Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?"
"Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."
Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya.
Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.
Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok.
Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi.
Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka.
Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja.
Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air.
Pandangan Ferdi terkunci pada sebuah lemari yang berada di pojok ruangan. Lemari itu dipenuhi dengan piala dan medali penghargaan. Dinding-dinding ruangan itu juga penuh dengan piagam penghargaan yang dimasukkan ke dalam bingkai foto.
Meskipun sudah pensiun dari dunia tinju, tapi Roni masih menyimpan setiap hal mengenai prestasinya sebagai seorang petinju profesional.
Dari semua piagam penghargaan, Ferdi hanya bisa melihat setiap piagam penghargaan itu merupakan prestasi Roni dalam dunia tinju.
"Roni Septi Anggara? Aku ingat sekarang, dia adalah seorang legenda tinju yang pernah mendunia. Bahkan, sepanjang karir, ia tidak pernah kalah. Di pertandingan terakhirnya, ia tidak hanya menang, tapi sampai membuat lawannya meninggal dunia," gumam Ferdi yang langsung terkagum-kagum.
Bahkan dirinya sempat nge-fans dengan sosok legenda petinju itu.
"Kenapa nasibnya bisa menjadi seburuk ini? Jikalau dia pensiun, penghasilannya selama karirnya seharusnya cukup untuk dirinya hidup kaya seumur hidupnya," pikir Ferdi.
Ia kembali teringat saat Roni dipukuli oleh dua orang amatir waktu itu.
"Apakah itu berarti saat itu Roni sengaja mengalah? Kenapa dia mau dipukuli begitu saja?" pikir Ferdi tidak habis pikir.
Pandangan Ferdi terhadap Roni kini berubah drastis.
"Lupakan! Aku akan menanyakan hal ini kepada Roni setelah ia pulang saja. Lama-lama di sini, orang nanti mengira aku maling lagi."
Ferdi segera keluar dan mengembalikan pintunya ke posisi sebelumnya. Kemudian, dia segera pergi meninggalkan tempat itu.
****Sementara itu, di sebuah rumah sakit****
"Terima kasih, kau selalu baik terhadapku," ucap Roni kepada seorang dokter cantik dan seksi.
Dari papan namanya, sepertinya dokter cantik itu bernama Yulia.
"Tidak masalah, ini memang adalah pekerjaanku. Sudah menjadi tugasku untuk merawat pasien," ucap Yulia.
"Tapi, kamu ini merawatku secara gratis. Sedangkan pasien lain, dirawat setelah membayar biaya rumah sakit."
"Itu karena kamu dan mereka berbeda. Mereka itu mempunyai banyak uang, sementara kamu tidak. Apalagi, kamu bekerja sebagai satpam di rumah sakit ini."
"Huft..." Roni menghela napas seketika sebelum membatin, "andai saja, kamu masih lajang, aku pasti akan mengejar cintamu sebaik mungkin."
"Ada apa? Sepertinya, kamu memikirkan sesuatu?" tanya Yulia penasaran.
"Aku hanya berpikir, entah pemuda mana yang sangat beruntung bisa memiliki dirimu yang cantik dan baik hati ini."
Mendengar itu, Yulia tersenyum membuatnya terlihat sangat manis. Roni pun semakin terkagum-kagum dengan kecantikan dan kebaikan Yulia ini.
"Yang pasti, aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini, bisa mempunyai seorang pacar sebaik dia." Yulia terlihat membayangkan wajah Ferdi, kekasihnya.
"Memangnya siapa pacarmu?" Roni memberanikan diri untuk bertanya.
"Rahasia donk... kamu kok kepo banget sih."
Keduanya tertawa.
Selesai mengobati Roni, Yulia pun memutuskan untuk melanjutkan merawat pasien lain.
"Aku pergi merawat pasien lain yah," ucap Yulia sebelum akhirnya pergi.
Roni hanya bisa tersenyum saat itu. Dia mengingat saat Yulia memperban kepalanya. Hal itu membuat Roni tersenyum. Apalagi, saat mengingat Yulia yang mengoleskan obat anti bakteri ke luka-luka lebam di wajahnya.
"Sepertinya, ada untungnya juga aku dipukuli saat itu. Rasanya, aku ingin terluka setiap saat agar Yulia merawatku lagi dan lagi," pikir Roni.
Sepertinya, ia jatuh hati dengan Yulia.
Yang tidak Roni tahu adalah, Yulia merupakan salah satu dari empat pacar Ferdi. Apalagi, Yulia mengenal Ferdi sebagai seorang pemuda sederhana yang sangat baik dan menawan.
Ia bahkan sampai membanggakan Ferdi di depan Roni sebelumnya dan berkata bahwa ia sangat beruntung mempunyai Ferdi sebagai pacarnya.
Entah bagaimana reaksi Roni saat tahu kalau pacar yang Yulia banggakan ternyata seorang playboy brengsek seperti Ferdi.
Saat sedang beristirahat, Yulia mendapatkan pesan dari Ferdi.
[ Yulia, sudah dua Minggu kita tidak bertemu. Aku sangat merindukanmu sekarang. Bisakah kita bertemu? ]
Yulia tersenyum saat melihat pesan yang dikirimkan oleh Ferdi.
[ Ke mana saja sih kamu belakangan ini? Aku telepon nggak diangkat. ]
[ Aku sedang sibuk, perusahaan'ku dalam krisis dan aku bekerja keras siang dan malam untuk mempertahankannya. Pada akhirnya, aku tetap bangkrut dan demi membayar upah karyawan, aku terpaksa berhutang banyak. Bahkan, beberapa hari yang lalu aku sempat dipukuli karena tidak bisa membayar hutang. Ini aja wajahku masih sakit karena bekas pukulan. Aku sempat sakit beberapa hari yang lalu.]
Membaca itu, Yulia sangat terkejut. [ Ya ampun, kenapa kamu tidak datang ke rumah sakit? Aku akan merawatmu sebaik mungkin. Aku turut sedih mendengarnya. Semoga kamu diberikan kesabaran menghadapi cobaan ini. ]
[ Apakah kamu sibuk? Aku ingin pergi ke rumah sakit sekarang. Sekalian ingin memeriksa kesehatanku. ]
[ Tidak kok, aku mempunyai banyak waktu luang. Kamu pergilah ke rumah sakit, aku akan menunggumu. Mengenai biaya, kamu tidak perlu khawatir.]
[Baiklah, aku segera dalam perjalanan!]
Roni yang saat itu bertugas sebagai satpam, hanya bisa memperhatikan dari kejauhan.
Saat melihat Yulia mengetik sambil tersenyum-senyum, Roni merasa iri. "Siapa sebenarnya pacarmu? Apakah aku masih ada kesempatan untuk bersama denganmu?"
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te