“Justru karena itu aku harus hadir di pesta ultahnya Nenek Fiona besok, Ma. Kali ini aku akan membungkam mulut mereka semua,” kata Adit.“Hah?!” Hanya itu yang dikatakan Julia. Dia memelototi Adit dan tampak ingin sekali memuntahkan cacian teramat kejam kepada menantunya ini.“Diana, suamimu sudah gila! Kamu urus dia! Mama capek!” gerutunya kemudian, meninggalkan Adit dan Diana, menaiki anak-anak tangga ke lantai dua.Diana mengamati Julia sampai ibunya itu menghilang dari pandangannya. Barulah dia menatap Adit lagi. Matanya terlihat lelah.“Adit, kenapa kamu selalu saja berulah? Tidak bisakah kamu biarkan aku dan Mama menjalani hari-hari kami dengan tenang? Jujur, aku juga capek, Adit. Malam ini aku ingin bisa tidur dengan lelap,” kata Diana.Adit bisa memahami keresahan Diana, tapi dia sedikt sakit hati dengan kata-kata istrinya itu.Kesannya, Adit selalu saja membuat masalah dan menyulitkan mereka. Bagaimana dengan momen-momen di mana dia membantu mereka dan atau menyelamatkan mere
Kemunculan Adit mengejutkan orang-orang di ballroom. Mata Julia membulat. Ingin sekali rasanya dia menampar menantunya itu berkali-kali.“Wah, lihat siapa yang datang. Semuanya, mari kita sambut badut pesta kita: Adit Winarta!” kata Christi setelah hening beberapa saat. Dia bertepuk tangan sambil tersenyum menghina.Tentu saja, Adit tahu betul niat busuk Christi. Dia menutup pintu ballroom dan berjalan ke arah Diana dan Julia berada. Orang-orang di pesta memandanginya dengan tatapan mencemooh.Ketika Adit tinggal beberapa meter saja dari Diana dan Julia, Jonathan tiba-tiba mengadangnya.“Kau masih berani muncul di pesta ini, ya? Aku tak tahu apakah aku harus kagum atau kasihan. Aku juga tak tahu apakah kau memang orangnya punya nyali atau tak punya malu,” kata Jonathan, tersenyum miring.“Minggirlah, Om. Aku datang ke sini karena Diana ada di sini. Aku membawakan hadiah dari kami untuk Nenek Fiona,” balas Adit, menunjukkan kotak persegi panjang berwarna hitam yang dia bawa.Cara Adit
"Apa? Kalung berlian?"Christi mendekat ke Nenek Fiona untuk melihat isi kotak hitam persegi panjang itu. Dan benar, saja yang ada di situ memang sebuah kalung berlian.Saking indahnya berlian pada kalung itu, mata Christi sampai silau. Nenek Fiona pun terkesima. Dia mematung dengan mulut terbuka untuk beberapa lama."Ini... benar-benar kalung berlian, kan? Si sampah itu menghadiahkan ini padaku?" gumam Nenek Fiona.Diangkatnya kalung itu ke depan wajahnya. Seketika itu juga kilau berlian di mata kalung itu menyilaukan mata orang-orang yang melihatnya.Itu memang sebuah pemandangan yang luar biasa. Dan itu wajar. Harga kalung itu senilai 2 triliun rupiah!"Julia, Diana, dari mana Adit mendapatkan kalung berlian ini?" tanya Hardi, menatap Julia dan Diana penuh selidik.Julia dan Diana saling menatap. Mereka pun sama bingungnya dengan Nenek Fiona dan yang lainnya. Adit tak pernah bilang kepada mereka kalau hadiah yang dimaksudnya itu adalah kalung berlian."Entahlah. Aku tak tahu, Har
Adit mendadak diserang rasa haus yang gila. Dia tuangkan sisa minuman di botolnya dan menenggaknya hingga habis."Sepertinya suasana hatimu sedang buruk. Mau cerita? Aku akan menyimaknya dengan sabar," kata wanita di samping kiri Adit itu.Wanita itu memesan minuman kepada si bartender. Sementara si bartender membuatkan minumannya, dia kembali menatap Adit. Senyum di wajahnya itu penuh arti."Kamu orang yang kemarin membantuku membeli rumah itu, kan?" tanya Adit.Adit menjaga agar matanya tak terarah ke si wanita. Pasalnya dia kesulitan untuk tak menatap belahan dada si wanita."Ya, betul. Serratus untukmu," kata si wanita.Si bartender menyodorkan minuman pesanannya. Wanita itu pun meminumnya, sedikit saja."Karena saat ini aku tak sedang bekerja, dan kita berada di bar, kamu tidak keberatan kan kalau aku bersikap santai seperti ini? Maksudmu, di sini kita sama-sama pelanggan bar, bukan lagi sales dan klien," kata wanita itu.Adit mengangguk. "Tak masalah," ucapnya.Adit hendak mengi
“Apa yang terjadi? Di mana aku sekarang?” tanya Adit.Dia hendak melepas selimut dan beranjak dari kasur, tapi dia teringat kalau dia sedang tak mengenakan apa pun. Dia pun mengurungkan niatnya itu.“Kamu sama sekali tak ingat apa yang kita lakukan semalam?” Jihan balik bertanya.Saat ini Jihan sedang menyelimutkan handuk kecil ke rambutnya. Tampaknya dia baru saja keramas. Ini membuat pikiran Adit semakin liar.“Memangnya… apa yang kita lakukan semalam…?” tanya Adit was-was.Ditatapnya Jihan lekat-lekat. Dia harap tak ada pun yang terjadi di antara dirinya dan Jihan selama dia tak sadar. Tapi, melihat gestur dan sorot mata Jihan, dia justru menduga sesuatu itu benar-benar terjadi.Jihan melangkah ke arah Adit. Setelah langkahnya terhenti, tiba-tiba saja dia membuka handuknya.Tony terbelalak kaget. Sontak dia memalingkan muka, tak ingin melihat tubuh telanjang wanita lain selain istrinya.“Lihat merah-merah di buah dadaku ini. Ada juga bekas gigitan yang tipis. Kau masih mau bilang k
Adit menatap Jihan dengan mata memicing. Dia tak menyangka kalau wanita di hadapannya ini akan berbuat sejauh ini.“Sekarang katakan, opsi mana saja yang kau pilih?” tanya Jihan lagi.Adit tak langsung menjawabnya. Dia memikirkannya dulu, menimbang-nimbang risiko dari tiap-tiap pilihan yang tersedia.Jika dia tetap memilih pilihan keenam, dia khawatir Jihan akan benar-benar berteriak kencang dan bertingkah seolah-olah Adit mencoba memerkosanya.Jihan memang cerdik. Dia memanfaatkan posisinya sebagai wanita yang kerap dianggap lemah oleh masyarakat.Bisa Adit bayangkan bahwa nanti, jika teriakan kencangnya Jihan itu mengundang orang-orang untuk mendobrak pintu kamar ini, Aditlah yang akan menjadi sasaran amuk mereka.Mereka bahkan tak akan repot-repot menanyai Adit apakah tuduhan Jihan itu benar atau tidak.Seperti itulah kemungkinan besarnya. Adit tak mau ambil risiko. Dia terpaksa menarik kembali keputusannya.Dan setelah menimbang-nimbang beberapa detik, Adit akhirnya berkata, “Yang
Adit terdiam sesaat. Yang meneleponnya itu bukan Diana, melainkan Julia. "Apa, Ma? Rumah sakit?" tanya Adit. "Iya, sialan! Diana melukai dirinya dan kehilangan banyak darah. Ini semua gara-gara kamu tak bisa dihubungi semalaman! Bangsat kamu, Adit!!" bentak Julia. Mata Adit membulat. Mulutnya terbuka dan tetap seperti itu beberapa detik. "Mama sudah panggil ambulans?" tanya Adit. "Sudah. Tapi masih belum datang," jawab Julia ketus. "Aku pulang sekarang. Tapi kalau ambulans datang lebih dulu, Mama langsung saja bawa Diana ke rumah sakit. Jangan menungguku."Setelah mengatakannya Adit mengakhiri panggilan. Dia lantas menyetop taksi. Dia harus sesegera mungkin tiba di rumah. ... Di rumah... Julia berkali-kali melirik ke jendela, mengecek apakah Adit sudah datang. Dia kesal kepada menantunya itu. Sebagai suaminya Diana, mestinya Aditlah yang saat ini membawa Diana ke rumah sakit. Entah kenapa juga ambulans itu belum muncul. Dugaan Julia, jalanan sedang ramai dan ambulans itu d
“Iya. Cepat jalan! Nanti kutambah setelah tiba di rumah sakit,” ucap Adit.Mata si sopir taksi membulat. Dia telah berkeliling kota seharian dan belum juga mendapatkan seratus ribu rupiah. Kini, tiba-tiba, penumpangnya ini memberikan tiga ratus ribu dengan mudahnya—juga menjanjikan ratusan ribu rupiah lainnya.Tanpa pikir panjang, si sopir taksi menuruti permintaan Adit.Dia lajukan taksi dengan cepat, tak lagi peduli kalaupun itu bisa membuatnya dikejar polisi dan ditilang.Morgan memasang sabuk pengamannya dan menyandarkan punggungnya.Kepalanya masih berdenyut-denyut. Hukuman dari si sistem canggih rupanya tidak main-main.Setelah beberapa lama, akhirnya mereka bisa melihat ambulans yang dimaksud Adit.“Itu dia ambulansnya! Kejar terus!” pinta Morgan.“Siap, Pak!” jawab si sopir taksi.Dia pun mengganti gigi dan menginjak pedal gas kuat-kuat. Tak lupa kedua tangannya bersiaga di setir, memutarnya ke kanan dan ke kiri saat harus melewati mobil-mobil di depan.Singkat cerita, taksi i