Ghazanvar menepuk-nepuk pelan punggung Naraya, menina bobokannya dalam pelukan.Benak Ghazanvar sedang mempertimbangkan apakah perlu memberitahu Naraya tentang perasaan yang sebenarnya kepada Zaviya atau membohongi Naraya agar istrinya itu tenang.Lama kemudian pesawat mendarat dengan sempurna.Tidak tanggung-tanggung, sebuah mobil Rolls Royce keluaran terbaru telah menunggu di depan tangga pesawat.Ghazanvar menuntun Naraya masuk ke dalamnya.Naraya menatap Ghazanvar tanpa jeda membuat yang bersangkutan tidak nyaman dan menoleh menatapnya.“Kenapa sayang?” Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan nada rendah dan lembut disertai usapan punggung jarinya di pipi Naraya.Sampai di sini, pertahanan Naraya sudah porak poranda.Sepertinya dia akan dengan suka rela tanpa paksaan mengangkang malam ini, memberikan mahkotanya untuk sang suami yang pandai meluluhkan hatinya.Naraya membuang pandangan ke arah sebaliknya membuat tangan Ghazanvar menggantung di udara.Dia sedang bersika
Suasana resto pagi ini tidak begitu ramai, Ghazanvar dan Naraya duduk saling berhadapan.Keduanya baru saja menyelesaikan sarapan pagi dan kini tengah menikmati menu penutup ditemani kopi untuk Ghazanvar dan coklat panas kesukaan Naraya.Tatap mata Ghazanvar tertuju pada Naraya padahal, di balik dinding kaca tersaji pemandangan indah sebuah gunung yang diselimuti salju dan kini pandangan Naraya sedang terpukau ke sana.Ada binar di mata Naraya disertai senyum kecil di bibir karena baru saja Ghazanvar mengatakan kalau mereka akan pergi ke puncak gunung itu.Dari jauh saja Naraya dibuat berdecak kagum apalagi nanti dia sudah berada di sana.Namun sesaat kemudian Naraya merasa tidak nyaman karena ditatap sedemikian rupa oleh Ghazanvar, dia pun mengalihkan pandang kepada suaminya.“Ada sesuatu di wajah Nay?” Naraya mengusap sudut bibirnya siapa tahu ada coklat tertinggal di situ.“Enggak.” Ghazanvar menjawab cepat.“Trus kenapa liatin Nay sebegitunya?” Naraya mengerucutkan bibir.
Debuman kencang suara pintu yang tertutup membuat Naraya membelalakan matanya menatap Ghazanvar penuh peringatan dan sedetik kemudian dia merasakan tubuhnya melayang di gendong Ghazanvar di pundak seperti karung beras.“Abaaaang!” Naraya menjerit disertai tawa.Ghazanvar membawa Naraya ke area tempat tidur dan menurunkannya secara perlahan di atas ranjang berukuran King Size dengan seprai putih.Napas Naraya tersengal, sisa senyum masih tertinggal di bibirnya yang dipoles lip product berwarna merah membuat Naraya tampak seksi.Tatap mata Ghazanvar tertuju pada bibir ranum itu ketika menanggalkan coat lalu melepas gesper dan membawa kaos lengan panjang turtle neck-nya melewati kepala.Kini Naraya disuguhi pemandangan otot di dada Ghazanvar yang tidak kalah indahnya dengan pemandangan di luar jendela.Ghazanvar sudah biasa mendapat tatapan memuja seperti yang sedang dilakukan Naraya sekarang tapi entah kenapa ketika Naraya yang menatapnya seperti ini rasanya lain, sangat bangga da
Naraya langsung tertidur dalam pelukan Ghazanvar begitu mereka selesai mendapat pelepasan dengan skor Ghazanvar satu dan Naraya dua.Tubuh Naraya terasa lemas luar biasa belum lagi dia masih berada dalam pengaruh alkohol.Ghazanvar tidak mengganggunya dulu, membiarkan Naraya istirahat karena masih ada ronde-ronde berikutnya yang akan mereka lalui.Sebenarnya Ghazanvar masih bisa satu ronde lagi tapi Narayanya sudah KO duluan.Ghazanvar mengeratkan pelukan, mengecup puncak kepala Naraya dalam dan lama.Matanya perlahan terpejam, dia ikut masuk ke alam mimpi menyusul Naraya.Entah sudah berapa jam Ghazanvar terlelap sampai akhirnya terjaga karena mendengar suara isak tangis.Awalnya Ghazanvar mengira suara isak tangis itu mimpi namun saat dia membuka mata, suara lirih tersebut masih terdengar.Siang yang sudah berganti malam membuat suasana kamar gelap gulita, dia tidak bisa melihat sesungguhnya siapa yang sedang menangis.Pria itu memejamkan mata berusaha mengingat-ngingat apa
Ghazanvar melepas boxernya sesaat kemudian mengangkat kaki Naraya ke atas.Naraya yang masih kebingungan dengan apa yang akan dilakukan Ghazanvar tiba-tiba terkejut saat merasakan milik Ghazanvar melesak masuk dari arah belakang.Wajah Ghazanvar melesak di leher Naraya sedangkan bokongnya bergerak maju mundur menghujam Naraya dengan kenikmatan sampai Naraya lupa kalau bagian intinya sakit.Lama-lama tempo hentakan Ghazanvar semakin cepat, pria itu mengangkat lagi sedikit tubuh bagian atasnya agar bisa mengulum puncak dada Naraya.Naraya terus-terusan dihantam oleh sentuhan yang menghasilkan rasa asing menyenangkan, desah merdu tadi berubah menjadi jeritan setiap kali Ghazanvar menaikkan tempo hentakan.Ghazanvar suka suara jeritan Naraya yang setengah merintih seolah menagih kenikmatan lagi dan lagi.Dengan satu gerakan cepat Ghazanvar mencabut miliknya, dia bergulir ke atas Naraya sembari membuka paha Naraya lebar-lebar dan menekuknya seperti Baby pose dalam Yoga.Detik selanj
Arnawarma sudah menunggu selama dua jam duduk di stool meja bar.Dia malah sempat digoda seorang wanita karir muda yang datang bersama teman-temannya untuk melepas penat sepulang kerja.Tentu saja Arnawarma tidak melayani godaan dalam bentuk apapun dari wanita cantik itu karena dia duduk sendirian menunggu lama di sini untuk Anasera yang kata karyawannya sedang meeting dengan klien dari Luar Negri di meeting room yang berada di belakang gedung.Padahal sesungguhnya Anasera sedang latihan beladiri dan menembak bersama Radeva dan kedua pelatih mereka.“Bro Nawa, Apakabar!” Radeva berseru sembari mengangkat tangan, pria itu muncul dari belakang bar.“Dari mana?” Arnawarma celingukan ke belakang bar tempat tadi Radeva keluar.“Dari toilet,” jawab Radeva asal.“Toilet bukannya di sana?” Arnawarma menunjuk ke arah belakang punggung Radeva yang kini telah duduk di sampingnya meminta minuman kepada Bartender.“Toilet yang di ruangan Ana.” Radeva menyengir.Untuk urusan berdusta, Rade
“Nawa! Jangan gila ya, besok kamu akan Mami nikahin sama Ana … sekarang Mami telepon om Angga.” Mami Zara mengancam, beliau terdengar panik di ujung sambungan telepon.Arnawarma tertawa pelan, dia sudah masuk ke dalam apartemen Anasera dengan aroma ruangan yang lembut menenangkan.“Enggak kok, Mi … Nawa sayang sama Ana, kalau ada apa-apa Nawa akan nikahin Ana.” Arnawarma malah mengucapkan kalimat yang semakin membuat mami Zara panik.“Pulang sekarang!” Mami Zara berseru serius.“Becanda Miiii, udah ya … sampai ketemu besok, besok Nawa ke rumah sakit nemuin Mami.” Dan sambungan telepon sengaja diputus sepihak oleh Arnawarma.Yang penting kedua orang tuanya sudah tahu kenapa dia tidak pulang malam ini.Arnawarma yakin kalau mami papi tidak akan mempermalukannya dengan menggerebek datang ke apartemen Anasera.Mami Zara dan papi Arkana mendidik anak-anaknya memahami arti kata tanggung jawab.“An …,” panggil Arnawarma yang mengikuti Anasera ke kamar.Anasera tidak menutup pintu,
“Sayang, ayo bangun! Kita main Ski.” Suara Ghazanvar membawa Naraya terjaga dari tidur nyenyaknya.“Eeemmmh ….” Naraya menggeliat dan seketika itu juga dia merasakan tubuhnya ngilu dan lemas seolah tulang-tulang copot dari persendiannya.Naraya membuka mata, dia mendapati suami tampannya sudah rapih dan wangi dibalut baju tebal musim dingin.“Abang enggak capek?” Adalah pertanyaan yang terlontar dari mulut Naraya karena dirinya yang masih dalam keadaan polos hanya dibalut selimut merasakan lelah yang luar biasa.Jika dihitung, mereka sudah bercinta sebanyak tujuh kali sejak tiba di resort ini. “Enggak! Capek kenapa?” Pria itu malah balik bertanya dengan entengnya.Naraya memejamkan matan sekilas saat sedang berusaha untuk bangkit mengabaikan pertanyaan menyebalkan Ghazanvar barusan.Bisa-bisanya dia bertanya ‘capek kenapa?’ sementara pria itu yang telah membuat Naraya lemah lesu seperti ini.“Abaaaang!” Naraya menjerit tatkala merasakan tubuhnya melayang digendong ala brida
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,