Adara rasanya ingin segera bisa keluar dan pulang dari restoran ini. Ia begitu tak tahan menyaksikan Sagara akrab dengan perempuan itu. Adara bahkan tak bisa fokus mendengarkan perkataan sang ayah. Barulah beberapa saat kemudian, kedua orang itu hendak berlalu keluar dari restoran tempat Dara dan Yoshi makan siang.Sepulang dari pusat perbelanjaan, Dara langsung masuk ke kamarnya. Meninggalkan tanya dari sang Ibu yang terheran-heran melihat sikap anak gadisnya itu."Dara kenapa lagi, Mas? Kamu marahin dia lagi ya?" Athiva tak bisa membendung kecemasan dan nalurinya sebagai seorang Ibu."Tadi dia melihat bocah laki-laki yang dulu saya usir, Bu." Ucap Yoshi sembari memindahkan belanjaan dari bagasi mobil ke meja di ruang keluarga.Athiva mengekor di belakang Yoshi. Ikut membantu laki-laki paruh baya itu, memindahkan belanjaan karena saking banyaknya. Athiva bahkan menggelengkan kepala, tak mengerti dengan sikap konsumtif suaminya. "Sagara maksud kamu, mas?""Iya. Harusnya kemarin kamu n
Pesawat yang ditumpangi Adara akhirnya lepas landas dari bandar udara internasional Incheon. Gadis itu kembali menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Mematikan handphone, menutup kisahnya dengan Sagara.Seorang perempuan yang duduk di sebelah adara, menepuk pundak gadis itu. Mengulurkan tisu, lantas tersenyum membuat perasaan Adara terasa lebih tenang.Bandar udara internasional incheon adalah rute penerbangan paling populer di Seoul ke bandara Charles the gaulle - Paris. Rata-rata waktu penerbangan ini memakan waktu sekitar 13 jam lebih. Waktu terbilang lama, yang dihabiskan oleh Adara hanya dengan menatap lautan awan yang berganti warna dari cerah ke gelap, dari siang menuju malam. Begitu mudah bagi Tuhan mengubah suatu keadaan seperti layaknya dengan membalikkan kedua telapak tangan. Adara tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Kini hanya bisa menunggu, menunggu lagi, lagi dan lagi sampai Tuhan menjemputnya pulang, entah kembali ke kehidupannya di masa depan sana atau kembali
Pagi-pagi sekali Andre dan Marie, selaku paman dan bibi Adara sudah beraktifitas menyiapkan pakan ternak. Sementara Adara yang saat itu baru bangun tidur, tidak langsung pergi untuk mandi, melainkan menghirup udara segar di pedesaan sekaligus melihat paman dan bibinya yang sibuk bekerja.Beberapa perempuan paruh baya yang berlaku lalang di depan rumah sang paman melemparkan senyum ramah pada gadis yang masih mengenakan piyama bergambar teddy bear itu. Adara membalikkan badan begitu sang bibi memanggilnya dari arah dapur. Menyuruh Adara untuk bergegas menyiapkan persiapan untuk hari pertama di sekolah baru."Sekolahnya di depan sana, Ra. Kemarin waktu dari bandara, seharusnya kamu juga sudah lihat halaman depan sekolah yang akan menjadi tempat kamu menimba ilmu. Tapi paman hanya bisa mengantarkan saat berangkat sekolah saja, tidak apa-apa kan Ra?""Iya nggak apa-apa, paman. Lagipula dekat ini kan arah dari sini ke depan. Dulu Dara malah lebih jauh lagi jalan pulang pergi ke sekolah. Ka
Berat untuk mengatakannya, namun apa boleh buat. ia tidak mungkin menyembunyikan kebenaran sesungguhnya. Hening untuk sesaat, Adrian tahu gadis di depannya ini akan menangis dan berteriak histeris, terlihat dari sudut matanya yang mulai tampak memerah juga berair.Salah.Dugaannya sangatlah melenceng"Kenapa Dokter harus minta maaf. Kata Bunda sesuatu yang kita alami baik ataupun buruk, kita harus tetap menerimanya walaupun menyakitkan. Papah juga bilang kalau bagaimanapun keadaannya, dimana pun mereka berada. Mereka akan tetap selalu ada di samping Vira selamanya. Jadi, Kenapa dokter harus minta maaf? Harusnya Vira yang berterimakasih karena dokter sudah nyelamatin keluarga saya."Gadis cerdas dan setegar Devira, diam-diam menumbuhkan bibit kekaguman pada diri Adrian terhadapnya."Kamu ada kerabat atau saudara dekat di Jakarta?" Tanya Adrian setelah puas memandangi wajah teduh Vira."Keluarga saya sudah tidak ada, Dok. Papah dan Bunda adalah anak tunggal, Jadi tidak ada lagi kerabat
Yakin Lo bakalan bisa benci sama tuh cowok??Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Rianty.Di Kelas Rianty dan Angkasa sempat bertatap sengit. Entah apa yang membuat keduanya tak pernah akur. Terakhir kali mereka mengobrol akrab ialah pada saat kelas X, Sebelum Rianty dengan kenekatannya mengungkapkan perasaan suka pada Angkasa di depan kelas. Di hadapan teman seangkatan juga Kakak kelas. Jelas Angkasa menolak, ia tipikal cowok dingin yang sulit berbaur dengan siswa siswi lain. Baru-baru ini saja, setelah banyaknya perlombaan yang selalu ia menangkan, menjadi juara umum di Sekolah serta diberi jabatan sebagai ketua OSIS. Menjadikan Angkasa, sosok siswa populer dan dikenali oleh semua angkatan Di Sekolah. Meskipun begitu dari sekian banyaknya murid, hanya Vano lah yang menjadi sahabat satu satunya dari mereka masih kelas satu SMP."Sa, Semalam Lo kemana? Kenapa Lo biarin si Naufal menang?" Ucap Aldi, Siswa yang duduk di belakang Angkasa. Berhasil membuat ingatan mengenai kejadian se
Brumm brumm brummKuda mesin beroda dua digas kencang, meraung-raung ditengah gelapnya malam. Si pengendara dengan mengenakan jaket hitam bergambar Petir, mendongak ke arah sampingnya tepat dimana seseorang yang tengah melakukan hal serupa menatapnya dengan kilatan kebencian."Go Angkasa, Go!!!" Ya, Pria berjaket hitam itu adalah Angkasa Alfaendra. Sedangkan pria di sampingnya, Naufal Alexshon adalah musuh terbesarnya."Kalian siap?" Seorang gadis cantik bersiap melayangkan sehelai kain sebagai pertanda balap liar itu Akan segera berlangsung. "One... Two... Three... Go!!"Riuh tepuk tangan mengantarkan Angkasa dan Naufal untuk saling berpacu dengan kuda mesin mereka.Di Tempat lain, sebuah keluarga kecil bersiap untuk pergi menghadiri salah Satu acara ke Restoran di tengah hiruk pikuk kota."Sayang, Udah belum? Cepetan yuk! Keburu malem." Dania, perempuan paruh baya itu setengah berteriak dari teras rumah memanggil anak gadisnya yang masih asik mematut diri di Kamar.Lalu terdengar de
"Ini semua gara-gara Lo, Naufal. Gue nggak akan tinggal diam. kalau aja Lo nggak nantangin balapan konyol itu, semuanya nggak akan kayak gini!" Tangan Angkasa mengepal kuat seiring terdengarnya suara benda-benda berjatuhan di kamar sebelah.Terpaksa ia pun beranjak dari kasur king size nya dan berjalan menuju kamar yang kini ditempati oleh Devira. Di lantai atas ini, hanya dua kamar dan itu hanya kamar Angkasa serta kamar yang Vira tempati sekarang. Kamar Adrian dan Mbok Ratmi terletak di lantai bawah, menyebabkan apapun yang terjadi pada Vira saat ini tidak mereka ketahui sama sekali. Lambat laun pintu kamar terbuka, sesosok gadis sedang meringkuk ketakutan di bawah kasur sambil menahan Isak tangis."Lo nggak apa-apa?" Ucap Angkasa pelan, masih berdiri enggan walau untuk mengusap bahu Devira."Kak Adrian, aku takut kak." Lagi-lagi Angkasa terdiam mematung ketika tanpa diduganya Vira kembali memeluknya.Sebelah tangan Angkasa melepas pelukan Vira. Membuat gadis itu terjatuh tepat di a
Adrian terdiam beberapa saat, kesenduan menghias di wajah pias Vira. Sesuatu yang ada di hatinya bergerak. Dia beranjak dari duduk, menghampiri Devira yang tidak melakukan pergerakan setelah kepergian Angkasa.“Vira," Panggil Adrian lembut, sedang Mbok Ratmi yang menuntun jalan gadis itu diminta menjauh oleh Adrian. “Biar saya aja, Mbok.”Mbok Ratmi mengangguk. “Iya, Den.”Adrian mengambil alih tangan Vira. Gadis itu jadi tahu bagaimana cara memperhatikan karakter antara Angkasa dan Adrian. Adrian yang penuh perhatian berlawanan dengan Angkasa.Dan Angkasa bilang dia adalah benalu.‘Siapa yang menginginkan kehidupan seperti ini?’Jantung Devira rasanya ingin melonjak. Sakit, perkataan Angkasa bagai pisau tajam yang menghunus lalu mematikan dirinya seketika. Ah, apa benar dia benalu? Bagaimana bisa seorang benalu bisa tetap tinggal dan bertahan? Dia adalah parasit yang dibasmi.Adrian mengamati, bibir itu bergetar. Namun, dia tahu Vira adalah gadis tegar.Sejenak Adrian mengepalkan tan