Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Adit.
Menantunya ini mau membayarkan utang cicilannya? Bagaimana bisa?
Dia saja tak bekerja selama hampir dua tahun ini.
“Kamu lanjut cuci mobil saja sana! Tak usah bertingkah!” semprot Julia.
“Biar aku yang atasi mereka, Ma. Mama ke dekat Diana saja,” kata Adit.
“Hah?!”
Julia menatap Adit dengan kesal. Apa kelamaan menganggur membuat menantunya ini jadi tak waras?
“Hahaha. Kocak sekali menantu sampahmu ini, Julia. Dia sok-sokan mau melunasi cicilan utangmu. Bekerja saja tidak. Hahaha…”
Si botak Joni tertawa keras. Adit menatapnya dengan jengah.
Julia sendiri menatap Adit dengan kemarahan yang tertahan. Nanti setelah berhasil meminta perpanjangan waktu kepada Joni, dia akan menampar menantu sampahnya ini.
“Sebutkan saja besarnya berapa, Botak! Kamu mau uangnya kubayar atau tidak?” tantang Adit.
“Heh, berani kamu bicara begitu pada Bos Joni, ya! Mau kurobek mulutmu, hah?!” bentak Bob, pengawalnya Joni, memelototi Adit.
Julia mematung menatap Adit. Bisa-bisanya menantunya ini menyebut Joni ‘Botak’ dan menantangnya. Itu hanya akan membuat situasi mereka makin sulit.
Joni sendiri mendengus, menatap Adit dengan bengis. Dia tak pernah mengira kalau menantu sampahnya Julia ini ternyata punya nyali juga.
“Ya sudah sini, 20 juta. Mana? Ada tidak uangnya? Tak ada, kan? Dasar payah!” pancing Joni, terkekeh.
“Kok 20 juta, Pak Joni? Cicilan bulananku kan hanya 3 juta,” Julia protes.
“Kan sudah kubilang tadi, Julia, kamu harus membayar juga denda keterlambatan. Harusnya yang kamu bayarkan hari ini bahkan 21 juta. Ini aku sudah berbaik hati padamu, makanya kukasih korting 1 juta. Cepat! Mana uangnya?” balas Joni.
Julia terdiam. Jika 20 juta, saat ini dia bahkan tidak punya. Lantas apa yang harus dia lakukan? Dia tak mungkin membiarkan mobilnya itu diambil.
Melihat tampang panik Julia, Joni tersenyum licik. Aslinya total yang harus dibayarkan Julia tak sebesar itu. Dia sengaja menaikkannya dengan maksud tertentu. Dia sudah punya rencana licik di benaknya.
Dan sejauh ini, semua berjalan sesuai rencananya. Dia kini melirik Diana, istrinya Adit Winarta yang cantik itu, dengan tatapan penuh nafsu.
“Kalau kamu memang belum bisa membayarkan 20 juta itu hari ini, Julia, aku punya sebuah tawaran untukmu,” kata Joni.
“Tawaran apa, Pak Joni?” tanya Julia, tampangnya penuh harap.
“Putrimu di sana itu… dia cantik juga. Bodinya juga cakep. Kalau kamu tak mau mobilmu kami ambil hari ini, suruh putrimu itu untuk menemaniku jalan-jalan nanti malam. Bagaimana?”
Joni mengatakannya dengan lantang, tentu saja agar Diana pun mendengarnya.
Dan langsung saja, muka Diana memerah padam.
Julia, di sisi lain, tampak memikirkan tawaran tersebut. Dia sudah putus asa sebab tak mungkin dia menyiapkan 20 juta hari ini juga.
“Hanya jalan-jalan saja, kan, Pak Joni? Pak Joni tak akan melakukan hal buruk padanya, kan?” ucap Julia.
“Mama!” sentak Diana, tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Kamu diam saja, Diana! Ini demi kita juga!” tukas Julia, lalu kembali menatap Joni.
“Ya, hanya jalan-jalan saja. Putrimu cukup menemaniku berkendara mengitari kota nanti malam. Sesimpel itu,” ujar Joni.
“Dan Pak Joni tak akan mengambil mobil kami hari ini?” Julia memastikan.
“Tak akan. Kami baru akan datang menemuimu lagi bulan depan.”
“Kalau begitu…”
Julia sudah akan menerima tawaran dari Joni yang tengah menatap mesum ke arah Diana ketika tiba-tiba lap basah penuh busa sabun dilemparkan Adit ke muka Joni.
Plash!
Joni refleks mundur selangkah. Busa sabun itu kini memenuhi mukanya.
“Anjing! Berani kamu melempari Bos Joni, Sialan!” hardik Bob sambil menatap Adit murka.
“Bosmu ini yang sialan! Berani-beraninya dia meminta istriku menemaninya jalan-jalan di hadapanku! Aku suaminya! Tak akan kubiarkan orang mesum seperti si botak ini menyentuhnya!” tanggap Adit.
Julia terbelalak. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau Adit akan berani menantang Joni sekeras itu.
Tidakkah menantunya itu tahu kalau orang yang sedang dihadapinya ini selain punya uang juga punya kuasa di wilayah ini?
Bukankah dengan begitu Adit justru malah menempatkan dia dan Diana dalam bahaya?
“20 juta, kan? Sebutkan nomor rekeningmu, Botak! Aku transfer sekarang!” ujar Adit, membuka lagi aplikasi M-banking di ponselnya.
“Kamu!”
Bob hendak menerobos pagar untuk menghajar Adit tetapi Joni menahannya.
Joni membersihkan busa-busa sabun dari mukanya, lalu menatap Adit dengan amarah yang siap meledak kapan saja.
“Oke. Akan kusebutkan nomor rekeningku. Tapi, kalau kamu tak mentransfer uang 20 juta itu seperti yang kamu katakan, istrimu yang cantik itu harus menemaniku dan temanku ini semalaman! Dan kamu harus berlutut di depanku dan memanggilku Bos! Bagaimana? Berani kamu?”
“Oke! Siapa takut! Tapi kalau aku benar-benar mentransfer uang 20 juta itu ke nomor rekeningmu, kamu harus membiarkanku menamparmu sesuka hatiku. Dan setelah itu, kalian harus pergi!”
Joni mendengus. Dia sudah mencoba menggertak Adit, tapi Adit malah balik mengertaknya, seakan-akan dia memang punya uang 20 juta di rekeningnya.
Sungguh menantu sampahnya Julia ini tak tahu diri. Ingin sekali dia menonjok-nonjok muka Adit sampai bonyok.
Tapi sesaat kemudian, dia tersenyum. Dia yakin Adit hanya membual. Itu artinya, dia bukan hanya akan mendapatkan Diana seperti rencananya, dia pun akan melihat Adit berlutut di hadapannya dan memanggilnya Bos.
Itu pasti akan sangat memuaskan. Dia akan merekamnya dengan kamera ponselnya dan akan menyebarkannya ke anak-anak buahnya.
Maka, dengan lantang, Joni pun menyebutkan nomor rekeningnya. Setelah itu dia kembali melirik Diana, terutama ke bagian dada wanita itu.
Di benaknya, Joni mulai membayangkan Diana duduk di jok penumpang di samping kirinya, lalu tangannya mulai menggerayangi buah dada Diana yang tampak kencang itu, dan meremasnya.
Air liurnya Joni sampai menetes saking terasa nyatanya apa yang dibayangkannya itu.
Tetapi kemudian….
“Sudah kutransfer uangnya! Cek!” kata Adit.
Joni mengerutkan kening, menatap Adit tanpa sekalipun berkedip.
‘Apa orang ini benar-benar tak waras?’ pikirnya.
“Kenapa malah diam seperti orang dungu begitu, hah? Cepat cek saldomu sekarang!” desak Adit.
“Jaga mulutmu, Keparat! Kalau kamu masih saja kurang ajar seperti itu ke Bos Joni, akan kubunuh kamu!” bentak Bob.
“Ya sudah bunuh saja kalau memang bisa!” tantang Adit.
“Kamu!”
Joni kembali memberi isyarat kepada Bob untuk menahan diri. Untuk beberapa saat dia menatap Adit sambil memicingkan matanya.
“Ayo cepat cek!” desak Adit lagi.
Akhirnya, Joni melakukan juga apa yang diminta Adit. Dan dia terbelalak.
“Ini… tidak mungkin!” ucapnya.
“Uangnya sudah masuk, kan?” tanya Adit, mendekat ke pagar.
“Kamu tak bisa mengibuliku. Aku menyimpan bukti screenshot-nya di ponselku,” sambungnya.
Joni menatap Adit lalu menatap layar ponselnya lagi. Pupil matanya membesar dan mulutnya terbuka lebar.
Adit benar-benar telah mentransfer 20 juta ke rekeningnya? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Adit yang hampir dua tahun menganggur itu punya uang 20 juta?
“Sekarang, karena aku sudah mentransfer uang itu ke rekeningmu, saatnya kamu memenuhi janjimu!” kata Adit, membuka pagar dan melangkah keluar.
Plak! Plak!
Adit menampar Joni dua kali sampai Joni terhuyung-huyung.
Julia dan Diana tercengang, menutup mulut mereka yang terbuka dengan satu tangan.
…
“Itu baru dua tamparan. Masih butuh beberapa tamparan lagi sampai aku puas,” kata Adit.Dia lalu melancarkan tamparan lagi ke pipi kirinya Joni, tapi dengan cepat tangannya ditahan oleh Bob.“Keparat! Berani-beraninyna kamu menampar Bos Joni!” hardik Bob.“Hey, apa maksudnya ini, Botak? Kamu mau mengingkari janjimu sendiri, hah?!” kata Adit, memelototi Bob lalu Joni.“Lepaskan dia, Bob!” perintah Joni.“Tapi, Bos…”“Aku bilang lepaskan dia! Aku kalah bertaruh. Aku harus membiarkan dia menamparku. Itu bagian dari kesepakatan.”Bob tampak enggan melakukannya, tetapi dia tak punya pilihan sebab itu perintah langsung dari Joni.Joni sendiri kini sudah kembali berdiri tegak, menatap Adit dengan kesal.Meski otaknya mesum, Joni bukan tipe orang yang akan mengingkari janji. Tadi dia dan Adit telah bersepakat. Kini, dia harus menerima konsekuensi dari kekalahannya.Adit tersenyum meledek ke arah Joni, memutar-mutar sedikit tangan kanannya, bersiap kembali menampar Joni.Dan dia pun menampar b
Adit memutar bola matanya, kemudian menatap Erkan dengan malas.Dilihatnya sorot mata Erkan begitu tajam. Seakan-akan ada bola api yang menyala-nyala di mata tersebut.“Apa maumu, Erkan? Aku ke sini untuk makan, bukan untuk meladeni omong-kosongmu,” ucap Adit.Erkan mendengus kesal. Dia dan Adit memang tak pernah akur. Setiap kali mereka bertemu selalu saja mereka bentrok. Tapi, seingatnya, Adit tak pernah seberani ini menantangnya.“Pelayan, kamu dengar apa yang baru saja kukatakan?” kata Erkan, menegakkan punggunnya, menatap si pelayan.Pelayan itu mengangguk. Dia kemudian menghampiri Adit, berdiri di sebelah kanannya.“Tuan, silakan Anda tinggalkan meja ini. Tuan Erkan akan menempatinya,” ucapnya.Adit memicingkan matanya. Seperti inikah pelayanan di salah satu restoran termewah di Kota Parsha?“Kalau aku tidak mau? Lagian, aku yang menempati meja ini duluan. Kamu sendiri yang membawaku ke sini,” kata Adit.Pupil mata si pelayan membesar, tanda kalau dia tak senang dengan penolakan
Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-bena
"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu. "Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi. Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan. Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri. "Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit. Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri. Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang. "Sendirian saja?" tanya Brenda lagi. "Ya," jawab Adit. "Tak ada tujuan mau ke mana?" Adit menggeleng. Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hit
Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
Suasana di bus menjadi semakin tegang seperti di film-film laga.Para penumpang terbelalak. Sebagian menutup mulut yang terbuka dengan tangan.Tak seorang pun dari mereka menyangka manuver seperti ini akan terjadi.Kini Adit dan Gen saling menatap tanpa berkedip. Don mengaduh kesakitan tetapi Adit tak peduli. Dia tempelkan terus moncong pistolnya ke kepala Don.Sementara itu, Adit menyeret Don ke depan, memperpendek jaraknya dengan Gen.“Jangan coba-coba! Kalaupun aku tak menembak temanmu ini di kepala, aku bisa menembaknya di kaki atau di pinggang. Itu mudah saja bagiku,” ancam Adit.Gen yang semula hendak berdiri dan menempelkan moncong pistol ke kepala si sopir bus itu terhenti.Gen dan Don adalah dua teman baik. Mereka telah saling mengenal sejak kecil dan aksi pembajakan dan perampokan seperti ini sudah sering mereka lakukan bersama, berdua saja.Sialnya, ini pertama kalinya mereka berada dalam situasi di mana salah satu penumpang bus melakukan perlawanan dan berhasil menekan bal
Adit mengamati situasi di bus saat si pria bersenjata itu mendekatinya.Kemampuan bela dirinya telah kembali. Dia bisa dengan mudah menjatuhkan si pria bersenjata.Tapi bagaimana dengan yang satunya lagi?Itulah masalahnya. Si pria bersenjata yang satunya lagi itu berada di dekat sopir. Adit khawatir dia akan menembak si sopir atau melukai penumpang-penumpang lain sementara dia mengurus si pria bersenjata di hadapannya.“Cepat serahkan ponselmu! Jangan sampai aku benar-benar menembakmu!” gertak si pria itu lagi, sambil memelototkan matanya.Opsi menghajar pria ini sepertinya tak tersedia. Tidak untuk saat ini.Adit memutar otaknya, mencari alternatif lain.“Yang kalian berdua inginkan apa sebenarnya? Uang? Ya sudah berikan semua ponsel yang terkumpul itu padaku. Aku beli dengan harga yang kutawarkan tadi,” kata Adit.Adit mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu debit miliknya.“Aku tinggal mentransfer uangnya di ATM. Atau kalaupun mau kutransfer via M-banking, bisa saja,” kata Adit.T
Adit dan Brenda baru saja tiba di parkiran gedung kantor, di basement. Brenda membuka pintu, sedangkan Adit tetap di jok kemudi. "Kamu tunggu di sini, ya. Aku ambilkan baju dulu," kata Brenda, lalu menutup pintu mobil dan pergi ke arah lift. Adit memang masih bertelanjang dada. Dan, sebab dia tidak membawa mobilnya ke kantor, dia harus ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Tentu saja sangat tidak pantas dia berada di angkutan umum sambil bertelanjang dada. Sambil menunggu Brenda kembali, Adit meminta si sistem canggih memunculkan fitur-fitur yang bisa dia aktifkan lagi. Layar hologram itu pun muncul. Ada delapan fitur yang bisa dia aktifkan tanpa persyaratan apa pun. Adit langsung memilih fitur-fitur yang ingin diaktifkannya sekarang juga. Fitur ilmu bela diri termasuk di antaranya. Setiap kali fitur itu diaktifkan, Adit seperti merasakan sengatan listrik yang membuatnya mendesis dan menguatkan pegangannya di setir. Setelah kedelapan fitur itu teraktifkan, Adit menarik na
Tak lain dan tak bukan, pria itu adalah Adit. Kini dia berjalan mendekati kasur. Dalam prosesnya dia menginjak si penjaga yang tadi ditendangnya itu.“Ugh!!”Injakan di perut pria itu begitu kuat, sampai-sampai si penjaga memuncratkan darah dari mulutnya. Setelah itu dia pingsan.Melihat apa yang barusan terjadi, Lukas langsung gemetar.Baru juga setengah jam yang lalu dia dihajar oleh pria menyeramkan ini. Sekarang dia akan dihajarnya lagi?Lukas menggeser tubuhnya ke tengah kasur. Sebenarnya ingin sekali dia beranjak dari kasur dan berlari ke ambang pintu, keluar dari kamar itu.Tapi jangankan melakukan itu, bahkan untuk sekadar mengatakan sesuatu saja dia tak bisa. Kehadiran Adit membuat lidahnya kelu.“Kau tahu apa yang pantas dirasakan oleh pria bejat sepertimu?” tanya Adit. Kini dia sudah berdiri tepat di samping kasur.“Sensasi berhadapan dengan kematianmu sendiri,” lanjut Adit.Mata Lukas membulat. Adit menggerakkan tangan kanannya secepat ular, mencengkeram leher Lukas dan me
Dengan mudahnya, Adit menarik cambuk itu dari tangan si penjaga di depannya.Si penjaga terbelalak. Adit balas mencambuk si penjaga, membuat pria itu mengerang kesakitan.Pipi kiri si penjaga mengucurkan darah.Si penjaga yang satunya lagi ikut tercengang. Adit memanfaatkan momen singkat yang dimiliknya ini untuk melepaskan ikatan di kedua kakinya.Kini, dengan kembalinya stamina dan kekuatan fisiknya, rantai-rantai besi itu tak berarti apa pun baginya.Adit lantas maju, menantang kedua penjaga itu terang-terangan."Mampus lu!!!"Si penjaga yang di belakang mengambil pistolnya dan mengarahkannya kepada Adit, menembaknya.Dor!Peluru tersebut mengenai tiang besar tempat Adit tadi diikat. Adit sendiri tiba-tiba menghilang dari hadapannya.Buk!"Akh!"Adit rupanya sudah berdiri di belakang penjaga tersebut. Dan baru saja, dia menghantamkan tangannya ke bahu tengkuk pria itu.Pria itu langsung membungkuk dan muntah darah. Adit menarik kerah kaus pria itu lantas menghantamkan tinjungnya ke
Dua orang berbadan besar itu membawa Adit ke gudang, sebuah bangunan terpisah di belakang vila.Mereka mengikat tangan Adit ke belakang dengan tali. Salah satu dari mereka berjalan di depan sedangkan yang satunya lagi di belakang, menodongkan pistol tepat ke punggung Adit.“Masuk sana!”Si penjaga di belakang Adit itu mendorongnya dengan cara menendangnya.Adit memasuki gudang dan terhuyung-huyung. Saat dia menegakkan tubuhnya, si penjaga yang memasuki gudang lebih dulu langsung menghantamkan bogem mentah ke pipinya.Bugh!Adit sedikit oleh ke kanan. Darah keluar dari ujung bibirnya.“Gua nggak tahu lu siapa, tapi lu benar-benar nekat masuk ke vila ini tanpa izin. Lu tahu Tuan Lukas itu siapa? Dia miliarder terkenal di kota ini. Di kawasan ini aja dia punya puluhan vila mewah. Nggak ada yang berani macam-macam sama dia!” tutur si penjaga yang baru saja menonjok Adit.Adit menatapnya perlahan. Sorot matanya tajam. Ada nyala api di sana.“Apa maksud lu lihat gua kayak gitu! Berani lu na
Lukas benar-benar terkejut dengan kemunculan pria yang tak dikenalnya itu.Tak lain dan tak bukan, dia adalah Adit.Sadar kalau Adit punya niat buruk terhadapnya, Lukas melirik ke laci lemari tempat dia menyimpan pistol.Adit membaca dengan baik gerakan mata Lukas, sehingga saat Lukas berlari, dia pun berlari.Brughh!Adit menerjang Lukas, menangkap tubuhnya. Dia berhasil menggagalkan upaya Lukas membuka laci lemari.Kini dia menindih Lukas dan mendudukinya di perutnya, lantas dia hantamkan tinjunya ke wajah Lukas.Bugh!“Arghh….”Bugh! Bugh!“Arghhh…”Tadi setelah masuk ke kamar ini, Adit sempat melirik ke arah kasur dan mendapati Brenda terbaring menelentang dengan kancing-kancing kemeja terbuka.Adit bisa menebak apa niat busuk Lukas terhadap Brenda, dan kini dia tak bisa menahan diri untuk tak menghajar pria ini.Dia terus menghantamkan bogem mentahnya ke wajah Lukas, lagi dan lagi, hingga muka sang miliarder itu babak belur.Adit memang tak tahu siapa Lukas, dan itulah salah satu
Brenda benar-benar sakit kepala. Sulit sekali baginya untuk tetap membuka matanya. Suhu tubuhnya terus meninggi. "Ayo, kutemani ke toilet. Kamu seperti orang yang mau muntah," ucap Lukas, membantu Brenda berdiri. Brenda merasa aneh. Baru juga dia duduk, sekarang dia berdiri lagi. Dan memang benar yang dikatakan Lukas, dia merasa mual. 'Mungkin memang sebaiknya aku ke toilet saja,' pikirnya. Brenda pun berdiri. Dia biarkan Lukas menggiringnya. Dia tak sedikit pun berpikir kalau Lukas akan membawanya ke tempat lain. Sakit kepala yang menyerangnya terlalu kuat untuk bisa ditahannya sampai-sampai dia tak bisa berpikir jernih. "Duduklah sebentar."Brenda tak sadar kalau saat ini dia berada di dekat pintu masuk kedai. Pengelihatannya berbayang. Samar-samar dia dengar Lukas bicara soal membayar tagihan.Dan ketika Lukas kembali dan membantunya berdiri lagi, kesadarannya semakin menipis. Dia nurut-nurut saja saat Lukas membawanya keluar. Tahu-tahu, dia telah berada di mobil Lukas. B
Adit terdiam sesaat.Bonus fitur instan? Apa maksudnya ini?"Adit, kamu tak apa-apa?" tanya Brenda, mencoba membantu Adit berdiri.Sadar kalau orang-orang di sedan baru itu baru saja keluar turun dari mobil, Adit memaksakan diri untuk berdiri."Ayo!" ucapnya, mengajak Brenda untuk lanjut berlari.Susah-payah Adit berlari sambil menahan sakit dan nyeri di luka tembak ya.Di hadapannya, layar hologram itu masih ada.Meski tak benar-benar mengerti bonus fitur instan ini apa, Adit memutuskan untuk menerimanya.[Klik!]Tampilan di layar hologram itu berganti. Kini yang muncul adalah sebuah tabung bar horizontal yang menandakan kalau fitur instan itu sedang dipasangkan.[Ting!][Fitur instan berupa kecepatan super sudah bisa digunakan.][Batas waktu penggunaan: lima menit.]Langkah Adit terhenti. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa hangat, juga ringan."Adit?" Brenda lagi-lagi menatap Adit khawatir.Adit mengangkat tangannya ke atas, mengayunkan kaki kanannya ke depan dan ke belakang.Tubuhnya b