“Apa yang terjadi? Di mana aku sekarang?” tanya Adit.Dia hendak melepas selimut dan beranjak dari kasur, tapi dia teringat kalau dia sedang tak mengenakan apa pun. Dia pun mengurungkan niatnya itu.“Kamu sama sekali tak ingat apa yang kita lakukan semalam?” Jihan balik bertanya.Saat ini Jihan sedang menyelimutkan handuk kecil ke rambutnya. Tampaknya dia baru saja keramas. Ini membuat pikiran Adit semakin liar.“Memangnya… apa yang kita lakukan semalam…?” tanya Adit was-was.Ditatapnya Jihan lekat-lekat. Dia harap tak ada pun yang terjadi di antara dirinya dan Jihan selama dia tak sadar. Tapi, melihat gestur dan sorot mata Jihan, dia justru menduga sesuatu itu benar-benar terjadi.Jihan melangkah ke arah Adit. Setelah langkahnya terhenti, tiba-tiba saja dia membuka handuknya.Tony terbelalak kaget. Sontak dia memalingkan muka, tak ingin melihat tubuh telanjang wanita lain selain istrinya.“Lihat merah-merah di buah dadaku ini. Ada juga bekas gigitan yang tipis. Kau masih mau bilang k
Adit menatap Jihan dengan mata memicing. Dia tak menyangka kalau wanita di hadapannya ini akan berbuat sejauh ini.“Sekarang katakan, opsi mana saja yang kau pilih?” tanya Jihan lagi.Adit tak langsung menjawabnya. Dia memikirkannya dulu, menimbang-nimbang risiko dari tiap-tiap pilihan yang tersedia.Jika dia tetap memilih pilihan keenam, dia khawatir Jihan akan benar-benar berteriak kencang dan bertingkah seolah-olah Adit mencoba memerkosanya.Jihan memang cerdik. Dia memanfaatkan posisinya sebagai wanita yang kerap dianggap lemah oleh masyarakat.Bisa Adit bayangkan bahwa nanti, jika teriakan kencangnya Jihan itu mengundang orang-orang untuk mendobrak pintu kamar ini, Aditlah yang akan menjadi sasaran amuk mereka.Mereka bahkan tak akan repot-repot menanyai Adit apakah tuduhan Jihan itu benar atau tidak.Seperti itulah kemungkinan besarnya. Adit tak mau ambil risiko. Dia terpaksa menarik kembali keputusannya.Dan setelah menimbang-nimbang beberapa detik, Adit akhirnya berkata, “Yang
Adit terdiam sesaat. Yang meneleponnya itu bukan Diana, melainkan Julia. "Apa, Ma? Rumah sakit?" tanya Adit. "Iya, sialan! Diana melukai dirinya dan kehilangan banyak darah. Ini semua gara-gara kamu tak bisa dihubungi semalaman! Bangsat kamu, Adit!!" bentak Julia. Mata Adit membulat. Mulutnya terbuka dan tetap seperti itu beberapa detik. "Mama sudah panggil ambulans?" tanya Adit. "Sudah. Tapi masih belum datang," jawab Julia ketus. "Aku pulang sekarang. Tapi kalau ambulans datang lebih dulu, Mama langsung saja bawa Diana ke rumah sakit. Jangan menungguku."Setelah mengatakannya Adit mengakhiri panggilan. Dia lantas menyetop taksi. Dia harus sesegera mungkin tiba di rumah. ... Di rumah... Julia berkali-kali melirik ke jendela, mengecek apakah Adit sudah datang. Dia kesal kepada menantunya itu. Sebagai suaminya Diana, mestinya Aditlah yang saat ini membawa Diana ke rumah sakit. Entah kenapa juga ambulans itu belum muncul. Dugaan Julia, jalanan sedang ramai dan ambulans itu d
“Iya. Cepat jalan! Nanti kutambah setelah tiba di rumah sakit,” ucap Adit.Mata si sopir taksi membulat. Dia telah berkeliling kota seharian dan belum juga mendapatkan seratus ribu rupiah. Kini, tiba-tiba, penumpangnya ini memberikan tiga ratus ribu dengan mudahnya—juga menjanjikan ratusan ribu rupiah lainnya.Tanpa pikir panjang, si sopir taksi menuruti permintaan Adit.Dia lajukan taksi dengan cepat, tak lagi peduli kalaupun itu bisa membuatnya dikejar polisi dan ditilang.Morgan memasang sabuk pengamannya dan menyandarkan punggungnya.Kepalanya masih berdenyut-denyut. Hukuman dari si sistem canggih rupanya tidak main-main.Setelah beberapa lama, akhirnya mereka bisa melihat ambulans yang dimaksud Adit.“Itu dia ambulansnya! Kejar terus!” pinta Morgan.“Siap, Pak!” jawab si sopir taksi.Dia pun mengganti gigi dan menginjak pedal gas kuat-kuat. Tak lupa kedua tangannya bersiaga di setir, memutarnya ke kanan dan ke kiri saat harus melewati mobil-mobil di depan.Singkat cerita, taksi i
Adit dan Julia saling menatap satu sama lain.Yang ingin mereka dengar adalah kabar baik. Mereka tidak siap mendengar kabar buruk."Kabar baiknya dulu saja, Dok," kata Adit sambil menatap si dokter.Si dokter mengangguk. Dia masukkan kedua tangannya ke saku jaket labnya."Kabar baiknya, nyawa pasien terselamatkan dan kondisinya stabil. Saat ini pasien masih menjalani transfusi darah untuk mengganti darahnya yang hilang," kata si dokter.Julia menghela napas lega sambil mengelus dada.Adit juga menghela napas lega, meski tak mengelus dada."Kabar buruknya..."Raut muka Julia dan Adit langsung menegang. Mata mereka terfokus pada gerakan bibir si dokter."... pasien tampaknya terjebak di alam bawah sadarnya. Meski kondisi fisiknya akan terus membaik seiring menerima perawatan di sini, tidak ada jaminan pasien akan bangun cepat-cepat."Adit dan Julia menatap si dokter bingung. "Maksudnya bagaimana, Dok? Putri saya tak akan bangun cepat-cepat?" tanya Julia."Iya, Bu. Pasien mungkin mengal
Adit menatap pria di sedan biru itu sambil mengerutkan kening.Apa maksudnya ini? Bukankah jelas-jelas sedan biru itu yang menabrak mobil yang sedang dikemudikannya itu.“Jangan asal ngomong! Kalaupun ada yang harus membayar ganti rugi, itu jelas-jelas kalian!” ucap Adit lantang.“Kurang ajar! Berani menantangku kamu, ya!” kata pria itu.Pria itu menunduk dan mengambil sesuatu dari laci dasbor. Sekilas Adit bisa melihat pengemudi sedan biru itu. Seorang wanita berambut panjang.Sekejap kemudian, mata Adit membulat. Pria yang tadi memintanya menepi itu kini memegang pistol di tangan kirinya.“Mampus kamu!” teriak pria itu, mengarahkan pistolnya ke Adit.Adit cepat-cepat mengganti gigi dan menginjak pedal gas kuat-kuat. Mobil pun melaju kencang tepat ketika pria di sedan biru itu melepaskan tembakan.Dor!“Adit, apa yang barusan itu?!” tanya Brenda lagi.Duduk di kursi penumpan, dengan kaca jendela tertutup, dia tak melihat apa yang tadi dilihat Adit.“Orang gila di sedan biru itu menem
Adit terdiam sesaat.Bonus fitur instan? Apa maksudnya ini?"Adit, kamu tak apa-apa?" tanya Brenda, mencoba membantu Adit berdiri.Sadar kalau orang-orang di sedan baru itu baru saja keluar turun dari mobil, Adit memaksakan diri untuk berdiri."Ayo!" ucapnya, mengajak Brenda untuk lanjut berlari.Susah-payah Adit berlari sambil menahan sakit dan nyeri di luka tembak ya.Di hadapannya, layar hologram itu masih ada.Meski tak benar-benar mengerti bonus fitur instan ini apa, Adit memutuskan untuk menerimanya.[Klik!]Tampilan di layar hologram itu berganti. Kini yang muncul adalah sebuah tabung bar horizontal yang menandakan kalau fitur instan itu sedang dipasangkan.[Ting!][Fitur instan berupa kecepatan super sudah bisa digunakan.][Batas waktu penggunaan: lima menit.]Langkah Adit terhenti. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa hangat, juga ringan."Adit?" Brenda lagi-lagi menatap Adit khawatir.Adit mengangkat tangannya ke atas, mengayunkan kaki kanannya ke depan dan ke belakang.Tubuhnya b
Brenda benar-benar sakit kepala. Sulit sekali baginya untuk tetap membuka matanya. Suhu tubuhnya terus meninggi. "Ayo, kutemani ke toilet. Kamu seperti orang yang mau muntah," ucap Lukas, membantu Brenda berdiri. Brenda merasa aneh. Baru juga dia duduk, sekarang dia berdiri lagi. Dan memang benar yang dikatakan Lukas, dia merasa mual. 'Mungkin memang sebaiknya aku ke toilet saja,' pikirnya. Brenda pun berdiri. Dia biarkan Lukas menggiringnya. Dia tak sedikit pun berpikir kalau Lukas akan membawanya ke tempat lain. Sakit kepala yang menyerangnya terlalu kuat untuk bisa ditahannya sampai-sampai dia tak bisa berpikir jernih. "Duduklah sebentar."Brenda tak sadar kalau saat ini dia berada di dekat pintu masuk kedai. Pengelihatannya berbayang. Samar-samar dia dengar Lukas bicara soal membayar tagihan.Dan ketika Lukas kembali dan membantunya berdiri lagi, kesadarannya semakin menipis. Dia nurut-nurut saja saat Lukas membawanya keluar. Tahu-tahu, dia telah berada di mobil Lukas. B