“Apa kau begitu menyukaiku?” tanya Gaby. Haven mengangkat kepalanya. Bukannya menjawab langsung, pria itu justru tertawa. Setelah membersihkan tangannya dan mengelap tangannya menggunakan tisu. Haven menoleh. “Bukan hanya suka. Aku mencintaimu.” Kemudian menyalakan mobilnya. Mulai mengemudikan mobil menuju rumahnya. “Sudah jangan dipikirkan. Aku tahu kau mengantuk.” Haven fokus menyetir. “Tidur saja. nanti aku akan membangunkanmu.” Gaby bersandar dan memejamkan mata. “Jangan macam-macam denganku.” “Aku boleh macam-macam. Aku suamimu, tidak ada yang akan mempermasalahkannya.” Haven tertawa pelan. “Sudah tidur saja.” “Aku akan menendangmu jika kau menyentuhku.” “Iya, Gaby..” Haven menoleh sebentar. Gaby mengerucutkan bibirnya. Kenapa pria ini membuatnya kesal. Bukan karena pria itu yang menggodanya. Tapi respon yang diberikan Haven. Pria itu pasrah, tidak ada perlawanan. Pria itu bahkan tidak memaksanya sedikitpun. Gaby menjadi merasa bersalah lagi.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Aluna begitu melihat Gaby berada di ruang tamu. “Kalau tidak pernah ke sini, di marahi. Ke sini juga di marahi. Memangnya kenapa kalau Gaby ke sini?” tanya Gaby memakan camilan di ruang santai mansion keluarganya. “Baru sehari nikah kok udah marahan,” Decak Aluna. “Sudah dua minggu ya, bukan sehari.” “Sama saja, hitungannya masih sebentar. eh udah marahan.” Aluna mengambil duduk di samping Gaby. Kemudian meraih sebuah toples yang berada di pangkuan Gaby. “Mama kan sudah bilang, pernikahan itu bukan perkara yang mudah.” Aluna menoleh dan mencubit pipi anak perempuannya itu dengan gemas. “siapa yang menyuruh menikah secepat ini?” tanya Aluna. Gaby berdecak. “Aku melakukannya untuk perusahaan juga.” Aluna menggeleng. “Tidak.” Aluna mengedikkan bahunya. “Kamu tidak secinta itu dengan perusahaan sampai-sampai merelakan kebahagiaan kamu sendiri.” “Kamu itu bocah pintar yang licik.” Aluna menonyor dahi anaknya. Gaby berdecak. Ia menghela nafas kasar.
Makan malam dengan para pegawai yang tidak dikenal oleh Haven. Ya sebenarnya perusahaan ini adalah cabang. ia jarang ke sini karena sudah ada seseorang yang ditunjuk untuk mengelola cabang ini. Tapi ia ke sini untuk mengontrol apakah perusahaan berjalan dengan baik atau tidak. “Sir, apakah anda sudah mempunyai kekasih?” tanya seorang wanita. Pertanyaan itu cukup konyol. Namun mungkin berita pernikahannya belum sampai di perusahaan cabang. “Aku sudah menikah.” menunjukkan cincin di jari manisnya dengan bangga. “Oh maaf, Sir.” Wanita itu nampak tidak enak. Wajahnya memerah menahan malu. Memang ya kalau pesona Haven itu sulit untuk dihiraukan. Siapa yang tidak suka dengan pria tampan matang yang berbau uang. Tentu saja siapapun pasti akan tergiur. Haven tersenyum tipis. “Aku akan memperkenalkan istriku secara langsung nanti.” “Pernikahan kami dilakukan sederhana, wajar jika banyak orang yang tidak tahu aku sudah menikah.” Haven mengangkat gelasnya. “Cheers.” “C
“Gabriella..” desis tajam Haven. “Kenapa? mau marah?” tanya Gaby. Ia melempar tasnya begitu saja. “Aku tanya kau ke mana saja saat di sana? dan bersama siapa saja?” tanya Gaby. Haven menghela nafas. “Aku sedang bekerja, aku tidak ke mana-mana selain ke kantor.” Gaby berkacak pinggang. “Jangan membohongiku, Haven. Aku bukan Gaby yang dulu. aku bukan wanita bodoh yang bisa kau bohongi dan kau permainkan sesuka hatimu.” “Aku tidak berbohong Gab. Aku tidak bermain-main di sana, aku hanya bekerja dan kemarin aku makan malam dengan rekan-rekanku.” “Rekan-rekan?” tanya Gaby. “Rekan-rekan atau selingkuhan kamu?” tanyanya. “Mana ada selingkuhan? Kamu kata siapa?” tanya Haven. “Tidak peduli kata siapa.” Gaby berdecih pelan. “Tidak ada lagi pria yang bisa aku percaya di dunia ini selain orang tuaku.” “Tidak ada pria yang benar-benar bersih di dunia ini. Mereka akan sulit fokus dengan satu wanita saja.” Gaby mengambil tasnya dengan kesal. “Gab!” Haven mencekal tangan Gaby. “
“Gab aku mohon percayalah padaku.” Haven yang terdengar putus asa karena Gaby yang tidak pernah percaya padanya. “Aku tidak bodoh Haven..” balas Gaby. “Aku bukan Gaby lima tahun yang lalu.” “Sekarang pergilah dari sini.” Gaby mendorong Haven keluar dari ruangannya. “Gabriella..” lirih Haven. “Tidak. Tidak usah banyak omong. Pergilah sekarang juga.” Mendorong Haven sampai pria itu benar-benar keluar dari ruangannya. Setelahnya menutup pintu ruangannya dengan rapat supaya pria itu tidak bisa masuk. Gaby berkacak pinggang—mengusap wajahnya kasar. Sampai kapan ia akan dihianati seperti ini. sampai kapan ia terus dipermainkan oleh laki-laki? Gaby mengusap rambutnya kasar. Apa semua itu adalah kesalahannya di masa lalu? Apakah yang ia rasakan saat ini adalah akibat perbuatannya dulu yang suka mempermainkan hati para pria. ~~Di usir istri sendiri. Naas sekali memang. Padahal harapan Haven besar untuk dimaafkan oleh Gaby. Namun baru saja sampai sudah diusir begitu saja. Setelah
Haven benar-benar kehilangan kontrol emosinya ketika Gaby berbicara seperti itu. Alhasil ia tidak pulang ke rumah. Ia langasung pergi ke suatu tempat yang menurutnya lebih tenang. Sebuah bar hotel yang dimiliki oleh temannya. Haven masuk ke dalam. Ada beberapa wanita cantik di sana yang meliriknya. Tentu saja ia mengacuhkan para wanita itu. Haven memilih untuk dudu di sofa sendirian. Tidak minum ataupun merokok. Ia hanya diam dan menutup mata. Tangannya menarik dasinya pelan agar lebih longgar. Melepaskan jasnya—dan menggulung lengan kemejanya sampai siku. “Sir, boleh saya temani anda?” tanya seorang wanita cantik dengan pakaian minim yang mendekat. Haven menggeleng dan memberikan gerakan jarinya mengusir. “Bro!” seorang pria datang dengan membawa gelas di tangannya. “Tumben kau ke sini?” tanyanya. “Hanya mencari tempat yang tenang,” balas Haven. Thomas memberikan kode kepada para pegawainya. hingga mereka membawa minuman dan rokok. “Aku tidak minum dan t
Semua lampu sudah mati. Gaby menatap ruang bawah dari tangga. Sudah malam tapi Haven tidak kunjung pulang. Apa perkataannya keterlaluan? Gaby merogoh ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan lagi dari pria itu. Ia ingin menanyakan keberadaan pria itu tapi, Gaby gengsi. Akhirnya ia berjalan ke arah dapur yang begitu gelap. “Kenapa begitu gelap? Aku kira tidak segelap ini…” lirihnya menggeleng pelan. Gaby meraih handle kulkas. Membukanya dan mengambil air dari sana. Gaby mengernyit. ia merasa ada seseorang yang sedang mengawasinya. Gaby meremas botol ditangannya sebelum menonjok perut seseorang yang berada di belakang. “Akh!” ringis pria itu. “Siapa kau?” Gaby melotot. Ia waspada dengan pria yang tiba-tiba muncul itu. Di kegelapan ini. Gaby tidak bisa melihat siapa pria yang sedang menggunakan pakaian serba hitam dengan wajah yang ditutup dengan masker. “Siapa kau?” teriak Gaby. “Tebak aku siapa?” Suara itu. Gaby mengingatnya. Suara seorang pria yang
Haven menjalankan mobilnya sampai di halaman depan. Ia mengernyit melihat kediamannya yang begitu gelap. Lalu, saat ia turun. ia mendapati seorang satpam yang tengah tertidur. Haven mencoba membangunkan satpam tersebut. Namun sepertinya, Satpam tersebut telah dibius. “Pak!” Haven berusaha menyadarkan satpam itu. Namun tidak kunjung bangun. Haven merasa ini semua ganjal. Akhirnya ia memilih untuk mengamati cctv yang ada di rumahnya. Melalui ponselnya, ada satu cctv yang masih berfungsi. Cctv itu berada di lorong ruangan. Namun melalui cctv itu, ia bisa mendengarkan percakapan yang ada di dalam. “Sial,” umpat Haven. Segera setelah ia mendapatkan bukti penyergapan itu, Haven langsung menghubungi polisi. Ia berjalan ke arah mobilnya. Mengambil satu pistol di sana. Memasukkan satu peluru di sana. Setelah itu Haven memilih untuk berjalan. Dengan berhati-hati Haven masuk ke dalam rumahnya yang sudah benar-benar gelap. ‘Bajingan itu..’ ‘Jika dia menyent