"Segera selesaikan urusanmu dengan Edgar. Aku akan menangani Benjamins," ujar Franz dengan suara mantap.Cakra mengangguk, menerima keputusan itu. "Bawa Anne bersamamu, Franz. Aku tidak mau dia dalam bahaya."Namun, sebelum Franz bisa menjawab, suara tegas Anne memotong pembicaraan mereka. "Aku tidak ingin kembali."Semua mata kini tertuju pada Anne. Gadis itu berdiri dengan tangan mengepal, matanya berkilat dengan tekad yang baru pertama kali terlihat begitu kuat."Anne, ini bukan tempat yang aman untukmu," Cakra mencoba membujuk, nada suaranya lebih lembut.Anne menggeleng cepat, lalu menunduk, seakan ragu untuk mengungkapkan alasannya. "Aku… aku sedang mencari seseorang." Suaranya lirih, tapi cukup jelas untuk membuat Cakra dan Franz saling pandang, bingung sekaligus penasaran.Cakra menghampiri Anne. “Siapa?” tanyanya sambil menatap Anne lekat.Anne menunduk malu. “Pria dalam mimpiku,” sahutnya berbisik tetapi masih bisa didengar oleh Cakra.Cakra menegang sesaat, tetapi ia berusa
Cakra melangkah cepat ke tengah ruangan, matanya menyala marah saat melihat para office boy membongkar koper Anne. Pakaian istrinya dikeluarkan dengan kasar, dilempar begitu saja ke lantai, berserakan tanpa sedikit pun rasa hormat."Berhenti!" suara Cakra menggelegar, penuh ketegasan. Namun, seolah tuli, para office boy itu terus mengobrak-abrik isi koper, seakan menikmati perintah yang mereka jalankan.Di sudut ruangan, Bimo bersandar dengan ekspresi puas. Senyum sinis terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kemarahan Cakra—dan lebih dari itu, kehinaan yang kini harus ditanggung Anne. Gaun-gaun mewah bukan satu-satunya yang berhamburan di lantai, pakaian dalam gadis itu pun ikut menjadi tontonan.Anne merapatkan tubuhnya, wajahnya memucat menahan malu. Tubuhnya sedikit gemetar saat ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap Bimo."Kenapa kau melakukan ini?" suaranya lirih, nyaris bergetar.Cakra tak tinggal diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik salah satu office boy menja
Cakra dan Anne duduk dengan tegang di ruang tamu rumah Tuan Tong. Arsitektur oriental yang kental terasa di setiap sudut ruangan. Ukiran naga menghiasi pilar-pilar kayu merah tua, sementara lentera-lentera kertas bergoyang perlahan di langit-langit.Penjagaan di rumah Bagau ini sangat ketat. Beberapa pria berseragam hitam berdiri tegak di setiap sudut, memperhatikan gerak-gerik mereka dengan tajam.Di hadapan mereka, meja kayu mengkilap telah disiapkan dengan teh dalam gelas berbentuk mangkuk. Aroma melati samar-samar tercium, tetapi baik Cakra maupun Anne tak berniat menyentuhnya.Keheningan yang menekan akhirnya pecah ketika suara berat dan berwibawa menggema di ruangan.“Jadi, kau yang ingin bertemu denganku?”Tuan Tong, seorang pria paruh baya dengan jubah sutra berwarna gelap, menatap mereka dengan tatapan tajam dan penuh selidik.Cakra menelan ludah, sementara Anne meliriknya dengan penuh harap. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan ini kepada suaminya, karena ia sendiri tak tahu har
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me
Cakra dan Anne duduk dengan tegang di ruang tamu rumah Tuan Tong. Arsitektur oriental yang kental terasa di setiap sudut ruangan. Ukiran naga menghiasi pilar-pilar kayu merah tua, sementara lentera-lentera kertas bergoyang perlahan di langit-langit.Penjagaan di rumah Bagau ini sangat ketat. Beberapa pria berseragam hitam berdiri tegak di setiap sudut, memperhatikan gerak-gerik mereka dengan tajam.Di hadapan mereka, meja kayu mengkilap telah disiapkan dengan teh dalam gelas berbentuk mangkuk. Aroma melati samar-samar tercium, tetapi baik Cakra maupun Anne tak berniat menyentuhnya.Keheningan yang menekan akhirnya pecah ketika suara berat dan berwibawa menggema di ruangan.“Jadi, kau yang ingin bertemu denganku?”Tuan Tong, seorang pria paruh baya dengan jubah sutra berwarna gelap, menatap mereka dengan tatapan tajam dan penuh selidik.Cakra menelan ludah, sementara Anne meliriknya dengan penuh harap. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan ini kepada suaminya, karena ia sendiri tak tahu har
Cakra melangkah cepat ke tengah ruangan, matanya menyala marah saat melihat para office boy membongkar koper Anne. Pakaian istrinya dikeluarkan dengan kasar, dilempar begitu saja ke lantai, berserakan tanpa sedikit pun rasa hormat."Berhenti!" suara Cakra menggelegar, penuh ketegasan. Namun, seolah tuli, para office boy itu terus mengobrak-abrik isi koper, seakan menikmati perintah yang mereka jalankan.Di sudut ruangan, Bimo bersandar dengan ekspresi puas. Senyum sinis terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kemarahan Cakra—dan lebih dari itu, kehinaan yang kini harus ditanggung Anne. Gaun-gaun mewah bukan satu-satunya yang berhamburan di lantai, pakaian dalam gadis itu pun ikut menjadi tontonan.Anne merapatkan tubuhnya, wajahnya memucat menahan malu. Tubuhnya sedikit gemetar saat ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap Bimo."Kenapa kau melakukan ini?" suaranya lirih, nyaris bergetar.Cakra tak tinggal diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik salah satu office boy menja
"Segera selesaikan urusanmu dengan Edgar. Aku akan menangani Benjamins," ujar Franz dengan suara mantap.Cakra mengangguk, menerima keputusan itu. "Bawa Anne bersamamu, Franz. Aku tidak mau dia dalam bahaya."Namun, sebelum Franz bisa menjawab, suara tegas Anne memotong pembicaraan mereka. "Aku tidak ingin kembali."Semua mata kini tertuju pada Anne. Gadis itu berdiri dengan tangan mengepal, matanya berkilat dengan tekad yang baru pertama kali terlihat begitu kuat."Anne, ini bukan tempat yang aman untukmu," Cakra mencoba membujuk, nada suaranya lebih lembut.Anne menggeleng cepat, lalu menunduk, seakan ragu untuk mengungkapkan alasannya. "Aku… aku sedang mencari seseorang." Suaranya lirih, tapi cukup jelas untuk membuat Cakra dan Franz saling pandang, bingung sekaligus penasaran.Cakra menghampiri Anne. “Siapa?” tanyanya sambil menatap Anne lekat.Anne menunduk malu. “Pria dalam mimpiku,” sahutnya berbisik tetapi masih bisa didengar oleh Cakra.Cakra menegang sesaat, tetapi ia berusa