Share

Bab 3

Author: MysterRyght
Sudut pandang Anya:

"Apa yang kamu setujui?" tanya Maximus dengan bodohnya.

"Pak Maximus, apa kamu bodoh? Kamu tahu betul apa yang aku bicarakan. Jangan main-main denganku," balasku.

"Kamu marah?" tanyanya lagi.

"Nggak, Pak Maximus, aku cuma ingin bilang," jawabku.

"Bilang apa?" desaknya.

"Pak Maximus!" bentakku.

"Jelaskan, dong! Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan. Apa yang kamu setujui? Kamu setuju buat apa?"

Kalau ekspresi wajah Maximus tidak kelihatan kebingungan seperti sekarang ini, aku pasti mengira dia sedang mengejekku. Meskipun begitu, aku yakin si mesum ini hanya mempermainkan aku. Tidak mungkin dia tidak mengetahui apa yang aku bicarakan.

"Ah, sudahlah, lupakan aja. Sepertinya tawaranmu sudah tidak berlaku lagi," ujarku, tapi Maximus tidak merespons. "Setidaknya, izinkan aku rehat sebentar. Maksudku, aku mau ambil cuti."

"Untuk apa?" desaknya.

"Aku mau cari pria kaya yang mau membayar 3 miliar untuk bercinta dengannya selama setahun," kataku.

"Oh, jadi itu yang kamu setujui? Coba kamu perjelas lagi," ujar Maximus.

"Tolonglah, biarkan aku cuti seminggu," tambahku.

"Kamu pikir ada pria waras yang mau menawarkan hal semacam itu?" tanyanya.

"Kan kamu yang menawarkan kepadaku, memangnya kamu bukan pria waras?" balasku ketus.

Yang benar saja, apa pria ini bicara serius?

"Aku buta dan nggak bisa jalan. Menurutmu aku masih waras? Kalau aku nggak cacat, apa mungkin aku akan menawarkan hal semacam itu kepadamu? Yang benar aja!" cemooh Maximus.

"Kamu tahu nggak? Kamu itu cuma besar mulut. Mentang-mentang kamu punya banyak uang!" kataku dengan penuh kekesalan.

"Dari cara bicaramu, sepertinya kamu nggak menghormati aku sebagai bosmu. Jangan lupa ya, gaji yang kubayarkan nggak sedikit," balasnya.

"Jangan lupa kalau kamu bos yang mesum, selalu memamerkan penismu yang seperti tusuk gigi. Kalau orang lain melihatnya, kamu pasti sudah dilaporkan ke polisi," bantahku.

"Mana mungkin kamu melaporkan aku ke polisi? Kamu kan senang melihat penisku. Lagian, kenapa kamu samakan penisku dengan tusuk gigi?!" jawabnya.

Aku ingin mengakak melihat mata Maximus yang membelalak lebar, tapi aku menahan diri.

"Vaginamu pasti babak belur kalau punyaku ini kumasukkan dalam-dalam. Kalau gitu, hubungi Haris Cipta," perintahnya.

"Kenapa aku harus menghubungi asistenmu?" tanyaku.

"Supaya aku bisa menyiapkan kontrak kita. Berhubung kamu sudah setuju, sudah saatnya kubuktikan kalau aku bisa membuat vaginamu babak belur," jawabnya.

"Kamu tahu nggak, Pak Maximus? Kamu itu kaya dan kelihatan seperti orang terpelajar, tapi mulutmu kotor banget. Lagakmu seperti pengangguran, bahkan mungkin lebih parah lagi. Setidaknya pengangguran masih tahu cara bicara yang pantas," tukasku.

"Aku nggak peduli. Yang penting aku jadi terangsang kalau aku membicarakan hal-hal kotor seperti itu. Jadi, kamu harus ngomong kotor saat tidur denganku," kata Maximus.

Percakapan kami cukup intens, dan aku menyadari kalau celana dalamku mulai terasa basah. Sensasi kali ini berbeda dari biasanya, tidak seperti perdebatan kami dalam beberapa hari terakhir.

"Karena kamu sudah setuju, aku harus cari tahu apakah kamu pantas dihargai 3 miliar," tambah Maximus.

"Apa maksudmu 'cari tahu'?" tanyaku kebingungan.

"Kemarilah, biar aku sentuh kamu dulu. Aku juga mau isap payudaramu supaya tahu rasanya enak atau nggak," jawabnya.

"Maximus, dasar nggak tahu malu! Memangnya aku ini apa? Jajanan pasar? Enak aja, kenapa kamu harus mencicipi tubuhku dengan gratis?"

"Kenapa nggak? Aku hanya ingin memastikan. Bagaimana kalau ternyata kamu cuma sekadar perawan, tapi kelaminmu nggak terasa manis?"

"Terasa manis?" pekikku. Sulit dipercaya, memangnya bagian itu bisa terasa manis? Bukankah seharusnya terasa asin?

"Tentu saja, aku ingin vagina yang manis," ujar Maximus.

"Lupakan aja. Aku nggak mau berurusan denganmu kalau kamu mau icip-icip gratis. Aku bersedia menandatangani kontrak, tapi jangan minta sampel gratis," tolakku.

"Kalau gitu, nggak usah. Kan yang butuh uang bukan aku," jawab Maximus.

Aku melemparkan tatapan tajam pada Maximus setelah mendengar perkataannya.

"Gimana kamu bisa tahu kalau aku butuh uang? Apa kamu menguping pembicaraanku dengan ibuku?" tanyaku dengan marah.

"Kamu sudah gila, ya? Orang bodoh pun pasti bisa menebak. Awalnya kamu menolak, tapi sekarang kamu punya alasan untuk menerima tawaran ini. Berhubung yang kutawarkan adalah uang, kamu pasti sedang butuh uang dalam jumlah besar. Kalau jumlah yang dibutuhkan sedikit dan bisa dicicil, kamu pasti memilih untuk pinjam uang atau berutang ke bank," ujarnya dengan logis.

"Aku cuma cacat dan buta, Anya, tapi aku nggak bodoh," tambahnya.

"Aku nggak bilang kamu bodoh!" balasku dengan frustrasi. Aku benar-benar berharap Maximus bisa melihatku supaya dia bisa merasakan betapa tajamnya tatapanku padanya saat ini.

"Ambilkan ponselku," ujarnya. Aku menuruti perintahnya. Lalu, aku melihat Maximus menekan tombol speed dial dan menempelkan ponsel di telinganya.

"Haris, siapkan apartemenku dan juga kontraknya," perintahnya. Lalu, percakapannya berhenti di sana. Apakah Haris sudah tahu apa yang harus dia lakukan?

Maximus menyerahkan ponselnya kepadaku, lalu aku letakkan di meja samping tempat tidurnya.

"Biar aku bereskan dan bawa turun sisa makananmu," kataku.

"Tunggu." Maximus menghentikanku. "Jangan lupa, aku mau mencicipi tubuhmu dulu. Jadi, kamu harus segera kembali ke sini," tuntutnya.

Aku mencibir dan hendak segera keluar dari kamar, tapi Maximus menambahkan, "Kemasi juga barang-barangmu. Bawa semua barang yang kamu punya, karena kita akan pindah ke apartemen."

Aku hanya terdiam, menyadari kalau Maximus masih menunggu respons dariku. "Anya, kamu dengar, nggak?"

"Iya!" teriakku seraya melangkah menuju pintu keluar.

"Setelah berkemas, cepat kembali supaya aku bisa mencicipimu!" seru Maximus.

Bahkan setelah aku meninggalkan kamar Maximus, aku masih tidak bisa mempercayainya. Aku merasa proses perjanjian kami ini berjalan sangat mulus.

Dasar tidak tahu malu! Beraninya dia menggunakan tubuhku sebagai alat tawar-menawar!

Sesuai instruksi Maximus, aku mengemasi semua barang-barangku. Aku tidak tahu apa yang membuat Maximus memutuskan untuk pindah ke apartemen.

Tunggu dulu, jangan-jangan Maximus berniat mengeksploitasi tubuhku dengan uang 3 miliarnya? Dasar mesum!

"Barang apa aja yang mau kamu bawa ke apartemen?" tanyaku seraya memasuki kamar Maximus.

Aku terkejut melihat Maximus sudah berpakaian rapi hingga tidak bisa mengalihkan pandanganku. "Keajaiban macam apa ini? Habis makan apa kamu? Kok tumben bisa pakai baju sendiri?"

"Aku memang bisa pakai baju sendiri, Anya," jawab Maximus seraya mendorong kursi rodanya ke dekatku. "Mana barang-barangmu?"

"Di kamarku," jawabku.

"Ayo, ambil dulu barang-barangmu sebelum kita turun," dorongnya. Aku pun berjalan ke arah pintu. Sesuai saran Maximus, kami pergi ke kamarku dahulu untuk mengambil koperku, lalu menuju ke lift.

Ya, di rumah ini tersedia lift supaya Maximus bisa naik turun sesuka hatinya. Nenek Maximus membangun lift itu sebelum pergi berlibur ke Eriloka. Namun, sepertinya sang nenek tidak berencana pulang lagi. Di minggu pertamaku bekerja untuk Maximus, sang nenek sudah pergi berlibur. Sekarang, setelah tiga bulan, dia masih belum pulang juga.

Aku mengembuskan napas lega, sepertinya Maximus sudah melupakan "icip-icip gratisnya." Kalau bisa memilih, itu adalah bagian dari perjanjian yang tidak ingin aku hadapi. Jujur saja, situasi ini sangat menyebalkan. Aku sendiri tidak bisa percaya kalau aku telah menyetujui syarat yang diajukan Maximus. Namun, sebenarnya, aku tidak berpikir sejauh itu.

Bagaimanapun juga, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, karena keadaan keluargaku yang mendesak. Orang bijak pernah berkata, "Saat kita putus asa, berpeganglah pada batang yang keras."

Sial! Sepertinya aku salah ingat kutipan ….

-

"Ini kontraknya, Pak Maximus," kata Haris dengan senyuman, seraya menyerahkan amplop yang dipegang olehnya. Aku tahu kalau amplop itu berisi kontrak. Aku dan Maximus sudah sampai di apartemen, dan ternyata, Haris sudah menunggu kami di sana.

"Oke, kamu boleh pergi sekarang," perintah Maximus.

"Baik, Pak Maximus," jawab Haris sebelum keluar ruangan.

"Baca dulu," perintah Maximus. Pria itu bersandar santai di sofa, berlagak seolah-olah dia hanya lumpuh dan tidak buta. Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan dokumen di dalamnya, lalu membaca isinya dengan cermat.

"Kenapa kita harus menikah?!" tanyaku dengan ketus setelah membaca pasal yang tertera, bahwa kami berdua harus terikat tali pernikahan.

Related chapters

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 4

    Sudut pandang Anya:"Apa maksudnya ini? Kenapa kita harus menikah?" tanyaku bingung.Ya, aku memang sempat bertanya-tanya apakah aku bisa tidur dengan orang yang bukan pasanganku, tetapi tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau dia akan menyertakan kata "pernikahan" di kontrak kami."Kamu bisa lihat dan baca sendiri, jadi buat apa kamu tanya lagi?" jawab Maximus."Aku masih nggak mengerti. Kita sedang membicarakan pernikahan di sini, Pak Maximus. Itu adalah komitmen seumur hidup. Seharusnya perjanjian kita hanya untuk berhubungan seks selama setahun," jelasku."Ini juga untuk kebaikanmu. Apa kamu mau dicap sebagai orang yang nggak bermoral?" tanya Maximus seolah-olah dia benar-benar telah memikirkannya."Aku mengerti, tetapi aku belum siap untuk menikah!" seruku."Kalau begitu, sebaiknya kamu mulai mempersiapkan diri. Kalau kamu siap untuk berhubungan seks selama setahun, seharusnya kamu juga harus bersiap menjadi Nyonya Brata.""Kamu pikir semudah itu?" tanyaku balik."Aku tahu, i

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 5

    Sudut pandang Anya:Maximus dan aku sudah tinggal bersama selama seminggu, tapi dia belum juga mendekatiku. Aku agak terkejut, karena meskipun kami tidur sekamar, dia bahkan tidak mencoba memelukku.Berkas pernikahan kami sudah diproses, dan aku mulai bertanya-tanya apakah dia masih waras.Mengingat betapa mesumnya Maximus, sulit dipercaya kalau dia bahkan belum menyentuhku.Aku sudah mengirim uang sejumlah 1 miliar kepada ibuku untuk melunasi utang ayahku. Aku sudah mengumpulkan seluruh keberanianku untuk memintanya. Aku tidak peduli apakah Maximus memutuskan untuk tidur denganku sebelum Natal; yang penting aku membutuhkan uangnya sekarang.Kami berada di kamar, dan aku sedang memakaikan pakaian untuknya.Sebenarnya, kami sudah mandi bersama. Meskipun aku enggan melakukannya, Maximus bersikeras hingga akhirnya aku menyerah. Aku mengira dia ingin berhubungan seks, tapi ternyata tidak."Sayang," panggilnya. Aku pun menoleh padanya."Tolong cek apakah sopirnya sudah datang?" tanya Maximu

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 6

    Sudut pandang Anya:Oh tidak, perasaan apa ini? Apakah rasanya memang seperti ini?Aku bukan orang yang terlalu polos; aku pernah bercumbu dengan mantan pacarku, tapi kami belum sampai sejauh itu. Namun, sentuhan Maximus memberiku sensasi yang sama sekali berbeda."Kamu bilang apa, Sayang?" tanya Maximus.Aku memejamkan mata karena sensasi yang dibuat oleh jari Maximus, tetapi kedua mataku langsung terbuka ketika mendengar suaranya."Oh … donat buatan Lisa enak banget," kataku. Mungkin saat ini wajahku tersipu malu. Untungnya, dia tidak bisa melihatku."Apa benar donatnya yang enak?" godanya sambil menyeringai padaku.Sial, mengapa seringainya membuatku merasa kalau Maximus bisa melihatku? Jika aku tidak tahu sejak awal bahwa dia buta dan duduk di kursi roda, aku akan mengira dia sedang mengerjaiku.Namun, bahkan pembantu rumah tangga kamu pun tahu apa yang telah terjadi padanya."Ya, coba aja sendiri!" kataku, sambil memasukkan donat ke dalam mulut Maximus. Aku menjejalkannya dengan p

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 7

    Sudut pandang Anya:Beraninya si berengsek itu! Di sinilah aku, duduk di kedai kopi yang sama tempat aku membelikan kopi untuk si cabul Maximus itu, memperhatikan dia berbicara dengan wanita itu, Miranda.Dia mengusap matanya seperti sedang menangis, tetapi tidak ada setitik air mata pun yang terlihat. Meskipun Maximus tidak bisa melihatnya, bukan berarti tidak ada orang lain yang akan memperhatikan gerak-geriknya.Miranda adalah mantan pacar Maximus. Wanita itu meninggalkannya saat dia mengetahui tentang kondisi Maximus. Dia mungkin mengira Maximus tidak akan pernah bisa berjalan atau melihat lagi, jadi dia berlari secepat kilat sampai tidak sempat mengucapkan "selamat tinggal."Yah, itu hanya tebakanku saja. Mungkin dia tidak senang karena Maximus tidak bisa memuaskannya lagi, karena itu dia pergi. Kalau saja Miranda tahu betapa cabulnya Maximus, dia mungkin akan bertahan.Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dan berjalan ke arah mereka.Miranda menatapku dengan tatapan membunuh, tapi t

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 8

    Sudut pandang Anya:"Jangan coba-coba tinggalkan aku lagi, Anya, atau kamu akan merasakan akibatnya," kata Maximus dengan penuh amarah.Aku mengabaikannya dan memilih untuk membuka layar ponselku."Kamu dengar aku, nggak?" tanyanya. Rasa frustrasi terdengar jelas di nada bicaranya, tapi aku tetap mengacuhkannya.Mengapa aku harus peduli pada seseorang yang lebih menghargai pendapat orang lain daripada perasaanku?Maximus baru saja pulang dari rumah sakit, dan begitu Haris pergi setelah mengantarnya pulang, Maximus mulai menceramahiku. Apakah dia pikir kemarahannya akan membuatku takut?"Anya!" teriaknya."Jangan membentakku!" balasku ketus.Mungkin dia mengira aku akan membiarkannya memperlakukanku seperti ini karena seharusnya masalahnya sudah selesai."Kalau aku bertemu Miranda lagi, aku akan mengulanginya lagi. Bilang aja dari sekarang kalau kamu mau membiarkannya menggodamu. Jadi, aku nggak perlu terus-terusan ikut denganmu," kataku tajam."Kamu cemburu?" tanyanya seolah-olah itu a

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 9

    Sudut pandang Anya:"Sayang, aku harus ke kantor," kata Maximus.Saat itu hari Senin pagi dan kami sedang sarapan.Aku yang menyiapkan makanannya karena Lisa tidak ada di rumah. Dia harus mengurus sesuatu yang penting untuk anaknya. Itu bukan masalah besar, karena aku tahu cara mengerjakan pekerjaan rumah."Baiklah," jawabku singkat, sambil melanjutkan makan."Kamu masih marah karena kejadian minggu lalu?" tanya Maximus."Aku nggak punya hak untuk marah," jawabku."Ayolah, Sayang, aku kan sudah menjelaskan padamu.""Aku hanya bilang, karena kamu sudah membayarku, kamu boleh melakukan apa pun yang kamu mau. Asalkan, setelah setahun, kontrak kita selesai," kataku sambil menggigit telur terakhirku dan menyeruput air putih.Aku makan dengan perlahan, karena setelah setiap gigitan, aku harus menyuapi suamiku.Sejujurnya, tidak ada masalah yang berarti; aku mengerti situasi yang dialami Maximus dan aku bukan tipe orang yang akan mengabaikannya. Jadi, meskipun aku memendam kekesalan padanya s

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 10

    Sudut pandang Anya:"Nenek," sapa Maximus.Kami berada di apartemen, dan nenek Maximus baru saja tiba. Aku merasa canggung, tidak yakin apa yang harus aku lakukan saat Ruth menatapku, terutama tanganku, yang digandeng oleh Maximus."Selamat pagi," sapaku juga. Aku tidak ingin terkesan tidak sopan.Ruth mengangkat sebelah alisnya sebelum menoleh ke Maximus."Apa kabar, cucuku sayang?" tanyanya seraya duduk di sofa, di samping kursi roda Maximus.Aku duduk di sisi lain, seolah-olah kami bertiga sedang terlibat dalam semacam cinta segitiga."Seperti yang Nenek lihat, aku baik-baik saja. Istriku merawatku dengan baik," jawab Maximus."Ya, sudah seharusnya begitu, karena dia dibayar untuk melakukannya!" sindir Ruth.Aw! Serangan tajam yang tidak terduga. Kalau saja Ruth bukan orang tua, aku pasti akan membalasnya."Nenek ...."Ruth menyela, "Kenapa? Omonganku itu benar! Apa menurutmu dia akan bekerja sekeras ini kalau nggak ada uang yang terlibat? Dia sebaiknya melakukan pekerjaannya dengan

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 11

    Sudut pandang Anya:"Selamat, Pak Maximus!" seru sang terapis saat Maximus akhirnya berhasil berjalan normal.Aku benar-benar ikut senang untuk Maximus. Selama ini, duduk di kursi roda sangat menyulitkannya sehingga dia tidak bisa melakukan hal-hal yang diinginkannya.Aku juga menantikan operasi matanya yang akan datang. Dokter bedahnya, yang didatangkan dari negara lain, telah tiba, dan menurut suamiku, Haris sudah bersusah payah demi menemukan dokter ini."Ya ampun, ini harus dirayakan!" seru Ruth."Miranda pasti akan sangat gembira," tambahnya, dan aku pun mencibir dalam hati.Sejak Ruth tiba, Miranda selalu mengikuti ke mana pun kami pergi. Dia bebas mengunjungi apartemen kami, dan aku makin kesal karena suamiku tampaknya tidak keberatan dengan kehadirannya, terutama saat neneknya tidak ada."Hei!" terdengar jeritan melengking si wanita iblis itu.Aku menoleh padanya dan menempatkan diriku di depan suamiku, karena aku yakin Miranda akan melemparkan diri ke pelukan Maximus."Kamu pi

Latest chapter

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 50

    Sudut pandang Maximus:Andy yang tengah memeluk wanita di sampingnya, menimpali, "Kami sudah bilang bahwa kamu nggak dibutuhkan di sini.""Hei, Max bukan satu-satunya pria di sini," balas Sherly.Aku dengan jelas melihat Anya memutar matanya. Jelas kami semua sudah memiliki pasangan."Kalau begitu carilah seseorang yang sedang sendirian untuk kamu temani," kata Andre."Hei, Jalang, pergi dari sini," bentak Sherly pada wanita di samping Lucky."Apa?" tanya wanita itu dengan terkejut."Diam, Sherly!" teriak Lucky padanya.Dia paling benci pada orang yang mengacaukan apa pun atau siapa pun yang dia anggap miliknya."Apa? Jadi, kamu lebih pilih dia daripada aku?" tanya Sherly dengan nada genit."Aku nggak akan pernah memilihmu, Jalang," balas Lucky.Lucky memiliki lidah yang tajam. Dia akan mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikirannya tanpa memedulikan siapa lawan bicaranya."Napa kamu terus-terusan ngelihatin wanita jalang itu?" tanya Anya dengan lembut."Apa? Aku nggak melakukannya

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 49

    Sudut pandang Maximus:"Hei, Bro, aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah!" komentar temanku, Lucky Susatyo sambil menyeringai dan menatap Anya.Sikapnya membuatku merasa tidak nyaman karena aku tahu betapa pandainya dia merayu wanita. Lucky lebih parah dariku. Dia bahkan pernah menikung pacar temannya. Meskipun dia tidak pernah terlibat hubungan serius dengan wanita, tetap saja tidak pantas baginya untuk menggoda istriku."Ya, dia istriku, jadi bersikaplah sopan padanya," kataku sambil menatapnya tajam, berharap dia menerima pesanku. Aku tidak akan pernah memaafkannya kalau sampai dia mendekati satu-satunya wanita yang kucintai."Hei, hei, cukup," sela Andy sebelum melirik ke arahku dan Anya. "Lucky juga tahu diri. Ya 'kan, Sobat?"Aku mengangguk dan dengan lembut meremas tangan Anya untuk meredakan kecanggungan. Mungkin aku salah memilihkan baju untuknya. Meski Anya berdada rata, lekuk tubuhnya yang seksi tetap terlihat jelas. Dengan cepat, aku melepaskan mantelku untuk menutupi paka

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 48

    Sudut pandang Anya:"Cepat masukin, Suamiku!" perintahku. Tubuhku sudah mengantisipasi penetrasinya yang kasar. "Ahh! Enak sekali!" Aku tidak bisa menahan erangan sensualku lagi. Apa yang dikatakan orang mesum itu benar. Wanita mana pun akan mengerang oleh sentuhannya."Kamu masih sangat ketat, Istriku," katanya dengan suara sensual saat melakukan penetrasi.Awalnya, dia memegangi pinggulku, tetapi kemudian salah satu tangannya bergerak ke bahuku, mendorong batangnya masuk lebih dalam. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, dan aku menikmati setiap momen."Maximus, teruskan ... lebih cepat ... ahh!" Aku mengerang berulang kali, kehilangan diriku dalam sesi bercinta yang intens ini. Kenikmatan di antara pahaku sedang terbangun, dan aku tahu dia juga merasakannya, jauh di dalam diriku. Aku mencengkeram bantal erat-erat saat dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan cepat.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Maximus, pastikan untuk nggak keluar di dalam, oke?"Dia tiba-tiba berhenti dan menat

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 47

    Sudut pandang Anya:"Sial! Istriku, kamu nggak pakai celana dalam?!" serunya dengan matanya terbelalak."Yah, celana dalamku terlihat di balik gaun ini. Berhubung aku nggak punya celana dalam seamless, jadi aku melepasnya," jawabku.Sejujurnya aku merasa agak risih dengan gaun yang kami beli di Baharimudra. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku telah mencobanya di depan cermin sambil hanya berfokus pada bagian depan tanpa memperhatikan bagian belakang.Namun, ketika aku memakainya lagi barusan, aku baru sadar kalau celana dalamku terlihat jelas. Penampilan gaun ini tampak mengerikan dari belakang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, pada saat Maximus memasuki kamar, aku sudah melepas celana dalamku."Sial ...," gumamnya.Dia kemudian memasukkan satu jari ke dalam organ intimku, membuatku memejamkan mata dan bersandar ke dadanya yang bidang dan berotot."Maximus, kamu lagi ngapain? Sebentar lagi kita berangkat," aku mengingatkannya, tapi suaraku terdengar lebih seperti e

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 46

    Sudut pandang Anya:"Benarkah? Tadinya aku berharap kamu mau ketemu dengan teman-temanku di sini," kata Jason.Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu, tapi aku tidak memberitahunya karena tidak ingin menyakiti perasaannya."Maaf, Jason, aku benaran nggak bisa," jawabku."Oke. Lain kali saja kalau begitu," katanya."Oke. Dah."Setelah mengakhiri panggilan, aku menarik napas dalam-dalam.Kenangan saat-saat kami masih bersama tiba-tiba membanjiri benakku lagi. Aku tidak bisa mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Aku tahu dan masih bisa merasakan cintanya kepadaku. Tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami karena dia sangat pengertian. Mungkin itu karena kami saling mengenal satu sama lain.Tentu saja kami pernah bertengkar, tetapi seringnya kami bertengkar karena hal-hal kecil. Walau demikian, dia selalu berusaha keras untuk menebusnya. Itulah alasan yang membuatnya menjadi satu-satunya pria yang pernah sangat aku cintai.Sayangnya semua itu sudah berlalu. Kami tidak lagi bersam

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 45

    Sudut Pandang Anya:"Ayo, istriku. Ikutlah denganku," ajak Maximus yang memaksa. Aku benar-benar tidak mau ikut. Percakapan bisnis tidak menarik bagiku. Lagi pula, aku hanya akan bengong selama rapat. Jadi, aku lebih baik diam di kamar hotel ini."Aku mau di sini saja, Maximus. Kamu sudah ditemani dua sekretarismu, itu cukup," balasku."Kamu mau ngapain di sini?" tanya dia."Memangnya kamu mau aku ngapain di sana?" jawabku."Mendengar percakapan kami," katanya."Kamu tahu kenapa aku jadi perawat?" tanyaku yang mulai bicara dengan nada kesal."Agar kamu bisa bersama Jason?" balasnya. Aku pun mengerlingkan mata karena kesal dia masih cemburu. Maximus memang mengaku kalau dia cemburu saat melihatku bersama Jason, dan benci saat melihatku terlihat begitu senang saat bersama Jason. Maximus berpikir aku memberi tahu Jason kalau kami akan datang dan Jason juga sedang ada di sana.Aku sudah menjelaskan semuanya, alasan aku dan Jason masih berkomunikasi dan alasan dia ada di sini. Aku kira mas

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 44

    Sudut pandang Maximus:Kepalaku sakit dan aku tidak bisa berhenti mengerang saat membuka mata dengan perlahan. Aku berusaha mengingat kenapa aku merasakan ini, lalu kejadian kemarin pun muncul kembali di benakku. Aku bernapas dalam-dalam sebelum menoleh ke samping, lalu merengut karena tidak melihat Anya di sana.Aku pun segera bangun dan memeriksa kamar mandi. Lampunya mati, jadi sudah pasti dia tidak ada di sana. Kemudian, aku ingat Anya menanggalkan pakaianku semalam, tetapi sekarang aku sudah mengenakan singlet dan bokser.Aku keluar kamar dan melihat Anya sedang tidur di sofa. Aku diam-diam menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sofa itu cukup besar untuk menampung kami berdua, tetapi Anya tidak seharusnya di sana. Dia seharusnya ada di kamar bersamaku, tetapi dia malah memilih untuk tidur di sini.Aku memutuskan untuk membiarkannya dan mulai memperhatikan diri sendiri. Saat mandi, aku teringat bagaimana aku harus menahan diri kemarin setelah menghukum Anya. Lain kali, aku akan m

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 43

    Sudut pandang Maximus:"Apa? Kamu mau minum?" tanyaku."Iya," jawabnya. Dia melanjutkan, "Aku juga mau kamu." Aku pun melirik ke arah pelayan bar dan memberikan isyarat agar dia menuangkan segelas minuman untuk wanita itu. Aku tidak bermaksud untuk mendekati wanita itu dan hanya ingin menemani dia minum. Aku sadar kalau aku mengusirnya, akan ada orang lain yang datang menggantikannya.Jadi, aku minum bersama wanita yang tidak mau kukenal itu, lalu aku pun mulai merasa pusing. Aku bahkan tidak tahu saat itu pukul berapa karena aku hanya memikirkan Anya yang mungkin tidak mau menghubungi atau menanyakan kabarku. Aku begitu terpuruk di bar, terus-terusan memanggil nama Anya saat seseorang mengangkat kepalaku.Aku pun mendengar seseorang berkata, "Tampan, jangan tidur di pangkuanku." Kejadian itu akan lebih baik kalau aku melihat wajah Anya. Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Aku pun menyingkirkan tangan wanita itu saat dia menyentuh wajahku. Namun, wanita itu begitu bersikeras menarik wa

  • Perjanjian di Atas Ranjang   Bab 42

    Sudut pandang Maximus:Bahkan saat aku bersama teman-temanku, pikiranku masih terpusat pada Anya. Mereka menggodaku saat kami mengobrol, karena mereka menyadari kalau perhatianku teralihkan. Mereka juga yang telah mendatangkan seorang wanita ke kamar hotel kami. Namun, aku bahkan tidak bisa mengingat nama wanita itu.Saat itulah mereka menyadari bahwa hubunganku dengan Anya cukup serius. Aku menegur teman-temanku, dan menjelaskan bahwa aku tidak tertarik bermain dengan wanita lain. Mereka mengira aku telah menikahi Miranda dan menerima keputusan nenekku, tetapi mereka salah.Menjelang sore, aku sudah tidak tahan lagi. Aku pun berpamitan pada teman-temanku. Aku menduga Anya mungkin merasa lapar, dan memutuskan untuk pulang agar kami bisa makan bersama. Namun, saat aku berbalik ke arah lift, aku melihat Anya keluar bersama Jason.Apa yang dia lakukan di sini? Apakah Anya telah memberi tahu Jason bahwa kami ada di sini sehingga dia mengikuti kami ke tempat ini?Amarah berkobar dalam hatik

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status