"Akhirnya ... aku akan kencan dengan seorang gadis cantik dan kaya! Hehehe." Ferdinand Sinaga terlihat sangat gembira ketika memikirkan dirinya akan segera berkencan dengan seorang gadis.
Suara nada dering telepon membuat Ferdi merasa sangat senang, apalagi saat melihat nama kontaknya. Dia tidak lain adalah Leni Saragi. Seorang CEO di Hotel Merbabu yang terkenal.
"Ferdi, kau ada di mana sekarang?"
Belum sempat Ferdi menjawab, tiba-tiba ia dikagetkan ketika melihat Leni Saragi ternyata datang bersama dengan temannya.
Ferdi terbelalak saat menyaksikannya. Ia seperti sangat mengenal gadis cantik yang ada di samping Leni.
"Maaf. Aku mendadak ada urusan. Jadi, aku tidak bisa bertemu denganmu, maafkan aku! Lain kali, aku pasti akan menemuimu." Setelah mengucapkan hal ini, Ferdi segera menggunakan jurus "langkah seribu" miliknya.
Barulah, setelah dia menjauh dari restoran, Ferdi buru-buru memegang kedua lututnya dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Buset, siapa yang akan menyangka Leni akan datang bersama Jennifer? Jika sampai tadi aku ketahuan oleh Jennifer, habislah riwayatku!" gumam Ferdi pada dirinya sendiri.
Jennifer Lawrence, merupakan salah satu pacar Ferdi. Gadis cantik dengan paras yang sangat menawan itu juga merupakan seorang konglomerat yang mempunyai harta berlimpah.
Selain Jennifer dan Leni, Ferdi sebenarnya mempunyai beberapa pacar lagi, yaitu Yulia dan Cinta. Total, Ferdi mempunyai 4 orang pacar dan semuanya adalah seorang konglomerat.
Bermodalkan wajah tampan dan kemampuan merayunya, ia berhasil menaklukkan empat gadis konglomerat dan memacarinya di saat yang bersamaan.
Awalnya, ini menyenangkan. Ferdi seringkali memaanfaatkan beberapa pacarnya untuk mengumpulkan uang demi mimpinya. Tapi, sungguh ironis! Justru, karena hal yang sama, Ferdi hidup penuh ketakutan bila para pacarnya tahu kalau sebenarnya dia adalah seorang playboy.
Tring!!!
Sungguh, sial bagi Ferdi. Leni tidak berhenti meneleponnya.
Ferdi ketar-ketir ketika melihat smartphone miliknya.
"Mampus, gue harus jawab bagaimana ini?" gumam Ferdi yang sama sekali tidak berani mengangkat teleponnya. Dia belum tahu harus bilang apa nantinya.
***Sementara itu, di restoran***
"Sialan, kenapa sih? Kok, nggak diangkat?" kesal Leni. Wajah perempuan itu bahkan mengerut sambil memandang ponselnya.
"Sudahlah kak Leni. Ayo, kita pulang saja! Mungkin, pacar kaka sibuk, kan?" ucap Jennifer.
"Baiklah, biar nanti aku baik-baik memberinya pelajaran," ucap Leni kemudian mengikuti saran adik sepupunya, Jennifer.
Ferdi yang malang. Andai saja dia tahu mengenai hubungan Leni dan Jennifer yang seorang saudara sepupu, Ferdi pasti hanya akan menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka.
Memacari dua orang gadis yang mempunyai hubungan saudara, tentu sangatlah beresiko. Kemungkinan,, ketahuan sangat tinggi!
Tak lama, Jennifer dan Leni segera pergi begitu saja dari restoran.
Melihat kepergian Leni dan Jennifer, kini Ferdi merasa sangat bahagia. Ia senang, sebab marabahaya telah berlalu.
"Sial, sebenarnya ada hubungan apa sih Leni dan Jennifer?" gumam Ferdi.
Nafsu makan Ferdi mendadak hilang. Dengan cepat, ia pun segera ke parkiran dan mencari mobilnya menggunakan remote.
Hanya saja, Ferdi tidak bisa berhenti untuk memikirkan alasan apa yang harus ia katakan nantinya--meski sudah berkendara di jalanan.
"Jika aku memancing kecurigaan Leni, justru itu akan merugikanku nanti. Lebih baik, aku bikin drama aja. Sekalian aku meminta uangnya nanti." pikir Ferdi yang kini mempunyai rencana di kepalanya.
******
Sesampainya di apartemen miliknya, Ferdi langsung membanting smartphone miliknya dan merusaknya begitu saja.
Wajahnya pun sudah babak belur. Seorang pelayan kini mengulurkan tangannya. "Di mana bayaranku?"
Karena sudah dijanjikan akan diberi sejumlah uang setelah memukuli Ferdi, pelayan itu tentu saja meminta bayarannya.
"Kau masih berani meminta bayaran? Lihatlah diriku sekarang, kalau aku melapor ke polisi dan menuntutmu, kau bisa mengelak tidak?" tanya Ferdi.
Mendengar hal itu, si pelayan yang malang kini sadar dirinya ditipu. Ferdi sama sekali tidak berniat membayarnya!
"Sialan, kau!" Karena tidak mau berurusan apalagi kalau sampai dituntut oleh Ferdi, pelayan itu memilih pergi saja.
"Cih, sudah memukul sampai puas masih mau uang juga? Dia pikir siapa dia?" gumam Ferdi. Suara tawa kini menggelegar dari sana. Dengan tidak tahu malunya, Ferdi merasa bangga pada dirinya.
Mengingat ponselnya juga sengaja dirusak, Ferdi pun menggunakan smartphone baru miliknya kemudian menelepon Leni Saragi.
"Dengan siapa dan di mana?" ucap Leni langsung. Tampaknya, dia sedang sibuk. Ia bahkan menjawab telepon tidak dikenal sambil terus memperhatikan layar laptop--untuk bekerja.
"Leni, ini aku Ferdi! Maafkan aku, kemarin aku melakukan kesalahan besar dan meninggalkanmu sendiri di restoran itu. AAku mendapat masalah dengan seorang gangster, dan hasilnya smartphone milikku sempat diambil olehnya dan sekarang entah di mana. Aku pun sudah dipukuli olehnya sampai bonyok."
"Hah?" bingung Leni."Aku benar-benar tidak berdaya Leni. Bisakah kau menjengukku di apartemen seorang diri? Aku sangat merindukanmu!" ucap Ferdi.
Alasannya itu ... sangat luar biasa! Bukannya curiga, Leni malah merasa sangat khawatir dibuatnya. Dengan menggunakan alasan 'rindu', Ferdi juga menegaskan bahwa ia ingin Leni datang seorang diri. Jadi, semuanya akan aman.
"Lalu, apa kau baik-baik saja?" Leni seketika menunjukkan kekhawatirannya kepada Ferdi.
"Yah, aku baik-baik saja sekarang. Hanya saja, aku merindukanmu. Aku pun bertanya-tanya. Apakah kekasih hatiku sedang sibuk atau tidak?"
"Aku akan segera pergi menuju apartemenmu."
"Benarkah?"
Senyum Ferdi seketika mengembang. Masalah Leni berhasil dihadapi.Tak lama, Leni pun tiba di apartemennya. Tampak jelas, kekhawatiran di wajah gadis itu.Terlebih, Leni melihat keadaan wajah Ferdi yang penuh luka lebam. "Ada apa denganmu?" "Aku 'kan sudah bilang tadi di telepon," ucap Ferdi kemudian. "Memangnya, preman mana yang berani memukulimu? Aku akan baik-baik membalasnya," kata Leni yang sudah emosi dibuatnya. Ia seakan tidak terima pacarnya dipukuli sampai seperti ini. "Sudahlah, Leni. Itu tidak penting." Ferdi mengalihkan Leni dari rasa penasarannya. "Aku sudah sangat senang karena kau akhirnya mau datang ke apartemenku. Sebelumnya, aku merasa sangat kesepian." "Apa yang kau katakan? Sebagai kekasihmu, bagaimana mungkin aku tidak khawatir saat mendengar kabar seperti ini? Kenapa kau tidak ke rumah sakit?" tanya Leni. Ferdi pun tersenyum, inilah yang ingin dia dengar sebelumnya. "Boro-boro ke rumah sakit, uang apartemen saja belum dibayar. Apalagi, aku sudah tidak puny
"Fer?""Te--tentu saja."Meski mendengar ucapan tergagap dari pria itu, Leni memilih mengabaikannya. Dia masih memiliki banyak tugas untuk dikerjakan!"Aku masih punya banyak pekerjaan di kantor. Jaga dirimu baik-baik, ya! Hubungi saja orang itu sekarang, dan kita akan membayarnya besok."Ferdi lekas mengangguk, hingga tak lama, akhirnya Leni pun menghilang di balik pintu. Lima menit berlalu, Ferdi pun segera menuju pintu dan membukanya. Saat menoleh ke kanan dan kiri di luar pintu, Leni sudah tidak terlihat lagi.Ferdi pun tersenyum. Sedari tadi, ia menahan kegembiraannya. Sebab, jika sampai Leni menyadarinya, maka Ferdi tidak akan tahu harus bilang apa. Menutup pintunya perlahan, Ferdi kemudian segera melompat-lompat sambil tertawa, layaknya orang gila. "Astaga! 1,2 Milliar dalam sehari?" gumam Ferdi bangga pada dirinya.Cukup lama, pria itu senyum sendiri. Barulah setelah puas, Ferdi langsung ke kasur dan langsung memeriksa smartphonenya."Mari kita lihat, berapa banyak saldoku!
Ferdi pun tersenyum mendengarnya. Ia sangat senang sebab akhirnya masalah mengenai Ferdi yang mempunyai hutang fiktif kini terselesaikan. Hanya tinggal menunggu, dan Ferdi akan mendapatkan uang 500 Jutanya."Baiklah. Ternyata, kau memang pria yang selalu memegang ucapanmu."******Ferdi kaget ketika melihat Leni yang ternyata membawa dua orang bodyguard atau lebih tepatnya, dua orang tukang pukul. Seketika, pria itu merasa khawatir dan mulai merasa ada yang tidak beres. "Leni, untuk apa kau membawa dua orang ini?" bisik Ferdi di telinga Leni yang kini tersenyum. "Aku hanya ingin memastikan keamanan kita saat bertransaksi," ucap Leni. Mendengar jawaban Leni yang mengatakan bahwa untuk memastikan keamanan saja, Ferdi menghela napas lega. Sampailah kemudian di sebuah tempat sepi, di bagian parkiran mobil bawah tanah. Kini, Roni sudah berdiri di hadapan Ferdi dan Leni. Roni juga terlihat mengenakan pakaian bagus yang adalah pemberian Ferdi. Semua itu agar tidak ketahuan oleh Leni
Melihat senyuman tak bersalah dari Ferdi, Roni seketika melempar sebuah tas yang isinya tunai 500 Juta itu."Ferdi, aku sudah memberikan uangmu, sekarang kita sudah tidak ada sangkut pautnya lagi." Roni kemudian hendak masuk di rumah bobroknya, namun langsung dicegat oleh Ferdi. "Kenapa? Bukankah aku sudah membantumu? Sekarang aku ingin beristirahat!" ucap Roni, ia menatap kesal kepada Ferdi. "Kau ambil saja semua uang ini sebagai permintaan maaf'ku!" ucap Ferdi kemudian hendak memberikan kepada Roni. "Uang itu kau dapatkan dengan hasil menipu pacarmu sendiri. Aku tidak akan mau menerimanya." Ferdi kemudian terdiam. Ia paham, kalau Roni tidak akan mau menikmati uang hasil menipu."Tidak apa kalau kamu tidak mau menerima uang ini, tapi apakah kau bersedia memaafkanku? Jujur, aku tidak tahu Leni akan membawa dua orang dan berniat memukulimu terlebih dahulu.""Aku memaafkanmu." Namun, Roni--yang ingin membuka pintu rumahnya--kembali ditahan Ferdi.Karena pintunya itu memang sudah u
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te