"Fer?"
"Te--tentu saja."
Meski mendengar ucapan tergagap dari pria itu, Leni memilih mengabaikannya. Dia masih memiliki banyak tugas untuk dikerjakan!
"Aku masih punya banyak pekerjaan di kantor. Jaga dirimu baik-baik, ya! Hubungi saja orang itu sekarang, dan kita akan membayarnya besok."
Ferdi lekas mengangguk, hingga tak lama, akhirnya Leni pun menghilang di balik pintu.
Lima menit berlalu, Ferdi pun segera menuju pintu dan membukanya. Saat menoleh ke kanan dan kiri di luar pintu, Leni sudah tidak terlihat lagi.
Ferdi pun tersenyum. Sedari tadi, ia menahan kegembiraannya. Sebab, jika sampai Leni menyadarinya, maka Ferdi tidak akan tahu harus bilang apa.
Menutup pintunya perlahan, Ferdi kemudian segera melompat-lompat sambil tertawa, layaknya orang gila.
"Astaga! 1,2 Milliar dalam sehari?" gumam Ferdi bangga pada dirinya.
Cukup lama, pria itu senyum sendiri. Barulah setelah puas, Ferdi langsung ke kasur dan langsung memeriksa smartphonenya.
"Mari kita lihat, berapa banyak saldoku!"
Setelah melihat saldo rekeningnya melalui m-banking, Ferdi hanya bisa menghela napas.
"Benar saja, uang 600 Juta itu langsung lenyap. Sekarang, hanya tersisa 120 Juta."
Ferdi menatap tulisan merah di bawahnya cukup lama.
[ Karena Anda tidak membayar uang pinjaman sebesar 600 Juta sebelumnya dan menunggak beberapa bulan, maka pihak bank menahan dana yang masuk sebesar 620 Juta.]
"Buset, denda tunggakannya sudah mencapai 20 Juta. Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang sudah lunas," ucap Ferdi, "Toh, aku punya 120 Juta! Hahaha ... sepertinya, aku bisa pamer lagi nih."
"Tunggu!" Senyuman Ferdi kemudian menghilang ketika tiba-tiba mengingat Leni akan segera menemuinya besok pagi dan pergi untuk membayar hutang fiktif yang Ferdi sebutkan.
"Buset ... kenapa aku begitu ceroboh? Untung saja, aku cepat menyadari hal ini," gumam Ferdi saat menyadari kesalahannya. "Harus ada yang mau berpura-pura sebagai penagih hutangku. Jika tidak, maka kebohonganku akan segera terbongkar."
Ferdi pun berjalan mondar-mandir di sekitar kasurnya.
"Tapi, siapa orangnya? Jika aku mencari orang asing, bagaimana jika ia malah membawa kabur uangnya?"
Ferdi harus bisa mencari pemuda yang berpenampilan menarik dan bisa diajak kompromi. Sebab, jika penampilan pemuda yang akan menagih hutang kepada Ferdi tidak berpenampilan seperti orang kaya, justru akan mengundang curiga untuk Leni.
Langkah Ferdi kemudian berhenti. Otaknya teringat oleh seorang pemuda yang sempat ia temui beberapa bulan yang lalu.
"Mungkin, orang itu bisa diajak kerjasama!"
Ferdi kemudian segera keluar dari apartemennya. Ia segera pergi untuk mencari orang itu.
*****
Saat malam hari pun tiba, Ferdi sudah berada di tempat kumuh dan ia sudah berdiri di depan sebuah rumah bobrok.
Di tempat itu, seorang pemuda bernama Roni Septi Anggara tinggal.
Roni adalah seorang pemuda sederhana yang berakhlak baik. Ia adalah tipe orang yang tidak suka menyimpan hutang budi. Jika ada yang menolongnya, maka ia akan membalasnya dengan lebih baik lagi.
Ferdi yang sudah berada di dekan pintu kemudian mengetuk pintunya. Tak lama, keluarlah seorang pemuda tampan namun mengenakan pakaian compang-camping.
"Ferdi? Ada apa kamu malam-malam ke sini?" tanya Roni seketika.
"Aku datang menagih janjimu, kau bilang akan membalas kebaikan ku waktu itu, bukan?" tanya Ferdi.
Roni kemudian mengangguk beberapa kali membenarkan apa yang baru saja dikatakan Ferdi.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan Tuan Ferdi kepadaku?" tanya Roni. Ia sangat bersemangat ketika akhirnya mempunyai kesempatan untuk membalas kebaikan Ferdi di masa lalu.
"Aku ada satu permintaan. Cukup mudah! Kamu hanya perlu berakting sebagai seorang yang menagih hutang kepadaku sebanyak 500 Juta," ucap Ferdi.
"500 Juta? Banyak sekali! Jadi, Tuan Ferdi ingin aku berbohong dan berlagak seolah kamu punya hutang kepadaku sebanyak 500 Juta?" tanya Roni.
"Yah, kamu memang pintar," ucap Ferdi sambil tersenyum.
"Sial, bukankah itu sama saja dengan Tuan Ferdi menyuruh'ku berbohong, yah?" ucap Roni.
"Yah, hanya perlu berbohong sedikit, memangnya apa sulitnya sih?" ucap Ferdi dengan entengnya.
Bagi seorang Roni, berbohong meski hanya sekali rasanya sangat berat. Roni adalah seorang pemuda sederhana dengan akhlak yang sangat baik, dan sangat pantang berbohong.
"Kamu bilang apa susahnya berbohong? Gila! Kau menganggap sepele dosa orang-orang yang berbohong." Roni mulai tidak senang dengan kehadiran Ferdi.
"Jadi, kamu mau membantuku atau tidak?"
Roni hanya terdiam, ia berada dalam posisi dilema.
Di satu sisi, Roni tidak mau berbohong. Di sisi lain, Roni juga tidak mau menolak permintaan Ferdi, sebab Roni merasa berhutang Budi.
"Huft, seharusnya aku menyadari hal ini. Aku salah karena terlalu mempercayai perkataanmu waktu itu. Di zaman yang sekarang ini, siapa sih yang menegang teguh janji dan perkataannya? Aku yang terlalu naif," ucap Ferdi sambil melirik Roni.
Ferdi melakukan hal itu, sebab ia tahu betul bagaimana pribadi Roni yang sebenarnya.
Roni yang sekarang pun kini terlihat sudah putus asa. Ia mengepalkan tangannya dan menggertakkan giginya sebelum akhirnya membuat keputusan.
"Baiklah, aku akan membantumu!"
Ferdi pun tersenyum mendengarnya. Ia sangat senang sebab akhirnya masalah mengenai Ferdi yang mempunyai hutang fiktif kini terselesaikan. Hanya tinggal menunggu, dan Ferdi akan mendapatkan uang 500 Jutanya."Baiklah. Ternyata, kau memang pria yang selalu memegang ucapanmu."******Ferdi kaget ketika melihat Leni yang ternyata membawa dua orang bodyguard atau lebih tepatnya, dua orang tukang pukul. Seketika, pria itu merasa khawatir dan mulai merasa ada yang tidak beres. "Leni, untuk apa kau membawa dua orang ini?" bisik Ferdi di telinga Leni yang kini tersenyum. "Aku hanya ingin memastikan keamanan kita saat bertransaksi," ucap Leni. Mendengar jawaban Leni yang mengatakan bahwa untuk memastikan keamanan saja, Ferdi menghela napas lega. Sampailah kemudian di sebuah tempat sepi, di bagian parkiran mobil bawah tanah. Kini, Roni sudah berdiri di hadapan Ferdi dan Leni. Roni juga terlihat mengenakan pakaian bagus yang adalah pemberian Ferdi. Semua itu agar tidak ketahuan oleh Leni
Melihat senyuman tak bersalah dari Ferdi, Roni seketika melempar sebuah tas yang isinya tunai 500 Juta itu."Ferdi, aku sudah memberikan uangmu, sekarang kita sudah tidak ada sangkut pautnya lagi." Roni kemudian hendak masuk di rumah bobroknya, namun langsung dicegat oleh Ferdi. "Kenapa? Bukankah aku sudah membantumu? Sekarang aku ingin beristirahat!" ucap Roni, ia menatap kesal kepada Ferdi. "Kau ambil saja semua uang ini sebagai permintaan maaf'ku!" ucap Ferdi kemudian hendak memberikan kepada Roni. "Uang itu kau dapatkan dengan hasil menipu pacarmu sendiri. Aku tidak akan mau menerimanya." Ferdi kemudian terdiam. Ia paham, kalau Roni tidak akan mau menikmati uang hasil menipu."Tidak apa kalau kamu tidak mau menerima uang ini, tapi apakah kau bersedia memaafkanku? Jujur, aku tidak tahu Leni akan membawa dua orang dan berniat memukulimu terlebih dahulu.""Aku memaafkanmu." Namun, Roni--yang ingin membuka pintu rumahnya--kembali ditahan Ferdi.Karena pintunya itu memang sudah u
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi yang kini berada di sebuah kafe kemudian terdiam cukup lama. Ia akhirnya sudah minum-minum sampai mabuk berat. Satu hari sejak kematian Ibu Ferdi. Tepatnya saat malam hari pukul tujuh malam. "Tidak peduli seberapa keras aku ingin berpaling, tapi hati kecilku terasa sangat ingin melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya. Padahal jelas-jelas aku sangat membenci ibuku itu." kata Ferdi dalam hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Namun sebelum itu ia menelepon terlebih dahulu. Telepon kemudian tersambung. "Yulia, aku akhirnya menyadari kalau aku sudah keterlaluan kemarin, aku minta maaf. Aku sadar, meskipun saat kecil ibuku telah meninggalkan ku, tapi dia masih perduli terhadapku. Ia membiayai sekolahku sampai kuliah. Dan betapa bodohnya aku saat mengetahui fakta ini... aku justru memutuskan untuk berhenti kuliah dan meninggalkan segala mimpiku untuk bisa menjadi dokter. Segalanya telah terbuang sia-sia, yang tersisa hanyalah penyesal
Ferdi kini berada di alun-alun kota sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di pinggir jalan. Saat itu hujan turun dengan sangat deras dan Ferdi sedang melamun memikirkan Ibunya. "Sial, kenapa aku malah ketemu dengan ibuku lagi?" pikir Ferdi. Ia tidak peduli lagi dengan air yang membasahi tubuhnya. Tring!Nada dering telepon yang berbunyi tidak membuat Ferdi bergeming. Smartphone miliknya yang anti air pun tidak rusak meski diguyur hujan di dalam sakunya. Leni yang kebetulan sedang berjalan menggunakan payung kemudian segera menghampiri Ferdi. "Sialan orang ini, dia meminjam mobilku dan berjanji akan kembali untuk menjemput dan mengantarkan aku pulang. Tapi faktanya aku telepon malah tidak digubris. Aku pun sampai terpaksa naik taksi pulang." kata Leni kesal. Sebelumnya Ferdi memang meminjam mobil Leni dan pergi ke rumah sakit. "Ferdi, apa yang kau lakukan di sini? Kau meminjam mobilku dan berkata akan datang dan menjemput kemudian mengantarkan aku pulang. Tapi keman
Ferdi kini hanya terdiam menatap ibunya terbaring lemas di atas ranjang pasien. "Nak Ferdi... Nak Ferdi... Maafkan Ibu Nak..." Ferdi kini bisa mendengar suara pelan keluar dari mulut ibu kandungnya itu. Ferdi hanya berdiri di sampingnya dan terdiam tanpa kata-kata. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan mulai dirasakan oleh Ferdi. Ia menutup matanya kemudian mengingat peristiwa puluhan tahun lalu.***Flashback On***"Maafkan aku mas, aku sudah tidak tahan hidup miskin bersamamu. Aku akan pergi bersama seorang pria yang lebih kaya darimu. Aku akan menikah dengannya!" kata Jennifer ibu Ferdi. Saat itu Ferdi masih kecil mungkin berumur lima tahun. "Ibu... jangan pergi ibu! Kumohon jangan tinggalkan kamu ibu!" Ferdi saat itu sampai memohon dan memegang kaki ibunya agar tidak pergi. Namun, demi melepaskan pelukan Ferdi kecil dari kakinya, ia menganyungkan kakinya sampai Ferdi terpental. "Aku tidak Sudi hidup menderita bersama dengan kalian. Aku akan menjalani kehidupanku dengan ba
Si pedagang sate akhirnya mendahulukan Ferdi saat diberikan uang tiga ratus ribu. "Terima kasih," kata Ferdi saat ia menerima bungkus satenya. Ferdi kemudian segera menuju rumah sakit. "Semoga aja Yulia nggak ada malam ini." pikir Ferdi yang sangat berharap Yulia masih di warung makan sederhana dan langsung pulang saja setelahnya. Jika Yulia kembali ke rumah sakit, itu justru akan membuat Ferdi mendapatkan berbagai masalah.Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Kenapa mendadak Jennifer bisa sakit keras begini? Padahal sebelumnya baik-baik saja." pikir Ferdi saat sudah berada di dalam lift. Ia terus mengingat perkataan Yulia yang mengatakan bahwa Jennifer sakit keras dan terus menyebut namanya. Sesampainya di bangsal VIP 07, mata Ferdi membulat sempurna saat melihat Jennifer ternyata justru jauh lebih baik dari sebelumnya. "Sial, apakah Yulia berbohong padaku?" pikir Ferdi. "Eh, kamu sudah datang?" kata Jennifer kemudian tersenyum
Ferdi kemudian menghela napas berat dan langsung menunjukkan kepada Jennifer raut wajahnya yang terlihat merasa sangat sedih. "Kau tidak tahu, betapa khawatirnya aku pada saat ini. Bahkan, saat tahu kamu masuk rumah sakit, aku langsung bergegas ke sini dan mengebut di jalanan. Sial bagiku aku ditilang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi polisi itu mempersulit diriku. Akhirnya, harus menggunakan uang jajan terakhirku untuk menyogoknya. Setelah itu, aku bergegas ke sini." Jennifer kini terdiam."Bahkan setelah sampai di sini, aku ke resepsionis dan langsung ke sini. Saat sampai aku masih sangat mengkhawatirkan dirimu. Kemudian mempertanyakan tentang bagaimana keadaan mu. Tapi, kau malah bertanya hal lain?" kata Ferdi."Tidakkah kau berpikir bagaimana khawatirnya aku? Cih, aku tahu. Aku memang hanyalah pemuda miskin dan rendahan kali ini. Makanya kamu tidak mempercayaiku lagi kan?" kata Ferdi.Kalimat demi kalimat yang terucap di mulutnya tidak hanya membuat Jennifer tidak jadi mara
Jennifer menghela napas sambil memegang kepalanya yang terasa sakit."Maafkan aku, aku tidak berada di restoran itu sekarang," kata Jennifer."Lalu di mana kamu sekarang? kata Ferdi pura-pura bertanya."Rumah sakit, bisakah kau datang ke sini sekarang?" kata Jennifer.Mata Ferdi membulat sempurna. Dia teringat Yulia bekerja di sana. Namun, dia kini tidak punya alasan."Baiklah, aku akan segera ke sana. Kamu tunggulah aku!" kata Ferdi di telepon. Pada akhirnya, Ferdi memutuskan untuk pergi menjenguk Jennifer. Dari pada nantinya ia semakin marah dan membuat dirinya benar-benar rugi jika hubungannya dengan Jennifer hancur, kan?Mengingat, Jennifer adalah 'atm berjalan' milik Ferdi yang juga menguntungkan. "Baiklah, aku akan menunggumu!" kata Jennifer kemudian menutup telepon. Ferdi kemudian menghela napas. "Aku tidak boleh langsung masuk. Aku harus menunggu beberapa saat. Dengan begitu, Jennifer akan berpikir saya perjalanan ke rumah sakit," pikir Ferdi. Namun, Ferdi dilema begitu
"Sial, itu benarJennifer! Kenapa bisa ada di sini?" Ferdi kemudian menoleh ke arah Yulia yang masih terlihat biasa-biasa saja.Senyum manis juga turut serta menghiasi wajahnya itu."Jika Yulia sampai tahu aku mempunyai pacar lain, hubunganku dengannya mungkin akan segera berakhir!" kata Ferdi dalam hati. Bagaimana Ferdi akan menghadapi keadaan seperti ini?"Aku harus cari cara," kata Ferdi dalam hati. Untungnya, Ferdi melihat ada toilet di samping sebelah kirinya. Ide cemerlang pun muncul begitu saja."Yulia, aku ingin ke toilet dulu!" kata Ferdi kemudian tanpa pikir panjang langsung belok dan masuk ke dalam toilet. Sesaat setelahnya, Jennifer yang berada di atas kursi roda kini melewati Yulia yang kebingungan. "Sepertinya, aku mendengar suara Ferdi tadi. Apakah aku salah dengar?" Ia pun sempat menatap ke arah toilet tempat Ferdi masuk.Kepalanya yang terasa sakit membuat Jennifer sedari tadi memegangi kepalanya dan tidak fokus melihat ke depan. Jadi, dia memutuskan untuk segera
Ferdi tersenyum saat mobilnya akhirnya sampai di parkiran rumah sakit. Saat ia baru saja keluar dari mobilnya, Roni sudah menatapnya sedari tadi. Sebagai satpam, memang sudah menjadi tugasnya untuk berjaga di tempat itu. Saat Ferdi akan masuk, pria itu sempat tersenyum kepada Roni. Namun, Roni menatapnya malas. "Apa yang kamu ingin lakukan di sini?" "Apakah kau tidak melihat aku babak belur?" tanya Ferdi balik."Tapi, bukankah itu sudah akan sembuh?" "Memangnya masalah? Apakah aku tidak boleh berobat di rumah sakit ini?" Roni kemudian terdiam--tidak bisa berkata-kata. Melihat itu, Ferdi tersenyum dan menepuk pundak Toni dan kembali berkata, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau adalah orang hebat di mataku." Roni kemudian menatap Ferdi tapi langsung mengalihkan pandangannya satu detik kemudian. Dia tidak mengerti ucapan pemuda penuh kebohongan ini."Baiklah, aku akan masuk dan memeriksakan kesehatanku. Kau bekerja ah dengan baik. Kau tahu? Kau adalah idolaku
Ferdi tersenyu dan mengangguk. "Yah, aku mencari Roni, dia ada di mana sekarang?""Kembalilah nanti malam. Ia pergi bekerja di sebuah rumah sakit dari pagi dan baru pulang sebentar malam."Mendengar itu, Ferdi sedikit kecewa. Namun, akhirnya kembali ke mobilnya. Saat suasana kembali sepi, tiba-tiba Ferdi semakin penasaran ingin melihat isi rumah Roni seperti apa. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi.Dengan perasaan sedikit ragu, Ferdi kemudian memutuskan untuk mencoba membuka pintu rumah Roni yang sudah terlihat bobrok. Karena memang pintunya itu sudah usang dan bobrok, kuncinya pun sudah tidak terlalu berfungsi. Hanya dengan satu dorongan dengan sedikit tenaga, pintunya kemudian terbuka. Masuklah kemudian Ferdi ke dalam. Tempatnya sangat sempit. Hanya berupa ruangan 6 kali 4 meter saja. Dalam satu ruangan itu, ada tempat tidur, kompor dan peralatan masak, toilet kecil satu kali satu meter, hanya muat untuk klosetnya saja. Bisa dibilang hanya untuk buang air. Pandangan Ferdi te