“Buka pintunya, Moreau. Aku tahu kau ada di dalam.”
Moreau merasakan sayatan begitu dahsyat di dadanya saat sulur – sulur bisikan Abihirt menyelinap dari luar kamar. Sudah larut malam. Dia tahu pria itu mencari waktu yang tepat untuk memulai aksi. Tidak. Moreau tidak akan membiarkan kesalahan kembali terulang ketika mereka bertemu. Rasa sakit telah bertumpuk dan menjadikan begitu banyak hal menyimpang di antara mereka. Dia akan lebih bersuka cita jika terdapat pengalihan serius dari sebuah cinta, lalu berakhir sebagai episode kebencian yang panjang. Barangkali itu akan terjadi saat mereka bertatap muka, membuat dia mengingat kembali setiap detil peristiwa paling buruk yang sengaja ayah sambungnya mulai. Moreau secara naluriah memejam, mencoba untuk melupakan perlakuan jahat tersebut. Dia sangat ingin meluapkan segala bentuk amarah kepada Abihirt. Ya, sangat. Hanya merasa belum cukup siap digulung oleh situasi mencekam di antara mereka. Sesuatu dalam dirinya bahTidak ada perangkat apa pun yang dapat digunakan sebagai bahan penunjang. Barangkali karena lantai dua dan jalur dinding berlikuk dari desain dinding luar rumah menjadi petunjuk utuh? Itu cukup masuk akal. Tubuh tinggi Abihirt tidak akan sulit meraih celah kecil yang seharusnya membantu pria tersebut memanjat. Celakalah. Ini jelas sesuatu yang berbahaya. Moreau segera menyalakan lampu ruangan, tidak ingin kesan temaram membuat situasi terasa lebih mengerikan. Dia harus benar – benar waspada. Abihirt terlalu serius saat pria itu berharap dapat mengendalikan situasi; seperti saat mereka dituntut bicara, maka seharusnya mereka harus segera bicara. “Moreau, buka pintunya. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu.” Dorongan dalam diri Moreau spontan membayangkan ungkapan tersebut sebagai kebohongan besar. Abihirt tidak pernah peduli kepadanya. Tidak pernah. Andai pria itu memiliki sedikit simpatisan, mungkin tidak akan pernah adegan penyiksaan yang bersembunyi di balik k
“Aku tidak peduli ibuku sudah tidur atau tidak. Sekarang pergilah,” Moreau melanjutkan tanpa mencoba menatap wajah ayah sambungnya. Biarkan Abihirt mengerti. Pria itu akan segera mengerti saat merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka telah diadili kenyataan menyakitkan. Sudah cukup membiarkan efek samping melewati ruang bercelah dan hampir menjadikannya tiada. “Suster mengatakan kau baik – baik saja. Bagaimana dengan sekarang?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar tak yakin. Tidak biasanya. Secara naluriah Moreau mendengkus. Dia tidak akan pernah mengerti terhadap apa pun yang berkaitan dengan pria itu. Terlalu membingungkan dan sejak kapan Abihirt akan bersikap ragu – ragu terhadap dirinya? Apa yang sebenarnya sedang pria itu takutkan? Seharusnya tidak ada. Semua tidak mudah dipahami. Bahkan gagasan paling sungkar dimengerti sekalipun, tidak akan memiliki peran terburuk untuk membuat seseorang terus terjebak pada situasi tidak memungkinkan. “Apanya yang bagaimana d
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Satu gelas lagi.” Moreau telah menghadapi pelbagai desakan buruk sepanjang hari. Mantan kekasihnya secara sepihak mengambil pilihan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dia sudah meminta alasan pasti sejak momen menyedihkan tersebut, tetapi Froy dan tatapan marah pria itu jelas – jelas menolak bicara. Ironi sekali. Besok merupakan hari pernikahan ibunya yang Moreau sendiri tidak tahu seperti apa rupa dari sang mempelai pria. Mereka tidak dikenalkan. Ibunya merencanakan kebutuhan diam – diam. Bahkan ada begitu banyak tekanan lain untuk meninggalkan bercak serius, yang terasa seperti melubangi jantung Moreau dengan hujaman. Dia hampir putus asa memikirkan segala hal. Beberapa saat lalu memutuskan pergi ke sebuah bar diliputi niat ingin menenangkan diri. Gaun merah mencolok begitu sempurna di tubuh langsing Moreau. Di depan meja bar, dia hanya duduk sendirian. Memandangi beberapa gelas kosong—wine telah tandas tak bersisa. Demikianlah, tenggorokannya seperti abu dengan sisa – sisa ke
Abihirt Lincoln terbangun mendapati seorang gadis muda dalam balutan selimut tebal berada di ranjangnya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha keras mengingat sisa – sisa taruhan semalam. Roki yang bajingan dengan kurang ajar menambahkan bubuk perangsang di gelas koktail terakhir—yang harus diteguk habis—untuk merayakan hari pernikahan mendatang. “Berengsek!” Abihirt mengumpat sembari mengusap wajah kasar. Pagi ini adalah acara pemberkatan. Dia melirik jam digital di atas nakas. 30 menit waktu tersisa, tetapi sebagai pengantin pria—Abihirt belum melakukan persiapan apa pun. Sesaat mata kelabu itu mengamati wajah polos—yang perlahan mulai mengernyit menghindari siraman cahaya yang menembus dari tirai putih. Abihirt memungut kain tercecer di sekitar pinggir ranjang. Sambil mengenakan kembali kemeja putih, dia mengangkat sebelah alis tinggi saat mendapati iris mata biru yang terang telah seutuhnya terbuka dan menatap dengan sangat terkejut. “Kau siapa?” Napas Moreau tercekat.
Upaya melarikan diri yang tidak sia – sia. Napas Moreau terengah menatap pantulan cermin. Seseorang dengan wajah pucat—bahkan benar – benar berantakan sedang berusaha menenangkan diri. Moreau tidak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan setelah ini. Ketika Barbara menyadari kedatangan yang begitu lambat di acara pernikahan, langkahnya langsung meninggalkan orang – orang di sekitar. Tidak ada tempat bersembunyi yang tepat selain kamar mandi hotel. Moreau masih bingung apa yang harus dilakukan usai menerima kenyataan bahwa semalam tindakan terlarang telah melampaui batas. Secara harfiah—kejadian bersama pria asing itu tidak akan terjerembab ke dalam rumpang paling rumit. Mereka tidak memiliki hubungan darah. Pria itu hanya akan menjadi ayah sambung Moreau, walau ada satu hal penting ... dia akan merasa canggung ketika mereka berada di satu atap bersama. Moreau yakin dia seharusnya bisa menjadi mandiri, andai Barbara memberikan izin. Hanya saja wanita itu menganggap Moreau sebagai as
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc
“Aku tidak peduli ibuku sudah tidur atau tidak. Sekarang pergilah,” Moreau melanjutkan tanpa mencoba menatap wajah ayah sambungnya. Biarkan Abihirt mengerti. Pria itu akan segera mengerti saat merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka telah diadili kenyataan menyakitkan. Sudah cukup membiarkan efek samping melewati ruang bercelah dan hampir menjadikannya tiada. “Suster mengatakan kau baik – baik saja. Bagaimana dengan sekarang?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar tak yakin. Tidak biasanya. Secara naluriah Moreau mendengkus. Dia tidak akan pernah mengerti terhadap apa pun yang berkaitan dengan pria itu. Terlalu membingungkan dan sejak kapan Abihirt akan bersikap ragu – ragu terhadap dirinya? Apa yang sebenarnya sedang pria itu takutkan? Seharusnya tidak ada. Semua tidak mudah dipahami. Bahkan gagasan paling sungkar dimengerti sekalipun, tidak akan memiliki peran terburuk untuk membuat seseorang terus terjebak pada situasi tidak memungkinkan. “Apanya yang bagaimana d
Tidak ada perangkat apa pun yang dapat digunakan sebagai bahan penunjang. Barangkali karena lantai dua dan jalur dinding berlikuk dari desain dinding luar rumah menjadi petunjuk utuh? Itu cukup masuk akal. Tubuh tinggi Abihirt tidak akan sulit meraih celah kecil yang seharusnya membantu pria tersebut memanjat. Celakalah. Ini jelas sesuatu yang berbahaya. Moreau segera menyalakan lampu ruangan, tidak ingin kesan temaram membuat situasi terasa lebih mengerikan. Dia harus benar – benar waspada. Abihirt terlalu serius saat pria itu berharap dapat mengendalikan situasi; seperti saat mereka dituntut bicara, maka seharusnya mereka harus segera bicara. “Moreau, buka pintunya. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu.” Dorongan dalam diri Moreau spontan membayangkan ungkapan tersebut sebagai kebohongan besar. Abihirt tidak pernah peduli kepadanya. Tidak pernah. Andai pria itu memiliki sedikit simpatisan, mungkin tidak akan pernah adegan penyiksaan yang bersembunyi di balik k
“Buka pintunya, Moreau. Aku tahu kau ada di dalam.” Moreau merasakan sayatan begitu dahsyat di dadanya saat sulur – sulur bisikan Abihirt menyelinap dari luar kamar. Sudah larut malam. Dia tahu pria itu mencari waktu yang tepat untuk memulai aksi. Tidak. Moreau tidak akan membiarkan kesalahan kembali terulang ketika mereka bertemu. Rasa sakit telah bertumpuk dan menjadikan begitu banyak hal menyimpang di antara mereka. Dia akan lebih bersuka cita jika terdapat pengalihan serius dari sebuah cinta, lalu berakhir sebagai episode kebencian yang panjang. Barangkali itu akan terjadi saat mereka bertatap muka, membuat dia mengingat kembali setiap detil peristiwa paling buruk yang sengaja ayah sambungnya mulai. Moreau secara naluriah memejam, mencoba untuk melupakan perlakuan jahat tersebut. Dia sangat ingin meluapkan segala bentuk amarah kepada Abihirt. Ya, sangat. Hanya merasa belum cukup siap digulung oleh situasi mencekam di antara mereka. Sesuatu dalam dirinya bah
Senyum puas menjadi selimut tebal kali pertama Barbara mendapati kebingungan di wajahnya. Moreau mengerti, dia mungkin akan menerima sebuah ledakan dahsyat. Berharap sanggup menyiapkan kejutan di dalam dirinya, tetapi tidak pernah menyangka bahwa ternyata itu benar – benar begitu menyakitkan. “Kau akan menjadi seorang kakak.” Moreau mengerjap berulang kali. Tahu betapa konyol sikapnya di sini. Dia akan menjadi seorang kakak .... Salahkah jika sesuatu dalam dirinya berharap itu adalah gagasan sungkar dimengerti? Dia harap tidak pernah mengerti maksud dari menjadi seorang kakak. Ironi, kenyataan berkata sangat jahat. Moreau jelas sangat memahami maksud yang begitu terselubung di balik pernyataan ibunya. Wanita itu sedang mengandung, dan celaka ... dia juga dihinggapi bentuk kebenaran terburuk. Mereka mengandung bayi dari pria yang sama. Apa yang bisa dikatakan? Moreau berusaha menelan kenyataan pahit dengan tenang. Sekarang suasana menyedihkan semakin mantap membuj
“Besok aku akan memberi tahu Mrs. Voudly kalau kau tidak bisa ikut latihan. Sekarang jangan pikirkan apa pun. Istirahatlah sampai kau merasa lebih baik.” Ada keharusan menatap wajah Juan. Moreau tersenyum tipis sebagai tanggapan pertama dan berkata, “Terima kasih, Juan Baker. Kau yang terbaik. Aku mencintaimu.” Dia ingin memeluk pria itu, tetapi mengurungkan niat saat menyadari sabuk pengaman masih merekat di tubuhnya. Mungkin memang tidak seharusnya. Suasana hati Moreau terlalu buruk sekadar menyingkirkan sisa rasa sakit yang seperti diseludupkan secara paksa. “Kau tidak mau singgah?” dia bertanya sesaat, setelah menyiapkan diri membuka pintu mobil. Juan mengedikkan bahu tak acuh. Jelas tidak ada keinginan melangkahkan kaki masuk. Terlalu buruk. Mengingat situasi di antara mereka juga tidak pernah mendukung. Juan cukup mengenal Barbara dan pria itu jauh terpuaskan saat memutuskan untuk menghindari konflik apa pun bersama ibunya. Tiba – tiba ponsel Moreau b
Pintu kamar dibuka secara paksa. Akhirnya .... Barbara tersenyum puas saat mendapati bagaimana napas Abihirt terlihat menggebu, kemudian ekspresi pria itu berkerut heran setelah menemukan situasi baik – baik saja di antara mereka. Tidak ada apa pun. Seharusnya memang seperti demikian. Jika Abihirt akan marah, hal tersebut adalah bagian dari dampak yang dia putuskan. Barbara tidak berusaha peduli. Dia hanya memikirkan kemungkinan terburuk dari kehendak suaminya; bahwa tidak akan ada keinginan menginjakkan kaki di rumah setelah perdebatan panjang mereka. Ini seperti membiarkan pria itu membayar sesuatu yang tidak dibeli dengan uang. Barbara siap menghadapi pelbagai siklus kemarahan, asal keputusan yang diambil telah memberinya petunjuk ... paling tidak, sedikit mengetahui bagaimana Abihirt masih peduli dan mereka dapat memutuskan untuk tetap mempertahankan keberadaan seorang anak di tengah badai pernikahan. Tidak akan terlalu buruk membicarakannya lagi. Situasi mer