Beberapa hari yang lalu … Laras menemui sahabatnya yang bernama Widuri di sebuah kafe. Katanya dia ingin menyampaikan sesuatu tapi tak bisa memberitahunya di rumah. Maka dari itu, sore itu Laras menemui Widuri di kafe. Wajah Widuri yang tegang membuat Laras khawatir. Apa ada sesuatu yang tengah menimpa Widuri kali ini? “Kenapa Wid,” tanya Laras. Laras duduk dan mengamati tidak ada bekas lebam di wajah Widuri. “Ras, aku mau ngasih tau ini karena aku peduli sama kamu,” jelasnya. Laras memandang Widuri bingung. “Ini soal Adhi, suamimu.” “Suamiku? Suamiku kenapa?” Widuri menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia mulai mengotak-atik ponselnya kemudian menunjukkan beberapa foto pada Laras. “Ini Adhi kan, Ras?” tanya Widuri sambil menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan seorang pria berjas dengan seorang wanita muda yang masuk ke sebuah hotel. “Aku nggak sengaja lihat ini waktu ke hotel buat makan di restoran itu sama anakku. Tapi aku malah nggak sengaja l
Samar-samar Laras mendengar si resepsionis bicara dengan temannya bahwa tidak ada yang mengangkat telepon di ruangan sekertaris.”Kenapa?” tanya Laras tak sabar. Padahal ingin menunggu di ruangan suaminya sendiri, tapi dia harus meminta izin sesulit ini.“Itu Bu… sepertinya bapak sedang sibuk. Jadi… ““Iya saya tahu, makanya saya mau nunggu di ruangan suami saya. Saya nggak akan maling kok, tenang aja.”“Bukan begitu Bu.”Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Laras berjalan ke arah lift yang akan membawanya ke lantai di mana ruangan suaminya berada. Dia sudah tidak peduli lagi dengan resepsionis yang mengikutinya karena dia merasa ada yang aneh dengan Adhi saat ini.“Bu tunggu sebentar!” seru resepsionis, tapi Laras sudah dulu menutup pintu lift.Jantung Laras berdegub-degub tak menentu. Rasanya panas seperti sedang dibakar, dan entah mengapa firasatnya kali ini begitu buruk.Ini cuma perasaannya saja kan? Adhi ada di kantor, lalu apa lagi yang Laras takutkan?Ketika Laras sudah ada
“Kita cerai aja, Ras,” kata Adhi. Alih-alih memita maaf pada istrinya, dia malah mengajak istrinya untuk bercerai.“Apa katamu, Mas?”“Iya, kita cerai.”“Kamu lebih memilih perempuan itu?”Adhi tidak menjawab. Jelas jika dia lebih memilih wanita itu alih-alih dirinya yang sudah menemaninya sejak Adhi memulai bisnisnya dari nol.“Ras, denger.” Adhi menyugar rambutnya lalu mencengkeram kedua bahu Laras. Menatap kedua bola mata itu bergantian. “Jujur, aku udah nggak ada perasaan sama sekali sama kamu. Rasanya anyep, selama ini aku bersikap baik karena aku nggak mau merasa bersalah banget sama kamu. Aku memang selingkuh, tapi aku masih mau jadi suami yang bertanggungjawab.”“Dengan gaya romantismu selama ini? Dan ternyata semua itu palsu?”Adhi menjilat bibir bawahnya lalu memalingkan wajahnya.“Bahkan saat ini kamu juga udah muak lihat wajah wanita yang sudah ngasih kamu anak yang sekarang udah berumur tujuh belas tahun!”“Ras! Cerai adalah jalan satu-satunya buat kita sekarang. Karena…
Mata Laras terbuka, ia merasakan tubuhnya begitu ringan. Ketika dia melihat di sekitarnya, ada banyak tumpukan rak buku berjejer dengan rapi. Dan ruangan ini begitu sunyi, sampai dia bisa mendengar suara sekecil apapun di sana. Di mana ini? Apa aku sudah mati?Laras mengelilingkan pandangannya, dia merasa tidak asing dengan ruangan ini. Ruangan ini sama persis seperti ruang perpustakaan ketika dia masih duduk di SMA.Menoleh ke sisi kanannya, dia melihat jendela yang bening menembus sebuah pemandangan yang sangat indah.“Ini… “ Laras terperanjat, dia melihat sebuah lapangan berwarna hijau yang menyegarkan di bawah sana. Ada beberapa anak laki-laki yang sedang berlari-larian mengejar bola.“Ini kan sekolahku? Kenapa aku ada di sini?”Laras melihat dirinya sendiri. Rok abu-abu dengan kemeja putih. Ada sebuah nama tertulis di dada kanannya, Larasati.Laras terpekik tertahan. Hampir saja dia menjerit seperti orang gila. Ia segera mencari cermin. Ia langsung pergi ke arah pintu masuk perp
Laras masih berpikir bahwa apa yang dia alami adalah sebuah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi. Mungkin apa yang dia lihat tadi adalah sebuah mimpi karena ingin melarikan diri dari rasa sakitnya.“Ras? Kamu nggak pulang?” tanya Widuri. “Apa nunggu dijemput sama Adhi?”Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya marah, apalagi jika harus bertemu dengan Adhi! Laras tak akan sudi!“Dijemput Adhi?”Widuri memandang Laras aneh, dia berjalan kembali masuk ke kelas kemudian menempelkan punggung tangan di dahi Laras.“Nggak panas padahal, kamu ilang ingatan apa gimana? Kan tadi pagi kamu bilang sendiri kalau siang ini mau dijemput sama Adhi.”Laras tersenyum dengan canggung. Kejadian sudah berlalu begitu lama. Dua puluh tiga tahun yang lalu, jadi mana mungkin dia mengingat persis bagaimana kejadian yang terjadi hari ini.“Kalau begitu aku duluan aja deh!” Laras mengambil tas ranselnya, dia berlari mendahului Widuri yang masih melihatnya dengan aneh.Di halaman sekolah, dia melihat para
Selama di perjalanan, bayangan bayangan menjijikkan itu kembali berputar di kepala Laras. Bagaimana Adhi melindungi Adis dan lebih memilih perempuan itu daripada dirinya.Tujuh belas tahun rupanya tidak membuat Adhi ingin mempertahankan pernikahan. Dia malah mencari daun muda yang segar untuk dia gerogoti.Air mata Laras terjatuh saat dia mengingat banyak kenangan yang sudah dia lalui bersama dengan Adhi.Lelaki itu selalu bersamanya bahkan ketika ia kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Namun, hal itu juga tak cukup untuk membuat Adhi ingin mempertahankan Laras."Ras, kamu kenapa?" tanya Tian.Laras tersadar jika dia sudah menangis, dia mengusap airmatanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya."Duduk di situ, cewek itu udah mau turun," kata Tian."Kakak gimana?""Aku berdiri, udah biasa."Tian adalah kakak kelas Laras yang waktu itu sama sekali tidak dia lirik. Malahan, dia sudah menolak mentah-mentah Tian di hari kelulusan lelaki itu.Laras tak mengerti mengapa dia menolak Ti
“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.“Kamu tidur siang, Ras?”Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja. “Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”Laras langsung berd
Keesokan harinya, di kafe dekat sekolah. Laras duduk di sudut kafe, mengaduk-aduk es teh manis yang mulai mencair. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Dia masih belum bisa percaya Adhi memukuli Tian. Dalam hatinya, dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Pintu kafe berbunyi, dan dia menoleh melihat Adhi masuk.Adhi melihat Laras dan segera menghampirinya dengan ekspresi marah. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di depan Laras, memandangi gadis itu dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan.“Kita perlu bicara,” kata Laras dingin.“Bicara soal apa? Soal kamu dan cowok lain?” sahut Adhi dengan nada sarkastik.Laras mengernyit, tidak menyangka reaksi Adhi akan sekeras ini. “Adhi, kamu salah paham. Aku nggak punya cowok lain.”“Lalu apa? Tian itu cuma temen?” Adhi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Laras tajam.“Tian nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia cuma temen.” Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku mau kamu berhenti ngejar-ngejar aku,
Laras melangkah masuk ke dalam rumah Tian, sebuah rumah sederhana dengan dinding bercat kusam dan beberapa furnitur tua yang terlihat sudah bertahun-tahun dipakai. Ia pernah ke sini sebelumnya, waktu Tian habis dipukuli Adhi hingga lebam-lebam. Laras datang saat itu untuk menjenguknya, bersama Widuri, teman dekat mereka di sekolah. Tapi kali ini, rumah itu terasa lebih sunyi. Tidak ada Widuri, tidak ada siapa pun selain dirinya dan Tian.“Ibu Kak Tian di mana?” tanya Laras pelan, mencoba memecah keheningan.“Mungkin masih kerja,” jawab Tian sambil meletakkan tasnya di sofa tua yang sedikit berderit. Ia melangkah ke dapur tanpa berkata banyak, mencari sesuatu untuk disuguhkan kepada Laras.Tak lama kemudian, Tian kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Ini, minum aja dulu. Aku mau ganti baju,” katanya sebelum berlalu menuju kamarnya.Laras mengangguk sambil menerima gelas itu. Tapi tangannya sedikit gemetar. Ada sesuatu yang membuatnya gugup berada di sini, meski ia tahu diriny
Tian dan Laras akhirnya melangkah keluar dari bus yang mengantarkan mereka sejauh ini. Laras, yang masih setengah mengantuk, mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Mereka berdiri di tepi terminal kecil yang ramai dengan suara klakson dan panggilan calo bus. Bau asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima yang berjejer di pinggir jalan. Tian menoleh ke Laras, yang kini mengerutkan dahi sambil mengatur tas selempangnya.“Kenapa Kakak nggak bangunin aku?” tanya Laras sambil meluruskan rambutnya yang berantakan.“Kamu tidur nyenyak banget,” jawab Tian sambil tersenyum kecil. “Kayaknya nggak tega kalau ngebangunin.”Laras hanya mengangguk pelan, menerima jawaban itu. Tian, tanpa sadar, merogoh saku celananya untuk mengambil uang yang ia lipat kecil-kecil tadi. Namun, sebuah kertas lain terjatuh ke aspal. Laras melirik kertas itu sekilas, yang ternyata sebuah amplop kecil berwarna merah muda. Tian segera membungkuk, mengambilnya, lalu memasukkan surat itu ke dal
“Wid, aku udah mutusin sesuatu,” kata Laras sambil menyandarkan sendok di mangkuk yang kini sudah kosong. Sisa kuah soto yang tersisa sedikit ia aduk pelan dengan ujung sendok, wajahnya menunjukkan keseriusan.“Mutusin apa?” tanya Widuri tanpa mengalihkan pandangannya dari bakso yang sedang ia suapkan ke mulut.“Aku bakalan deketin Tian,” jawab Laras mantap, menatap Widuri penuh keyakinan.Widuri yang baru saja menggigit bakso tiba-tiba tersedak. Refleks, ia memuntahkan potongan bakso yang nyaris meluncur ke tenggorokan, membuat Laras meliriknya dengan jijik sekaligus kesal.“Tunggu… apa?” Widuri mengelap mulutnya dengan tisu sambil menatap Laras dengan mata terbelalak. “Deketin Tian? Setelah kamu nolak dia mentah-mentah? Seriusan nih?” tanyanya penuh kaget.Laras mengangguk pelan namun pasti. “Aku udah mutusin. Aku bakalan deketin Tian. Aku tahu aku bisa bikin masa depanku berubah.”Widuri mengerutkan kening, merasa bingung dengan nada serius yang digunakan Laras. “Masa depan? Maksud
“Ras, kamu kenapa?” tanya Widuri dengan nada khawatir. Ia memperhatikan wajah Laras yang mendadak berubah muram, seolah-olah menahan tangis.Laras tersadar dari lamunannya. Ia menoleh pada Widuri, berusaha menyembunyikan kegundahan yang menghantui pikirannya. Ia tahu tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Bahwa saat ini, dirinya sudah memiliki seorang anak. Itu adalah hal yang tak mungkin ia bagi dengan siapa pun, bahkan kepada sahabatnya sendiri.“Nggak apa-apa,” jawab Laras sambil memaksakan senyum. Namun, matanya tak mampu berbohong.Widuri menatapnya tajam, mencoba membaca isi hati sahabatnya. “Gara-gara Adhi?” tebaknya dengan nada setengah mengejek, meski ada kekhawatiran di dalamnya.Laras langsung mendengus kecil, berusaha menutupi keresahan hatinya. “Aku nggak bakalan nangisin lelaki buaya seperti Adhi,” ujarnya dengan nada penuh penekanan. Tanpa menunggu respons Widuri, Laras berjalan menuju kelas, meninggalkan Widuri yang masih memandanginya dengan bingung.---Tian sed
"Duduk," perintah Adhi dengan nada datar sambil menunjuk kursi di depan meja belajarnya. Via menurut tanpa banyak bicara. Dia menarik kursi itu pelan dan duduk dengan gugup. Matanya sesekali melirik ke arah Adhi, yang kini berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan tatapan sulit ditebak."Ngapain tumben-tumbenan datang ke rumahku? Ada apa?" tanya Adhi santai, suaranya terdengar ringan, tetapi matanya tajam, menelisik setiap gerak-gerik Via.Via tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Nggak apa-apa. Cuma pengen lihat kamu aja," jawabnya jujur, suaranya pelan nyaris seperti bisikan.Adhi tersenyum miring. Tanpa peringatan, dia melangkah mendekat. Tangannya bertumpu pada sandaran kursi tempat Via duduk, tubuhnya membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan wajah Via. Dalam sekejap, Adhi melumat lembut bibir Via tanpa aba-aba.Mata Via membelalak kaget, tetapi perlahan-lahan, rasa gugupnya mencair. Dia menutup matanya, membiarkan ciuman itu berlangsung. Ada sesuat
Laras masih mengurung diri di dalam kamar, suasana hatinya campur aduk. Hatinya terasa sakit, bukan hanya karena pertengkarannya dengan sang ibu, tetapi juga karena kenyataan bahwa ibunya lebih percaya pada Adhi, kekasihnya, daripada dirinya sendiri. Dia duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela kamar yang tertutup. Laras menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski hatinya terasa penuh sesak."Laras, makan malam dulu," suara ayahnya terdengar pelan dari balik pintu. Ketukan pintu itu terdengar ragu, seolah sang ayah tak ingin mengganggu, tetapi juga tak tega melihat putrinya berlarut-larut."Iya," sahut Laras singkat.Tak lama, dia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah berat. Saat tiba di meja makan, Laras melihat ibunya sudah duduk, menyendok nasi ke piringnya sendiri. Ekspresi wajah sang ibu tampak dingin, nyaris tak peduli. Laras menahan gejolak emosinya, mencoba bersikap tenang meski amarah masih membara di dadanya.Setelah semua anggota keluarga d
Setelah meninggalkan rumah Laras, Adhi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pikirannya dipenuhi oleh kepuasan dan rencana berikutnya. Dia tahu, di balik topeng simpati yang dia tunjukkan di hadapan ibu Laras, ada niat tersembunyi yang membuatnya semakin yakin akan tindakannya. Laras mungkin sudah tak bisa dia kendalikan lagi, tapi itu bukan berarti Adhi tak punya pilihan lain.Ketika sampai di kampus, Adhi langsung menuju ke area yang biasa menjadi tempat berkumpul teman-teman kuliahnya. Di sana, dia melihat Via, gadis cantik yang sejak lama menunjukkan ketertarikan padanya. Via tengah duduk di bawah pohon besar, tampak sedang membaca buku. Senyum kecil terukir di bibir Adhi saat dia melangkah mendekati Via.“Hei, Via,” sapanya dengan nada lembut yang membuat Via menoleh dengan cepat.“Oh, hai, Adhi,” balas Via, senyum manis langsung menghiasi wajahnya saat melihat Adhi berdiri di hadapannya. “Ada apa? Tumben kamu ke sini.”Adhi tersenyum simpul, duduk di sebelah Via dengan s
Tian terkejut mendengar ajakan Laras. Baru beberapa hari yang lalu, perasaannya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Kini, tiba-tiba Laras mengajaknya berpacaran? Hatinya berkecamuk, antara senang, bingung, dan ragu. Tian menatap Laras, mencari jawaban di matanya."Laras ... Kamu serius?" Tian akhirnya bertanya, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.Laras mengangguk, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan. "Aku serius, Kak. Aku nggak mau lagi sama Adhi. Aku butuh seseorang yang bisa bantu aku lepas dari dia."Tian menarik napas dalam-dalam. Dia tahu perasaan Laras terhadap Adhi memang rumit, tapi dia juga khawatir Laras hanya mendekatinya untuk melarikan diri dari masalah. "Laras, aku senang kamu datang ke sini. Tapi ... apa ini bukan keputusan yang terburu-buru?"Laras terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Tian. “Mungkin memang terburu-buru, Kak. Tapi aku butuh seseorang yang bisa ada buat aku, yang nggak akan nyakitin aku kayak Adhi.”Tian menghela napas pelan, mencoba un
Keesokan harinya, di kafe dekat sekolah. Laras duduk di sudut kafe, mengaduk-aduk es teh manis yang mulai mencair. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Dia masih belum bisa percaya Adhi memukuli Tian. Dalam hatinya, dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Pintu kafe berbunyi, dan dia menoleh melihat Adhi masuk.Adhi melihat Laras dan segera menghampirinya dengan ekspresi marah. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di depan Laras, memandangi gadis itu dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan.“Kita perlu bicara,” kata Laras dingin.“Bicara soal apa? Soal kamu dan cowok lain?” sahut Adhi dengan nada sarkastik.Laras mengernyit, tidak menyangka reaksi Adhi akan sekeras ini. “Adhi, kamu salah paham. Aku nggak punya cowok lain.”“Lalu apa? Tian itu cuma temen?” Adhi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Laras tajam.“Tian nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia cuma temen.” Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku mau kamu berhenti ngejar-ngejar aku,