“Aku ….” Winda mendadak tidak tahu harus berbuat apa dan wajahnya semakin memerah. Hengky menatapnya beberapa detik sambil berusaha keras menekan perasaannya yang semakin berkobar. Dengan suara berat dia berkata, “Cepat bangun.”Ekspresi malu di wajah Winda perlahan memudar. Dia menatap wajah Hengky dan menemukan ekspresi lelaki itu sudah kembali dingin. Tidak terlihat sedikitpun perubahan emosi di sana. Akan tetapi kerutan di kening lelaki itu menunjukkan perasaan lelaki itu yang sesungguhnya.Winda menatap wajah dingin tersebut selama beberapa saat dan mendadak merasa tidak terima. Dia memanfaatkan kesempatan ketika lelaki itu berbicara untuk mengecup bibir Hengky. Kecupan itu menghentikan semua ucapan lelaki itu.Mata Hengky melebar dan satu detik kemudian kedua tangannya memegang bahu Winda dan menjauhkan tubuh perempuan itu. Setelah itu Hengky mendudukkan tubuhnya. Detik ketika Winda didorong menjauh, perasaan kecewa menghampiri hatinya.Dia menatap Hengky yang merapikan jasnya d
Ucapan itu membuat Winda semakin bingung harus memberikan respons seperti apa. Winda memang percaya dengan Yuna karena dia mendengar suara Hengky di dalam rekaman itu. Namun itu semua terjadi karena dia yang tidak percaya sepenuhnya pada lelaki itu sehingga terjadi kesalahpahaman seperti ini.“Setidaknya urusan kecelakaan itu memang kesalahan dari aku. Malam itu kamu sudah menolongku dua kali, tapi aku malah curiga denganmu,” ujar Winda.Sorot mata Hengky datar dan tidak bisa menebak emosi dari lelaki itu. Akan tetapi Santo dapat melihat sorot kekecewaan di mata Hengky. Melihat Hengky yang diam dan tidak bersuara, Winda diam saja dan tidak melanjutkan ucapannya lagi dan berkata, “Kamu lepas baju kamu, biar aku oleskan obat.”“Di sini?” tanya Hengky.Winda melihat ke arah luar dan mengangkat alisnya sambil bertanya, “Memangnya kenapa? Kamu malu? Bukannya aku belum pernah lihat.”“Uhuk! Uhuk!” Santo yang berdiri di samping tiba-tiba batuk sambil tersenyum aneh. Winda dan Hengky saling be
Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat layar ponselnya dengan kening berkerut. Detik selanjutnya Winda langsung memutuskan sambungan telepon. Hengky menoleh ke arahnya dengan sorot penuh tanya.Winda memasukkan kembali ponselnya dan ketika mendongak, Hengky sudah mengalihkan tatapannya lagi.“Papa minta aku pulang,” ujar Winda menjelaskan. Dia menoleh ke arah Santo dan berkata, “Tolong setelah antar dia ke rumah sakit, minta Willy periksa lukanya.”“Biar Santo yang antar kamu. Kakimu terluka dan nggak aman kalau mengendarai mobil sendiri,” ujar Hengky.“Kam-““Kamu mau aku yang antar kamu?” potong Hengky.Winda membelalakkan matanya sambil mengibaskan tangannya berkata, “Nggak perlu, Santo yang antar aku saja.”Kepulangannya kali ini pasti karena berita yang tengah heboh itu. Kemungkinan besar kepulangannya kali ini akan membuat dia dan ayahnya berantem. Winda tidak ingin Hengky melihat hal itu. Lelaki itu mengangguk tanpa mengatakan apa pun lagi.“Nanti kamu kembali ke rumah sakit dan
Untungnya dengan adanya Santo, James mencoba menahan nada suaranya dan berkata, “Papa nggak izinkan kamu berhubungan dengan Jefri, tapi kamu ganti orang lain? Kamu jangan lupa kalau kamu sudah menikah! Kalau kamu nggak tahu malu, Papa masih jaga wajah Papa!”“Pa, Papa panggil aku pulang hanya untuk memarahi aku?”“Sikap apa kamu ini?!” seru James sambil menunjuk Winda. Tangan lelaki itu terlihat gemetar hebat akibat emosi.Winda menatap James dingin sambil tersenyum miring dan berkata, “Pa, biasanya Papa nggak peduli dengan gosip entertainmen, kali ini Luna yang kasih tahu juga?”Wajah lelaki itu menggelap karena tepat sasaran. Dia berkata, “Adikmu itu demi kebaikan kamu juga! Dulu Papa nggak pernah setuju kamu terjun dunia entertain, lihat saja ulahmu sekarang. Papa harus bagaimana ketemu orang-orang? Bagaimana kasih penjelasan ke keluarga Pranoto? Kalau tahu sikapmu seperti ini, dari awal seharusnya nggak biarkan kamu menikah dengan Hengky! Malu-maluin!”Winda memeluk lengannya sambi
Hengky menunduk dan berkata, “Ada sedikit urusan yang mau aku bicarakan dengan Papa. Kamu duduk dulu sebentar, nanti aku antar pulang.”Hengky jarang sekali ke rumahnya, apalagi baru saja kejadian seperti ini dan James sungguh tidak ingin Hengky datang ke sini.“Hengky, sini duduk dulu sebentar. Papa masih ada yang mau dibicarakan dengan Winda. Ka-““Pa, aku juga ada yang mau dibicarakan,” kata Hengky lagi.Winda merasa sedikit tidak tenang. Dengan suara pelan dia berkata, “Aku bisa urus masalah ini, kamu ja-“Hengky menepuk tangannya pelan untuk menenangkan perempuan itu. Winda tidak berbicara dan hanya melepaskan pegangannya. Hengky berjalan ke hadapan James dengan sikap penuh keyakinan. Lelaki tua itu hanya menatap Hengky pasrah dan akhirnya berkata, “Kita bicara di ruang baca saja.”“Baik,” sahut Hengky sambil mengangguk.Keduanya berjalan ke lantai atas dan masuk ke dalam ruang baca.“Duduklah,” ujar James sambil menunjuk sofa di samping.“Tadi aku dengar semua percakapan Papa dan
Winda menatap Hengky beberapa detik dan menganggukkan kepala. Dia maju dan menggandeng lengan lelaki itu sambil tertawa dan berkata, “Ok, kita pulang!”Hengky tersenyum tipis dan meminta anak buahnya memanggil Santo dan pulang bersama. Santo mengendarai mobilnya Winda dan mengikuti mobil Hengky dari belakang. Winda duduk di samping kursi kemudi dan kerap melirik ke arah Hengky sekaan ingin mengatakan sesuatu.“Kamu mau bilang apa?” tanya Hengky setelah delapan kali kepergok tengah meliriknya.Winda yang sudah ketahuan tidak bisa lagi berbohong dan dengan jujur bertanya, “Bukannya kamu ke rumah sakit? Kenapa bisa ke rumahku?”Bibir Hengky menipis dan dia tampak seperti berpikir cara untuk menjawab pertanyaan Winda. Setelah beberapa detik dia berkata, “Kalau aku nggak datang, apa yang akan kamu lakukan?”Winda terdiam dan seperti teringat akan sesuatu. Mendadak hatinya berdegup cepat dan bertanya, “Kamu demi aku? Kamu menebak kalau Papa telepon aku karena masalah berita dan takut aku ngg
“Kalau kamu nggak mau pergi juga nggak apa-apa.”Winda menggelengkan kepalanya. Kesan keluarga Hengky pada dirinya sudah sangat buruk sekali. Kalau Winda tidak pergi, maka kesalahpahaman Nenek padanya akan semakin parah.“Aku yang bikin masalah dan aku harus menghadapinya.”Hengky mengangguk dan tidak berkata apa pun lagi. Mobil mereka berhenti di Lotus Residence, Winda turun dan hendak berpesan pada Hengky. Namun dia melihat lelaki itu juga ikut turun dari mobil.“Kamu nggak ke rumah sakit?” tanya Winda.Hengky berjalan masuk sambil berkata, “Nggak nginap di rumah sakit, cuma pergi periksa saja.”Winda mengikuti lelaki itu dari belakang sambil berkata dengan panik, “Bahu kamu terluka, lebih baik periksa dulu di rumah sakit biar aku tenang.”“Nggak perlu,” sahut Hengky sambil melepas sepatunya. Melihat mereka pulang, Bi Citra terkejut dan berkata, “Pak, Bu, kenapa sudah pulang? Luka Bapak sudah sembuh?”“Iya.”“Belum.”Hengky dan Winda menjawab di waktu yang bersamaan. Kening Henkgy be
“Ok, nanti aku kirim alamatnya.”“Ok!” sahut Jefri dengan suara yang terdengar riang.Luna tertawa dan ngobrol sesaat, setelah itu sambungan telepon terputus. Ekspresi Luna seketika berubah sebal dan jengah. Dia melemparkan ponselnya ke kursi samping kemudi dan mengarahkan mobilnya menuju supermarket.Mobil Jefri sudah terparkir rapi di depan rumah kontrakan Luna pada pukul jam enam lewat. Luna tahu kalau James tidak suka dengan Jefri, secara otomatis ayahnya tidak boleh mengetahui bahwa dia bertemu dengan Jefri. Lelaki itu juga tidak boleh menjemputnya di kediaman keluarga Atmaja.Jefri mengetuk pindu dan disambut oleh Clara.“Duduk saja, di sini sedikit sempit, jangan keberatan.” Clara menuangkan minuman dan memasang raut sedih.Jefri memandangi apartemen tersebut yang berbeda jauh dengan kediaman keluarga Atmaja. Dia yang terlahir dari keluarga kaya tentu saja tidak pernah tinggal di tempat seperti ini. Keningnya mendadak berlipat dalam.“Tante, kalian tinggal di tempat ini? Om Jam