Malam itu, di Kamar LarasLaras duduk di sudut kamar, tangannya gemetar saat menekan tombol play pada handycam. Layar kecil menyala, memperlihatkan Adhi yang duduk di sofa dengan lengannya melingkar di pinggang perempuan lain.Wajah Laras tetap datar saat menonton, tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergejolak. Kemarahan, kekecewaan, dan perasaan tidak percaya. Dulu, ia pernah melihat Adhi sebagai pria yang dewasa dan bisa diandalkan. Sekarang? Yang ada hanya lelaki manipulatif yang merasa bisa menang dengan cara kotor.Suara dalam rekaman mulai terdengar jelas."Kamu yang menyebarkan fitnah itu, kan?" suara Laras terdengar penuh tuduhan.Di layar, Adhi menyeringai. "Kalau iya, kenapa? Emangnya kamu bisa apa?"Laras mengepalkan tangannya, nyaris menutup rekaman itu sebelum bagian yang paling menyakitkan datang.PLAK!Suara tamparan itu terasa lebih menusuk daripada saat benar-benar mengenainya. Laras melihat bayangannya sendiri dalam rekaman—wajahnya yang terkejut, lalu sorot mat
Keheningan masih menyelimuti ruangan kepala sekolah ketika tiba-tiba seorang guru, seorang pria berusia sekitar 40-an dengan kacamata tebal, berdeham dan melangkah maju. Namanya Pak Rahmat, guru matematika yang terkenal tegas tapi adil.“Saya rasa keputusan untuk menskors Tian terlalu tergesa-gesa,” katanya dengan nada mantap. “Sebagai wali kelasnya, saya bisa memastikan bahwa Tian adalah anak yang baik dan berprestasi. Saya mengenalnya sebagai murid yang rajin dan memiliki rekam jejak yang bersih. Tidak ada alasan bagi kita untuk langsung percaya pada tuduhan tanpa bukti yang jelas.”Beberapa guru saling bertukar pandang. Ada yang terlihat tidak setuju, tapi ada juga yang tampaknya mulai mempertimbangkan kata-kata Pak Rahmat.“Bukan hanya itu,” lanjutnya, “saya juga tahu bahwa Tian sering membantu guru-guru di sini. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan fitnah yang beredar, tapi saya bisa pastikan Tian bukan tipe anak yang suka berbuat seenaknya.”Mata ibu Laras sedikit m
Tian berdiri di depan bioskop dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya terus melirik ke arah jalan, mencari sosok Laras di antara kerumunan orang yang lalu lalang.Sudah lebih dari setengah jam sejak waktu yang mereka sepakati. Tiket film masih tergenggam di tangannya, sedikit kusut karena terus ia remas."Laras, kamu di mana sih?" gumamnya pelan.Tian mulai merasa ada yang tidak beres. Laras bukan tipe orang yang ingkar janji, apalagi tanpa memberi kabar. Tapi itu tahun 2004—Tian tidak punya ponsel untuk saling menghubungi dengan mudah. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu.Tapi semakin lama ia menunggu, semakin kuat perasaan tidak enak itu menghantuinya.---Laras berdiri di trotoar, melipat tangan di depan dada sambil menatap ke arah jalan. Hari sudah mulai senja, lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, menciptakan semburat cahaya kekuningan di aspal basah. Ia menunggu taksi yang bisa membawanya ke bioskop, tempat Tian sudah lebih dulu menu
Laras terbangun dengan napas tersengal. Dadanya naik turun, kepalanya berdenyut hebat. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya temaram di ruangan itu.Rumah sakit?Bau antiseptik yang khas langsung menusuk hidungnya. Ia merasakan selang infus di punggung tangannya, serta kelemahan yang menjalari tubuhnya. Namun, bukan rasa sakit yang membuatnya waspada—melainkan perasaan takut yang tiba-tiba mencengkeram dadanya.Tahun berapa sekarang?Ia berusaha mengingat. Terakhir kali… ia ada di dalam mobil Adhi. Lalu kecelakaan. Tapi sekarang, ia masih hidup. Apakah itu berarti…?Laras menelan ludah. Jika ia benar-benar kembali ke masa depan, maka ada satu pertanyaan besar yang harus segera dijawab.Apakah ia masih menjadi Laras yang sama?Dan lebih dari itu… Apakah ia masih menjadi istri Adhi?Jantungnya berdebar kencang.Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari luar. Tak lama, pintu terbuka dengan kasar.Seorang pe
Abi masih menyetir, matanya lurus ke depan. Rahangnya mengatup, sorot matanya dingin.Dari kursi penumpang, Laras diam. Tangannya bertaut di pangkuannya, pikirannya masih kacau. Udara di dalam mobil terasa berat, seakan menekan dadanya.Kenyataan yang baru saja ia lihat masih bergema di kepalanya. Adhi berselingkuh. Bukan hanya sekadar selingkuh, tapi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya mencumbu sekretarisnya di atas kursi kantor.Hatinya remuk. Dulu, ia mencintai laki-laki itu. Rela bertahan meskipun sering disakiti, berharap suatu hari Adhi akan berubah. Tapi ternyata… semua harapannya sia-sia.Ia menarik napas, tapi udara terasa sesak.Laras menelan ludah. Lalu, dengan suara yang hampir berbisik, ia bertanya, “Abi… kalau Ibu mau cerai, boleh?”CKIT!Abi menginjak rem mendadak. Mobil berhenti di pinggir jalan dengan hentakan kasar.Abi menoleh dengan cepat, matanya menatap ibunya tajam. Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal di atas kemudi. Laras bisa melihat kemar
Abi duduk di balik jeruji besi, wajahnya pucat, tapi sorot matanya masih penuh amarah. Laras berdiri di luar sel, jari-jarinya mencengkeram erat palang besi, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.“Ibu akan cari pengacara,” suaranya bergetar, tapi penuh ketegasan. “Abi nggak salah. Kamu cuma membela diri.”Abi menatapnya dengan rahang mengatup. “Bu, aku nggak nyesal.”Laras terdiam.“Aku nggak nyesal nusuk dia,” lanjut Abi, matanya berkilat. “Aku muak! Aku benci lihat Ibu diperlakukan kayak sampah!”Laras menarik napas dalam, berusaha meredam emosi. “Tapi Ibu nggak mau kamu dipenjara, Nak…”Abi tersenyum miring, penuh kepahitan. “Nggak apa-apa. Selama ini aku udah hidup di penjara, Bu. Penjara yang dibuat sama dia.”Laras menggigit bibirnya, lalu menyentuh tangan Abi dari balik jeruji. “Percayalah sama Ibu. Ibu nggak akan biarin kamu di sini lama-lama.”Abi hanya menatap ibunya, lalu mengangguk pelan.---Laras berdiri di ambang pintu ruang perawatan VIP. Dadanya
Laras menggenggam tasnya erat, mengikuti langkah Widya yang berjalan cepat di depannya. Hatinya masih bergejolak, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. Ia harus menemukan pengacara yang bisa membantunya.“Kita hampir sampai,” kata Widya tanpa menoleh.Laras mengangguk. “Biro jasa hukum ini… beneran bisa dipercaya, kan?”Widya berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Laras, ini bukan tempat sembarangan. Mereka menangani kasus-kasus besar. Aku yakin mereka bisa bantu kamu.”Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Oke.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kantor yang modern dan elegan. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”Widya mendekat. “Kami ingin bertemu dengan salah satu pengacara terbaik di sini. Ada janji dengan Pak Tian.”Laras mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk menyadarinya.“Silakan ke ruang 302. Beliau sudah menunggu,” kata resepsionis itu.Widya
Tian melangkah masuk ke ruang kunjungan tahanan dengan ekspresi tenang. Di depannya, Abi duduk di balik meja besi, tangannya terborgol, sorot matanya penuh kebencian.Laras duduk di samping putranya, menggenggam tangan Abi dengan erat. Ia menoleh pada Tian, seolah meminta kepastian bahwa pria itu benar-benar bisa membebaskan putranya.Tian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. Ia membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. “Aku butuh kamu cerita dari awal. Apa yang terjadi malam itu?”Abi menatap Tian tajam. “Siapa Anda?”Tian menutup mapnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Abi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sebuah ketegangan yang aneh. Sejak pertama melihat anak itu, ada perasaan tak biasa yang menusuk dadanya.“Aku pengacara yang akan membelamu,” jawab Tian profesional.Abi mendengus, bersandar di kursinya dengan wajah sinis. “Jadi Ibu menyewa pengacara?”Laras menepuk tangan Abi, berusaha menenangkan. “Abi, dia pengacara terbaik. Percayalah.”Tian masih memperhatika
Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku
Kafe, Senja MenjelangTian mengaduk kopinya perlahan, menatap cairan hitam itu sebelum akhirnya berkata, "Aku belum menikah."Laras sedikit tersentak, menoleh ke arahnya. "Belum?"Tian mengangguk. "Sejak dulu, aku terlalu sibuk membangun karier. Aku harus jadi orang yang hebat, Laras. Aku nggak mau diremehkan. Aku nggak mau dianggap cuma anak muda yang nggak bisa apa-apa." Ia terkekeh pendek, ada getir dalam suaranya. "Sampai-sampai aku lupa mencari kekasih."Entah mengapa, Laras merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sebuah perasaan yang tak ingin ia akui—kelegaan.Tian belum menikah.Ada jeda hening di antara mereka. Laras menggigit bibirnya, menatap jalanan di luar jendela kafe. Ia tak boleh berpikir macam-macam. Keadaan terlalu rumit sekarang."Sudah malam," Tian tiba-tiba berkata. "Aku antar kamu pulang."Laras menoleh, sedikit ragu. "Kamu nggak sibuk?"Tian tersenyum samar. "Aku selalu punya waktu untuk hal yang penting."Di dalam mobil... Perjalanan pulang terasa tenang. Lara
Tian melangkah masuk ke ruang kunjungan tahanan dengan ekspresi tenang. Di depannya, Abi duduk di balik meja besi, tangannya terborgol, sorot matanya penuh kebencian.Laras duduk di samping putranya, menggenggam tangan Abi dengan erat. Ia menoleh pada Tian, seolah meminta kepastian bahwa pria itu benar-benar bisa membebaskan putranya.Tian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. Ia membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. “Aku butuh kamu cerita dari awal. Apa yang terjadi malam itu?”Abi menatap Tian tajam. “Siapa Anda?”Tian menutup mapnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Abi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sebuah ketegangan yang aneh. Sejak pertama melihat anak itu, ada perasaan tak biasa yang menusuk dadanya.“Aku pengacara yang akan membelamu,” jawab Tian profesional.Abi mendengus, bersandar di kursinya dengan wajah sinis. “Jadi Ibu menyewa pengacara?”Laras menepuk tangan Abi, berusaha menenangkan. “Abi, dia pengacara terbaik. Percayalah.”Tian masih memperhatika
Laras menggenggam tasnya erat, mengikuti langkah Widya yang berjalan cepat di depannya. Hatinya masih bergejolak, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. Ia harus menemukan pengacara yang bisa membantunya.“Kita hampir sampai,” kata Widya tanpa menoleh.Laras mengangguk. “Biro jasa hukum ini… beneran bisa dipercaya, kan?”Widya berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Laras, ini bukan tempat sembarangan. Mereka menangani kasus-kasus besar. Aku yakin mereka bisa bantu kamu.”Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Oke.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kantor yang modern dan elegan. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”Widya mendekat. “Kami ingin bertemu dengan salah satu pengacara terbaik di sini. Ada janji dengan Pak Tian.”Laras mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk menyadarinya.“Silakan ke ruang 302. Beliau sudah menunggu,” kata resepsionis itu.Widya