“Itu baru dua tamparan. Masih butuh beberapa tamparan lagi sampai aku puas,” kata Adit.
Dia lalu melancarkan tamparan lagi ke pipi kirinya Joni, tapi dengan cepat tangannya ditahan oleh Bob.
“Keparat! Berani-beraninyna kamu menampar Bos Joni!” hardik Bob.
“Hey, apa maksudnya ini, Botak? Kamu mau mengingkari janjimu sendiri, hah?!” kata Adit, memelototi Bob lalu Joni.
“Lepaskan dia, Bob!” perintah Joni.
“Tapi, Bos…”
“Aku bilang lepaskan dia! Aku kalah bertaruh. Aku harus membiarkan dia menamparku. Itu bagian dari kesepakatan.”
Bob tampak enggan melakukannya, tetapi dia tak punya pilihan sebab itu perintah langsung dari Joni.
Joni sendiri kini sudah kembali berdiri tegak, menatap Adit dengan kesal.
Meski otaknya mesum, Joni bukan tipe orang yang akan mengingkari janji. Tadi dia dan Adit telah bersepakat. Kini, dia harus menerima konsekuensi dari kekalahannya.
Adit tersenyum meledek ke arah Joni, memutar-mutar sedikit tangan kanannya, bersiap kembali menampar Joni.
Dan dia pun menampar berkali-kali tanpa jeda. Total ada sepuluh tamparan yang dia berikan.
Joni sempat terhuyung-huyung sebelum akhirnya berdiri tegak lagi. Ujung bibirnya terluka. Dia mengusap-usap pipi kirinya yang memar sambil meringis kesakitan.
“Sekarang pergilah!” usir Adit.
Joni menatap Adit penuh dendam. Begitu juga Bob. Mereka tak akan pernah melupakan momen tak terduga ini.
“Kita akan bertemu lagi,” kata Joni, balik badan dan pergi, disusul oleh Bob.
Adit tak menanggapinya, hanya meminta mereka menjauh dengan gerakan tangan.
Beberapa saat kemudian, Adit menghela napas. Tangan kanannya yang dia gunakan untuk menampar Joni tadi kini gemetar. Tubuh Adit Winarta rupanya tak sekuat tubuh Alvin Sanders.
‘Tapi paling tidak, sistem canggih itu sudah terintegrasi ke tubuh baruku ini. Ini baru awal dari semuanya,’ pikir Adit, sambil mengibas-ngibaskan tangannya itu.
Mendapati Joni dan pengawalnya itu pergi, Julia dan Diana, yang selama beberapa saat sebelumnya hanya diam di tempatnya masing-masing, saling menatap satu sama lain dengan bingung, lalu menghampiri Adit.
“Adit, apa yang sebenarnya terjadi? Barusan itu kamu benar-benar mentransfer 20 juta ke rekeningnya Pak Joni?” tanya Julia.
“Iya, Ma,” jawab Adit, masih sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang kanan.
“Tapi dari mana kamu punya uang 20 juta?” tanya Diana.
“Oh, soal itu… tadi aku… meminjamnya dari teman lamaku. Tapi tenang saja. Dia tak memintaku mengembalikannya segera kok,” jawab Adit.
Tentu saja dia berbohong. Teman lama? Saat ini sudah tak ada lagi teman lamanya Adit Winarta yang bisa dihubungi olehnya, apalagi untuk dipinjami uang 20 juta.
Dia berkata seperti itu sekadar untuk membuat semua ini terdengar masuk akal.
“Serius kamu, Adit? Awas saja kalau sampai teman lamamu itu tiba-tiba datang menagih dan meneror kita seperti Joni dan pengawalnya itu!” Julia menatap Adit curiga.
“Tenang saja, Ma. Dia tak akan melakukan itu,” kata Adit.
Malas memperpanjang adu omongan dengan ibu mertuanya, Adit memilih untuk melengos ke arah mobil, lanjut mencucinya.
“Kamu bersiap-siaplah, Sayangku. Ini sebentar lagi selesai,” katanya kemudian, tanpa menatap Diana.
Julia dan Diana kembali saling menatap satu sama lain, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Adit.
Bukan saja Adit tiba-tiba punya nyali untuk menantang Joni, dia pun tampak peduli pada situasi sulit mereka berdua.
Ini sungguh tidak biasa.
“Ya sudah aku siap-siap dulu,” kata Diana akhirnya, masuk ke rumah.
Sementara itu Julia masih berdiri di tempatnya, mengamati Adit yang tampak aneh itu sambil berkacak pinggang.
…
Tak lama setelah Diana berangkat, Adit kembali ke kamarnya.
Sejak sekitar tujuh bulan yang lalu, dia menempati kamar yang terpisah dengan kamar istrinya.
Dulu kamar ini sempat ditempati ART. Tapi sejak mereka tak sanggup lagi membayar ART, kamar itu dijadikan gudang untuk menyimpan kardus-kardus.
Adit kemudian menempatinya sebab Julia tak sudi pria tanpa pekerjaan sepertinya tidur sekamar dengan putrinya.
Kamar ini sebenarnya agak pengap karena tak ada ventilasi, tapi Adit sudah terbiasa.
Duduk bersila di kasurnya yang keras, Adit menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Dia ingin tahu sudah sejauh mana sistem canggih itu terintegrasi dengan tubuh barunya ini.
[Ting!]
Layar hologram itu kembali muncul. Adit membuka mata, membaca apa-apa yang tertulis di situ.
[Sistem berhasil diaktifkan. Proses penyesuaian dengan tubuh baru sudah 72%. Sejumlah fitur sudah bisa digunakan oleh user.]
[Pilih ‘Open’ untuk melihat fitur-fitur yang sudah siap.]
Adit mengatakan ‘Open’ dalam hati, dan layar berganti. Kini muncul sebuah persegi 6x6 dengan beberapa kotak terisi gambar kunci.
Itu adalah fitur-fitur yang belum siap digunakan. Ada 20 jumlahnya.
Berkata dalam hati, Adit meminta si sistem membuka fitur ‘Physical Strength’.
Layar pun berganti lagi. Kali ini muncul sosok dirinya dalam wujud avatar yang berputar-putar seperti dalam game.
Adit memeriksa statistiknya dan menangguk-angguk. Dia lantas meminta si sistem untuk memindahkan poin kekuatan fisik yang tersedia di situ ke dalam dirinya.
Sekejap kemudian, dia merasa tubuhnya seperti dialiri listrik. Rasanya sakit dan ngilu, hingga dia memejamkan mata dan mendesis.
Tapi setelah itu, dia merasa sangat segar. Dan bukan hanya itu, otot-otot lengan dan dadanya pun mulai terbentuk.
Adit turun dari kasur, menanggalkan kaus oblongnya, lalu berdiri di depan cermin.
“Lumayan lah. Setidaknya sekarang tubuh baruku ini jelas bentuknya,” ucap Adit, tersenyum tipis.
Lalu tiba-tiba tampilan di layar hologram berganti sendiri. Adit refleks menatapnya.
[Misi pertama.]
[User harus makan siang mewah di salah satu restoran ternama di pusat kota. Minimal transaksi 100 juta.]
[Hadiah: sebuah kalung berlian murni senilai dua triliun rupiah.]
[Hukuman: tidak ada.]
[Deadline: hari ini pukul 14:00.]
Segera setelah Adit selesai membacanya, layar hologram itu lenyap.
Adit terdiam sebentar, mencoba mengingat sesuatu. Lalu dia tersenyum lebar.
Lusa adalah hari ulang tahun Nenek Fiona, pemimpin Keluarga Purwatama.
Semua anggota Keluarga Purwatama wajib menghadiri pesta ulang tahun yang pastinya akan sangat mewah itu.
Tahun lalu, saat mereka bertiga hadir di pesta, Keluarga Purwatama mencemooh dan mengolok-olok mereka sampai-sampai mereka pulang lebih dulu.
Siapa lagi kalau bukan Adit yang jadi sasaran olok-olok dan cemoohan itu.
Kali ini, Adit bisa membungkam mereka semua. Tapi untuk itu dia harus mendapatkan dulu kalung berlian murni senilai dua triliun rupiah itu.
Rencananya adalah, dia akan menjadikan kalung berlian tersebut sebagai kado ulang tahun untuk Nenek Fiona dari dirinya, Julia, dan Diana.
Tiba-tiba saja, Adit merasa bersemangat. Dia pun kembali berpakaian dan langsung menuju ke pusat kota.
…
Di The Divine Candle, salah satu restoran internasional termewah dan terpopuler di pusat Kota Parsha.
Adit baru saja memasuki restoran dan kini sedang dipandu seorang pelayan berseragam khusus ke salah satu meja.
Si pelayan, meski sebisa mungkin besikap profesional, terlihat bahwa sebenarnya dia malas melakukannya.
Orang-orang yang memasuki The Divine Candle biasanya berpenampilan elegan dan beraroma wangi, sedangkan Adit hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong biasa, dan sepertinya dia tak menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
Jujur saja dia heran kenapa orang seperti ini dibiarkan memasuki area restoran oleh satpam di luar. Nanti setelah memberi arahan profesional kepada Adit, dia akan mengeluhkan hal ini kepada Kepala Pelayan.
“Di buku menu ini tertera hidangan-hidangan yang bisa Tuan pilih. Kalau Tuan sudah menentukan pilihan, silakan tekan bel di meja ini untuk memanggil saya,” kata si pelayan, mengangguk lantas mundur dan balik badan.
Raut mukanya langsung berubah saat dia membelakangi Adit. Menurutnya, sebutan yang tepat untuk orang seperti Adit bukanlah ‘Tuan’ melainkan ‘Gelandangan’.
Tanpa sadar dia mempercepat langkahnya, saking inginnya dia mengeluhkan hal ini kepada Kepala Pelayan.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang. Adit memanggilnya sambil menunjuk-nunjuk ke buku menu.
Dengan senyum dan gestur profesional, pelayan itu menghampiri Adit di mejanya.
“Anda sudah menentukan apa saja yang mau Anda pesan, Tuan?” tanyanya.
“Iya. Aku mau pesan ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini,” kata Adit, menunjuk beberapa menu dengan harga yang fantastis.
Mata si pelayan membesar. Semula dia pikir Adit hanya akan memesan satu-dua menu saja, itu pun yang paling murah yang ada di buku menu.
Tapi baru saja dia memesan delapan hidangan dari buku menu, yang jika ditotal harganya mencapai 200 juta rupiah.
Apakah orang ini sedang mempermainkannya? Bagaimana mungkin dia bisa membayarnya?
“Tuan, apakah benar Anda mau memesan semua yang Anda tunjuk barusan?” si pelayan bertanya.
“Iya, benar. Kenapa memangnya? Ada yang sedang tak tersedia, ya?” Adit balik bertanya.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba terdengar bunyi tepuk tangan.
Adit dan si pelayan menoleh ke arah sumber bunyi, mendapati seorang pria dengan setelan necis berjalan ke arah mereka.
Bersama pria itu ada seorang wanita dengan gaun mewah berwarna merah gelap.
“Wah wah, mimpi apa aku semalam, sampai-sampai sekarang ini aku melihatmu di sini, Adit Winarta!” kata pria itu.
Dia adalah Erkan Suryaprasta, anak salah satu orang terkaya di Kota Parsha, pria yang hingga detik ini masih saja mengejar-ngejar Diana.
“Anda mengenal Tuan ini, Tuan Erkan?” tanya si pelayan.
Erkan terkekeh, memberi Adit tatapan menghina, lalu menjawab, “Oh, tentu. Tentu saja aku mengenalnya. Dia ini menantu sampah Keluarga Pratama.”
Si pelayan tampak terkejut. Dia menatap Adit, tapi kali ini tak lagi mempertahankan sikap profesionalnya.
“Mau apa dia di sini? Makan?” tanya Erkan.
“Benar, Tuan,” jawab si pelayan.
“Aduh aduh aduh… Sebaiknya kalian usir saja orang seperti dia ini. Dari yang kudengar, sudah hampir dua tahun ini dia menganggur. Aku khawatir dia bahkan tak sanggup membayar menu termurah yang kalian miliki,” hasut Erkan.
Adit mendengus. Mulanya dia hendak mengabaikan ocehan-ocehan Erkan dan fokus pada misinya. Tapi, seperti selalu terjadi, Erkan melampaui batas.
“Pelayan, cepat bawakan makanan-makanan dan minuman-minuman yang kupesan! Kalau perlu aku bayar sekarang!” kata Adit.
Giliran Erkan yang mendengus. Dia melepaskan tangan si wanita cantik yang bersamanya, melangkah maju ke mejanya Adit.
Brakk!
Erkan menggebrak meja yang ditempati Adit, menatap Adit dengan tatapan memusuhi.
“Pelayan, singkirkan orang ini dari meja ini! Aku ingin meja ini dan meja-meja di sekitarnya dikosongkan!” kata Erkan.
…
Adit memutar bola matanya, kemudian menatap Erkan dengan malas.Dilihatnya sorot mata Erkan begitu tajam. Seakan-akan ada bola api yang menyala-nyala di mata tersebut.“Apa maumu, Erkan? Aku ke sini untuk makan, bukan untuk meladeni omong-kosongmu,” ucap Adit.Erkan mendengus kesal. Dia dan Adit memang tak pernah akur. Setiap kali mereka bertemu selalu saja mereka bentrok. Tapi, seingatnya, Adit tak pernah seberani ini menantangnya.“Pelayan, kamu dengar apa yang baru saja kukatakan?” kata Erkan, menegakkan punggunnya, menatap si pelayan.Pelayan itu mengangguk. Dia kemudian menghampiri Adit, berdiri di sebelah kanannya.“Tuan, silakan Anda tinggalkan meja ini. Tuan Erkan akan menempatinya,” ucapnya.Adit memicingkan matanya. Seperti inikah pelayanan di salah satu restoran termewah di Kota Parsha?“Kalau aku tidak mau? Lagian, aku yang menempati meja ini duluan. Kamu sendiri yang membawaku ke sini,” kata Adit.Pupil mata si pelayan membesar, tanda kalau dia tak senang dengan penolakan
Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-bena
"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu. "Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi. Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan. Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri. "Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit. Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri. Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang. "Sendirian saja?" tanya Brenda lagi. "Ya," jawab Adit. "Tak ada tujuan mau ke mana?" Adit menggeleng. Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hit
Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
“Ya, boleh. Menjadi bodyguard sepertinya lebih menantang bagiku. Sekali lagi terima kasih, ya,” jawab Adit. “Sama-sama. Tapi untuk bisa menjadi bodyguard-ku, kamu harus menjalani tes dulu di kantorku. Bisa sih aku bicara dengannya nanti. Aku minta dia meloloskanmu kalaupun kamu tidak lolos tes fisik dan tes-tes lainnya.” Adit tersenyum miring. Dia tak perlu bantuan apa pun untuk lolos tes fisik dan tes-tes lainnya. Terlebih lagi saat ini dia menguasai pencak silat. Itu pastilah sebuah nilai lebih baginya. “Tak usah repot-repot, Brenda. Aku berusaha dengan kemampuanku sendiri saja. Paling aku minta tolong diberitahu saja apa-apa yang harus kusiapkan dan kubawa untuk mengikuti tes-tes nanti,” kata Adit. “Soal itu, kamu tenang saja. Nanti aku jelaskan semuanya lewat chat, ya. Oke?” “Oke.” Mereka masih bercakap-cakap beberapa menit lagi, tapi bahasan soal pekerjaan berakhir di situ. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, Adit menghela napas lega, tersenyum lebar. Syar
Suasana di bus menjadi semakin tegang seperti di film-film laga.Para penumpang terbelalak. Sebagian menutup mulut yang terbuka dengan tangan.Tak seorang pun dari mereka menyangka manuver seperti ini akan terjadi.Kini Adit dan Gen saling menatap tanpa berkedip. Don mengaduh kesakitan tetapi Adit tak peduli. Dia tempelkan terus moncong pistolnya ke kepala Don.Sementara itu, Adit menyeret Don ke depan, memperpendek jaraknya dengan Gen.“Jangan coba-coba! Kalaupun aku tak menembak temanmu ini di kepala, aku bisa menembaknya di kaki atau di pinggang. Itu mudah saja bagiku,” ancam Adit.Gen yang semula hendak berdiri dan menempelkan moncong pistol ke kepala si sopir bus itu terhenti.Gen dan Don adalah dua teman baik. Mereka telah saling mengenal sejak kecil dan aksi pembajakan dan perampokan seperti ini sudah sering mereka lakukan bersama, berdua saja.Sialnya, ini pertama kalinya mereka berada dalam situasi di mana salah satu penumpang bus melakukan perlawanan dan berhasil menekan bal
Adit mengamati situasi di bus saat si pria bersenjata itu mendekatinya.Kemampuan bela dirinya telah kembali. Dia bisa dengan mudah menjatuhkan si pria bersenjata.Tapi bagaimana dengan yang satunya lagi?Itulah masalahnya. Si pria bersenjata yang satunya lagi itu berada di dekat sopir. Adit khawatir dia akan menembak si sopir atau melukai penumpang-penumpang lain sementara dia mengurus si pria bersenjata di hadapannya.“Cepat serahkan ponselmu! Jangan sampai aku benar-benar menembakmu!” gertak si pria itu lagi, sambil memelototkan matanya.Opsi menghajar pria ini sepertinya tak tersedia. Tidak untuk saat ini.Adit memutar otaknya, mencari alternatif lain.“Yang kalian berdua inginkan apa sebenarnya? Uang? Ya sudah berikan semua ponsel yang terkumpul itu padaku. Aku beli dengan harga yang kutawarkan tadi,” kata Adit.Adit mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu debit miliknya.“Aku tinggal mentransfer uangnya di ATM. Atau kalaupun mau kutransfer via M-banking, bisa saja,” kata Adit.T
Adit dan Brenda baru saja tiba di parkiran gedung kantor, di basement. Brenda membuka pintu, sedangkan Adit tetap di jok kemudi. "Kamu tunggu di sini, ya. Aku ambilkan baju dulu," kata Brenda, lalu menutup pintu mobil dan pergi ke arah lift. Adit memang masih bertelanjang dada. Dan, sebab dia tidak membawa mobilnya ke kantor, dia harus ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Tentu saja sangat tidak pantas dia berada di angkutan umum sambil bertelanjang dada. Sambil menunggu Brenda kembali, Adit meminta si sistem canggih memunculkan fitur-fitur yang bisa dia aktifkan lagi. Layar hologram itu pun muncul. Ada delapan fitur yang bisa dia aktifkan tanpa persyaratan apa pun. Adit langsung memilih fitur-fitur yang ingin diaktifkannya sekarang juga. Fitur ilmu bela diri termasuk di antaranya. Setiap kali fitur itu diaktifkan, Adit seperti merasakan sengatan listrik yang membuatnya mendesis dan menguatkan pegangannya di setir. Setelah kedelapan fitur itu teraktifkan, Adit menarik na
Tak lain dan tak bukan, pria itu adalah Adit. Kini dia berjalan mendekati kasur. Dalam prosesnya dia menginjak si penjaga yang tadi ditendangnya itu.“Ugh!!”Injakan di perut pria itu begitu kuat, sampai-sampai si penjaga memuncratkan darah dari mulutnya. Setelah itu dia pingsan.Melihat apa yang barusan terjadi, Lukas langsung gemetar.Baru juga setengah jam yang lalu dia dihajar oleh pria menyeramkan ini. Sekarang dia akan dihajarnya lagi?Lukas menggeser tubuhnya ke tengah kasur. Sebenarnya ingin sekali dia beranjak dari kasur dan berlari ke ambang pintu, keluar dari kamar itu.Tapi jangankan melakukan itu, bahkan untuk sekadar mengatakan sesuatu saja dia tak bisa. Kehadiran Adit membuat lidahnya kelu.“Kau tahu apa yang pantas dirasakan oleh pria bejat sepertimu?” tanya Adit. Kini dia sudah berdiri tepat di samping kasur.“Sensasi berhadapan dengan kematianmu sendiri,” lanjut Adit.Mata Lukas membulat. Adit menggerakkan tangan kanannya secepat ular, mencengkeram leher Lukas dan me
Dengan mudahnya, Adit menarik cambuk itu dari tangan si penjaga di depannya.Si penjaga terbelalak. Adit balas mencambuk si penjaga, membuat pria itu mengerang kesakitan.Pipi kiri si penjaga mengucurkan darah.Si penjaga yang satunya lagi ikut tercengang. Adit memanfaatkan momen singkat yang dimiliknya ini untuk melepaskan ikatan di kedua kakinya.Kini, dengan kembalinya stamina dan kekuatan fisiknya, rantai-rantai besi itu tak berarti apa pun baginya.Adit lantas maju, menantang kedua penjaga itu terang-terangan."Mampus lu!!!"Si penjaga yang di belakang mengambil pistolnya dan mengarahkannya kepada Adit, menembaknya.Dor!Peluru tersebut mengenai tiang besar tempat Adit tadi diikat. Adit sendiri tiba-tiba menghilang dari hadapannya.Buk!"Akh!"Adit rupanya sudah berdiri di belakang penjaga tersebut. Dan baru saja, dia menghantamkan tangannya ke bahu tengkuk pria itu.Pria itu langsung membungkuk dan muntah darah. Adit menarik kerah kaus pria itu lantas menghantamkan tinjungnya ke
Dua orang berbadan besar itu membawa Adit ke gudang, sebuah bangunan terpisah di belakang vila.Mereka mengikat tangan Adit ke belakang dengan tali. Salah satu dari mereka berjalan di depan sedangkan yang satunya lagi di belakang, menodongkan pistol tepat ke punggung Adit.“Masuk sana!”Si penjaga di belakang Adit itu mendorongnya dengan cara menendangnya.Adit memasuki gudang dan terhuyung-huyung. Saat dia menegakkan tubuhnya, si penjaga yang memasuki gudang lebih dulu langsung menghantamkan bogem mentah ke pipinya.Bugh!Adit sedikit oleh ke kanan. Darah keluar dari ujung bibirnya.“Gua nggak tahu lu siapa, tapi lu benar-benar nekat masuk ke vila ini tanpa izin. Lu tahu Tuan Lukas itu siapa? Dia miliarder terkenal di kota ini. Di kawasan ini aja dia punya puluhan vila mewah. Nggak ada yang berani macam-macam sama dia!” tutur si penjaga yang baru saja menonjok Adit.Adit menatapnya perlahan. Sorot matanya tajam. Ada nyala api di sana.“Apa maksud lu lihat gua kayak gitu! Berani lu na
Lukas benar-benar terkejut dengan kemunculan pria yang tak dikenalnya itu.Tak lain dan tak bukan, dia adalah Adit.Sadar kalau Adit punya niat buruk terhadapnya, Lukas melirik ke laci lemari tempat dia menyimpan pistol.Adit membaca dengan baik gerakan mata Lukas, sehingga saat Lukas berlari, dia pun berlari.Brughh!Adit menerjang Lukas, menangkap tubuhnya. Dia berhasil menggagalkan upaya Lukas membuka laci lemari.Kini dia menindih Lukas dan mendudukinya di perutnya, lantas dia hantamkan tinjunya ke wajah Lukas.Bugh!“Arghh….”Bugh! Bugh!“Arghhh…”Tadi setelah masuk ke kamar ini, Adit sempat melirik ke arah kasur dan mendapati Brenda terbaring menelentang dengan kancing-kancing kemeja terbuka.Adit bisa menebak apa niat busuk Lukas terhadap Brenda, dan kini dia tak bisa menahan diri untuk tak menghajar pria ini.Dia terus menghantamkan bogem mentahnya ke wajah Lukas, lagi dan lagi, hingga muka sang miliarder itu babak belur.Adit memang tak tahu siapa Lukas, dan itulah salah satu
Brenda benar-benar sakit kepala. Sulit sekali baginya untuk tetap membuka matanya. Suhu tubuhnya terus meninggi. "Ayo, kutemani ke toilet. Kamu seperti orang yang mau muntah," ucap Lukas, membantu Brenda berdiri. Brenda merasa aneh. Baru juga dia duduk, sekarang dia berdiri lagi. Dan memang benar yang dikatakan Lukas, dia merasa mual. 'Mungkin memang sebaiknya aku ke toilet saja,' pikirnya. Brenda pun berdiri. Dia biarkan Lukas menggiringnya. Dia tak sedikit pun berpikir kalau Lukas akan membawanya ke tempat lain. Sakit kepala yang menyerangnya terlalu kuat untuk bisa ditahannya sampai-sampai dia tak bisa berpikir jernih. "Duduklah sebentar."Brenda tak sadar kalau saat ini dia berada di dekat pintu masuk kedai. Pengelihatannya berbayang. Samar-samar dia dengar Lukas bicara soal membayar tagihan.Dan ketika Lukas kembali dan membantunya berdiri lagi, kesadarannya semakin menipis. Dia nurut-nurut saja saat Lukas membawanya keluar. Tahu-tahu, dia telah berada di mobil Lukas. B
Adit terdiam sesaat.Bonus fitur instan? Apa maksudnya ini?"Adit, kamu tak apa-apa?" tanya Brenda, mencoba membantu Adit berdiri.Sadar kalau orang-orang di sedan baru itu baru saja keluar turun dari mobil, Adit memaksakan diri untuk berdiri."Ayo!" ucapnya, mengajak Brenda untuk lanjut berlari.Susah-payah Adit berlari sambil menahan sakit dan nyeri di luka tembak ya.Di hadapannya, layar hologram itu masih ada.Meski tak benar-benar mengerti bonus fitur instan ini apa, Adit memutuskan untuk menerimanya.[Klik!]Tampilan di layar hologram itu berganti. Kini yang muncul adalah sebuah tabung bar horizontal yang menandakan kalau fitur instan itu sedang dipasangkan.[Ting!][Fitur instan berupa kecepatan super sudah bisa digunakan.][Batas waktu penggunaan: lima menit.]Langkah Adit terhenti. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa hangat, juga ringan."Adit?" Brenda lagi-lagi menatap Adit khawatir.Adit mengangkat tangannya ke atas, mengayunkan kaki kanannya ke depan dan ke belakang.Tubuhnya b