“Makan malam-mu sudah siap.”
Barbara termenung terlalu lama dan ... rasanya masih begitu tiba – tiba ketika harus mendapati aroma masakan Abihirt telah menguar dengan menggiurkan ke permukaan. Barbara menatap potongan kentang dan saus merah yang benar – benar menjanjikan. Dia mengerjap kemudian menatap Abihirt antusias. “Aku boleh mencobanya?” Sekadar basa – basi. Barbara jauh lebih tidak sabar ketika Abihirt sudah mengambil posisi duduk—persis saling berhadapan dengannya. “Itu memang untukkmu.” Suara serak dan dalam pria itu mengutarakan satu pernyataan. Sebaiknya memang tidak mengulur waktu terlalu lama. Mula – mula Barbara menusuk kentang dengan gerakan cukup mantap. Tahu bahwa tindakan tersebut ... paling tidak, dapat memancing Abihirt untuk terus memperhatikan. Benar. Pria itu tidak sekalipun meninggalkan detil yang terjadi di hadapannya. Barbara tersenyum tipis ketika dia menatap langsung ke dalam mata kelabu Abihirt. Satu suapan pertama tSialan. Barbara mengerti bagaimana Abihirt terkadang berusaha menghindari perdebatan di antara mereka, dan dia malah memutuskan lebih sering melibatkan pria itu ke dalam pertengkaran kecil, hingga yang terasa mengerikan sekalipun. Sekarang, hal demikian dapat dijadikan alasan signifikan mengapa pria itu akhirnya memilih gadis lebih patuh, karena dia rasa Moreau pandai berpura – pura demi mengincar sesuatu yang seharusnya adalah miliknya. Ya, miliknya. “Lalu sekarang, menurutmu ... siapa yang akan selesaikan kentang garam ini?” tanya Barbara. Betapa peringatan dalam dirinya begitu deras mengingatkan agar tidak membuat ulah lebih tak terduga. “Aku tidak tahu. Kau bisa putuskan sendiri untuk terus menikmatinya atau tidak.” Suara kursi berdecit menjadi peringatan dalam benak Barbara kalau – kalau pria itu akan segera melangkah pergi. Dia masih belum bersedia jika Abihirt akan terus membuat kekacauan di antara mereka tetap gantung tanpa alasan jelas. Lelah. Sebaiknya
“Bagaimana latihanmu?” Abihirt berbisik sangat dekat dan bagaimana sapuan ringan pria itu di lengannya meninggalkan sensasi yang begitu menyenangkan. Moreau menyukai saat – saat mereka meluangkan waktu bersama—nyaris di tengah malam, menyaksikan siaran di televisi, saling mendekap. Bahkan, terkadang dia akan mencuri kesempatan menghirup aroma tubuh Abihirt dalam – dalam. “Latihanku sangat baik,” ucap Moreau nyaris menyerupai gumaman samar. Dia mengetatkan pelukan di tubuh Abihirt, lalu meletakkan wajah di dada pria itu sambil memejam sebentar. “Semua akan segera selesai. Persiapan kami sudah 80 persen. Aku hanya perlu tahan dengan cara Mrs. Voudly mengomentariku,” dan meneruskan saat gerakan tangan Abihirt berpindah di puncak kepalanya. “Apa yang dia katakan?” Lagi. Suara serak dan dalam pria itu kali ini terdengar sarat nada penasaran. Sebenarnya, Moreau merasa enggan membicarakan sesuatu lebih spesifik, tetapi ... dia yang memulai. Abihirt hanya melanjutkan ap
Moreau harap ... dia tidak meninggalkan sesuatu secara spesifik. Pada awalnya Abihirt hanya menanyakan bagaimana prospek latihan yang dia hadapi. Bukan lainnya. Bukan sampai membicarakan suatu bentuk tidak tepat di antara mereka. “Kau tetap menjadi dirimu.” Tiba – tiba Abihirt berkomentar. Itu sungguh tanpa petunjuk dan cukup membuat jantung Moreau seperti menghadapi serangan panik secara brutal. Dia jelas tidak bisa mengendalikan situasi saat dadanya telah bertalu – talu hebat. Dia tetap menjadi dirinya .... Apakah ada maksud tertentu dari pengakuan Abihirt? Moreau bertanya – tanya. Mungkin perlu mencari jawaban terbaik; mengapa sorot mata Abihirt mendadak menatapnya begitu teduh. “Bisa kau bicara lebih jelas?” tanya Moreau setelah mati – matian memberanikan diri untuk mengajukan permintaan penuh tekad. “Kau tetap menjadi dirimu ... cantik.” Hampir tidak ada ruang bagi Moreau untuk memulai percakapan. Pipinya terasa memanas. Abihirt baru saj
Tidak ada protes keluar ... berupaya membuat situasi terasa tenang. Moreau hampir tanpa sadar mengambil tindakan untuk menyingkirkan kain di tubuh Abihirt. Merasa lebih adil jika mereka saling menatap satu sama lain tanpa sehelai kain. Bagus jika Abihirt turut menawarkan bantuan. Pria itu mungkin sudah tidak lagi bisa menahan waktu lebih lama. Segera memindahkan sapuan tangan menuju beberapa bagian tubuh Moreau yang lain. Tulang rusuknya terasa hangat. Dia berusaha menahan diri dari erangan lebih panjang. Lidah Abihirt berpindah di puncak payudaranya; meliuk liar seperti belut licin, kemudian pria itu terburu – buru mengatur agar tubuh mereka segera menyatu. “Lakukan dengan hati - hati.” Meski Moreau selalu diliputi tuntuntan sekadar mengingatkan Abihirt. Dia cukup lega bahwa pria itu tidak pernah mengikari janji. Tidak dimungkiri kalau – kalau ... secara perlahan Abihirt mulai belajar cara menjadi lembut. Permainan di atas ranjang butuh kesepakatan bersama. Itu poin
“Mengapa kau tiba – tiba mengajakku bertemu di tempat ini, Mom?” Moreau tidak mengerti, tetapi dia tidak berhenti mengedarkan pandangan ke pelbagai arah. Barbara tidak biasanya mengirim pesan; meminta mereka bertemu di restoran saat wanita itu sendiri tahu kalau—mobil yang rengsek, masih membutuhkan waktu lebih lama dalam proses perbaikan. Anehnya, Moreau tidak menolak kali ketika dia membaca serentetan pesan di layar ponselnya. Sedikit kekhawatiran bahwa Barbara mungkin ingin membicarakan sesuatu yang penting, dan tampak ... bahwa itu sedikit benar. Moreau sedikit gugup menghadapi sikap Barbara yang tampak serius. Wanita itu telah melipat lengan di depan dada, sementara mereka duduk saling berhadapan. “Aku ingin membicarakan soal Abi.” Kali pertama Barbara bersuara. Jantung Moreau seperti menghadapi lonjakan signifikan. Sebelah alisnya terangkat tinggi. Namun, berusaha terlihat tenang ketika apa pun yang dia perlihatkan di hadapan wanita itu adalah bahaya
Kebetulan mereka bertemu di sini. Moreau tidak pernah melepas perhatian dari bahu Abihirt ketika pria itu tampak sibuk bicara bersama Mr. Pablo. Sepertinya percakapan mereka merupakan obrolan serius, hingga dia nyaris tidak mendapati Abihirt memalingkan perhatian—bahkan kepada Anitta saat pelatihnya ... sebenarnya sedang terlibat. Sedang terlihat mengagumi wajah pria itu. “Aku rasa, kalau tidak berteman dengan ibumu. Mrs. Voudly mungkin tidak akan segan – segan memamerkan bokongnya di depan Mr. Lincoln.” Juan tiba – tiba berkomentar asal di wajahnya—suara pria itu nyaris menyerupai bisikan penuh rasa takut. Moreau menghela napas, kemudian memutar mata malas menanggapi kata – kata Juan. Dia tidak ingin membicarakan apa pun tentang pelatih mereka. Lagi pula, sesi latihan akan segera selesai. Dia dan Juan hanya perlu melakukan satu kali pengulangan. Mereka seharusnya lebih daripada siap untuk program acara—yang sudah begitu dekat. “Jaga bicaramu, Juan. Jangan s
Moreau harap dia bisa lebih berani mengambil tindakan, tetapi setiap detil hal dengan sangat mudah meninggalkan dampak di antara mereka. Dia mungkin akan menanyakan langsung kepada Abihirt dan setidaknya—coba – coba memikirkan kembali saran dari Barbara. Lebih berhati – hati dan menjaga jarak. Ya. “Latihanmu sudah selesai?” Tubuh Moreau tersentak ketika suara serak dan dalam Abihirt merambat ke permukaan. Dia mengerjap. Cukup mengejutkan mendapati Abihirt sudah menjulang tinggi di hadapannya. Wajah pria itu selalu tenang, meski di sinilah bagaimana suasana pengabaian terasa kentara bagi Juan. “Kami baru saja selesai. Kenapa?” Moreau tak ingin Abihirt menunggu lebih lama. Dia juga melirik Juan secara bergantian. “Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang.” Demikian pernyataan Abihirt. Secara naluriah sesuatu dalam diri Moreau menyebarkan sensasi penolakan. Dia tersenyum tipis saat menengadah tinggi ke wajah ayah sambungnya. Abihirt tampak m
“Tidak, Abi. Kau tahu aku dan Juan—“ “Dia sudah menerima uangnya. Sekarang kita pulang.” Keputusan Abihirt masih sama. Meninggalkan sesuatu yang tidak biasa Moreau singkirkan, tetapi dia merasa sangat harus. “Aku tidak mau ikut denganmu,” ucapnya, diliputi suara yang terdengar cukup lantang. Tidak ada siapa pun dan sedikit bersyukur jika Anitta tidak mengikuti keberadaan Abihirt. Perlu digaris bawahi kalau – kalau Moreau merekatkan ujung kakinya, seolah memang tidak bersedia diajak melakukan perjalanan pulang ke rumah. “Mengapa tidak mau?” Kernyitan di kening Abihirt menyiratkan segalanya. Moreau menelan ludah kasar sembari mencari jawaban terbaik agar bisa menghindari pelbagai tuntuntan dari pria itu. “Aku ... hanya tidak mau,” dia mengatakannya dengan gugup. Tidak tahu apakah reaksi demikian dapat memberi banyak pengaruh tentang apa yang seharusnya tidak dan akan. Moreau tak bisa membayangkan bahwa ternyata ... dia mungkin meninggalkan pelbagai prospek kep
Nyaris tanpa sadar bibir Moreau terbuka menanggapi pernyataan ayah sambungnya. Abihirt tidak seharusnya memikirkan apa pun itu. “Lupakan dulu piring kotor. Aku yang akan menyelesaikannya nanti. Sekarang temani aku ke kamar.” Tidak peduli. Moreau kembali menarik lengan Abihirt, hingga pria itu tidak memiliki pilihan selain menurut patuh. Mereka memasuki kamar. Dia segera menutup pintu rapat, meninggalkan ayah sambungnya berdiri dengan sorot mata tidak luput saat dia melangkah menuju lemari pakaian. Moreau mengeluarkan beberapa dress, kemudian memperlihatkan di hadapan Abihirt. “Lebih bagus yang mana?” dia bertanya. Cukup mengerti bahwa tindakannya telah membuat sebelah alis tebal dan hitam itu terangkat tinggi. Abihirt seperti sedang mempertimbangkan, tetapi tidak satu pun dress di tangan Moreau berhasil menarik perhatian pria tersebut. Sambil memutar mata malas. Moreau tahu apa yang perlu dia lakukan. Dia kembali berbalik ke arah lemari pakaian. Mencari –
“Bagaimana? Kau suka?” Moreau terlalu lahap, sehingga hampir tidak memiliki kesempatan bicara. Apa pun masakan Abihirt selalu lezat. Dia menyukainya. Walau sedikit menyayangkan bahwa persediaan bahan makan mentah telah habis. Tidak banyak yang bisa pria itu sajikan, selain membuat mie—khusus—dengan tepung, berikut bumbu yang benar – benar meresap di lidah. “Kau akan membuatku memintamu supaya menyiapkan mie seperti ini lagi, Daddy,” ucap Moreau setelah menelan habis gulungan mie yang terlumat di mulut. Mungkin dia begitu antusias dan pada akhirnya tidak menyadari bahwa ada sesuatu tertinggal di sudut bibir. Tubuh Moreau secara naluriah menegang saat lengan Abihirt terulur panjang. Ujung ibu jari pria itu memberi sapuan ringan di sana. Perhatian ayah sambungnya bahkan terlalu serius; meninggalkan sedikit sentuhan canggung karena dia yakin perasaan seperti ini selalu menyerahkan kesan tertentu. Terlalu berbahaya, setidaknya sampai dia benar – benar terjatuh dalam.
“Kau sakit?” Tiba – tiba punggung tangan pria itu sudah mendarat di keningnya. Moreau sedikit tersentak, tetapi segera mengendalikan diri supaya tidak meninggalkan kesan tertentu. Dia tersenyum, walau sisa serangan gugup belum sepenuhnya hilang. “Aku mungkin hanya salah makan, Abi. Tidak apa – apa. Aku baik – baik saja.” Ada keraguan di balik mata kelabu itu, yang bisa Moreau katakan bahwa ayah sambungnya mungkin sedang menyimpan sesuatu untuk dipikirkan. Sungguh, Abihirt tak boleh menggapai suatu kesimpulan, yang akan membuat situasi menjadi runyam. Dia belum bersedia melakukan konfrontasi, andai ... ayah sambungnya benar – benar akan marah mengenai berita kehamilan ini. Sambil menghela napas, Moreau memutuskan untuk menyingkirkan tangan Abihirt, lalu menggenggam jari – jari besar pria itu dengan hangat. “Kurasa, aku memang salah makan,” ucapnya sambil menyerahkan senyum tertahan. “Salah makan? Apa yang kau makan?” Bahu Moreau merosot saat menda
“Kau tidak boleh melakukan itu,” ucap Moreau sarat nada waspada. “Kenapa?” Dia terkesiap saat satu tangan Abihirt masuk ke dalaman satin, sementara telunjuk pria itu telah mencelup ke inti tubuhnya. Geraman puas ketika merasakan dia telah basah membuat Moreau seperti menghadapi masalah besar. Abihirt seakan melahapnya hidup – hidup jika mereka tidak mengendalikan ini dengan cepat. “Kita sudah sepakat kalau kau tidak akan bersikap kasar denganku. Jadi, jangan lakukan apa pun hal yang tidak akan aku setujui.” Moreau mengatakan pelbagai pemikiran di kepalanya dengan setengah gugup. Tatapan Abihirt meninggalkan beberapa hal. Butuh jeda cukup kentara dan pria itu masih menerewang lama ke arahnya. “Abi ...,” panggil Moreau lambat. Bagaimanapun, dia tidak bisa menghadai Abihirt yang seperti ini. Takut jika ternyata pria itu akan mencurigai sesuatu, bahkan menebak dengan tepat mengenai satu rahasia yang masih disembunyikan. Kehamilannya. Ya. “Aku ti
“Bagaimana kalau ibuku mencarimu?" tanya Moreau, kemudian menelan ludah kasar saat Abihirt menutup pintu kamar seperti cara pria itu membukanya lebar. “Tidak. Aku membuat ibumu sibuk belakangan ini.” Pria itu bicara nyaris menyerupai gumaman samar. Sesuatu yang menarik perhatian Moreau. Sebelah alisnya terangkat tinggi, kemudian berkata, “Tapi tadi pagi aku masih sempat menemui ibuku.” Barbara tidak terlihat menghadapi masa – masa sulit. Seperti tidak sedang dalam tekanan waktu, sebaliknya Abihirt mengatakan prospek yang begitu kontras. “Kau bisa melihatnya nanti.” Satu kaki pria itu telah menekuk di atas ranjang. Begitu tentatif membiarkan Moreau terbaring. Sepatunya masih merekat dan Abihirt tidak harus melakukan tindakan seperti ini saat mereka bisa memulai segala sesuatu dengan pelan. Moreau mengatur posisi bangun sambil menghela napas saat mendapati Abihirt telah mengurai ikatan tali sepatunya, kemudian menyingkirkan benda tersebut hingga dia hanya
“Kau merasa ibuku berusaha menjerumuskanku?” tanya Moreau lambat dan pria itu segera menambahkan jawaban. “Ya.” “Mengapa ibuku harus melakukannya?” Lagi. Moreau mengajukan pertanyaan untuk melihat sejauh mana Abihirt dapat menambahkan komentar, meski tampaknya pria itu tidak berusaha tejerembab lebih jauh. “Hanya ibumu yang tahu jawabannya, Moreau.” Ya, Abihirt benar. Moreau bisa merasakan siapa seharusnya yang dia desak dengan pelbagai tuntutan, tetapi Abihirt telah mengatakan untuk tidak membiarkan Barbara tahu. Ibunya tak boleh tahu dan apa pun itu ... dia perlu bersikap sangat waspada di hadapan wanita tersebut. Sambil menghela napas hati – hati. Moreau memutuskan untuk memindahkan sentuhan tangan dengan menangkup wajah Abihirt—menyelam ke mata kelabu pria itu. Ada sesuatu yang tersisa dan setidaknya dia perlu tahu jawabannya. “Mengapa kau lakukan ini? Kau hanya ayah sambungku. Apa pun yang coba ibuku lakukan, seharusnya kau berada di pihakny
Rasa penasaran Moreau tidak bisa dialihkan. Abihirt pandai menganalisis sehingga pria itu begitu yakin terhadap situasi yang dia dan Barbara bicarakan, tetapi apakah Moreau perlu mencoba sekadar membagi? Bukankah itu sama seperti dia kembali mengkhianati ibunya lagi? Semacam paket kombo dan sebuah pilihan tetap terasa mengerikan. Moreau mengerjap. Mungkin tidak apa – apa memulai sesuatu yang membuatnya sedikit ragu. “Baiklah. Aku akan memberi tahu apa yang ibuku katakan. Tapi, bisakah kau menjawab satu pertanyaan dariku?” tanya Moreau, setidaknya dia harus lebih pintar; menjebak Abihirt masuk ke dalam satu lubang di mana tangannya-lah yang akan mengatur beberapa hal tersisa. “Apa yang ingin kau tanyakan?” “Mengapa kau mengambil alih perusahaan ayahku? Bukankah kau tahu itu diwariskan untukku?” “Apa ini yang membuatmu berusaha menghindariku?” Alih – alih menjawab persis sesuai bayangan di benak Moreau. Abihirt sebaliknya mengajukan pertanyaan. Pria itu
“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur.” Memang merupakan ide buruk melakukan konfrontasi di kamarnya sendiri. Moreau sudah bisa membayangkan apa yang mungkin akan Abihirt lakukan ketika dia—secara sengaja atau tidak, melukai perasaan pria itu. Namun, mungkin ... perlu lebih berhati – hati terhadap urusan yang akan melibatkan Barbara, walau ibunya jelas tidak di sini. “Jujur seperti apa yang kau inginkan?” Perhatian Moreau tidak lepas dari setiap detil hal yang ayah sambungnya lakukan. Cara Abihirt melonggarkan dasi, atau saat pria itu menyingkirkan jas yang merekat, kemudian menyisihkan ke pinggir ranjang. Semua. Tidak sedikitpun adalah pecitraan buruk. Tidak lama lagi Moreau yakin, dia akan terpukau jika tidak segera mengendalikan diri. Sambil mengembuskan napas secara perlahan, Moreau memastikan telah memiliki keyakinan utuh, lalu berkata, “Apa kau menikahi ibuku untuk menguras harta kami?” Ini terlalu konyol. Namun, bukankah negosiasi den
“Tidak, Abi. Kau tahu aku dan Juan—“ “Dia sudah menerima uangnya. Sekarang kita pulang.” Keputusan Abihirt masih sama. Meninggalkan sesuatu yang tidak biasa Moreau singkirkan, tetapi dia merasa sangat harus. “Aku tidak mau ikut denganmu,” ucapnya, diliputi suara yang terdengar cukup lantang. Tidak ada siapa pun dan sedikit bersyukur jika Anitta tidak mengikuti keberadaan Abihirt. Perlu digaris bawahi kalau – kalau Moreau merekatkan ujung kakinya, seolah memang tidak bersedia diajak melakukan perjalanan pulang ke rumah. “Mengapa tidak mau?” Kernyitan di kening Abihirt menyiratkan segalanya. Moreau menelan ludah kasar sembari mencari jawaban terbaik agar bisa menghindari pelbagai tuntuntan dari pria itu. “Aku ... hanya tidak mau,” dia mengatakannya dengan gugup. Tidak tahu apakah reaksi demikian dapat memberi banyak pengaruh tentang apa yang seharusnya tidak dan akan. Moreau tak bisa membayangkan bahwa ternyata ... dia mungkin meninggalkan pelbagai prospek kep