Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit.
Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi.
Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu.
Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni.
Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?"
"Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik.
"Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?"
"Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?"
Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata.
Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku."
Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini.
"Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku!" kata Ferdi.
Bingung, Roni hanya bisa menaikkan alisnya sebelah merasa keheranan.
"Sejak kapan bocah ini berubah drastis seperti ini? Tidak seperti biasanya." Roni memperhatikan Ferdi yang sudah masuk.
Sayangnya, ia sama sekali tidak merasa curiga bahwa Ferdi ingin menemui Yulia, orang yang ia cintai.*****
Di dalam rumah sakit, sebuah bangsal khusus, Ferdi terlihat sudah terbaring di sana dengan Yulia yang berada di sampingnya.
Yulia memegang kapas dan berbagai peralatan medis lainnya untuk mengobati luka memar ringan.
"Kau kenapa seperti ini? Siapa yang memukulimu?" tanya Yulia.
"Huft, aku dipukuli karena tidak bisa membayar hutang. Rasanya, sangat tidak berdaya." Sebelumnya Ferdi sempat berbohong dan mengatakan kepada Yulia bahwa dirinya adalah seorang pengusaha. Kemudian, beberapa minggu lalu berbohong lagi bahwa dia sudah jatuh bangkrut.
"Semenjak bangkrut, hidupmu benar-benar sangat menyedihkan. Kenapa kamu tidak beritahu aku saja? Aku akan membantumu, aku akan membayarkan hutangmu," kata Yulia.
"Tidak! Jangan kau lakukan itu. Jika kau meminta uang kepada Ayahmu untuk melunasi hutangku, maka kelak penyamaran ku akan terungkap. Ayahmu akan tahu kalau aku sudah bangkrut dan hanyalah seorang miskin dan pengangguran. Jika sudah seperti itu, Ayahmu mungkin tidak akan merestui hubungan kita lagi. Kau dan aku akan dijauhkan. Apakah kau ingin hal seperti ini terjadi?" tanya Ferdi.
Memang, Yulia memiliki tempat khusus di hati Ferdi. Maka dari itu, dia tak ingin berpisah dari perempuan ini.
"Tapi, mau sampai kapan kamu seperti ini? Apakah kamu tidak merasa lelah dengan hidupmu yang penuh dengan kebohongan ini? Mau sampai kapan kamu terus berbohong agar Ayahku mengira kamu masih orang kaya?" kata Yulia. Ia sepertinya sangat menyayangi dan mengkhawatirkan Ferdi.
"Maaf, aku masih belum rela kehilangan dirimu. Bagiku, kau sudah seperti nyawaku, kau adalah hidupku. Aku tidak akan sanggup jika Ayahmu memisahkan kita."
Ferdi kemudian memegang wajah Yulia yang putih bersih dan mulus.
Yulia adalah seorang anak konglomerat pemilik rumah sakit ini. Entah kenapa, Yulia sangat ingin menjadi dokter. Sehingga akhirnya bekerja sebagai dokter di rumah sakit milik Ayahnya sendiri. Yang jelas, Ferdi tidak berniat menipunya. Saat Yulia ingin membayar hutangnya, Ferdi selalu menolak secara halus.
"Tapi, mau sampai kapan kamu terus seperti ini? Kamu sekarang sudah jatuh miskin, tapi tetap saja berpura-pura kaya. Pengeluaranmu setiap harinya tidak sebanding dengan pemasukanmu."
"Lagian aku tidak masalah kok kalau kamu miskin," kata Yulia lagi.
Ucapan menohok Yulia membuat Ferdi terdiam.
"Mau sampai kapan? Sampai kamu menyelesaikan masa residensimu di rumah sakit ini. Pada saat itulah, aku akan langsung melamarmu. Setelah menikah, terserah jika Ayahmu tahu kebenaran ini pada akhirnya. Jika sudah terlanjur menikah, Ayahmu tidak mungkin tidak merestui hubungan kita lagi."
Seketika, Yulia menunduk. "Maaf, ini semua karena diriku. Kau sudah menunggu selama setahun ini."
Yulia merasa sangat bersalah. Sebelumnya, Ferdi sudah akan melamar Yulia. Namun, ia menolak dan menyuruh Ferdi menunggu sampai Yulia menyelesaikan masa residensi nya di rumah sakit ini.
Ferdi kemudian segera bangkit dari posisi tidur dan langsung memeluk Yulia.
"Tidak masalah, aku akan menunggu sampai masa residensimu selesai."
Keduanya kemudian menghabiskan waktu bersama mengobrol berduaan. Yulia tidak perlu khawatir soal pekerjaannya, lagi pula rumah sakit ini milik Ayahnya. Jadi, Yulia bebas mau melakukan apapun.
'Aku mempunyai janji dengan Jennifer Maghrib nanti. Aku harus pulang sekarang,' kata Ferdi dalam hati.
"Kau kenapa?" tanya Yulia menyadarkan Ferdi dari lamunan.
"Ekhem ... Yulia, rasanya tidak baik aku mengganggu pekerjaanmu. Sepertinya, kamu telah banyak meninggalkan pekerjaan mu demi menemuiku kan?" kata Ferdi.
"Tidak masalah, aku akan segera kembali bekerja setelah ini. Lagi pula, ada lebih banyak dokter lain selain aku. Rumah sakit ini juga adalah milik Ayahku, tidak akan ada yang berani memarahiku di sini."
"Kau benar-benar sangat perhatian kepadaku. Tapi jika seperti ini terus, aku akan merasa tidak enak hati. Mari kita bertemu lain kali."
Yulia kemudian menghela napas. "Aku akan selalu menunggumu, besok jika ada waktu datanglah lagi. Aku akan senang melihat mu."
Ferdi tersenyum. "Terima kasih atas pengobatan gratisnya. Yang paling penting adalah, kau benar-benar sangat membuatku semakin senang sekarang. Hanya dengan melihatmu tersenyum saja sudah bisa membuat aku bahagia."
"Gombal lagi nih? Udah deh, udah nggak mempan."
"Baiklah, aku akan pulang. Kau jagalah dirimu baik-baik. Jangan bekerja terlalu keras."
"Biarkan aku mengantarmu sampai keluar," kata Yulia kemudian.
Ferdi tentu tidak keberatan. Keduanya berjalan beriringan selayaknya pasangan penuh cinta.
Saat keduanya sudah berada di sebuah lorong pertigaan, seorang suster sedang mendorong kursi roda di depan Ferdi dan Yulia.
Kali ini, jantung Ferdi berdetak sangat cepat. Matanya melotot seakan mau melompat keluar. Ia ketar-ketir saat melihat gadis cantik di kursi roda itu.
"Jenifer?"
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
"Akhirnya ... aku akan kencan dengan seorang gadis cantik dan kaya! Hehehe." Ferdinand Sinaga terlihat sangat gembira ketika memikirkan dirinya akan segera berkencan dengan seorang gadis. Suara nada dering telepon membuat Ferdi merasa sangat senang, apalagi saat melihat nama kontaknya. Dia tidak lain adalah Leni Saragi. Seorang CEO di Hotel Merbabu yang terkenal. "Ferdi, kau ada di mana sekarang?" Belum sempat Ferdi menjawab, tiba-tiba ia dikagetkan ketika melihat Leni Saragi ternyata datang bersama dengan temannya. Ferdi terbelalak saat menyaksikannya. Ia seperti sangat mengenal gadis cantik yang ada di samping Leni. "Maaf. Aku mendadak ada urusan. Jadi, aku tidak bisa bertemu denganmu, maafkan aku! Lain kali, aku pasti akan menemuimu." Setelah mengucapkan hal ini, Ferdi segera menggunakan jurus "langkah seribu" miliknya. Barulah, setelah dia menjauh dari restoran, Ferdi buru-buru memegang kedua lututnya dan mengatur napasnya yang terengah-engah. "Buset, siapa yang akan menyan
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te