ibu nggak tahu harus minta bantuan siapa lagi," ujar Ibu dengan sungkan.

Aku hanya bisa memejamkan mata dan memijat pelipisku, menyadari betapa beratnya situasi ini. Di mana aku bisa mendapatkan 1 miliar?

Ayahku memang hanya menjadi beban, selalu membawa masalah ke keluarga kami. Aku benar-benar kasihan pada ibuku. Sial sekali nasibnya, harus menikahi suami seperti itu. Meskipun ini adalah ayahku sendiri, aku tidak bisa menepis rasa benci di hatiku.

Di zaman sekarang, susah sekali mencari pria yang bisa diandalkan. Kalaupun ada, kemungkinan besar pria-pria itu juga mencari wanita yang setara dengan mereka.

"Baiklah, Bu. Aku akan coba cari jalan keluarnya," ucapku demi meringankan perasaan ibuku. Kenyataan bahwa ibuku masih harus berurusan dengan masalah seperti ini di usianya yang sudah 55 tahun, benar-benar membebani pikiranku.

"Makasih, Ann," kata ibuku. Kali ini, Ibu terdengar lebih lega. "Jaga dirimu baik-baik, ya."

"Ibu juga jaga kesehatan," balasku sebelum mengakhiri panggilan.

Tiba-tiba, tawaran Maximus yang tidak senonoh itu muncul di benakku. Haruskah aku mempertimbangkannya? Lagi pula, dia hanya menginginkan hubungan badan denganku, bukan?

"Uh ... Apa aku bisa tidur bareng orang yang bukan pasanganku?" gumamku dengan nyaring.

Aku melirik pintu kamarku, memastikan kalau semuanya masih dalam keadaan terkunci. Tidak ada yang mendengar ucapanku barusan, bukan?

"Yah, aku bersumpah ini akan jadi terakhir kalinya Ayah menyusahkan Ibu kayak gini," sumpahku. "Aku sendiri yang akan memastikan nasib Ayah akan berakhir di penjara."

Namun, aku tahu kenyataan yang sebenarnya. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa berkeluh kesah pada diriku sendiri.

-

Keesokan harinya, aku mengamati bosku yang mesum. Aku menunggu kalau-kalau Maximus akan mengungkit tawaran itu lagi. Namun, hingga tiba saatnya Maximus bersiap untuk tidur, dia tidak mengatakan sepatah kata pun.

Hal yang sama terulang kembali di hari berikutnya. Mungkinkah dia sudah menyadari kebodohannya? Apa dia sudah menyadari kalau harga 3 miliar terlalu mahal untuk ditukar dengan hubungan seks selama setahun?

Sejujurnya, dia nggak akan rugi juga, apalagi karena aku masih perawan. Namun, jika mengingat betapa terangsangnya Maximus saat itu, hal itu mungkin akan berakibat buruk bagiku. Apa yang akan terjadi pada tubuhku setahun lagi?

-

Satu minggu telah berlalu.

Aku berada di kamar Maximus lagi, menyuapi makanannya sambil menatap pria itu lekat-lekat. Bagaimanapun juga, Maximus tidak akan menyadarinya, karena dia tidak bisa melihat.

"Anya," panggil Maximus. Walaupun perhatianku masih terpusat kepada Maximus, suaranya tetap membuatku tersentak.

"Ada apa lagi?" tanyaku berpura-pura kesal.

"Kamu sedang menatapku?" tanyanya.

Apa-apaan ini? Bukankah dia tidak bisa melihat? Tanpa pikir panjang, aku melambaikan tangan di depan wajah Maximus, tapi tidak ada respons darinya. Dia bahkan tidak berkedip sedikit pun.

"Nggak, buat apa aku menatapmu?" balasku dengan nada ketus.

"Entahlah. Aku hanya merasa sepertinya ada yang sedang menatapku untuk waktu yang lama. Tadinya aku enggan bertanya, takutnya kamu akan mengira aku sudah gila," katanya sambil mengangkat bahu.

Aku pun menghirup napas dalam-dalam dan berusaha mengumpulkan keberanian.

"Aku setuju," kataku dengan mantap.

Sialan, semoga saja tawaran si mesum ini masih berlaku!

Related chapters

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 3

    Sudut pandang Anya:"Apa yang kamu setujui?" tanya Maximus dengan bodohnya."Pak Maximus, apa kamu bodoh? Kamu tahu betul apa yang aku bicarakan. Jangan main-main denganku," balasku."Kamu marah?" tanyanya lagi."Nggak, Pak Maximus, aku cuma ingin bilang," jawabku."Bilang apa?" desaknya."Pak Maximus!" bentakku."Jelaskan, dong! Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan. Apa yang kamu setujui? Kamu setuju buat apa?"Kalau ekspresi wajah Maximus tidak kelihatan kebingungan seperti sekarang ini, aku pasti mengira dia sedang mengejekku. Meskipun begitu, aku yakin si mesum ini hanya mempermainkan aku. Tidak mungkin dia tidak mengetahui apa yang aku bicarakan."Ah, sudahlah, lupakan aja. Sepertinya tawaranmu sudah tidak berlaku lagi," ujarku, tapi Maximus tidak merespons. "Setidaknya, izinkan aku rehat sebentar. Maksudku, aku mau ambil cuti.""Untuk apa?" desaknya."Aku mau cari pria kaya yang mau membayar 3 miliar untuk bercinta dengannya selama setahun," kataku."Oh, jadi itu yang kamu

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 4

    Sudut pandang Anya:"Apa maksudnya ini? Kenapa kita harus menikah?" tanyaku bingung.Ya, aku memang sempat bertanya-tanya apakah aku bisa tidur dengan orang yang bukan pasanganku, tetapi tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau dia akan menyertakan kata "pernikahan" di kontrak kami."Kamu bisa lihat dan baca sendiri, jadi buat apa kamu tanya lagi?" jawab Maximus."Aku masih nggak mengerti. Kita sedang membicarakan pernikahan di sini, Pak Maximus. Itu adalah komitmen seumur hidup. Seharusnya perjanjian kita hanya untuk berhubungan seks selama setahun," jelasku."Ini juga untuk kebaikanmu. Apa kamu mau dicap sebagai orang yang nggak bermoral?" tanya Maximus seolah-olah dia benar-benar telah memikirkannya."Aku mengerti, tetapi aku belum siap untuk menikah!" seruku."Kalau begitu, sebaiknya kamu mulai mempersiapkan diri. Kalau kamu siap untuk berhubungan seks selama setahun, seharusnya kamu juga harus bersiap menjadi Nyonya Brata.""Kamu pikir semudah itu?" tanyaku balik."Aku tahu, i

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 5

    Sudut pandang Anya:Maximus dan aku sudah tinggal bersama selama seminggu, tapi dia belum juga mendekatiku. Aku agak terkejut, karena meskipun kami tidur sekamar, dia bahkan tidak mencoba memelukku.Berkas pernikahan kami sudah diproses, dan aku mulai bertanya-tanya apakah dia masih waras.Mengingat betapa mesumnya Maximus, sulit dipercaya kalau dia bahkan belum menyentuhku.Aku sudah mengirim uang sejumlah 1 miliar kepada ibuku untuk melunasi utang ayahku. Aku sudah mengumpulkan seluruh keberanianku untuk memintanya. Aku tidak peduli apakah Maximus memutuskan untuk tidur denganku sebelum Natal; yang penting aku membutuhkan uangnya sekarang.Kami berada di kamar, dan aku sedang memakaikan pakaian untuknya.Sebenarnya, kami sudah mandi bersama. Meskipun aku enggan melakukannya, Maximus bersikeras hingga akhirnya aku menyerah. Aku mengira dia ingin berhubungan seks, tapi ternyata tidak."Sayang," panggilnya. Aku pun menoleh padanya."Tolong cek apakah sopirnya sudah datang?" tanya Maximu

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 6

    Sudut pandang Anya:Oh tidak, perasaan apa ini? Apakah rasanya memang seperti ini?Aku bukan orang yang terlalu polos; aku pernah bercumbu dengan mantan pacarku, tapi kami belum sampai sejauh itu. Namun, sentuhan Maximus memberiku sensasi yang sama sekali berbeda."Kamu bilang apa, Sayang?" tanya Maximus.Aku memejamkan mata karena sensasi yang dibuat oleh jari Maximus, tetapi kedua mataku langsung terbuka ketika mendengar suaranya."Oh … donat buatan Lisa enak banget," kataku. Mungkin saat ini wajahku tersipu malu. Untungnya, dia tidak bisa melihatku."Apa benar donatnya yang enak?" godanya sambil menyeringai padaku.Sial, mengapa seringainya membuatku merasa kalau Maximus bisa melihatku? Jika aku tidak tahu sejak awal bahwa dia buta dan duduk di kursi roda, aku akan mengira dia sedang mengerjaiku.Namun, bahkan pembantu rumah tangga kamu pun tahu apa yang telah terjadi padanya."Ya, coba aja sendiri!" kataku, sambil memasukkan donat ke dalam mulut Maximus. Aku menjejalkannya dengan p

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 7

    Sudut pandang Anya:Beraninya si berengsek itu! Di sinilah aku, duduk di kedai kopi yang sama tempat aku membelikan kopi untuk si cabul Maximus itu, memperhatikan dia berbicara dengan wanita itu, Miranda.Dia mengusap matanya seperti sedang menangis, tetapi tidak ada setitik air mata pun yang terlihat. Meskipun Maximus tidak bisa melihatnya, bukan berarti tidak ada orang lain yang akan memperhatikan gerak-geriknya.Miranda adalah mantan pacar Maximus. Wanita itu meninggalkannya saat dia mengetahui tentang kondisi Maximus. Dia mungkin mengira Maximus tidak akan pernah bisa berjalan atau melihat lagi, jadi dia berlari secepat kilat sampai tidak sempat mengucapkan "selamat tinggal."Yah, itu hanya tebakanku saja. Mungkin dia tidak senang karena Maximus tidak bisa memuaskannya lagi, karena itu dia pergi. Kalau saja Miranda tahu betapa cabulnya Maximus, dia mungkin akan bertahan.Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dan berjalan ke arah mereka.Miranda menatapku dengan tatapan membunuh, tapi t

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 8

    Sudut pandang Anya:"Jangan coba-coba tinggalkan aku lagi, Anya, atau kamu akan merasakan akibatnya," kata Maximus dengan penuh amarah.Aku mengabaikannya dan memilih untuk membuka layar ponselku."Kamu dengar aku, nggak?" tanyanya. Rasa frustrasi terdengar jelas di nada bicaranya, tapi aku tetap mengacuhkannya.Mengapa aku harus peduli pada seseorang yang lebih menghargai pendapat orang lain daripada perasaanku?Maximus baru saja pulang dari rumah sakit, dan begitu Haris pergi setelah mengantarnya pulang, Maximus mulai menceramahiku. Apakah dia pikir kemarahannya akan membuatku takut?"Anya!" teriaknya."Jangan membentakku!" balasku ketus.Mungkin dia mengira aku akan membiarkannya memperlakukanku seperti ini karena seharusnya masalahnya sudah selesai."Kalau aku bertemu Miranda lagi, aku akan mengulanginya lagi. Bilang aja dari sekarang kalau kamu mau membiarkannya menggodamu. Jadi, aku nggak perlu terus-terusan ikut denganmu," kataku tajam."Kamu cemburu?" tanyanya seolah-olah itu a

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 9

    Sudut pandang Anya:"Sayang, aku harus ke kantor," kata Maximus.Saat itu hari Senin pagi dan kami sedang sarapan.Aku yang menyiapkan makanannya karena Lisa tidak ada di rumah. Dia harus mengurus sesuatu yang penting untuk anaknya. Itu bukan masalah besar, karena aku tahu cara mengerjakan pekerjaan rumah."Baiklah," jawabku singkat, sambil melanjutkan makan."Kamu masih marah karena kejadian minggu lalu?" tanya Maximus."Aku nggak punya hak untuk marah," jawabku."Ayolah, Sayang, aku kan sudah menjelaskan padamu.""Aku hanya bilang, karena kamu sudah membayarku, kamu boleh melakukan apa pun yang kamu mau. Asalkan, setelah setahun, kontrak kita selesai," kataku sambil menggigit telur terakhirku dan menyeruput air putih.Aku makan dengan perlahan, karena setelah setiap gigitan, aku harus menyuapi suamiku.Sejujurnya, tidak ada masalah yang berarti; aku mengerti situasi yang dialami Maximus dan aku bukan tipe orang yang akan mengabaikannya. Jadi, meskipun aku memendam kekesalan padanya s

    Last Updated : 2024-11-25
  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 10

    Sudut pandang Anya:"Nenek," sapa Maximus.Kami berada di apartemen, dan nenek Maximus baru saja tiba. Aku merasa canggung, tidak yakin apa yang harus aku lakukan saat Ruth menatapku, terutama tanganku, yang digandeng oleh Maximus."Selamat pagi," sapaku juga. Aku tidak ingin terkesan tidak sopan.Ruth mengangkat sebelah alisnya sebelum menoleh ke Maximus."Apa kabar, cucuku sayang?" tanyanya seraya duduk di sofa, di samping kursi roda Maximus.Aku duduk di sisi lain, seolah-olah kami bertiga sedang terlibat dalam semacam cinta segitiga."Seperti yang Nenek lihat, aku baik-baik saja. Istriku merawatku dengan baik," jawab Maximus."Ya, sudah seharusnya begitu, karena dia dibayar untuk melakukannya!" sindir Ruth.Aw! Serangan tajam yang tidak terduga. Kalau saja Ruth bukan orang tua, aku pasti akan membalasnya."Nenek ...."Ruth menyela, "Kenapa? Omonganku itu benar! Apa menurutmu dia akan bekerja sekeras ini kalau nggak ada uang yang terlibat? Dia sebaiknya melakukan pekerjaannya dengan

    Last Updated : 2024-11-25

Latest chapter

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 50

    Sudut pandang Maximus:Andy yang tengah memeluk wanita di sampingnya, menimpali, "Kami sudah bilang bahwa kamu nggak dibutuhkan di sini.""Hei, Max bukan satu-satunya pria di sini," balas Sherly.Aku dengan jelas melihat Anya memutar matanya. Jelas kami semua sudah memiliki pasangan."Kalau begitu carilah seseorang yang sedang sendirian untuk kamu temani," kata Andre."Hei, Jalang, pergi dari sini," bentak Sherly pada wanita di samping Lucky."Apa?" tanya wanita itu dengan terkejut."Diam, Sherly!" teriak Lucky padanya.Dia paling benci pada orang yang mengacaukan apa pun atau siapa pun yang dia anggap miliknya."Apa? Jadi, kamu lebih pilih dia daripada aku?" tanya Sherly dengan nada genit."Aku nggak akan pernah memilihmu, Jalang," balas Lucky.Lucky memiliki lidah yang tajam. Dia akan mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikirannya tanpa memedulikan siapa lawan bicaranya."Napa kamu terus-terusan ngelihatin wanita jalang itu?" tanya Anya dengan lembut."Apa? Aku nggak melakukannya

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 49

    Sudut pandang Maximus:"Hei, Bro, aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah!" komentar temanku, Lucky Susatyo sambil menyeringai dan menatap Anya.Sikapnya membuatku merasa tidak nyaman karena aku tahu betapa pandainya dia merayu wanita. Lucky lebih parah dariku. Dia bahkan pernah menikung pacar temannya. Meskipun dia tidak pernah terlibat hubungan serius dengan wanita, tetap saja tidak pantas baginya untuk menggoda istriku."Ya, dia istriku, jadi bersikaplah sopan padanya," kataku sambil menatapnya tajam, berharap dia menerima pesanku. Aku tidak akan pernah memaafkannya kalau sampai dia mendekati satu-satunya wanita yang kucintai."Hei, hei, cukup," sela Andy sebelum melirik ke arahku dan Anya. "Lucky juga tahu diri. Ya 'kan, Sobat?"Aku mengangguk dan dengan lembut meremas tangan Anya untuk meredakan kecanggungan. Mungkin aku salah memilihkan baju untuknya. Meski Anya berdada rata, lekuk tubuhnya yang seksi tetap terlihat jelas. Dengan cepat, aku melepaskan mantelku untuk menutupi paka

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 48

    Sudut pandang Anya:"Cepat masukin, Suamiku!" perintahku. Tubuhku sudah mengantisipasi penetrasinya yang kasar. "Ahh! Enak sekali!" Aku tidak bisa menahan erangan sensualku lagi. Apa yang dikatakan orang mesum itu benar. Wanita mana pun akan mengerang oleh sentuhannya."Kamu masih sangat ketat, Istriku," katanya dengan suara sensual saat melakukan penetrasi.Awalnya, dia memegangi pinggulku, tetapi kemudian salah satu tangannya bergerak ke bahuku, mendorong batangnya masuk lebih dalam. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, dan aku menikmati setiap momen."Maximus, teruskan ... lebih cepat ... ahh!" Aku mengerang berulang kali, kehilangan diriku dalam sesi bercinta yang intens ini. Kenikmatan di antara pahaku sedang terbangun, dan aku tahu dia juga merasakannya, jauh di dalam diriku. Aku mencengkeram bantal erat-erat saat dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan cepat.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Maximus, pastikan untuk nggak keluar di dalam, oke?"Dia tiba-tiba berhenti dan menat

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 47

    Sudut pandang Anya:"Sial! Istriku, kamu nggak pakai celana dalam?!" serunya dengan matanya terbelalak."Yah, celana dalamku terlihat di balik gaun ini. Berhubung aku nggak punya celana dalam seamless, jadi aku melepasnya," jawabku.Sejujurnya aku merasa agak risih dengan gaun yang kami beli di Baharimudra. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku telah mencobanya di depan cermin sambil hanya berfokus pada bagian depan tanpa memperhatikan bagian belakang.Namun, ketika aku memakainya lagi barusan, aku baru sadar kalau celana dalamku terlihat jelas. Penampilan gaun ini tampak mengerikan dari belakang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, pada saat Maximus memasuki kamar, aku sudah melepas celana dalamku."Sial ...," gumamnya.Dia kemudian memasukkan satu jari ke dalam organ intimku, membuatku memejamkan mata dan bersandar ke dadanya yang bidang dan berotot."Maximus, kamu lagi ngapain? Sebentar lagi kita berangkat," aku mengingatkannya, tapi suaraku terdengar lebih seperti e

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 46

    Sudut pandang Anya:"Benarkah? Tadinya aku berharap kamu mau ketemu dengan teman-temanku di sini," kata Jason.Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu, tapi aku tidak memberitahunya karena tidak ingin menyakiti perasaannya."Maaf, Jason, aku benaran nggak bisa," jawabku."Oke. Lain kali saja kalau begitu," katanya."Oke. Dah."Setelah mengakhiri panggilan, aku menarik napas dalam-dalam.Kenangan saat-saat kami masih bersama tiba-tiba membanjiri benakku lagi. Aku tidak bisa mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Aku tahu dan masih bisa merasakan cintanya kepadaku. Tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami karena dia sangat pengertian. Mungkin itu karena kami saling mengenal satu sama lain.Tentu saja kami pernah bertengkar, tetapi seringnya kami bertengkar karena hal-hal kecil. Walau demikian, dia selalu berusaha keras untuk menebusnya. Itulah alasan yang membuatnya menjadi satu-satunya pria yang pernah sangat aku cintai.Sayangnya semua itu sudah berlalu. Kami tidak lagi bersam

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 45

    Sudut Pandang Anya:"Ayo, istriku. Ikutlah denganku," ajak Maximus yang memaksa. Aku benar-benar tidak mau ikut. Percakapan bisnis tidak menarik bagiku. Lagi pula, aku hanya akan bengong selama rapat. Jadi, aku lebih baik diam di kamar hotel ini."Aku mau di sini saja, Maximus. Kamu sudah ditemani dua sekretarismu, itu cukup," balasku."Kamu mau ngapain di sini?" tanya dia."Memangnya kamu mau aku ngapain di sana?" jawabku."Mendengar percakapan kami," katanya."Kamu tahu kenapa aku jadi perawat?" tanyaku yang mulai bicara dengan nada kesal."Agar kamu bisa bersama Jason?" balasnya. Aku pun mengerlingkan mata karena kesal dia masih cemburu. Maximus memang mengaku kalau dia cemburu saat melihatku bersama Jason, dan benci saat melihatku terlihat begitu senang saat bersama Jason. Maximus berpikir aku memberi tahu Jason kalau kami akan datang dan Jason juga sedang ada di sana.Aku sudah menjelaskan semuanya, alasan aku dan Jason masih berkomunikasi dan alasan dia ada di sini. Aku kira mas

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 44

    Sudut pandang Maximus:Kepalaku sakit dan aku tidak bisa berhenti mengerang saat membuka mata dengan perlahan. Aku berusaha mengingat kenapa aku merasakan ini, lalu kejadian kemarin pun muncul kembali di benakku. Aku bernapas dalam-dalam sebelum menoleh ke samping, lalu merengut karena tidak melihat Anya di sana.Aku pun segera bangun dan memeriksa kamar mandi. Lampunya mati, jadi sudah pasti dia tidak ada di sana. Kemudian, aku ingat Anya menanggalkan pakaianku semalam, tetapi sekarang aku sudah mengenakan singlet dan bokser.Aku keluar kamar dan melihat Anya sedang tidur di sofa. Aku diam-diam menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sofa itu cukup besar untuk menampung kami berdua, tetapi Anya tidak seharusnya di sana. Dia seharusnya ada di kamar bersamaku, tetapi dia malah memilih untuk tidur di sini.Aku memutuskan untuk membiarkannya dan mulai memperhatikan diri sendiri. Saat mandi, aku teringat bagaimana aku harus menahan diri kemarin setelah menghukum Anya. Lain kali, aku akan m

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 43

    Sudut pandang Maximus:"Apa? Kamu mau minum?" tanyaku."Iya," jawabnya. Dia melanjutkan, "Aku juga mau kamu." Aku pun melirik ke arah pelayan bar dan memberikan isyarat agar dia menuangkan segelas minuman untuk wanita itu. Aku tidak bermaksud untuk mendekati wanita itu dan hanya ingin menemani dia minum. Aku sadar kalau aku mengusirnya, akan ada orang lain yang datang menggantikannya.Jadi, aku minum bersama wanita yang tidak mau kukenal itu, lalu aku pun mulai merasa pusing. Aku bahkan tidak tahu saat itu pukul berapa karena aku hanya memikirkan Anya yang mungkin tidak mau menghubungi atau menanyakan kabarku. Aku begitu terpuruk di bar, terus-terusan memanggil nama Anya saat seseorang mengangkat kepalaku.Aku pun mendengar seseorang berkata, "Tampan, jangan tidur di pangkuanku." Kejadian itu akan lebih baik kalau aku melihat wajah Anya. Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Aku pun menyingkirkan tangan wanita itu saat dia menyentuh wajahku. Namun, wanita itu begitu bersikeras menarik wa

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 42

    Sudut pandang Maximus:Bahkan saat aku bersama teman-temanku, pikiranku masih terpusat pada Anya. Mereka menggodaku saat kami mengobrol, karena mereka menyadari kalau perhatianku teralihkan. Mereka juga yang telah mendatangkan seorang wanita ke kamar hotel kami. Namun, aku bahkan tidak bisa mengingat nama wanita itu.Saat itulah mereka menyadari bahwa hubunganku dengan Anya cukup serius. Aku menegur teman-temanku, dan menjelaskan bahwa aku tidak tertarik bermain dengan wanita lain. Mereka mengira aku telah menikahi Miranda dan menerima keputusan nenekku, tetapi mereka salah.Menjelang sore, aku sudah tidak tahan lagi. Aku pun berpamitan pada teman-temanku. Aku menduga Anya mungkin merasa lapar, dan memutuskan untuk pulang agar kami bisa makan bersama. Namun, saat aku berbalik ke arah lift, aku melihat Anya keluar bersama Jason.Apa yang dia lakukan di sini? Apakah Anya telah memberi tahu Jason bahwa kami ada di sini sehingga dia mengikuti kami ke tempat ini?Amarah berkobar dalam hatik

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status