“Oh, jadi begitu alasanmu kenapa bisa masuk Brigade Penyihir?” ucap Alisa.“Ya, begitulah,” jawab Floria sambil kembali menyantap ramennya.“Di satu sisi aku mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu baru. Tapi di sisi lain aku tidak bisa menikmati hal itu, apalagi jika harus berurusan dengan orang Karelia yang tidak berdosa," lanjutnya.“Begitu ya.”Mendengar penjelasan dari temannya itu membuat dirinya kembali merenung.“Sudah delapan tahun kita terpisah dan akhirnya kita bisa bertemu lagi, tapi aku tidak menyangka kalau kau harus mendapatkan pengalaman buruk seperti itu. Flo yang malang,” kata Alisa dalam hati.Keduanya tampak terdiam hening. Tak lama berselang terdengar suara dua orang pria yang tengah berbincang dekat tempat makan mereka. Suaranya yang cukup keras itu bisa dengan mudah terdengar oleh keduanya.“Ah, Sullivan-san, bagaimana kelanjutan bisnismu?”“Ya begitulah, Maruyama. Tidak ada yang terlalu spesial.”Pria Suku Higashi bernama Maruyama itu tampak sedang berbincang den
Petang itu keduanya kembali ke kediaman mereka di sebuah apartemen sederhana. Flo terlihat tengah menghitung sejumlah koin yang ia punya, sementara Alisa hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa kembali merangkum informasi apa yang ia dapatkan tadi siang.Flo yang melihat hal tersebut sudah menduga bahwa gadis itu kembali murung setelah mendengar apa yang terjadi di Karelia. Ia pun menghampirinya.“Ehem ..., kau tidak merangkum lagi, Alisa?”Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia tak mau menjawab. Flo berusaha menghiburnya.“Kau masih memikirkan apa yang terjadi pada Frenska dan yang lainnya 'kan?”Alisa tampak sedikit mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Huh ..., sudah kuduga. Kau terlalu banyak pikiran, Alisa.”Flo duduk di kasur tempat Alisa berbaring. Perempuan itu terlihat mengusap-usap rambut gadis Karelia itu.“Tidak masalah kalau kau memang mengkhawatirkan teman-temanmu. Tapi kau juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Jangan sampai dirimu jatuh sakit karena terlal
Dengan mengendarai Motosicca, Alisa dan Floria bergegas pulang ke Matrotshaven sekitar pukul 9 pagi dari Kaguyashima. Mereka sempat beristirahat sejenak di Trossbourgh dan Salzyburg sebelum melanjutkan perjalanan ke Selenaberg.“Eh, Flo. Ngomong-ngomong kenapa kita harus kembali ke Matrotshaven? Kita 'kan baru sehari bermalam di Kaguyashima?” tanya Alisa.“Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, masalahnya terlalu panjang,” jawab Flo singkat.“Oh, oke.”Mendengar jawaban itu membuat Alisa termenung. Sepertinya dia masih ingin menjelajahi kota itu.Melihat temannya yang murung itu, Floria langsung menghiburnya.“Jangan khawatir. Setelah masalah ini selesai, aku akan kembali mengajakmu berkeliling Vitania. Kita 'kan belum sempat ke ibukota Chekovia 'kan? Nanti kita ke sana,” hibur sang teman.“Baiklah.”Mereka mulai memasuki wilayah hutan pinus di sisi timur Bukit Selenaberg pada sore hari. Itu artinya mereka sudah hampir sampai ke Matrotshaven. Hanya kurang dari 5 kilometer lagi mereka b
Burung-burung berkicau merdu. Langit cukup cerah pada hari ini setelah hujan semalam suntuk kemarin. Hari ini adalah hari yang cocok untuk melakukan aktivitas di luar rumah.Alisa bersama Floria kembali mengendarai Motosicca mereka ke arah selatan melewati pusat Kota Matrotshaven. Namun kali ini bukan untuk berdagang, tetapi untuk bertemu dengan seseorang. Sebenarnya kondisi Flo masih belum pulih pasca pertarungan kemarin, tapi ia memaksakan diri karena hari ini ada orang penting yang harus mereka temui.“Flo, emangnya tidak apa-apa kita berangkat sekarang? Kondisimu masih belum stabil," ujarnya sambil sedikit berteriak karena terhalang suara angin saat berkendara.“Sudah tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah lebih baik kok sekarang,” jawab Flo.Flo mengendarai Motosicca itu dengan kecepatan yang cukup tinggi.“Oh iya, Alisa. Soal yang kemarin itu, kenapa kau bisa membawaku kembali ke rumah? Kau 'kan tidak bisa mengendarai Motosicca?” tanyanya.“Oh itu, kemarin untungnya a
Motosicca yang mereka kendarai sudah pergi sejauh 3 kilometer ke selatan Kota Matrotshaven. Sekarang mereka sudah sampai di sebuah distrik kecil bernama Wilwien. Distrik kecil itu merupakan sebuah kawasan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat setempat.Keduanya berkendara di jalanan yang sepi tersebut. Namun kali ini Alisa yang dibonceng oleh Floria di belakangnya hanya termenung lesu. Ia tak mengobrol dengan temannya itu seperti sebelumnya. Hati kecilnya masih merasakan pilu akibat peristiwa mengerikan yang terjadi pada Distrik Falavece tadi siang. Terlebih lagi dirinya harus kehilangan orang yang ia cintai dan ingin dekat padanya.Tak berselang lama, mereka pun sampai di tempat tujuan mereka, sebuah gubuk kayu kecil berbentuk balok di tengah perkebunan tersebut. Tempat itu terlihat seperti sebuah gudang penyimpanan bersama milik masyarakat desa.“Permisi, kami sudah datang.”Flo membuka pintu kayu itu dan masuk ke dalam bersama Alisa. Ruangan itu sungguh gelap, hampir tak terlihat
Sejarah mencatat, Hamu Kamina wanita selalu dipandang sebelah mata bila dibandingkan dengan Hamu Kamina pria, terlebih dengan kemampuan fisiknya yang di bawah para lelaki. Mereka selalu dianggap remeh dalam mengerjakan berbagai macam hal selain pekerjaan dapur. Namun hal itu seketika berakhir setelah seorang putri dari pengusaha pertambangan sederhana yang akan menjadi Permaisuri Pertama Archipelahia, Amanda Fatir menemukan sebuah mineral ajaib yang mengubah nasib mereka sepanjang sejarah Kamina.Batu Angke namanya, sebuah mineral unik yang mampu memberikan Hamu Kamina wanita kekuatan yang dahsyat. Dengan mengaktifkan sejumlah organ saraf yang tak berfungsi optimal pada tubuh seorang Hamu Kamina wanita, batu itu memberikan kekuatan istimewa kepada para wanita untuk mengendalikan ‘Partikel Gaib’ yang ada di alam dan mengubah wujudnya sesuka hati. Dengan kemampuan spesial tersebut, Hamu Kamina wanita kini berada pada derajat yang jauh lebih baik.Pasca kemunculan batu ajaib ini, para ilm
Diskusi perdamaian yang tengah diusahakan oleh Rikka Gallipolia dan Natsuki Sena dengan Alisa Garbareva dan Floria Fresilca seketika terhenti karena serangan tak terduga dari salah seorang petinggi Brigade Penyihir. Dirinya tampak tak senang dengan adanya pertemuan itu.“Dasar pengkhianat.”“Yah, sudah ketahuan rupanya,” ujar Rikka dengan santainya.“Apa kau tidak sadar dengan apa yang kau lakukan ini sudah keterlaluan? Atau kau sengaja melakukan ini untuk menusuk kami dari belakang?” tanya wanita itu.“Hadeh, mana mungkin aku melakukan hal itu terhadap sesama Suku Vitania? Aku ini juga ingin membela kalian loh,” sanggahnya“Lantas kenapa kau melakukan hal ini? Bersekongkol dengan musuh kita adalah sebuah kejahatan besar,” kata wanita itu.“Musuh? Sepertinya kau masih belum mengerti tentang apa yang terjadi pada kita sebenarnya,” Rikka menyanggahnya lagi.Alisa hanya bisa terdiam mendengar perkataan mereka, khususnya ucapan dari gadis penyihir misterius yang seakan tidak asing baginya
Beberapa tahun yang lalu terjadi sebuah pertarungan mematikan antara dua kelompok gadis penyihir di Aastland, distrik timur ibukota Sentralberg. Pertarungan di malam hari itu melibatkan Brigade Penyihir Garis Depan Vitania dengan gadis penyihir pelindung ibukota. Banyak sekali korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak dalam peristiwa tersebut.Salah satu korban dari pertarungan berdarah itu adalah Charlotte Fatir, putri dari Louis Fatir yang juga merupakan anak keenam dari raja dan ratu pertama Archipelahia, Sazali dan Amanda Fatir. Dirinya tak bisa diselamatkan setelah dibawa oleh ambulans.Hal tersebut sungguh mengejutkan mengingat Charlotte adalah seorang gadis penyihir pengguna elemen jiwa yang sangat kuat. Terdengar sebuah rumor bahwa dia dikalahkan oleh seorang gadis penyihir angin anggota Brigade Penyihir yang ternyata mampu menebas sihir jiwa yang ia lancarkan. Selama beberapa tahun rumor tersebut hanya menjadi buah bibir di kalangan masyarakat saja, sebelum akhirnya pertem
Pembaca yang terhormat, penulis ingin ucapkan banyak-banyak terima kasih karena telah mendukung penulis dengan membaca cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini. Novel ini adalah cerita pertama yang penulis buat, sekaligus cerita pertama yang penulis selesaikan.Banyak sekali hal-hal menarik yang penulis temukan dan pikirkan selama menulis cerita ini, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu bagian dari semesta Kaminaverse yang sedang penulis kembangkan.Iya. Kisah Alisa Garbareva dan Floria Fresilca dalam cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini merupakan bagian kecil dari kisah para Hamu Kamina, umat manusia Planet Kamina yang dengan berbagai suka dukanya mengembangkan peradaban di planet ini.Kaminaverse merupakan sebuah dunia di mana para manusia menjalani kehidupannya yang penuh dengan dinamika, suka duka, pesta, hingga peperangan. Dan mereka akan terus berkembang sejalan dengan zaman dan issue yang juga berkembang di lingkungan masyarakatnya.Akhir kata
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Mel
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berda
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa