Hari ke-6"Aku sudah pergi ke sana hari ini. Dan.. mengintai sepanjang hari. Tapi.. Ranti tidak ada di sana. Apa mungkin kau salah?" tanya Haris 1992."Tidak. Kejadiannya memang di sana. Coba kau datang lagi esok hari.""Tidak bisa. Besok aku ada rapat dengan pemegang saham.""Hei, itu tidak penting. Kau harus selamatkan Ranti! Sebelum, semuanya terlambat!""Kalau kau benar diriku.. pasti kau tahu, alasan sebenarnya aku tidak bisa menghindari rapat itu.""Ya. Takut pada Ayah.""Jadi, maaf. Aku.. tidak bisa.""Hei.. ayolah.. ini yang terakhir.""Maaf."Telepon terputus.**D-DayPukul 07.00 pagi. Haris 1992 baru saja mengenakan kemeja putih. Jas abu-abu sebagai pelengkapnya."Ada telepon untukmu," kata Sekar. Masuk ke dalam kamar."Sambungkan ke kamar.""Baiklah."Sekar keluar dari kamar."Kau harus ke sana, malam ini!" ucap Haris 2024, begitu Haris 1992 mengangkat telepon."Sudah aku katakan, aku tidak bisa. Hari ini, ada rapat penting.""Kejadiannya malam hari. Kau datang saja ke san
"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang."Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya."Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!""Itu sebuah kesalahan, Amanda!"Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?""Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."Bobby membalik badan, berniat untuk pergi."Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?""Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.Amanda kembali mendengus."Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!""Lalu, apa yang harus aku lakukan?!""Kenapa kau tanyakan itu padaku?!""Kau.. ingin aku bertanggung j
Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela
Diara kembali ke studio dengan wajah lesu. Mendesah singkat, sepanjang kakinya melangkah. Sementara, di dalam studio—para anggotanya sudah menunggu dengan cemas. Selly, yang berjalan mondar-mandir. Randy, yang menggigit kuku jari. Sisanya, duduk saling berdampingan. Dengan perasaan gelisah, tentunya.Melihat Diara masuk ke dalam studio—Selly dan Randy segera berlari kecil, ke arah Diara. Yang lain, berdiri."Bagaimana, Ra? Apa jawaban Tuan Darel?" tanya Selly.Diara mendesah pasrah. Selly dan Randy saling bertatapan."Jadi, dia sungguh ingin mencabut sponsor dari kita, Ra?" kini Randy, yang bertanya.Diara mengangguk. Desahan singkat terdengar bersahutan."Apa alasannya?" tanya Selly."Kita berkumpul dulu di panggung."Para anggota duduk, bersilang kaki di lantai kayu. Pun, dengan Diara."Tuan Darel—adalah kakak kandung dari Mila."Para anggota terkesiap. Saling berbisik satu sama lain."Mila—anggota teater kita? Mila, yang selingkuh dengan Hara? Benar dia?" tanya Selly, dengan nada t
Hara mengikuti Diara hingga ke apartemennya."Diara.. Diara.. kita harus bicara." Hara terengah-engah, mengejar Diara. Memblokir langkahnya."Aku tidak ingin bicara denganmu. Minggir.""Tidak. Aku ingin bicara denganmu.""Apalagi yang ingin kau bicarakan? Semuanya sudah jelas, kan?!""Dengar, Diara.. Semuanya hanya salah paham. Aku tak bermaksud untuk tidur dengan Mila. Sungguh."Diara mendengus. "Jadi, kau mengakui, kan? Kau tidur dengannya."Hara tertegun. Tahu betul, jika dirinya salah berucap. Dia mencakar rambutnya. Mendesah kesal."Itu.. hanya sebuah kesalahan, Diara.""Oh, tentu saja itu sebuah kesalahan. Karena, kau sudah menjadi suamiku, Hara. Dan, kau menjadi penghancur kelompok teater kita. Karena mu juga! Aku harus berlutut di depan perempuan brengsek itu!"Hara memejamkan mata singkat. "Diara.. apa yang harus aku lakukan? Agar, kau memaafkan ku, huh?""Tidak ada.""Jadi, kau memaafkan ku?""Tidak. Aku ingin meninggalkanku."Hara mengernyit. "Apa? Apa yang kau maksud denga
Diara segera mematikan telepon. Berlari masuk ke dalam apartemennya. Pergi ke kamarnya. Di ikuti oleh Hara."Jadi—itu tadi bukan mimpi?" gumamnya, sembari menatap TV-nya, yang masih menyala. Sedang memutar iklan.Hara yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang—mulai kesal. Mengernyitkan dahi "Bisa kau jelaskan? Ada apa denganmu?" Diara menatap Hara dengan sorot mata bingung."Kau tak akan percaya, jika aku bercerita.""Dan, aku tak akan pernah tahu—aku percaya atau tidak. Jika, tak kau ceritakan.""Mari kita duduk dulu," ajak Hara.Keduanya pun duduk di sofa, di ruang tengah. Saling berdampingan. Diara segera menceritakan, apa yang di alami barusan. Hara tertegun. Dengan desahan panjang. Diara meliriknya."Lihat, kan? Kau tidak akan percaya.""Mmm.. Well, Mmm.. Memang, sulit untuk di percaya." Hara mengatakan itu, sembari berpikir. "Jadi, Randy yang akan di bunuh? Karena itu, kau meneleponnya tadi."Diara mengangguk. Sambil mendesah singkat. Menundukkan kepala. Hara berge
Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2024. "Sayang.. kau baik-baik saja?"Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik. "Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?"Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?"Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja.""Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja.""Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik.Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali."Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara."Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja.""Kau, sungguh aneh sore ini."Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi. "Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya."Tidak."Seket
Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.Beri nama dia Diara.Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu.Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia..."Kau—adalah Ayahku?"Kernyitan nampak di dahi Diara.Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak."Kau, salah makan hari ini. Ap