Selama di perjalanan, bayangan bayangan menjijikkan itu kembali berputar di kepala Laras. Bagaimana Adhi melindungi Adis dan lebih memilih perempuan itu daripada dirinya.
Tujuh belas tahun rupanya tidak membuat Adhi ingin mempertahankan pernikahan. Dia malah mencari daun muda yang segar untuk dia gerogoti.Air mata Laras terjatuh saat dia mengingat banyak kenangan yang sudah dia lalui bersama dengan Adhi.Lelaki itu selalu bersamanya bahkan ketika ia kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Namun, hal itu juga tak cukup untuk membuat Adhi ingin mempertahankan Laras."Ras, kamu kenapa?" tanya Tian.Laras tersadar jika dia sudah menangis, dia mengusap airmatanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya."Duduk di situ, cewek itu udah mau turun," kata Tian."Kakak gimana?""Aku berdiri, udah biasa."Tian adalah kakak kelas Laras yang waktu itu sama sekali tidak dia lirik. Malahan, dia sudah menolak mentah-mentah Tian di hari kelulusan lelaki itu.Laras tak mengerti mengapa dia menolak Tian dan memilih buaya darat si Adhi brengsek. Namun, jika diingat lagi, tak ada kenangan apapun dirinya dengan Tian waktu itu. Tian menyukai Laras karena dirinya cantik, bukan karena dekat dan merasa nyaman.Diam-diam Laras melirik ke arah Tian yang berdiri tepat di sebelahnya. Dia berpikir, bagaimana jika dia bersama dengan Tian saja.Jika waktu itu dia tidak bisa membuat kenangan indah dengan Tian. Bagaimana jika mulai dari sekarang saja, barangkali dia dan Tian cocok.Laras berdiri ketika bus sudah mendekati area halte bus perumahannya. Dia hendak keluar dari kursinya, tapi perempuan di sebelahnya sepertinya kelewat dan harus buru-buru menghentikan bus.Laras terjatuh ke samping, kedua tangannya tanpa sengaja menyentuh pinggang Tian. Matanya membulat karena terkejut dengan tangannya sendiri yang sudah memegang pinggang bocah lelaki."Maaf," kata Laras. "Aku nggak bermaksud, itu ...""Iya, nggak apa-apa," balas Tian yang tahu jika Laras jadi salah tingkah."Dasar anak remaja, sukanya dadakan kenapa nggak persiapan dari tadi," gerutu Laras sambil membenarkan tasnya."Anak remaja? Kamu juga masih remaja, kan?" tanya Tian."Oh.. "Tian menaikkan kedua alisnya."Itu sudah mau sampai," kata Laras mengalihkan perhatian Tian. Keduanya pun turun bergantian.Mata Laras memindai di sekitarnya, barangkali tiba-tiba ada Adhi muncul dari arah yang tidak dia sangka.Tapi yang jelas Adhi akan marah hebat pada Laras. Dan mungkin dia bisa putus dengan lelaki itu.Laras tersenyum sendiri.Ya, putus adalah jalan satu-satunya, dengan begitu aku nggak akan nikah sama dia."Kamu nggak takut kalau cowokmu tau kamu pulang sama aku?" tanya Tian. Mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalanan yang waktu itu masih belum diaspal."Nggak, paling putus," jawab Laras.Kemudian hening, Laras memilih untuk diam dan tak banyak bicara. Dia hanya akan menjawab jika Tian bertanya kepadanya."Kayaknya pacar kamu udah nunggu di rumahmu," kata Tian.Sontak Laras melihat rumahnya dari arah kejauhan. Motor Adhi ada di depan pintu gerbang rumahnya. Pasti dia langsung ke rumahnya setelah melihat Laras pulang menggunakan bus."Kalau begitu, sampai sini aja ya nganternya. Tante bisa pulang sendiri.""... Ya?""Ya?""Tante?""Tante siapa?"Tian memiringkan kepalanya. "Kamu tadi nyebut diri kamu tante," kata Tian sambil tertawa. "Kamu kenapa sih Ras, kamu memangnya lucu begini ya."Wajah Laras memerah, bisa-bisanya dia dibilang lucu oleh anak lelaki berumur 17 tahun."Oh itu... ""Nggak apa-apa, mungkin kamu kemarin baru main sama keponakan kamu," kata Tian.Sejak kapan Tian sebijak ini? Apakah sejak dulu Tian memang seperti ini? Dewasa? Tidak banyak tingkah? Bahkan usia dia jauh lebih muda dari Adhi. Tapi mengapa Tian terasa begitu berbeda? Dan kenapa waktu itu Laras menolak lelaki baik ini?"Nah itu dia maksudku," kekeh Laras.Dia berjalan masuk setelah melambaikan tangannya pada Tian.Setelah melihat Tian pergi, lalu ia berkata melihat Adhi yang memandangnya dengan wajah yang asam, benar benar membuatnya bodoh karena sudah mau menikah dengan Adhi."Kenapa kamu pulang sama cowok itu, Ras?" tanya Adhi. Dia berdiri dari kursinya lalu mendekati Laras."Memangnya nggak boleh?"Adhi mendecakkan lidahnya. "Kamu nggak ngehargain aku, padahal udah jauh-jauh aku jemput kamu. Tau gitu, aku di kampus aja.""Ya udah di kampus aja, besok lagi nggak perlu dijemput.""Kamu selingkuh ya?" Tatapan mata Adhi seakan ingin menerkam Laras. Tapi Laras membalasnya dengan tatapan tak kalah tajam.Bilang selingkuh padahal kamu juga selingkuh dengan daun muda. Adis pasti sekarang masih SD. Bisa-bisanya kamu selingkuh sama anak SD, Adhi?!"Mau bilang apa, Ras? Bener kan tebakanku, kamu selingkuh sama cowok tadi.""Nggak ada bukti aku selingkuh sama dia, lagi pula, kita masih pacaran. Kita masih berhak milih yang terbaik.""Terbaik katamu? Memangnya kamu bisa bahagia dengan cowok miskin itu!"Mata Laras membulat.Miskin? Jangan-jangan Laras menolak Tian karena Tian tidak kaya?"Bisa saja sekarang miskin, tapi kita nggak tau ke depannya gimana, kan!""Kamu ini... kamu belain dia?""Ah udahlah, aku mau masuk, capek, lapar." Laras melenggang masuk, tapi baru saja dia menyentuh ujung gagang pintu, tangan Adhi mencengkeram lengan laras."Kita belum selesai bicara, Ras," geramnya."Udah selesai." Laras mengembuskan napasnya dengan kesal."Jadi kamu benar benar selingkuh sama dia?"Laras sudah muak, apalagi harus melihat wajah Adhi."Ya, aku selingkuh sama dia, jadi mendingan kita putus.""Oh, jadi bener tebakanku. Pantesan aja kamu nggak mau pulang sama aku. Malah naik bus desak-desakan sama cowok miskin itu.""Jangan bilang cowok miskin lagi, toh kamu juga nggak punya apa-apa kalau orangtuamu nggak kaya!"PLAK!Mata Laras membulat, rasa panas menjalari pipinya. Untuk pertama kalinya dia yakin jika apa yang sedang terjadi bukanlah mimpi. Terbukti rasa sakit tamparan itu sangat nyata.Adhi kelabakan, dia hendak menyentuh wajah Laras tapi ditepis oleh perempuan itu."Maaf Ras, aku nggak ada maksud nampar kamu, habisnya kamu ...""Dasar cowok brengsek, tukang zina," gumam Laras kemudian dia masuk ke rumahnya.“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.“Kamu tidur siang, Ras?”Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja. “Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”Laras langsung berd
Keesokan harinya, di kafe dekat sekolah. Laras duduk di sudut kafe, mengaduk-aduk es teh manis yang mulai mencair. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Dia masih belum bisa percaya Adhi memukuli Tian. Dalam hatinya, dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Pintu kafe berbunyi, dan dia menoleh melihat Adhi masuk.Adhi melihat Laras dan segera menghampirinya dengan ekspresi marah. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di depan Laras, memandangi gadis itu dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan.“Kita perlu bicara,” kata Laras dingin.“Bicara soal apa? Soal kamu dan cowok lain?” sahut Adhi dengan nada sarkastik.Laras mengernyit, tidak menyangka reaksi Adhi akan sekeras ini. “Adhi, kamu salah paham. Aku nggak punya cowok lain.”“Lalu apa? Tian itu cuma temen?” Adhi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Laras tajam.“Tian nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia cuma temen.” Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku mau kamu berhenti ngejar-ngejar aku,
Tian terkejut mendengar ajakan Laras. Baru beberapa hari yang lalu, perasaannya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Kini, tiba-tiba Laras mengajaknya berpacaran? Hatinya berkecamuk, antara senang, bingung, dan ragu. Tian menatap Laras, mencari jawaban di matanya."Laras ... Kamu serius?" Tian akhirnya bertanya, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.Laras mengangguk, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan. "Aku serius, Kak. Aku nggak mau lagi sama Adhi. Aku butuh seseorang yang bisa bantu aku lepas dari dia."Tian menarik napas dalam-dalam. Dia tahu perasaan Laras terhadap Adhi memang rumit, tapi dia juga khawatir Laras hanya mendekatinya untuk melarikan diri dari masalah. "Laras, aku senang kamu datang ke sini. Tapi ... apa ini bukan keputusan yang terburu-buru?"Laras terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Tian. “Mungkin memang terburu-buru, Kak. Tapi aku butuh seseorang yang bisa ada buat aku, yang nggak akan nyakitin aku kayak Adhi.”Tian menghela napas pelan, mencoba un
Setelah meninggalkan rumah Laras, Adhi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pikirannya dipenuhi oleh kepuasan dan rencana berikutnya. Dia tahu, di balik topeng simpati yang dia tunjukkan di hadapan ibu Laras, ada niat tersembunyi yang membuatnya semakin yakin akan tindakannya. Laras mungkin sudah tak bisa dia kendalikan lagi, tapi itu bukan berarti Adhi tak punya pilihan lain.Ketika sampai di kampus, Adhi langsung menuju ke area yang biasa menjadi tempat berkumpul teman-teman kuliahnya. Di sana, dia melihat Via, gadis cantik yang sejak lama menunjukkan ketertarikan padanya. Via tengah duduk di bawah pohon besar, tampak sedang membaca buku. Senyum kecil terukir di bibir Adhi saat dia melangkah mendekati Via.“Hei, Via,” sapanya dengan nada lembut yang membuat Via menoleh dengan cepat.“Oh, hai, Adhi,” balas Via, senyum manis langsung menghiasi wajahnya saat melihat Adhi berdiri di hadapannya. “Ada apa? Tumben kamu ke sini.”Adhi tersenyum simpul, duduk di sebelah Via dengan s
Beberapa hari yang lalu … Laras menemui sahabatnya yang bernama Widuri di sebuah kafe. Katanya dia ingin menyampaikan sesuatu tapi tak bisa memberitahunya di rumah. Maka dari itu, sore itu Laras menemui Widuri di kafe. Wajah Widuri yang tegang membuat Laras khawatir. Apa ada sesuatu yang tengah menimpa Widuri kali ini? “Kenapa Wid,” tanya Laras. Laras duduk dan mengamati tidak ada bekas lebam di wajah Widuri. “Ras, aku mau ngasih tau ini karena aku peduli sama kamu,” jelasnya. Laras memandang Widuri bingung. “Ini soal Adhi, suamimu.” “Suamiku? Suamiku kenapa?” Widuri menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia mulai mengotak-atik ponselnya kemudian menunjukkan beberapa foto pada Laras. “Ini Adhi kan, Ras?” tanya Widuri sambil menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan seorang pria berjas dengan seorang wanita muda yang masuk ke sebuah hotel. “Aku nggak sengaja lihat ini waktu ke hotel buat makan di restoran itu sama anakku. Tapi aku malah nggak sengaja l
Samar-samar Laras mendengar si resepsionis bicara dengan temannya bahwa tidak ada yang mengangkat telepon di ruangan sekertaris.”Kenapa?” tanya Laras tak sabar. Padahal ingin menunggu di ruangan suaminya sendiri, tapi dia harus meminta izin sesulit ini.“Itu Bu… sepertinya bapak sedang sibuk. Jadi… ““Iya saya tahu, makanya saya mau nunggu di ruangan suami saya. Saya nggak akan maling kok, tenang aja.”“Bukan begitu Bu.”Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Laras berjalan ke arah lift yang akan membawanya ke lantai di mana ruangan suaminya berada. Dia sudah tidak peduli lagi dengan resepsionis yang mengikutinya karena dia merasa ada yang aneh dengan Adhi saat ini.“Bu tunggu sebentar!” seru resepsionis, tapi Laras sudah dulu menutup pintu lift.Jantung Laras berdegub-degub tak menentu. Rasanya panas seperti sedang dibakar, dan entah mengapa firasatnya kali ini begitu buruk.Ini cuma perasaannya saja kan? Adhi ada di kantor, lalu apa lagi yang Laras takutkan?Ketika Laras sudah ada
“Kita cerai aja, Ras,” kata Adhi. Alih-alih memita maaf pada istrinya, dia malah mengajak istrinya untuk bercerai.“Apa katamu, Mas?”“Iya, kita cerai.”“Kamu lebih memilih perempuan itu?”Adhi tidak menjawab. Jelas jika dia lebih memilih wanita itu alih-alih dirinya yang sudah menemaninya sejak Adhi memulai bisnisnya dari nol.“Ras, denger.” Adhi menyugar rambutnya lalu mencengkeram kedua bahu Laras. Menatap kedua bola mata itu bergantian. “Jujur, aku udah nggak ada perasaan sama sekali sama kamu. Rasanya anyep, selama ini aku bersikap baik karena aku nggak mau merasa bersalah banget sama kamu. Aku memang selingkuh, tapi aku masih mau jadi suami yang bertanggungjawab.”“Dengan gaya romantismu selama ini? Dan ternyata semua itu palsu?”Adhi menjilat bibir bawahnya lalu memalingkan wajahnya.“Bahkan saat ini kamu juga udah muak lihat wajah wanita yang sudah ngasih kamu anak yang sekarang udah berumur tujuh belas tahun!”“Ras! Cerai adalah jalan satu-satunya buat kita sekarang. Karena…
Mata Laras terbuka, ia merasakan tubuhnya begitu ringan. Ketika dia melihat di sekitarnya, ada banyak tumpukan rak buku berjejer dengan rapi. Dan ruangan ini begitu sunyi, sampai dia bisa mendengar suara sekecil apapun di sana. Di mana ini? Apa aku sudah mati?Laras mengelilingkan pandangannya, dia merasa tidak asing dengan ruangan ini. Ruangan ini sama persis seperti ruang perpustakaan ketika dia masih duduk di SMA.Menoleh ke sisi kanannya, dia melihat jendela yang bening menembus sebuah pemandangan yang sangat indah.“Ini… “ Laras terperanjat, dia melihat sebuah lapangan berwarna hijau yang menyegarkan di bawah sana. Ada beberapa anak laki-laki yang sedang berlari-larian mengejar bola.“Ini kan sekolahku? Kenapa aku ada di sini?”Laras melihat dirinya sendiri. Rok abu-abu dengan kemeja putih. Ada sebuah nama tertulis di dada kanannya, Larasati.Laras terpekik tertahan. Hampir saja dia menjerit seperti orang gila. Ia segera mencari cermin. Ia langsung pergi ke arah pintu masuk perp
Setelah meninggalkan rumah Laras, Adhi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pikirannya dipenuhi oleh kepuasan dan rencana berikutnya. Dia tahu, di balik topeng simpati yang dia tunjukkan di hadapan ibu Laras, ada niat tersembunyi yang membuatnya semakin yakin akan tindakannya. Laras mungkin sudah tak bisa dia kendalikan lagi, tapi itu bukan berarti Adhi tak punya pilihan lain.Ketika sampai di kampus, Adhi langsung menuju ke area yang biasa menjadi tempat berkumpul teman-teman kuliahnya. Di sana, dia melihat Via, gadis cantik yang sejak lama menunjukkan ketertarikan padanya. Via tengah duduk di bawah pohon besar, tampak sedang membaca buku. Senyum kecil terukir di bibir Adhi saat dia melangkah mendekati Via.“Hei, Via,” sapanya dengan nada lembut yang membuat Via menoleh dengan cepat.“Oh, hai, Adhi,” balas Via, senyum manis langsung menghiasi wajahnya saat melihat Adhi berdiri di hadapannya. “Ada apa? Tumben kamu ke sini.”Adhi tersenyum simpul, duduk di sebelah Via dengan s
Tian terkejut mendengar ajakan Laras. Baru beberapa hari yang lalu, perasaannya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Kini, tiba-tiba Laras mengajaknya berpacaran? Hatinya berkecamuk, antara senang, bingung, dan ragu. Tian menatap Laras, mencari jawaban di matanya."Laras ... Kamu serius?" Tian akhirnya bertanya, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.Laras mengangguk, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan. "Aku serius, Kak. Aku nggak mau lagi sama Adhi. Aku butuh seseorang yang bisa bantu aku lepas dari dia."Tian menarik napas dalam-dalam. Dia tahu perasaan Laras terhadap Adhi memang rumit, tapi dia juga khawatir Laras hanya mendekatinya untuk melarikan diri dari masalah. "Laras, aku senang kamu datang ke sini. Tapi ... apa ini bukan keputusan yang terburu-buru?"Laras terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Tian. “Mungkin memang terburu-buru, Kak. Tapi aku butuh seseorang yang bisa ada buat aku, yang nggak akan nyakitin aku kayak Adhi.”Tian menghela napas pelan, mencoba un
Keesokan harinya, di kafe dekat sekolah. Laras duduk di sudut kafe, mengaduk-aduk es teh manis yang mulai mencair. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Dia masih belum bisa percaya Adhi memukuli Tian. Dalam hatinya, dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Pintu kafe berbunyi, dan dia menoleh melihat Adhi masuk.Adhi melihat Laras dan segera menghampirinya dengan ekspresi marah. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di depan Laras, memandangi gadis itu dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan.“Kita perlu bicara,” kata Laras dingin.“Bicara soal apa? Soal kamu dan cowok lain?” sahut Adhi dengan nada sarkastik.Laras mengernyit, tidak menyangka reaksi Adhi akan sekeras ini. “Adhi, kamu salah paham. Aku nggak punya cowok lain.”“Lalu apa? Tian itu cuma temen?” Adhi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Laras tajam.“Tian nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia cuma temen.” Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku mau kamu berhenti ngejar-ngejar aku,
“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.“Kamu tidur siang, Ras?”Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja. “Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”Laras langsung berd
Selama di perjalanan, bayangan bayangan menjijikkan itu kembali berputar di kepala Laras. Bagaimana Adhi melindungi Adis dan lebih memilih perempuan itu daripada dirinya.Tujuh belas tahun rupanya tidak membuat Adhi ingin mempertahankan pernikahan. Dia malah mencari daun muda yang segar untuk dia gerogoti.Air mata Laras terjatuh saat dia mengingat banyak kenangan yang sudah dia lalui bersama dengan Adhi.Lelaki itu selalu bersamanya bahkan ketika ia kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Namun, hal itu juga tak cukup untuk membuat Adhi ingin mempertahankan Laras."Ras, kamu kenapa?" tanya Tian.Laras tersadar jika dia sudah menangis, dia mengusap airmatanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya."Duduk di situ, cewek itu udah mau turun," kata Tian."Kakak gimana?""Aku berdiri, udah biasa."Tian adalah kakak kelas Laras yang waktu itu sama sekali tidak dia lirik. Malahan, dia sudah menolak mentah-mentah Tian di hari kelulusan lelaki itu.Laras tak mengerti mengapa dia menolak Ti
Laras masih berpikir bahwa apa yang dia alami adalah sebuah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi. Mungkin apa yang dia lihat tadi adalah sebuah mimpi karena ingin melarikan diri dari rasa sakitnya.“Ras? Kamu nggak pulang?” tanya Widuri. “Apa nunggu dijemput sama Adhi?”Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya marah, apalagi jika harus bertemu dengan Adhi! Laras tak akan sudi!“Dijemput Adhi?”Widuri memandang Laras aneh, dia berjalan kembali masuk ke kelas kemudian menempelkan punggung tangan di dahi Laras.“Nggak panas padahal, kamu ilang ingatan apa gimana? Kan tadi pagi kamu bilang sendiri kalau siang ini mau dijemput sama Adhi.”Laras tersenyum dengan canggung. Kejadian sudah berlalu begitu lama. Dua puluh tiga tahun yang lalu, jadi mana mungkin dia mengingat persis bagaimana kejadian yang terjadi hari ini.“Kalau begitu aku duluan aja deh!” Laras mengambil tas ranselnya, dia berlari mendahului Widuri yang masih melihatnya dengan aneh.Di halaman sekolah, dia melihat para
Mata Laras terbuka, ia merasakan tubuhnya begitu ringan. Ketika dia melihat di sekitarnya, ada banyak tumpukan rak buku berjejer dengan rapi. Dan ruangan ini begitu sunyi, sampai dia bisa mendengar suara sekecil apapun di sana. Di mana ini? Apa aku sudah mati?Laras mengelilingkan pandangannya, dia merasa tidak asing dengan ruangan ini. Ruangan ini sama persis seperti ruang perpustakaan ketika dia masih duduk di SMA.Menoleh ke sisi kanannya, dia melihat jendela yang bening menembus sebuah pemandangan yang sangat indah.“Ini… “ Laras terperanjat, dia melihat sebuah lapangan berwarna hijau yang menyegarkan di bawah sana. Ada beberapa anak laki-laki yang sedang berlari-larian mengejar bola.“Ini kan sekolahku? Kenapa aku ada di sini?”Laras melihat dirinya sendiri. Rok abu-abu dengan kemeja putih. Ada sebuah nama tertulis di dada kanannya, Larasati.Laras terpekik tertahan. Hampir saja dia menjerit seperti orang gila. Ia segera mencari cermin. Ia langsung pergi ke arah pintu masuk perp
“Kita cerai aja, Ras,” kata Adhi. Alih-alih memita maaf pada istrinya, dia malah mengajak istrinya untuk bercerai.“Apa katamu, Mas?”“Iya, kita cerai.”“Kamu lebih memilih perempuan itu?”Adhi tidak menjawab. Jelas jika dia lebih memilih wanita itu alih-alih dirinya yang sudah menemaninya sejak Adhi memulai bisnisnya dari nol.“Ras, denger.” Adhi menyugar rambutnya lalu mencengkeram kedua bahu Laras. Menatap kedua bola mata itu bergantian. “Jujur, aku udah nggak ada perasaan sama sekali sama kamu. Rasanya anyep, selama ini aku bersikap baik karena aku nggak mau merasa bersalah banget sama kamu. Aku memang selingkuh, tapi aku masih mau jadi suami yang bertanggungjawab.”“Dengan gaya romantismu selama ini? Dan ternyata semua itu palsu?”Adhi menjilat bibir bawahnya lalu memalingkan wajahnya.“Bahkan saat ini kamu juga udah muak lihat wajah wanita yang sudah ngasih kamu anak yang sekarang udah berumur tujuh belas tahun!”“Ras! Cerai adalah jalan satu-satunya buat kita sekarang. Karena…
Samar-samar Laras mendengar si resepsionis bicara dengan temannya bahwa tidak ada yang mengangkat telepon di ruangan sekertaris.”Kenapa?” tanya Laras tak sabar. Padahal ingin menunggu di ruangan suaminya sendiri, tapi dia harus meminta izin sesulit ini.“Itu Bu… sepertinya bapak sedang sibuk. Jadi… ““Iya saya tahu, makanya saya mau nunggu di ruangan suami saya. Saya nggak akan maling kok, tenang aja.”“Bukan begitu Bu.”Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Laras berjalan ke arah lift yang akan membawanya ke lantai di mana ruangan suaminya berada. Dia sudah tidak peduli lagi dengan resepsionis yang mengikutinya karena dia merasa ada yang aneh dengan Adhi saat ini.“Bu tunggu sebentar!” seru resepsionis, tapi Laras sudah dulu menutup pintu lift.Jantung Laras berdegub-degub tak menentu. Rasanya panas seperti sedang dibakar, dan entah mengapa firasatnya kali ini begitu buruk.Ini cuma perasaannya saja kan? Adhi ada di kantor, lalu apa lagi yang Laras takutkan?Ketika Laras sudah ada