Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.
Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.
“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.
Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.
Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.
Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-benar pelanggan mereka.
“Kenapa? Kamu tak percaya pada apa yang kukataan? Ya sudah, coba cek saja rekaman CCTV. Di situ juga kelihatan. Kalau perlu, tanyakan juga pada pelayan-pelayan itu. Mereka melihat apa yang terjadi tadi,” kata Adit.
Si manajer menatap mata Adit lurus, mencoba menemukan sesuatu yang janggal di sana. Tapi tak ada. Sepertinya Adit mengatakan yang sebenarnya.
“Apa benar yang dia katakan? Apa yang tadi kamu lihat sebelum kamu melapor?” Si manajer bertanya kepada pelayan di sampingnya.
Sambil menatap Adit, si pelayan menjawab dengan ragu-ragu, “Tadi, pengawal-pengawalnya Tuan Erkan masuk dan mengepung meja yang ditempati Tuan ini. Setelah itu saya tak tahu apa yang terjadi, Manajer.”
“Kenapa orang-orang ini sampai masuk dan mengepungnya?”
“Karena Tuan ini tak mau memberikan mejanya kepada Tuan Erkan, Manajer.”
Si manajer menatap si pelayan bingung. Pelayan ini tak mengatakan hal ini padanya tadi.
“Jadi, dia sudah menempati meja ini lebih dulu? Dan kamu meminta dia memberikan mejanya kepada pelanggan lain?” tanyanya.
“Iya, Manajer.”
“Kenapa?”
Si pelayan kembali menatap Adit, kemudian menatap Erkan yang masih terbaring menelungkup itu.
“Karena saya tak yakin orang ini akan bisa membayar tagihan, Manajer. Dia memesan menu-menu spesial yang harganya fantastis. Selain itu, yang meminta hal tersebut bukan pelanggan biasa melainkan Tuan Erkan, salah satu pelanggan tetap kita,” tutur si pelayan.
Si manajer mendengus. Dia tampak kesal dengan penjelasan si pelayan.
Dia lalu menatap Adit, kemudian balik badan dan melontarkan pertanyaan ini sambil memandangi wajah mereka bergantian:
“Apa yang kalian lihat tadi? Siapa yang memulai duluan? Apa benar pelanggan kita ini hanya membela diri?”
Si manajer sedang dalam mode serius. Pelayan-pelayan itu tahu, mereka harus mengatakan yang sesungguhnya.
“Benar, Manajer. Tuan ini tadi hanya membela diri. Orang-orang ini yang menyerangnya duluan,” kata salah satu pelayan.
Yang lain mengangguk-angguk membenarkan. Si manajer lalu melihat pengawal-pengawalnya Erkan itu satu persatu.
Orang-orang itu berbadan kekar. Apakah Adit melumpuhkan mereka semua, dengan tangan kosong?
“Panggil satpam ke sini. Mestinya mereka langsung sigap saat ada kejadian seperti ini,” perintah si manajer.
Pelayan-pelayan itu saling melihat satu sama lain. Salah satu dari mereka, yang paling dekat ke pintu masuk restoran, akhirnya keluar untuk memanggil satpam.
Sementara itu si manajer memutar tubuhnya dan kembali menatap Adit. Sesaat, tatapannya juga tertuju pada si wanita seksi yang ada di situ, yang tengah melipat tangan di dada dan menatap Erkan dengan jijik.
“Masih mau mengecek rekaman CCTV?” sindir Adit. “Kalau tidak, cepat bawakan semua pesananku. Aku sudah lapar.”
Dengan santai, Adit duduk kembali di kursinya. Meja yang ditempatinya ini memang masih rapi seperti semula, kontras sekali dengan meja-meja lain di sekitarnya yang posisinya sudah tak keruan.
“Manajer, satpam-satpam di luar tak sadarkan diri,” si pelayan yang tadi keluar itu mengatakannya lantang saat kembali masuk.
Si manajer kembali mengerutkan kening. Dia memutar badannya sembilan puluh derajat dan menatap pelayan itu heran. “Maksudmu?”
“Sepertinya… orang-orang ini menghajar mereka tadi saat memaksa masuk,” kata si pelayan, menunjuk pengawal-pengawalnya Erkan.
Memang tak semestinya orang-orang berbadan kekar itu bisa masuk ke restoran begitu saja. Tak peduli mereka pengawal-pengawalnya pelangan restoran atau apa, ada aturan yang harus mereka patuhi.
Sekarang, semuanya cenderung membenarkan pembelaan-pembelaan Adit tadi.
“Jadi, bagaimana? Kalian mau membawakan pesanan-pesananku itu atau tidak?” celetuk Adit.
Si manajer menoleh padanya. Sebagai seorang profesional, dia tentu saja harus memerintahkan agar Adit dilayani layaknya pelanggan.
Tapi, penampilan Adit memang mencurigakan. Akankah dia sanggup membayar tagihannya nanti?
Seakan bisa membaca pikiran si manajer, Adit berkata, “Bawakan saja mesin EDC kalian. Biar kubayar dulu, baru setelah itu aku makan.”
“Dan kalau boleh aku beri saran, cepat bersihkan genangan air kencing di lantai itu. Aku tak tahan dengan baunya. Meja-meja dan kursi-kursi ini juga perlu dirapikan,” sambungnya.
Si manajer menatap Adit kesal. Pelanggan restoran tak perlu mendikte apa-apa saja yang perlu dilakukan olehnya. Tapi, yang dikatakannya itu benar.
Dia sendiri sebenarnya sudah tak tahan dengan bau pesing itu.
Maka diperintahkannya si pelayan di dekatnya untuk membawakan mesin EDC dan memproses tagihan sesuai pesanan Adit tadi.
Pelayan-pelayan lain diperintahkannya untuk membersihkan genangan air kencingnya Erkan dan merapikan meja-meja dan kursi-kursi.
Sekitar satu dua menit kemudian, si pelayan yang diminta membawa mesin EDC itu kembali. Setelah memproses tagihan, dia tunjukkan dulu kepada si manajer total yang harus dibayar oleh Adit.
Si manajer memicingkan mata. Kembali dia menatap Adit curiga. Dia kemudian memberi isyarat kepada si pelayan untuk melanjutkan proses pembayaran.
“Totalnya 202 juta, Tuan. Silakan masukkan PIN Anda,” kata si pelayan.
Adit pun memasukkan PIN-nya. Dia menekan tombol-tombol di mesin EDC itu dengan santai. Nominal 202 juta itu seperti tak berarti apa pun baginya.
Dan sesaat kemudian, terdengarlah bunyi khas mesin EDC yang menandakan kalau transaksi pembayaran berhasil.
Si manajer terbelalak. Mulutnya terbuka membentuk huruf ‘o’.
“Sudah kubayar. Sekarang bawakan pesanan-pesananku,” ucap Adit.
Si manajer memandangi Adit lekat-lekat, memindainya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.
‘Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia orang superkaya yang berpenampilan sederhana?’ pikirnya.
…
Selang satu jam kemudian, Adit keluar dari The Divine Candy.
“Terima kasih telah makan siang di restoran kami, Tuan. Semoga hari Anda menyenangkan!”
Yang mengucapkannya adalah si manajer restoran. Dia sengaja membukakan pintu dan mengantar Adit keluar untuk menebus kesalahannya.
Adit tak memberikan respons apa pun, hanya terus melangkah menuruni anak-anak tangga tanpa menoleh ke belakang.
Perutnya penuh. Makan siang barusan adalah makan siang terenak di dalam hidupnya.
Satpam-satpam yang tadi sempat pingsan itu telah kembali bertugas. Saat Adit melewati mereka, mereka membungkuk hormat padanya, padahal tadi Adit sempat dipersulit saat akan memasuki kawasan restoran.
Uang memang bisa mengubah sikap seseorang, secepat itu.
Adit kini berdiri di trotoar. Saat itulah, bunyi mekanis terdengar di dalam kepalanya, dan sebuah layar hologram muncul di depannya.
[Misi berhasil dituntaskan.]
[Hadiah berupa kalung berlian senilai 2 triliun rupiah sudah bisa diklaim.]
[Pilih ‘Ya’ untuk mengklaim sekarang.]
Adit mengatakan ‘Ya’ di dalam hati. Sekejap kemudian, dia merasakan sesuatu yang hangat di saku celananya.
Adit merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang ada di sana.
Tak salah lagi, itu adalah kalung berlian yang dimaksud. Kilaunya begitu indah sampai-sampai Adit terpana melihatnya.
Cekiiit!
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan Adit.
Saat kaca jendela mobil itu bergerak turun, Adit melihat sesosok wanita dengan wajah yang familier.
“Adit? Kamu Adit, kan?” tanya si wanita.
…
"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu. "Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi. Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan. Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri. "Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit. Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri. Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang. "Sendirian saja?" tanya Brenda lagi. "Ya," jawab Adit. "Tak ada tujuan mau ke mana?" Adit menggeleng. Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hit
Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
“Ya, boleh. Menjadi bodyguard sepertinya lebih menantang bagiku. Sekali lagi terima kasih, ya,” jawab Adit. “Sama-sama. Tapi untuk bisa menjadi bodyguard-ku, kamu harus menjalani tes dulu di kantorku. Bisa sih aku bicara dengannya nanti. Aku minta dia meloloskanmu kalaupun kamu tidak lolos tes fisik dan tes-tes lainnya.” Adit tersenyum miring. Dia tak perlu bantuan apa pun untuk lolos tes fisik dan tes-tes lainnya. Terlebih lagi saat ini dia menguasai pencak silat. Itu pastilah sebuah nilai lebih baginya. “Tak usah repot-repot, Brenda. Aku berusaha dengan kemampuanku sendiri saja. Paling aku minta tolong diberitahu saja apa-apa yang harus kusiapkan dan kubawa untuk mengikuti tes-tes nanti,” kata Adit. “Soal itu, kamu tenang saja. Nanti aku jelaskan semuanya lewat chat, ya. Oke?” “Oke.” Mereka masih bercakap-cakap beberapa menit lagi, tapi bahasan soal pekerjaan berakhir di situ. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, Adit menghela napas lega, tersenyum lebar. Syar
Hilman mengatakan dua kalimat terakhirnya itu dengan nada tinggi, hampir-hampir berteriak. Senyum mencemooh kembali ditunjukkan satpam-satpam di belakang Hilman itu. Adit menghela napas. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan orang-orang menyebalkan. “Kamu menantangku, hah? Apa maksud helaan napasmu barusan?!” Hilman mendekatkan wajahnya ke wajah Adit. Dengan jarak sedekat ini, semakin sulit bagi Adit untuk tak terganggu dengan bau tak sedap dari tubuh Hilman itu. “Saya belum menjalani tes sama sekali, Pak. Bagaimana kalau Pak Hilman menilai saya setelah saya menjalani tes-tes itu?” kata Adit. “Hoo, berani juga kamu menantangku. Oke. Kita lihat nanti hasil tesmu seperti apa. Sekarang buka bajumu!” “Eh? Buka baju?” “Iya, buka baju! Cepat lakukan! Itu bagian dari tes!” Tentu saja itu bohong. Di antara rentetan tes untuk menjadi seorang satpam saja seseorang tak pernah diminta buka baju. Adapun Hilman melakukan itu untuk mempermalukan Adit. Dari pengamatannya tadi, tubuh Adit bias
Satpam-satpam itu mengangkat pentungan dan mengayunkannya ke arah Adit. Mereka yakin sekali bisa memojokkan Adit dan menghajarnya hingga babak belur. Tapi apa yang kemudian terjadi? Keempat satpam itu tiba-tiba terkapar memegangi perut mereka, mengerang kesakitan. Rendi ternganga. Dia tak tahu kalau Adit baru saja memukul perut keempat satpam itu sekuat tenaga. Gerakannya begitu cepat sampai-sampai Rendi tak bisa meilhatnya. “Sekarang bagaimana? Masih mau cari masalah denganku?” tanya Adit. Rendi menatapnya dengan bengis. Mukanya memerah. Amarah yang busuk telah menguasainya. “Bangsat! Aku habisi kau!!” teriaknya sambil menerjang Adit, mengayunkan pentungannya ke kepala Adit. Mengingat badan Rendi yang tinggi besar, hantaman pentungannya itu bisa saja membuat tulang Adit retak jika mengenai sasaran. Tapi sayangnya, itu tak terjadi. Adit menahan pentungan tersebut, memeganginya kuat-kuat sampai-sampai Rendi tak bisa menariknya. Mata Rendi semakin membulat, tapi kini dia terlih
Suasana di bus menjadi semakin tegang seperti di film-film laga.Para penumpang terbelalak. Sebagian menutup mulut yang terbuka dengan tangan.Tak seorang pun dari mereka menyangka manuver seperti ini akan terjadi.Kini Adit dan Gen saling menatap tanpa berkedip. Don mengaduh kesakitan tetapi Adit tak peduli. Dia tempelkan terus moncong pistolnya ke kepala Don.Sementara itu, Adit menyeret Don ke depan, memperpendek jaraknya dengan Gen.“Jangan coba-coba! Kalaupun aku tak menembak temanmu ini di kepala, aku bisa menembaknya di kaki atau di pinggang. Itu mudah saja bagiku,” ancam Adit.Gen yang semula hendak berdiri dan menempelkan moncong pistol ke kepala si sopir bus itu terhenti.Gen dan Don adalah dua teman baik. Mereka telah saling mengenal sejak kecil dan aksi pembajakan dan perampokan seperti ini sudah sering mereka lakukan bersama, berdua saja.Sialnya, ini pertama kalinya mereka berada dalam situasi di mana salah satu penumpang bus melakukan perlawanan dan berhasil menekan bal
Adit mengamati situasi di bus saat si pria bersenjata itu mendekatinya.Kemampuan bela dirinya telah kembali. Dia bisa dengan mudah menjatuhkan si pria bersenjata.Tapi bagaimana dengan yang satunya lagi?Itulah masalahnya. Si pria bersenjata yang satunya lagi itu berada di dekat sopir. Adit khawatir dia akan menembak si sopir atau melukai penumpang-penumpang lain sementara dia mengurus si pria bersenjata di hadapannya.“Cepat serahkan ponselmu! Jangan sampai aku benar-benar menembakmu!” gertak si pria itu lagi, sambil memelototkan matanya.Opsi menghajar pria ini sepertinya tak tersedia. Tidak untuk saat ini.Adit memutar otaknya, mencari alternatif lain.“Yang kalian berdua inginkan apa sebenarnya? Uang? Ya sudah berikan semua ponsel yang terkumpul itu padaku. Aku beli dengan harga yang kutawarkan tadi,” kata Adit.Adit mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu debit miliknya.“Aku tinggal mentransfer uangnya di ATM. Atau kalaupun mau kutransfer via M-banking, bisa saja,” kata Adit.T
Adit dan Brenda baru saja tiba di parkiran gedung kantor, di basement. Brenda membuka pintu, sedangkan Adit tetap di jok kemudi. "Kamu tunggu di sini, ya. Aku ambilkan baju dulu," kata Brenda, lalu menutup pintu mobil dan pergi ke arah lift. Adit memang masih bertelanjang dada. Dan, sebab dia tidak membawa mobilnya ke kantor, dia harus ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Tentu saja sangat tidak pantas dia berada di angkutan umum sambil bertelanjang dada. Sambil menunggu Brenda kembali, Adit meminta si sistem canggih memunculkan fitur-fitur yang bisa dia aktifkan lagi. Layar hologram itu pun muncul. Ada delapan fitur yang bisa dia aktifkan tanpa persyaratan apa pun. Adit langsung memilih fitur-fitur yang ingin diaktifkannya sekarang juga. Fitur ilmu bela diri termasuk di antaranya. Setiap kali fitur itu diaktifkan, Adit seperti merasakan sengatan listrik yang membuatnya mendesis dan menguatkan pegangannya di setir. Setelah kedelapan fitur itu teraktifkan, Adit menarik na
Tak lain dan tak bukan, pria itu adalah Adit. Kini dia berjalan mendekati kasur. Dalam prosesnya dia menginjak si penjaga yang tadi ditendangnya itu.“Ugh!!”Injakan di perut pria itu begitu kuat, sampai-sampai si penjaga memuncratkan darah dari mulutnya. Setelah itu dia pingsan.Melihat apa yang barusan terjadi, Lukas langsung gemetar.Baru juga setengah jam yang lalu dia dihajar oleh pria menyeramkan ini. Sekarang dia akan dihajarnya lagi?Lukas menggeser tubuhnya ke tengah kasur. Sebenarnya ingin sekali dia beranjak dari kasur dan berlari ke ambang pintu, keluar dari kamar itu.Tapi jangankan melakukan itu, bahkan untuk sekadar mengatakan sesuatu saja dia tak bisa. Kehadiran Adit membuat lidahnya kelu.“Kau tahu apa yang pantas dirasakan oleh pria bejat sepertimu?” tanya Adit. Kini dia sudah berdiri tepat di samping kasur.“Sensasi berhadapan dengan kematianmu sendiri,” lanjut Adit.Mata Lukas membulat. Adit menggerakkan tangan kanannya secepat ular, mencengkeram leher Lukas dan me
Dengan mudahnya, Adit menarik cambuk itu dari tangan si penjaga di depannya.Si penjaga terbelalak. Adit balas mencambuk si penjaga, membuat pria itu mengerang kesakitan.Pipi kiri si penjaga mengucurkan darah.Si penjaga yang satunya lagi ikut tercengang. Adit memanfaatkan momen singkat yang dimiliknya ini untuk melepaskan ikatan di kedua kakinya.Kini, dengan kembalinya stamina dan kekuatan fisiknya, rantai-rantai besi itu tak berarti apa pun baginya.Adit lantas maju, menantang kedua penjaga itu terang-terangan."Mampus lu!!!"Si penjaga yang di belakang mengambil pistolnya dan mengarahkannya kepada Adit, menembaknya.Dor!Peluru tersebut mengenai tiang besar tempat Adit tadi diikat. Adit sendiri tiba-tiba menghilang dari hadapannya.Buk!"Akh!"Adit rupanya sudah berdiri di belakang penjaga tersebut. Dan baru saja, dia menghantamkan tangannya ke bahu tengkuk pria itu.Pria itu langsung membungkuk dan muntah darah. Adit menarik kerah kaus pria itu lantas menghantamkan tinjungnya ke
Dua orang berbadan besar itu membawa Adit ke gudang, sebuah bangunan terpisah di belakang vila.Mereka mengikat tangan Adit ke belakang dengan tali. Salah satu dari mereka berjalan di depan sedangkan yang satunya lagi di belakang, menodongkan pistol tepat ke punggung Adit.“Masuk sana!”Si penjaga di belakang Adit itu mendorongnya dengan cara menendangnya.Adit memasuki gudang dan terhuyung-huyung. Saat dia menegakkan tubuhnya, si penjaga yang memasuki gudang lebih dulu langsung menghantamkan bogem mentah ke pipinya.Bugh!Adit sedikit oleh ke kanan. Darah keluar dari ujung bibirnya.“Gua nggak tahu lu siapa, tapi lu benar-benar nekat masuk ke vila ini tanpa izin. Lu tahu Tuan Lukas itu siapa? Dia miliarder terkenal di kota ini. Di kawasan ini aja dia punya puluhan vila mewah. Nggak ada yang berani macam-macam sama dia!” tutur si penjaga yang baru saja menonjok Adit.Adit menatapnya perlahan. Sorot matanya tajam. Ada nyala api di sana.“Apa maksud lu lihat gua kayak gitu! Berani lu na
Lukas benar-benar terkejut dengan kemunculan pria yang tak dikenalnya itu.Tak lain dan tak bukan, dia adalah Adit.Sadar kalau Adit punya niat buruk terhadapnya, Lukas melirik ke laci lemari tempat dia menyimpan pistol.Adit membaca dengan baik gerakan mata Lukas, sehingga saat Lukas berlari, dia pun berlari.Brughh!Adit menerjang Lukas, menangkap tubuhnya. Dia berhasil menggagalkan upaya Lukas membuka laci lemari.Kini dia menindih Lukas dan mendudukinya di perutnya, lantas dia hantamkan tinjunya ke wajah Lukas.Bugh!“Arghh….”Bugh! Bugh!“Arghhh…”Tadi setelah masuk ke kamar ini, Adit sempat melirik ke arah kasur dan mendapati Brenda terbaring menelentang dengan kancing-kancing kemeja terbuka.Adit bisa menebak apa niat busuk Lukas terhadap Brenda, dan kini dia tak bisa menahan diri untuk tak menghajar pria ini.Dia terus menghantamkan bogem mentahnya ke wajah Lukas, lagi dan lagi, hingga muka sang miliarder itu babak belur.Adit memang tak tahu siapa Lukas, dan itulah salah satu
Brenda benar-benar sakit kepala. Sulit sekali baginya untuk tetap membuka matanya. Suhu tubuhnya terus meninggi. "Ayo, kutemani ke toilet. Kamu seperti orang yang mau muntah," ucap Lukas, membantu Brenda berdiri. Brenda merasa aneh. Baru juga dia duduk, sekarang dia berdiri lagi. Dan memang benar yang dikatakan Lukas, dia merasa mual. 'Mungkin memang sebaiknya aku ke toilet saja,' pikirnya. Brenda pun berdiri. Dia biarkan Lukas menggiringnya. Dia tak sedikit pun berpikir kalau Lukas akan membawanya ke tempat lain. Sakit kepala yang menyerangnya terlalu kuat untuk bisa ditahannya sampai-sampai dia tak bisa berpikir jernih. "Duduklah sebentar."Brenda tak sadar kalau saat ini dia berada di dekat pintu masuk kedai. Pengelihatannya berbayang. Samar-samar dia dengar Lukas bicara soal membayar tagihan.Dan ketika Lukas kembali dan membantunya berdiri lagi, kesadarannya semakin menipis. Dia nurut-nurut saja saat Lukas membawanya keluar. Tahu-tahu, dia telah berada di mobil Lukas. B
Adit terdiam sesaat.Bonus fitur instan? Apa maksudnya ini?"Adit, kamu tak apa-apa?" tanya Brenda, mencoba membantu Adit berdiri.Sadar kalau orang-orang di sedan baru itu baru saja keluar turun dari mobil, Adit memaksakan diri untuk berdiri."Ayo!" ucapnya, mengajak Brenda untuk lanjut berlari.Susah-payah Adit berlari sambil menahan sakit dan nyeri di luka tembak ya.Di hadapannya, layar hologram itu masih ada.Meski tak benar-benar mengerti bonus fitur instan ini apa, Adit memutuskan untuk menerimanya.[Klik!]Tampilan di layar hologram itu berganti. Kini yang muncul adalah sebuah tabung bar horizontal yang menandakan kalau fitur instan itu sedang dipasangkan.[Ting!][Fitur instan berupa kecepatan super sudah bisa digunakan.][Batas waktu penggunaan: lima menit.]Langkah Adit terhenti. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa hangat, juga ringan."Adit?" Brenda lagi-lagi menatap Adit khawatir.Adit mengangkat tangannya ke atas, mengayunkan kaki kanannya ke depan dan ke belakang.Tubuhnya b