"Rupanya pria itu," ucap pria itu dingin. Gian, pria yang kini berada di luar kota tengah memantau aktifitas istrinya yang berada di rumah. Hal yang di lakukan oleh Reyna sudah tak membuatnya terkejut karena ia telah menduganya. Sebelum berangkat ke luar kota, diam-diam ia memasang kamera perekam di seluruh sudut rumahnya agar ia dapat melihat semua kegiatan yang di lakukan oleh istrinya tersebut. Pria itu tersenyum miring. "Rupanya istri kecilku sangat liar jika bersama pria lain. Sepertinya dia bukanlah orang biasa," ucap Gian saat matanya menangkap sebuah tatto tanda anggota mafia yang di pimpin oleh Kenzo. "Dia anak buah Kenzo?" Keningnya berkerut saat melihat dengan jelas wajah pria yang tengah melakukan kegiatan panas bersama istrinya di dalam kamar mereka. "Dia! Dia pria penyebab para mata-mata ku tewas! Dia yang telah mengungkap pengkhianatan beberapa anak buah Kenzo yang sudah aku hasut!" Gian mengepalkan satu tangannya. Jempolnya menekan tombol kembali dan membuka gal
"Aku tak bisa mengatakan apapun kecuali terima kasih banyak untuk kalian semua terutama Ayah dan Bunda," ucap Nora penuh rasa haru. "Semoga usaha butik ini bisa sukses," harapnya. Sebuah nampan berisi gunting yang telah di hias dengan pita di sodorkan oleh seorang bodyguard kepada Nora karena sudah saatnya pemotongan pita besar yang membentang sebagai tanda peresmian. "Ini Nyonya," ucap bodyguard tersebut. Nora mengambilnya dengan senyum tulus yang menghiasi wajahnya. "Terima kasih," ucapnya. "Baiklah, kini saatnya sesi potongan pita," ujar Fatiya di sambut sorakan antusias dari semua yang hadir.Nora mengarahkan gunting tersebut untuk memotong pita dengan mata terpejam. Dalam hati ia memanjatkan berbagi doa dan harapan untuk kesuksesan butiknya. "Satu ... dua .... tiga!" seru semuanya. Kres! Pita terpotong yang langsung di beri tepuk tangan. Kini butik besar milik Nora telah resmi dibuka. Berbagai ucapan selamat di sambut hangat oleh Nora. Gadis yang tengah berdiri di samping
"Ken," lirihnya. Nora merasakan tubuhnya lemas seketika saat melihat sebuah video yang memperlihatkan aktifitas panas dua orang berbeda jenis kelamin. Kenzo mendekati sang istri dan ikut melihat apa yang menjadikan Nora terlihat sangat terkejut. "Ken, jadi ...." Nora menutup mulutnya tak percaya. Ia saling berpandangan dengan Kenzo. Lain dengan Nora yang terlihat terkejut, Kenzo justru menyeringai melihatnya. "Wanita murahan," desisnya. "Benar-benar tak tahu malu. Setelah mengkhianati kakaknya sendiri kini dia mengkhianati suaminya. Sungguh aku sangat malu lahir dari satu rahim yang sama dengannya," ucap Nora merasa tak habis pikir. "Siapa yang mengirim?" tanya Kenzo. Nora memperlihatkan nomor tak di kenal yang mengirimnya. Ia menyentuh ikon foto dan memperbesarnya. Pupil matanya kembali melebar saat melihat foto profil nomor tersebut. "Gian!?" Kenzo meraih ponsel Nora dan melihatnya dengan seksama. "Benar. Ini memang Gian," ucapnya. "Aku yakin, pasti ada maksud tertentu meng
"Rasakan ini, Nyonya galak sekaligus cantik." Hercules menyeringai. Pria itu mulai melangkahkan kakinya menuju ke kamar Kenzo. Saat sedang berjalan, banyak anggota lain yang berpapasan dengannya dan tentu ia balas dengan senyum sombong. Begitu sampai, ia menolehkan kepalanya untuk memastikan keadaan aman karena tak menyadari bahwa dirinya saat ini tengah di awasi. "Setelah ini, aku kan mengabari Reyna ku sayang jika aku telah memberikan racun yang dia curi dari suaminya." Hercules mengetuk pintu kamar tersebut berharap Kenzo atau Nora membuka pintunya. "Apakah mereka di dalam?" tanyanya dengan kepala menoleh kesana kemari. Tok! Tok! Tok! Ia kembali mengetuk pintu di hadapannya hingga beberapa kali namun nihil, tak ada respon dari dalam menandakan sang pemilik kamar sedang tidak ada. "Biasanya mereka berada di dalam. Jika tidak, lalu dimana? Apakah mereka telah pergi dari markas?" tanyanya menerka-nerka. Tangan pria itu bergerak mengambil ponselnya di dalam saku celana. Ia bern
"Ayo, Ken." Nora menarik tangan Kenzo dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum membuka pin, ia menoleh ke belakang melihat para anggota inti. "Kalian ingin membusuk di sini?" tanyanya datar namun mampu membuat merinding. Zi dan Niel spontan menghentikan tawa mereka dan langsung berdiri diikuti Sam dan Theo. Mereka berjalan menuju pintu karena takut benar-benar akan dikurung karena ucapan Tuannya tak pernah main-main. Lagipula, yang bisa mengakses ruang rahasia ini hanyalah Kenzo seorang. "Maafkan kami, Tuan," ucap empat pria di belakang Nora dengan kepala tertunduk. Kenzo tak membalas dan memasukkan beberapa angka pin untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, pria itu meraih telapak tangan sang istri dan menggandengnya berjalan keluar diikuti yang lain. Ruang rahasia ini terletak di dalam ruang laboratorium yang cukup besar. Laboratorium ini digunakan untuk membuat berbagi obat-obatan serta racun sebagai salah satu aset milik mafia yang dipimpin oleh Kenzo. Jadi, tak perlu d
"Ayo, minumlah," ucap Nora menyeringai. Hercules menatap Nora dan Kenzo dengan tatapan rumit namun tetap mempertahankan senyumnya. "Ah, saya sudah meminum kopi tadi pagi, tidak baik terlalu sering meminum kopi karena akan mengganggu lambung," tolak Hercules dengan logis disertai senyum kemenangan. "Itu dia, aku juga sedang tidak boleh meminum kopi untuk kesehatan lambung. Daripada kopi spesial ini dibuang, lebih baik kau minum saja," saran Nora dengan menekan kata 'spesial'. 'Sial! Wanita ini tak mudah untuk di bodohi!' rutuk Hercules dalam hati. "Minum saja," ucap Kenzo dengan mengangkat cangkirnya. Ia menatap tajam Hercules. Hercules yang ditatap seperti itu merasa khawatir jika Kenzo akan mencurigainya jika ia menolak. Dengan enggan, ia mengambil secangkir kopi yang ia siapkan untuk sang Nyonya dan kini ia yang harus meminumnya. Tatapan Kenzo masih tertuju pada Hercules yang mulai mengangkat cangkir di tangannya lalu mengarahkan ke mulut pria itu. Kenzo melakukan hal yang s
"Justru aku yang merasa takut,"ungkap pria itu dengan tatapan teduh. Nora dapat merasakan ketulusan pria di hadapannya ini. "Sejak kapan pemimpin mafia paling kejam dan sadis memiliki rasa takut? Hm?" kelakar Nora dengan tawa kecilnya. Ia menatap sang suami dengan tatapan jahil. Kenzo mendekatkan wajah mereka. "Dengar," ujarnya membuat Nora menghentikan tawa dan menatap Kenzo serius. Tak ada raut jahil lagi di wajahnya. "Aku tak takut akan apapun termasuk kematianku. Aku hanya takut, jika belum membahagiakanmu dan aku telah pergi terlebih dahulu."Ungkapan Kenzo membuat hati Nora terasa berdenyut sedih. Apakah benar sosok di hadapannya ini adalah seorang pemimpin mafia paling ditakuti? Pikirnya. "Padahal, aku sudah tahu saat memutuskan hidup bersamamu berarti aku akan membawamu dalam kehidupan ku yang mengerikan dan penuh akan mara bahaya." Kenzo mengelus pipi Nora yang terasa halus. Alih-alih menunjukkan kesedihannya, Nora kini justru tersenyum. "Tak perlu menghawatirkan itu. A
"Aku, aku yang meminum racun itu," jawab Hercules. "Apa!?" pekik Reyna histeris. "Bagaimana bisa!? Ini bahaya! Kau harus ke rumah sakit sekarang sayang! Jika tidak maka tubuhmu akan lumpuh!" Reyna berdiri dengan cepat. Ia kini berada di dalam kamarnya sendirian. "Ce-ceritanya panjang. Tubuhku rasanya mati rasa sekarang," tutur Hercules dengan napas berat. Ia bahkan mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk mengangkat ponsel agar tetap menempel di telinganya. "Bagaimana ini!? Tak ada yang bisa di mintai bantuan! Tak mungkin aku meminta tolong pada Kak Nora," ucap Reyna.Wanita itu berjalan mondar-mandir memikirkan bagaimana caranya agar sang kekasih segera di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. "Tak mungkin juga aku meminta bantuan pada anak buah Kak Gian." Reyna menghela napasnya yang mulai tak beraturan karena merasa cemas. "Sayang, tenang saja oke? Aku akan mencari pertolongan secepatnya. Tetapi sebentar, adakah jendela di dalam kamarmu?" tanya Reyna memastikan.
"Hahaha!" Nora tertawa terbahak-bahak dengan menatap Reyna tajam. Ekspresi bengis terpampang jelas di wajah cantiknya. "Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu, Reyna,"Di depan Reyna, Nora berdiri tegak. Gadis itu mengambil sebuah botol berisi racun di dalam saku jaketnya. Sorot mata Nora tampak dingin, seperti cahaya remang yang memantul di permukaan cairan berbahaya itu. Dia terlihat tak berperasaan, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Minum ini, Reyna," perintahnya dengan suara datar, seolah mengabaikan rasa takut yang terpancar dari Reyna. "Jika kau memang menyesal, buktikan padaku."Reyna menatap botol itu, mulutnya terasa kering. "Kak, tolong… jangan lakukan ini!" ucapnya, suara penuh kepanikan. "Kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain. Ingat Kak! Kita pernah menjadi saudara!"Nora mengangkat bahu, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saudara? Aakah kau benar-benar percaya bahwa kita masih bisa menjadi saudara lagi setelah semua yang kau lak
Nora menatap ke arah hutan yang gelap, napasnya teratur namun penuh semangat. "Waktunya telah tiba. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini, Kenzo." "Ayo kita lakukan. Jika Reyna ada di sini, kita akan menemukannya."Nora merasakan getaran di sakunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Ayah di layar. Dengan sedikit keraguan, ia mengangkat telepon."Nora, kami semua mendukungmu," suara Ayahnya terdengar tenang namun tegas, "Reyna telah melampaui batas. Dia tidak hanya mengkhianati kita, tapi juga merusak kehormatan keluarga. Kau tahu apa yang harus dilakukan."Suara Bundanya kemudian terdengar, lembut namun penuh kepastian, "Kami percaya padamu, Nak. Ini bukan lagi soal pribadi, tapi soal keluarga. Jika kau ragu, ingatlah betapa Reyna telah membuat kita terluka."Nora menggenggam ponselnya lebih erat, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Kenzo. "Ayah dan Bunda telah berbicara. Semua mendukung kita," katanya, matanya berbinar dengan tekad yang baru.Kenzo mengangg
"Ken!" Nora menatap Kenzo yang juga tengah menatapnya saat ini. Gadis itu menyibak rambutnya yang berkeringat. Keheningan di dalam markas segera pecah menjadi sorakan kegembiraan. Para anggota mafia, yang sebelumnya tegang menyaksikan pertarungan, kini bersorak merayakan kemenangan Nora atas Gian. Suara tawa dan teriakan penuh semangat menggema di seluruh ruangan, menandakan bahwa mereka telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini menjadi ancaman bagi mereka."Untuk Nyonya Nora!" teriak salah satu anggota, mengangkat senjata dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorakan lainnya menyusul, menyebar dengan cepat seperti api. "Dia telah menyelamatkan kita semua!"Kenzo berdiri di samping Nora, wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Ia mengamati sekeliling, menyaksikan bagaimana para anggotanya merayakan keberhasilan itu. "Kita tidak boleh berpuas diri!”" Kenzo mengangkat suaranya di atas keributan. "Kemenangan ini bukanlah akhir. Masih ada tugas penting yang menunggu
"Mulai sekarang, kita bergerak. Temukan Reyna, hidup atau mati."Para anggota mafia mulai bergerak cepat, mengambil posisi dan menjalankan perintah. Nora berdiri di samping Kenzo, matanya bersinar penuh ambisi dan kebencian. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah akhir dari perseteruannya dengan Reyna. Tapi kali ini, ia tidak hanya akan menang—ia akan memastikan Reyna tak pernah kembali.Ketegangan di dalam markas Kenzo tiba-tiba memuncak ketika suara deru mesin mobil dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Pintu masuk utama dibuka dengan paksa, dan rombongan mafia yang dipimpin oleh Gian melangkah masuk dengan agresif. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah tertutup oleh masker, menunjukkan bahwa mereka datang untuk bertarung. Gian, sosok tinggi besar dengan tatapan menakutkan, berdiri di depan kelompoknya. Senyumnya penuh tantangan saat ia melihat ke arah Kenzo dan anggota mafia yang berkumpul. "Kenzo," ia menyapa dengan nada mengejek. "Dengar, malam ini aku akan mengambil kemb
"Ck! Aku takkan membiarkan Nora hidup lebih lama! Besok. Yah, Besok. Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melenyapkannya dan merebut Kak Kenzo!" .... Di sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, markas mafia yang dipimpin oleh Kenzo dipenuhi dengan para anggotanya yang berkumpul di tengah malam. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya kekuningan, menerangi wajah-wajah tegang dan bersiap. Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi peta, dokumen, dan foto-foto Reyna. Suara berisik dari para anggota mafia yang berbicara dan mengasah senjata memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang yang tak terelakkan. Kenzo berdiri di depan semua orang, tubuhnya tegak, mata tajamnya memandang serius pada anak buahnya yang berjumlah puluhan. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dingin, penuh ketegasan. Rambut hitamnya tersisir rapi, namun aura di sekelilingnya memancarkan bahaya yang tak bisa disangkal. Di tangannya, sebuah pistol berlapis perak tergenggam erat. "Reyna tidak bis
Nora berhenti sejenak di depan pintu, memandang Sam dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu baik-baik saja, Sam?"Sontak, Sam mengangukkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku baik-baik saja, Nyonya," jawabnya. "Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi, kita akan melakukan pencarian untuk menemukan jalang itu. Kita akhiri saja semuanya. Aku yakin. Semua anggota keluarga kita akan merasa tenang jika benalu itu lenyap." Kenzo menajamkan matanya. .... Dalam kegelapan malam, Reyna berlari tanpa henti, menerobos ranting-ranting kasar dan daun-daun lebat di hutan yang seolah mencoba menahannya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi karena gemetar perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Tangan kirinya masih berlumuran darah Hercules, pria yang pernah begitu mencintainya. Nafasnya berat, namun ia terus berlari, seolah mencoba melarikan diri dari bayang-bayang perbuatan yang baru saja dilakukannya."Tidak ada jalan kembali," gumamnya dalam hati, matanya membara
"Astaga..." "Nora!?" seru suara yang tidak asing dari belakang membuat gadis itu menolehkan kepalanya dengan cepat untuk melihat sosok yang telah memanggilnya. "Kenzo?" Nora menatap suaminya yang tiba-tiba sudah berada di sini bersama Sam. Kedua pria itu mendekat dan melihat Hercules yang masih tergeletak di atas lantai. Kenzo langsung membawa tubuh Nora ke dalam pelukannya dengan erat untuk menumpahkan rasa khawatirnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo penuh kekhawatiran. Nora menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi, pria ini." Rossa menunjuk tubuh Hercules dengan tatapan dingin. "Sam, cek keadaannya!" Aroma darah yang samar menyeruak di udara, membuat perut Sam terasa mual. Hercules tergeletak tak bergerak di lantai, genangan darah tampak mulai mengering di sekitarnya.Sam mendekati tubuh itu dengan hati-hati. Wajah Hercules pucat, matanya terbuka kosong, tidak lagi bernafas. Sam berlutut, memeriksa denyut nadinya di leher, tapi seperti yang sudah ia duga, tidak ada
Sesaat kemudian, wajah Kenzo terkena lampu sorot dari sebuah mobil yang berjalan mendekat. Tak lama, mobil itu berhenti di dekatnya dan terlihatlah siapa yang mengemudikan mobil tersebut. "Tuan!" seru Sam dari dalam mobil yang mana hal itu membuat Kenzo langsung berdiri dan bergerak cepat masuk ke dalam mobil. Setelah Kenzo masuk, mobil pun kembali melaju dengan cepat membelah jalanan yang terlihat cukup senggang. ....Rossa, dengan gerak langkah hati-hati, menelusuri lorong sempit menuju apartemen Hercules yang telah dirinya ketahui. Cahaya bulan yang redup dari jendela di ujung lorong cukup memberikan penerangan baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa dendam dan sedikit kekalutan mengisi udara di sekitarnya. Dia tahu bahwa Reyna dan pria itu sedang ada di dalam. Langkahnya semakin pelan saat dia mendekati pintu apartemen.Dengan cekatan, Rossa menyelipkan kunci cadangan yang berhasil ia peroleh dari mencari ke sekitar area pintu dan ternyata kunci itu berada
Di sisi lain, Kenzo yang berada di dalam kamar mengerjapkan matanya ketika tangannya meraba-raba ke samping dan tidak menemukan keberadaan sang istri di sampingnya. "Nora!?" panggil Kenzo dengan suara keras. "Dimana dia?" Pria itu bangun dari tidurnya dan beranjak duduk. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan sang Istri. Pintu kamar tertutup rapat. Pintu kamar mandi pun sama. Kenzo turun dari atas ranjang dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Saat ini, Kenzo telah keluar dari dalam kamar. Suasana rumah yang sepi seketika menyambutnya. Tanpa memikirkan penghuni lain akan merasa terganggu atau tidak, pria itu akhirnya berteriak. "Nora!" panggilnya yang mana hal itu membuat suaranya menggema di seluruh penjuru rumah. Kenzo dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada istrinya saat ini, mengingat baru saja mereka telah mengalami insiden mengerikan di area villa tersebut. Pria itu tidak tahu sa