“Kita cerai aja, Ras,” kata Adhi. Alih-alih memita maaf pada istrinya, dia malah mengajak istrinya untuk bercerai.
“Apa katamu, Mas?”“Iya, kita cerai.”“Kamu lebih memilih perempuan itu?”Adhi tidak menjawab. Jelas jika dia lebih memilih wanita itu alih-alih dirinya yang sudah menemaninya sejak Adhi memulai bisnisnya dari nol.“Ras, denger.” Adhi menyugar rambutnya lalu mencengkeram kedua bahu Laras. Menatap kedua bola mata itu bergantian. “Jujur, aku udah nggak ada perasaan sama sekali sama kamu. Rasanya anyep, selama ini aku bersikap baik karena aku nggak mau merasa bersalah banget sama kamu. Aku memang selingkuh, tapi aku masih mau jadi suami yang bertanggungjawab.”“Dengan gaya romantismu selama ini? Dan ternyata semua itu palsu?”Adhi menjilat bibir bawahnya lalu memalingkan wajahnya.“Bahkan saat ini kamu juga udah muak lihat wajah wanita yang sudah ngasih kamu anak yang sekarang udah berumur tujuh belas tahun!”“Ras! Cerai adalah jalan satu-satunya buat kita sekarang. Karena… ““Karena apa?”“Karena Adis hamil anakku. Aku mau bertanggungjawab, tapi pasti kamu nggak akan ngasih aku izin buat nikahin dia, kan?”“Kamu… bener-bener bajingan ya, Mas.”Laras mengambil rantang yang dia bawa tadi. Ia buka tutup rantang kemudian dia lemparkan isinya pada Ardhi. Semua makanan itu berhasil mengotori dada telanjang Adhi.“Aku… nggak bakalan ceraiin kamu. Dan nggak bakalan biarin kamu nikahin dia. Dan masalah ini… lihat aja nanti. Hidupmu dan hidup perempuan itu nggak akan mudah, Mas!”Laras pergi dari ruangan Adhi dengan perasaan bercampuraduk. Marah, emosi, kecewa dan hancur.Apakah karena dia sudah tua dan tidak menarik lagi? Makanya Adhi berselingkuh dengan wanita yang umurnya jauh di bawahnya? Bahkan Adis lebih cocok untuk menjadi kakak Abhi.Laras meneteskan air matanya. Dia masuk ke dalam lift dan mendapati beberapa karyawan langsung memandangnya dengan aneh. Tapi Laras tidak memedulikan hal itu.Saat sampai di lobi, kedua resepsionis tadi tidak berkata apa-apa. Hanya tatapan dan bisik-bisik mereka menjelaskan semuanya. Jika hanya dirinya yang tidak tahu bahwa suaminya selama ini tengah berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri.Foto-foto yang Laras posting di media sosial selama ini adalah palsu. Pasti banyak yang menertawakan di belakangnya karena tahu bahwa Adhi tidak hanya menjadi suaminya, tapi menjadi kekasih perempuan lain.Dengan perasaan yang sesak Laras masuk ke mobilnya. Foto dirinya dan Abhi yang tergantung di depannya langsung ia lepas.“Cerai? Kamu harus menderita dulu,” gumam Laras. Ia melajukan mobilnya keluar dari basement.Ketika dalam perjalanan pulang, pikiran Laras benar-benar ruwet. Dia merasa seperti sebuah boneka yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Dia hanyalah mainan yang sudah membosankan dan tak layak untuk dipertahankan.Waktu dirinya masih remaja dan duduk di kelas dua SMA. Banyak cowok-cowok yang menyukainya. Tak terkecuali si brengsek Adhi.Adhi yang dulu sudah berkuliah tentu saja terlihat begitu memesona di antara cowok-cowok yang mengejar-ngejarnya. Lelaki itu juga terlihat begitu bersungguh-sungguh ketika ingin menjadikannya kekasihnya.Tapi sekarang apa? Setelah umurnya menginjak 39 tahun, menjadi ibu seorang anak laki-laki. Adhi malah bercinta dengan perempuan lain di kantornya sendiri.Laras yang kepalanya dipenuhi dengan bayangan Adhi bersama dengan Adis menjadi tidak fokus dengan jalanan yang dia lalui. Dia tidak tahu jika palang kereta api tiba-tiba turun dan dia menerobosnya.Suara pekikan orang-orang tidak menyadarkannya. Dia merasa ada yang aneh ketika mobilnya mendadak berhenti di tengah rel.Cahaya silau yang terpancar dari sisi kirinya membuatnya menoleh. Matanya melebar saat melihat kereta api menyongsong ke arahnya. Laras membeku, bahkan otaknya tak dapat untuk berpikir lagi…Mata Laras terbuka, ia merasakan tubuhnya begitu ringan. Ketika dia melihat di sekitarnya, ada banyak tumpukan rak buku berjejer dengan rapi. Dan ruangan ini begitu sunyi, sampai dia bisa mendengar suara sekecil apapun di sana. Di mana ini? Apa aku sudah mati?Laras mengelilingkan pandangannya, dia merasa tidak asing dengan ruangan ini. Ruangan ini sama persis seperti ruang perpustakaan ketika dia masih duduk di SMA.Menoleh ke sisi kanannya, dia melihat jendela yang bening menembus sebuah pemandangan yang sangat indah.“Ini… “ Laras terperanjat, dia melihat sebuah lapangan berwarna hijau yang menyegarkan di bawah sana. Ada beberapa anak laki-laki yang sedang berlari-larian mengejar bola.“Ini kan sekolahku? Kenapa aku ada di sini?”Laras melihat dirinya sendiri. Rok abu-abu dengan kemeja putih. Ada sebuah nama tertulis di dada kanannya, Larasati.Laras terpekik tertahan. Hampir saja dia menjerit seperti orang gila. Ia segera mencari cermin. Ia langsung pergi ke arah pintu masuk perp
Laras masih berpikir bahwa apa yang dia alami adalah sebuah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi. Mungkin apa yang dia lihat tadi adalah sebuah mimpi karena ingin melarikan diri dari rasa sakitnya.“Ras? Kamu nggak pulang?” tanya Widuri. “Apa nunggu dijemput sama Adhi?”Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya marah, apalagi jika harus bertemu dengan Adhi! Laras tak akan sudi!“Dijemput Adhi?”Widuri memandang Laras aneh, dia berjalan kembali masuk ke kelas kemudian menempelkan punggung tangan di dahi Laras.“Nggak panas padahal, kamu ilang ingatan apa gimana? Kan tadi pagi kamu bilang sendiri kalau siang ini mau dijemput sama Adhi.”Laras tersenyum dengan canggung. Kejadian sudah berlalu begitu lama. Dua puluh tiga tahun yang lalu, jadi mana mungkin dia mengingat persis bagaimana kejadian yang terjadi hari ini.“Kalau begitu aku duluan aja deh!” Laras mengambil tas ranselnya, dia berlari mendahului Widuri yang masih melihatnya dengan aneh.Di halaman sekolah, dia melihat para
Selama di perjalanan, bayangan bayangan menjijikkan itu kembali berputar di kepala Laras. Bagaimana Adhi melindungi Adis dan lebih memilih perempuan itu daripada dirinya.Tujuh belas tahun rupanya tidak membuat Adhi ingin mempertahankan pernikahan. Dia malah mencari daun muda yang segar untuk dia gerogoti.Air mata Laras terjatuh saat dia mengingat banyak kenangan yang sudah dia lalui bersama dengan Adhi.Lelaki itu selalu bersamanya bahkan ketika ia kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Namun, hal itu juga tak cukup untuk membuat Adhi ingin mempertahankan Laras."Ras, kamu kenapa?" tanya Tian.Laras tersadar jika dia sudah menangis, dia mengusap airmatanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya."Duduk di situ, cewek itu udah mau turun," kata Tian."Kakak gimana?""Aku berdiri, udah biasa."Tian adalah kakak kelas Laras yang waktu itu sama sekali tidak dia lirik. Malahan, dia sudah menolak mentah-mentah Tian di hari kelulusan lelaki itu.Laras tak mengerti mengapa dia menolak Ti
“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.“Kamu tidur siang, Ras?”Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja. “Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”Laras langsung berd
Keesokan harinya, di kafe dekat sekolah. Laras duduk di sudut kafe, mengaduk-aduk es teh manis yang mulai mencair. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Dia masih belum bisa percaya Adhi memukuli Tian. Dalam hatinya, dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Pintu kafe berbunyi, dan dia menoleh melihat Adhi masuk.Adhi melihat Laras dan segera menghampirinya dengan ekspresi marah. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di depan Laras, memandangi gadis itu dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan.“Kita perlu bicara,” kata Laras dingin.“Bicara soal apa? Soal kamu dan cowok lain?” sahut Adhi dengan nada sarkastik.Laras mengernyit, tidak menyangka reaksi Adhi akan sekeras ini. “Adhi, kamu salah paham. Aku nggak punya cowok lain.”“Lalu apa? Tian itu cuma temen?” Adhi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Laras tajam.“Tian nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia cuma temen.” Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku mau kamu berhenti ngejar-ngejar aku,
Tian terkejut mendengar ajakan Laras. Baru beberapa hari yang lalu, perasaannya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Kini, tiba-tiba Laras mengajaknya berpacaran? Hatinya berkecamuk, antara senang, bingung, dan ragu. Tian menatap Laras, mencari jawaban di matanya."Laras ... Kamu serius?" Tian akhirnya bertanya, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.Laras mengangguk, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan. "Aku serius, Kak. Aku nggak mau lagi sama Adhi. Aku butuh seseorang yang bisa bantu aku lepas dari dia."Tian menarik napas dalam-dalam. Dia tahu perasaan Laras terhadap Adhi memang rumit, tapi dia juga khawatir Laras hanya mendekatinya untuk melarikan diri dari masalah. "Laras, aku senang kamu datang ke sini. Tapi ... apa ini bukan keputusan yang terburu-buru?"Laras terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Tian. “Mungkin memang terburu-buru, Kak. Tapi aku butuh seseorang yang bisa ada buat aku, yang nggak akan nyakitin aku kayak Adhi.”Tian menghela napas pelan, mencoba un
Setelah meninggalkan rumah Laras, Adhi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pikirannya dipenuhi oleh kepuasan dan rencana berikutnya. Dia tahu, di balik topeng simpati yang dia tunjukkan di hadapan ibu Laras, ada niat tersembunyi yang membuatnya semakin yakin akan tindakannya. Laras mungkin sudah tak bisa dia kendalikan lagi, tapi itu bukan berarti Adhi tak punya pilihan lain.Ketika sampai di kampus, Adhi langsung menuju ke area yang biasa menjadi tempat berkumpul teman-teman kuliahnya. Di sana, dia melihat Via, gadis cantik yang sejak lama menunjukkan ketertarikan padanya. Via tengah duduk di bawah pohon besar, tampak sedang membaca buku. Senyum kecil terukir di bibir Adhi saat dia melangkah mendekati Via.“Hei, Via,” sapanya dengan nada lembut yang membuat Via menoleh dengan cepat.“Oh, hai, Adhi,” balas Via, senyum manis langsung menghiasi wajahnya saat melihat Adhi berdiri di hadapannya. “Ada apa? Tumben kamu ke sini.”Adhi tersenyum simpul, duduk di sebelah Via dengan s
Laras masih mengurung diri di dalam kamar, suasana hatinya campur aduk. Hatinya terasa sakit, bukan hanya karena pertengkarannya dengan sang ibu, tetapi juga karena kenyataan bahwa ibunya lebih percaya pada Adhi, kekasihnya, daripada dirinya sendiri. Dia duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela kamar yang tertutup. Laras menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski hatinya terasa penuh sesak."Laras, makan malam dulu," suara ayahnya terdengar pelan dari balik pintu. Ketukan pintu itu terdengar ragu, seolah sang ayah tak ingin mengganggu, tetapi juga tak tega melihat putrinya berlarut-larut."Iya," sahut Laras singkat.Tak lama, dia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah berat. Saat tiba di meja makan, Laras melihat ibunya sudah duduk, menyendok nasi ke piringnya sendiri. Ekspresi wajah sang ibu tampak dingin, nyaris tak peduli. Laras menahan gejolak emosinya, mencoba bersikap tenang meski amarah masih membara di dadanya.Setelah semua anggota keluarga d
Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku
Kafe, Senja MenjelangTian mengaduk kopinya perlahan, menatap cairan hitam itu sebelum akhirnya berkata, "Aku belum menikah."Laras sedikit tersentak, menoleh ke arahnya. "Belum?"Tian mengangguk. "Sejak dulu, aku terlalu sibuk membangun karier. Aku harus jadi orang yang hebat, Laras. Aku nggak mau diremehkan. Aku nggak mau dianggap cuma anak muda yang nggak bisa apa-apa." Ia terkekeh pendek, ada getir dalam suaranya. "Sampai-sampai aku lupa mencari kekasih."Entah mengapa, Laras merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sebuah perasaan yang tak ingin ia akui—kelegaan.Tian belum menikah.Ada jeda hening di antara mereka. Laras menggigit bibirnya, menatap jalanan di luar jendela kafe. Ia tak boleh berpikir macam-macam. Keadaan terlalu rumit sekarang."Sudah malam," Tian tiba-tiba berkata. "Aku antar kamu pulang."Laras menoleh, sedikit ragu. "Kamu nggak sibuk?"Tian tersenyum samar. "Aku selalu punya waktu untuk hal yang penting."Di dalam mobil... Perjalanan pulang terasa tenang. Lara
Tian melangkah masuk ke ruang kunjungan tahanan dengan ekspresi tenang. Di depannya, Abi duduk di balik meja besi, tangannya terborgol, sorot matanya penuh kebencian.Laras duduk di samping putranya, menggenggam tangan Abi dengan erat. Ia menoleh pada Tian, seolah meminta kepastian bahwa pria itu benar-benar bisa membebaskan putranya.Tian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. Ia membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. “Aku butuh kamu cerita dari awal. Apa yang terjadi malam itu?”Abi menatap Tian tajam. “Siapa Anda?”Tian menutup mapnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Abi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sebuah ketegangan yang aneh. Sejak pertama melihat anak itu, ada perasaan tak biasa yang menusuk dadanya.“Aku pengacara yang akan membelamu,” jawab Tian profesional.Abi mendengus, bersandar di kursinya dengan wajah sinis. “Jadi Ibu menyewa pengacara?”Laras menepuk tangan Abi, berusaha menenangkan. “Abi, dia pengacara terbaik. Percayalah.”Tian masih memperhatika
Laras menggenggam tasnya erat, mengikuti langkah Widya yang berjalan cepat di depannya. Hatinya masih bergejolak, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. Ia harus menemukan pengacara yang bisa membantunya.“Kita hampir sampai,” kata Widya tanpa menoleh.Laras mengangguk. “Biro jasa hukum ini… beneran bisa dipercaya, kan?”Widya berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Laras, ini bukan tempat sembarangan. Mereka menangani kasus-kasus besar. Aku yakin mereka bisa bantu kamu.”Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Oke.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kantor yang modern dan elegan. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”Widya mendekat. “Kami ingin bertemu dengan salah satu pengacara terbaik di sini. Ada janji dengan Pak Tian.”Laras mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk menyadarinya.“Silakan ke ruang 302. Beliau sudah menunggu,” kata resepsionis itu.Widya