Langkah Ranjani menghentak tanah berbatu ketika ia kembali ke arah rombongan. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh amarah.
“Jangan percaya pada sikap baiknya!” kata Ranjani, tajam. “Pangeran Rajendra masih sama. Semua ini hanya sandiwara belaka!” Kirana mengangkat alisnya seraya bertanya, “Apa maksudmu, Ranjani?” Ranjani menunjuk ke arah Rajendra yang sedang berbicara dengan Baron. Lalu dia berkata, “Dia hendak menukarkan salah satu dari kita kepada preman itu demi mendapatkan tempat menginap.” Wajah Kirana langsung memucat setelah mendengarnya. “Tidak mungkin…” gumam Kirana. “Tidak mungkin? Kamu terlalu polos, Kirana. Apa kamu lupa apa yang telah dilakukan olehnya kepada kakak pertama dan adik terakhir?” Ranjani bicara dengan kesal. Kirana terdiam. Seketika, wanita itu menutupi wajahnya, isak tangis yang membuat hati nyeri pun terdengar. Suasana semakin panas. Surapati menatap Rajendra yang kini sudah berada di sana. Dia khawatir dengan tindakan yang akan dilakukan oleh sang pangeran. Rajendra terdiam. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Ranjani dan hal itu membuatnya menerka-nerka seberapa jahat Rajendra yang dulu. Kirana menarik napas dalam. Lalu dia berkata, “Kita tak bisa pergi begitu saja. Kita ini istri sah Pangeran Rajendra. Jika kita tinggalkan dia tanpa izin resmi dari istana, maka kita dianggap pengkhianat dan kita bisa dihukum mati.” “Aku lebih baik mati daripada dijual seperti barang murahan oleh pria yang mengaku suamiku!” ucap Ranjani dengan tegas. Amarah, kecewa dan rasa muak, telah menyelimuti diri Ranjani. “Yang Mulia Putri Ranjani, jaga ucapan Anda!” seru Surapati dengan tegas. Dia takut pangeran Rajendra murka. Namun Ranjani tak gentar. “Aku muak! Jangan bicara padaku seolah Paman lebih tahu!” “Cukup.” Suara Rajendra memotong. Surapati diam. Rajendra melangkah ke tengah rombongan. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya ketegasan. “Aku tidak pernah bernegosiasi dengan preman itu,” kata Rajendra. “dia yang meminta salah satu dari kalian. Dan aku tidak akan pernah menyerahkan kalian, bahkan jika harus tidur di jalanan sekalipun.” Kirana menunduk dengan napas lega. Namun Ranjani, dia tidak percaya dengan kata-kata itu. “Tentu saja kamu akan berkata begitu sekarang, setelah semua mendengarnya,” kata Ranjani. Sebelum Rajendra bisa menjawab, Baron muncul sambil mengunyah daging kering. Ia menyeringai lebar. Baron menatap para wanita itu dengan mata licik lalu mengangkat bahu. “Rajendra sudah setuju, kalian tahu? Dia bilang, dia akan menyerahkan salah satu dari wanita ini untukku. Aku tinggal pilih saja, katanya,” ucap Baron sambil berjalan mendekat. Suara Baron meledak seperti petir di siang bolong. Wajah Ranjani langsung berubah dingin. “Benar, kan?” kata Ranjani, getir. “Dia tidak berubah. Tidak akan pernah.” Ranjani menarik napas dalam-dalam. “Selama satu hari ini kita tertipu dengan sikap manisnya.” Kirana memejamkan mata seraya menggigit bibirnya. Hati wanita itu dipenuhi keraguan dan juga luka. Tidak ada yang lebih buruk dibandingkan dengan dijual oleh suami sendiri. “Cukup!” Rajendra melangkah maju, matanya berkilat. “jangan fitnah aku, Baron!” Baron tertawa, “Fitnah? Hahaha! Aku hanya bilang apa yang terjadi!” “Mulutmu busuk, seperti jiwamu!” desis Rajendra. Baron melipat tangan di dada. “Kalau begitu, kita selesaikan seperti pria. Duel satu lawan satu.” Belum sempat Rajendra menjawab, Tama, pengawal muda yang selalu setia di sisinya, maju dan mengepalkan tangan. “Biar aku saja, Yang Mulia! Aku akan melawan dia untukmu!” ucap Tama. Tama tahu, Pangeran Rajendra tidak bisa berkelahi. Dia tidak pernah mendapatkan pelajaran ilmu beladiri selama ini. Jadi, tidak mungkin membiarkan pangeran Rajendra berduel satu lawan satu dengan seorang preman seperti Baron. Baron terbahak. “Yang Mulia? Pfft! Dia ini Pangeran? Tidak pantas sama sekali. Bahkan tak punya uang untuk menyuap seekor anjing!” Rajendra menatap Tama. “Tidak. Ini bukan urusanmu.” Surapati hendak maju, tapi Rajendra menahannya. “Tidak ada yang bergerak. Biarkan aku yang melawannya.” Baron melangkah ke tengah tanah lapang. “Ayo, Tuan Pangeran. Tunjukkan kalau kau punya nyali.” Pertarungan dimulai. Baron menyerang dengan brutal, mengandalkan kekuatan besar dan gerakan liar. Tapi Rajendra menghindar dengan cekatan. Ia membaca setiap gerakan lawannya seperti buku terbuka. Sekali pukulan telak mendarat di perut Baron. Lalu satu tendangan keras menghantam lututnya. Baron ambruk dalam waktu kurang dari satu menit. Semua orang ternganga. “Tidak mungkin…” bisik Kirana. “Pangeran tidak pernah bisa bela diri. Kenapa dia bisa begitu hebat?” Surapati tersenyum tipis. “Bakat memang menurun dari leluhur. Aku seperti melihat kakeknya Pangeran yang telah moksa.” Sebagai mantan pelatih bela diri modern, Rajendra memang punya kemampuan tinggi. Dan sekarang, ia tak segan memanfaatkannya. Rajendra mendekat ke arah Baron yang masih tergeletak. “Katakan yang sebenarnya. Sekarang.” Baron mengerang kesakitan. “Baik, baik, aku bohong! Dia tidak pernah menawarkan wanita-wanita itu. Aku hanya ingin mempermalukannya. Ampuni aku.” Rajendra menatap kedua istrinya. “Kalian dengar sendiri. Aku tidak akan menjual kalian. Aku mungkin banyak kekurangan, tapi aku tidak sekeji itu.” Kirana menunduk, penuh rasa bersalah. Bahkan dia mulai menitikkan air matanya. “Maafkan kami, Yang Mulia,” ucap Kirana dengan pelan. “kami sempat meragukanmu.” Tapi Ranjani masih berdiri dengan ekspresi keras. Ia memalingkan wajah. “Aku belum percaya. Mungkin ini hanya bagian dari permainan berikutnya.” Rajendra tak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memberi perintah singkat. “Kita istirahat malam ini di rumah itu.” Rumah kayu yang jadi tempat istirahat mereka ternyata kecil. Hanya ada satu kamar dan satu ruangan besar di tengah. Kirana melirik Rajendra. “Apakah ini berarti, kita semua akan tidur bersama?” “Kamu saja yang tidur di dalam bersama dengannya. Aku akan tidur di luar,” kata Ranjani. “Tidak boleh Ranjani. Kamu seorang wanita dan istri Pangeran. Mana mungkin kamu tidur di luar. Tetap tidur di dalam,” kata Kirana melarang. “Itu benar. Kamu tidur di dalam saja. Aku yang akan tidur di luar,” kata Rajendra. Namun kemudian Surapati angkat bicara. “Yang Mulia tidak boleh tidur di lantai. Jangan mencoreng leluhurmu.” Akhirnya, Rajendra pasrah dan tidur di kamar sempit itu. Ia duduk bersandar di dinding, matanya memejam, mencoba tidur. Namun keheningan malah membuat pikirannya melayang. Aroma harum yang lembut tercium dari kanan dan kiri. Wewangian kerajaan yang tahan lama meski terkena peluh, dipakai oleh para istri. Hal ini membuat Rajendra menelan ludah. Rajendra membuka mata sedikit. Ranjani di sebelah kiri tertidur dengan damai. Sementara di sebelah kanan, ada Kirana. Bajunya agak terbuka karena kebesaran, memperlihatkan belahan dada yang menggoda. Kulitnya lembut seperti porselen, napasnya halus. “Ya Tuhan…” gumam Rajendra. “Ini ujian macam apa?”Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita. Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung. Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang. Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu. Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat? Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang. Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya? Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua g
Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama. Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut se
Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”Semuanya setuju.Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur j
"Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men
Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj
Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka
Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau
Nada lembut itu menusuk langsung ke dalam jantung Rajendra. Suara Kirana terasa seperti bisikan angin musim semi yang menyentuh kulit, terlalu halus dan terlalu manja untuk didengar dalam kamar sempit dengan dua wanita yang bersamanya. “Yang Mulia menginginkan sesuatu malam ini?” tanya Kirana lagi, masih dalam nada rendah yang membuat darah Rajendra mengalir ke tempat-tempat yang tak seharusnya. Rajendra mengalihkan tatapannya. “Tidak. A-aku hanya ingin tidur.” Kirana terdiam sejenak. Lalu ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang. “Maafkan aku, mungkin aku membuat tempat tidur ini jadi terlalu sempit.” “Tidak apa-apa,” balas Rajendra singkat, tanpa menatap istrinya. Rajendra hanya ingin malam itu berlalu cepat. Sebab dia belum siap. Meskipun tubuhnya merespons dengan liar, pikirannya masih terlalu bingung dan dipenuhi ketakutan. Rajendra takut mengecewakan, takut tidak cukup baik, dan takut menjadi lelucon di ranjang. Akhirnya Rajendra berbaring di atas kasur dengan perl
Pria bertubuh besar itu tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di antara pepohonan. “Namaku Sura,” katanya dengan bangga. “Aku tidak pernah kalah dalam pertarungan selama ini. Dan sepanjang jalur Utara menuju pusat kerajaan Angkara, namaku ditakuti.”“Kamu yakin mau melawanku?” tanya Sura.Rajendra menyeringai. Dia menatap Sura tanpa gentar. “Aku tak peduli siapa kamu atau seberapa ditakutinya namamu,” ucap Rajendra dengan penuh percaya diri. “untuk masalah pertarungan, aku juga tidak pernah kalah.”Ranjani yang berdiri di belakang Rajendra terkejut mendengar pernyataan itu. Bayangan tentang Rajendra yang dulu, yang bahkan takut pada ayam jago, terlintas di benaknya.“Yang Mulia, biar aku saja yang menghadapinya,” kata Ranjani dengan cemas. “aku pinjam pedangnya.”Rajendra menatap Ranjani dengan serius. Dia tahu kalau istrinya itu mengkhawatirkannya.“Biarkan aku yang mengurusnya. Kamu menjauh ke belakang sedikit, ya. Jaga jaraknya,” ucap Rajendra dengan lembut.“Hahaha!” Sura te
Suara lirih Rajendra itu rupanya terdengar oleh Jati yang tidur bersandar di lorong menuju dapur. Mata Jati terbuka, refleks berdiri dan mendekat.“Yang Mulia? Apa yang sedang dilakukan?” tanya Jati, penasaran.Rajendra menoleh, masih memegang mangkuk di tangannya. “Sini, lihat ini.”Jati melangkah mendekat. Ia menatap isi mangkuk, lalu mengernyitkan alis. “Ini seperti bubur gandum yang sudah basi.”Rajendra tertawa pelan. Lalu dia berkata, “Memang. Tapi di dalamnya sedang terjadi sesuatu yang luar biasa. Ini fermentasi alami dari gandum yang direndam dan akan menjadi ragi. Bahan untuk membuat roti mengembang dan empuk.”“Ragi?” Jati mengulang dengan nada bingung. “apa itu?”“Nanti kamu akan lihat. Roti berikutnya akan lebih lembut. Tapi butuh waktu ini masih butuh waktu. Kira-kira satu pekan lagi baru bisa digunakan.”Jati mengangguk perlahan, walau wajahnya tetap menunjukkan tanda tanya besar. “Baiklah, Yang Mulia.”Tiba-tiba suara langkah terburu-buru terdengar dari arah dalam ruma
Aroma gosong tipis bercampur hangatnya asap kayu memenuhi udara pagi. Di atas batu pipih yang telah memerah karena panas, adonan roti pipih Rajendra mulai matang.Semua orang berkumpul dalam diam. Mata mereka terpaku pada roti bundar tipis berwarna cokelat muda dengan beberapa titik hitam gosong di sana-sini.Rajendra membalikkan adonan sekali lagi, memastikan setiap sisi matang sempurna. Matanya tajam, penuh fokus, seolah sedang menangani benda pusaka langka.“Yang Mulia,” ucap Ranjani dengan alisnya sedikit mengernyit, “apakah memang harus gosong begini? Ini seperti ayam bakar yang lupa diangkat.”Kirana melirik cepat ke arah Ranjani. Dia khawatir suaminya marah kepada Ranjani karena merasa diremehkan.“Diamlah. Jangan bikin Yang Mulia tersinggung. Ini baru pertama kali dia membuatnya. Kita bisa mencobanya nanti,” bisik Kirana pelan.“Aku hanya bertanya,” sahut Ranjani dengan cepat, nada suaranya tetap tajam meski ditahan.Rajendra tak menanggapi hal itu. Ia tahu ini adalah makanan
“I-itu bukan maksudku...” Suara wanita itu bergetar, matanya menunduk, suara manja yang sebelumnya keluar kini tergantikan nada ketakutan.Suaminya masih berdiri di ambang pintu, tubuh tegapnya menahan cahaya pagi.“Aku tidak genit. Aku hanya bilang, kalau orang yang meminjam seharusnya orang yang butuh. Bukan menyuruh orang lain,” lanjutnya pelan, jemari meremas sudut kain di tangannya.Pria itu terdiam. Tatapannya tak lagi marah, tapi masih menyimpan kekecewaan dan rasa curiga.Setelah beberapa saat, dia menghela napas.“Hati-hati kalau bicara. Orang luar bisa salah paham,” katanya pada akhirnya. Nada suaranya mereda, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang.Anak buah Rajendra yang mendengar hanya berdiri kikuk. Mereka tak tahu harus bicara atau diam.Salah satu anak buah Rajendra mencoba membuka percakapan, “Kalau tidak boleh, kami akan mencari ke rumah lain. Kami tidak ingin merepotkan.”Pria itu menoleh. “Berapa lama kalian butuh alat itu?”“Besok pagi akan kami akan kembalikan,
Nada lembut itu menusuk langsung ke dalam jantung Rajendra. Suara Kirana terasa seperti bisikan angin musim semi yang menyentuh kulit, terlalu halus dan terlalu manja untuk didengar dalam kamar sempit dengan dua wanita yang bersamanya. “Yang Mulia menginginkan sesuatu malam ini?” tanya Kirana lagi, masih dalam nada rendah yang membuat darah Rajendra mengalir ke tempat-tempat yang tak seharusnya. Rajendra mengalihkan tatapannya. “Tidak. A-aku hanya ingin tidur.” Kirana terdiam sejenak. Lalu ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang. “Maafkan aku, mungkin aku membuat tempat tidur ini jadi terlalu sempit.” “Tidak apa-apa,” balas Rajendra singkat, tanpa menatap istrinya. Rajendra hanya ingin malam itu berlalu cepat. Sebab dia belum siap. Meskipun tubuhnya merespons dengan liar, pikirannya masih terlalu bingung dan dipenuhi ketakutan. Rajendra takut mengecewakan, takut tidak cukup baik, dan takut menjadi lelucon di ranjang. Akhirnya Rajendra berbaring di atas kasur dengan perl
Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau
Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka
Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj
"Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men