"Ayo, minumlah," ucap Nora menyeringai. Hercules menatap Nora dan Kenzo dengan tatapan rumit namun tetap mempertahankan senyumnya. "Ah, saya sudah meminum kopi tadi pagi, tidak baik terlalu sering meminum kopi karena akan mengganggu lambung," tolak Hercules dengan logis disertai senyum kemenangan. "Itu dia, aku juga sedang tidak boleh meminum kopi untuk kesehatan lambung. Daripada kopi spesial ini dibuang, lebih baik kau minum saja," saran Nora dengan menekan kata 'spesial'. 'Sial! Wanita ini tak mudah untuk di bodohi!' rutuk Hercules dalam hati. "Minum saja," ucap Kenzo dengan mengangkat cangkirnya. Ia menatap tajam Hercules. Hercules yang ditatap seperti itu merasa khawatir jika Kenzo akan mencurigainya jika ia menolak. Dengan enggan, ia mengambil secangkir kopi yang ia siapkan untuk sang Nyonya dan kini ia yang harus meminumnya. Tatapan Kenzo masih tertuju pada Hercules yang mulai mengangkat cangkir di tangannya lalu mengarahkan ke mulut pria itu. Kenzo melakukan hal yang s
"Justru aku yang merasa takut,"ungkap pria itu dengan tatapan teduh. Nora dapat merasakan ketulusan pria di hadapannya ini. "Sejak kapan pemimpin mafia paling kejam dan sadis memiliki rasa takut? Hm?" kelakar Nora dengan tawa kecilnya. Ia menatap sang suami dengan tatapan jahil. Kenzo mendekatkan wajah mereka. "Dengar," ujarnya membuat Nora menghentikan tawa dan menatap Kenzo serius. Tak ada raut jahil lagi di wajahnya. "Aku tak takut akan apapun termasuk kematianku. Aku hanya takut, jika belum membahagiakanmu dan aku telah pergi terlebih dahulu."Ungkapan Kenzo membuat hati Nora terasa berdenyut sedih. Apakah benar sosok di hadapannya ini adalah seorang pemimpin mafia paling ditakuti? Pikirnya. "Padahal, aku sudah tahu saat memutuskan hidup bersamamu berarti aku akan membawamu dalam kehidupan ku yang mengerikan dan penuh akan mara bahaya." Kenzo mengelus pipi Nora yang terasa halus. Alih-alih menunjukkan kesedihannya, Nora kini justru tersenyum. "Tak perlu menghawatirkan itu. A
"Aku, aku yang meminum racun itu," jawab Hercules. "Apa!?" pekik Reyna histeris. "Bagaimana bisa!? Ini bahaya! Kau harus ke rumah sakit sekarang sayang! Jika tidak maka tubuhmu akan lumpuh!" Reyna berdiri dengan cepat. Ia kini berada di dalam kamarnya sendirian. "Ce-ceritanya panjang. Tubuhku rasanya mati rasa sekarang," tutur Hercules dengan napas berat. Ia bahkan mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk mengangkat ponsel agar tetap menempel di telinganya. "Bagaimana ini!? Tak ada yang bisa di mintai bantuan! Tak mungkin aku meminta tolong pada Kak Nora," ucap Reyna.Wanita itu berjalan mondar-mandir memikirkan bagaimana caranya agar sang kekasih segera di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. "Tak mungkin juga aku meminta bantuan pada anak buah Kak Gian." Reyna menghela napasnya yang mulai tak beraturan karena merasa cemas. "Sayang, tenang saja oke? Aku akan mencari pertolongan secepatnya. Tetapi sebentar, adakah jendela di dalam kamarmu?" tanya Reyna memastikan.
"Jangan sampai Hercules mati sebelum aku berhasil mendapatkan pria itu dan menyingkirkan Kak Nora." Reyna kemudian berjalan dengan hati yang terasa lebih baik. Ia tak menampik hasratnya yang yang menginginkan kedua pria itu menggagahinya. "Aku tek pernah memerhatikan mereka. Ternyata mereka mempunyai tubuh yang menggoda. Ah, apakah anak buah Kak Gian yang lain juga seperti itu?" Wanita itu tersenyum membayangkan hal yang akan ia lakukan di saat sang suami sedang tak ada di dalam rumah hingga sampai di kamarnya. Di saat kedua pria suruhan Reyna melaksanakan tugas, Nora dan Kenzo kini tengah menonton sebuah drama di laptop milik pria itu. Nora duduk bersandar di dada sang suami dengan Kenzo yang bersandar di sandaran ranjang. Gadis itu meletakkan Laptop di atas pangkuannya agar ia dan sang suami bisa dengan leluasa menontonnya. "Film ini membosankan," celetuk Kenzo. Pria itu menatap malas pada layar di hadapannya yang menunjukkan film kartun Disney. "Ini seru Ken, aku dapat memba
"Hiakk!" Bruk!Kenzo jatuh dari atas ranjang dengan posisi tengkurap. Wajahnya mencium lantai dengan keras. Nora terperangah melihatnya. Ia mengigit bibirnya menahan sesuatu yang terasa geli di perutnya saat merasa posisi jatuh Kenzo sangatlah tidak elit. "Pfff! Hahaha!" Tawa Nora langsung meledak hingga matanya menyipit. Ia melongokan kepalanya melihat sang suami yang masih berada di atas lantai. "Bangun, Ken. Kenapa dirimu bisa jatuh?" tanyanya mengejek. Kenzo menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan lalu bangkit seraya mengusap-usap wajahnya yang terasa kebas karena membentur lantai. "Itu, Sam menelepon." Jari telunjuk Nora mengancung pada Ponsel milik Kenzo yang masih bergetar menunjukkan ada sebuah panggilan yang masuk. Tanpa mengatakan apapun, Kenzo mengambilnya ponselnya dan menerima panggilan dadi anak buahnya itu. "Ada apa?" tanyanya datar dengan kaki melangkah menuju sofa. "Gawat Tuan. Ada penyusup!" seru Sam dari seberang sana. Langkah k
"Aku ...." ucap Nora menggantung. "Hm?" Rasa bersalah Nora kian bertambah. Ia bergerak gelisah dalam rengkuhan Kenzo. Pria itu mengangkat wajahnya lalu meletakkan dagunya pada pundak Nora masih dengan mata terpejam. "Tak apa, aku takkan memaksa. Aku juga tahu bagaimana kondisi kita saat ini," ujarnya dengan suara berat namun lembut. "Sekali lagi maafkan aku, aku belum bisa memenuhi tugasku sebagai seorang istri. Padahal itu tanggung jawabku." Nora bangkit berdiri lalu menangkup wajah Kenzo dengan kedua telapak tangannya. "Tetapi, membayar wanita sampah hanya untuk membuang benih mu bukalah suatu hal yang bisa aku maafkan Ken. Aku hanya meminta pengertian mu, sebentar lagi saja. Jangan pernah melakukan hal itu," kata Nora tegas. Kenzo melingkarkan tangannya pada pinggang sang istri dengan menatapnya dalam. "Aku bukan pria bodoh. Aku tak sebejat itu," balasnya. Senyum manis Nora mengembang saat mendengar ucapan Kenzo. Lagi-lagi di dalam hati ia merasa bersyukur atas kehidupan ke
"Ah, itu mereka," gumam Reyna lalu kembali meneguk anggur di dalam gelas. Kakinya ia silangkan dengan gaya seksi. Terdengar suara pintu di ketuk dari luar. Reyna jelas saja mendengarnya dan beranjak berdiri lalu berjalan menuju pintu kamar. Klek! "Selesai?" tanyanya dengan gestur tubuh menggoda. Reyna mengenakan lingerie berwarna hitam renda-renda serta belahan dada rendah yang memperlihatkan sedikit isi di dalam sana. Sontak saja Jez dan Bob melebarkan matanya dengan jakun naik turun menelan ludah melihat sosok wanita di hadapan mereka. "Sudah kamu lakukan," jawab Bob yang telah menetralkan perasaannya. "Bagus, apakah dia begitu parah?" Reyna menyandarkan tubuhnya pada pintu. "Lumayan, tetapi masih tertolong." Jez melangkah maju mendekati Reyna. "Ow~ baiklah, ayo masuk," ajak Reyna membuat kedua pria dewasa di hadapannya merasa senang lalu mengikuti langkah Reyna. "Jangan lupa kunci pintunya." Reyna memerintah pada Bob sedangkan tubuhnya ia dekatkan pada Jez. Wanita itu men
"Memangnya ada apa di sana?" Nora mengerjapkan matanya. "Di sana .... adalah daerah kekuasaan Gian," jawab Kenzo. Sebelah alis Nora terangkat. "Benarkah? Jika begitu, aku tak mau di sana." Kenzo menganggukkan kepalanya. "Lebih baik di sini." Pria itu menunjukkan salah satu foto villa dengan pantai yang terlihat sangat sejuk lagi indah. Pasir sangat putih serta airnya berwarna biru cerah. "Ini bagus. Baiklah, di sini saja," putus Nora. "Sekarang, tidur." Kenzo meraih tubuh Nora dan merebahkannya bersama dengan tubuhnya. Ia membawa sang istri masuk ke dalam pelukannya, tak lupa meletakkan ponsel di atas nakas terlebih dahulu lalu mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. "Ken." Tangan Nora mengusap rahang tegas Kenzo. Sedangkan pria itu memejamkan matanya saat mendapatkan perlakuan lembut dari sang istri. "Kenapa?" tanyanya lembut. "Aku menghawatirkan sesuatu tapi entah apa itu. Aku ingin mengatakan semua bebanku kepadamu tetapi aku masih ragu," ungkap gadis itu sedih.
"Hahaha!" Nora tertawa terbahak-bahak dengan menatap Reyna tajam. Ekspresi bengis terpampang jelas di wajah cantiknya. "Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu, Reyna,"Di depan Reyna, Nora berdiri tegak. Gadis itu mengambil sebuah botol berisi racun di dalam saku jaketnya. Sorot mata Nora tampak dingin, seperti cahaya remang yang memantul di permukaan cairan berbahaya itu. Dia terlihat tak berperasaan, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Minum ini, Reyna," perintahnya dengan suara datar, seolah mengabaikan rasa takut yang terpancar dari Reyna. "Jika kau memang menyesal, buktikan padaku."Reyna menatap botol itu, mulutnya terasa kering. "Kak, tolong… jangan lakukan ini!" ucapnya, suara penuh kepanikan. "Kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain. Ingat Kak! Kita pernah menjadi saudara!"Nora mengangkat bahu, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saudara? Aakah kau benar-benar percaya bahwa kita masih bisa menjadi saudara lagi setelah semua yang kau lak
Nora menatap ke arah hutan yang gelap, napasnya teratur namun penuh semangat. "Waktunya telah tiba. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini, Kenzo." "Ayo kita lakukan. Jika Reyna ada di sini, kita akan menemukannya."Nora merasakan getaran di sakunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Ayah di layar. Dengan sedikit keraguan, ia mengangkat telepon."Nora, kami semua mendukungmu," suara Ayahnya terdengar tenang namun tegas, "Reyna telah melampaui batas. Dia tidak hanya mengkhianati kita, tapi juga merusak kehormatan keluarga. Kau tahu apa yang harus dilakukan."Suara Bundanya kemudian terdengar, lembut namun penuh kepastian, "Kami percaya padamu, Nak. Ini bukan lagi soal pribadi, tapi soal keluarga. Jika kau ragu, ingatlah betapa Reyna telah membuat kita terluka."Nora menggenggam ponselnya lebih erat, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Kenzo. "Ayah dan Bunda telah berbicara. Semua mendukung kita," katanya, matanya berbinar dengan tekad yang baru.Kenzo mengangg
"Ken!" Nora menatap Kenzo yang juga tengah menatapnya saat ini. Gadis itu menyibak rambutnya yang berkeringat. Keheningan di dalam markas segera pecah menjadi sorakan kegembiraan. Para anggota mafia, yang sebelumnya tegang menyaksikan pertarungan, kini bersorak merayakan kemenangan Nora atas Gian. Suara tawa dan teriakan penuh semangat menggema di seluruh ruangan, menandakan bahwa mereka telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini menjadi ancaman bagi mereka."Untuk Nyonya Nora!" teriak salah satu anggota, mengangkat senjata dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorakan lainnya menyusul, menyebar dengan cepat seperti api. "Dia telah menyelamatkan kita semua!"Kenzo berdiri di samping Nora, wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Ia mengamati sekeliling, menyaksikan bagaimana para anggotanya merayakan keberhasilan itu. "Kita tidak boleh berpuas diri!”" Kenzo mengangkat suaranya di atas keributan. "Kemenangan ini bukanlah akhir. Masih ada tugas penting yang menunggu
"Mulai sekarang, kita bergerak. Temukan Reyna, hidup atau mati."Para anggota mafia mulai bergerak cepat, mengambil posisi dan menjalankan perintah. Nora berdiri di samping Kenzo, matanya bersinar penuh ambisi dan kebencian. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah akhir dari perseteruannya dengan Reyna. Tapi kali ini, ia tidak hanya akan menang—ia akan memastikan Reyna tak pernah kembali.Ketegangan di dalam markas Kenzo tiba-tiba memuncak ketika suara deru mesin mobil dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Pintu masuk utama dibuka dengan paksa, dan rombongan mafia yang dipimpin oleh Gian melangkah masuk dengan agresif. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah tertutup oleh masker, menunjukkan bahwa mereka datang untuk bertarung. Gian, sosok tinggi besar dengan tatapan menakutkan, berdiri di depan kelompoknya. Senyumnya penuh tantangan saat ia melihat ke arah Kenzo dan anggota mafia yang berkumpul. "Kenzo," ia menyapa dengan nada mengejek. "Dengar, malam ini aku akan mengambil kemb
"Ck! Aku takkan membiarkan Nora hidup lebih lama! Besok. Yah, Besok. Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melenyapkannya dan merebut Kak Kenzo!" .... Di sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, markas mafia yang dipimpin oleh Kenzo dipenuhi dengan para anggotanya yang berkumpul di tengah malam. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya kekuningan, menerangi wajah-wajah tegang dan bersiap. Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi peta, dokumen, dan foto-foto Reyna. Suara berisik dari para anggota mafia yang berbicara dan mengasah senjata memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang yang tak terelakkan. Kenzo berdiri di depan semua orang, tubuhnya tegak, mata tajamnya memandang serius pada anak buahnya yang berjumlah puluhan. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dingin, penuh ketegasan. Rambut hitamnya tersisir rapi, namun aura di sekelilingnya memancarkan bahaya yang tak bisa disangkal. Di tangannya, sebuah pistol berlapis perak tergenggam erat. "Reyna tidak bis
Nora berhenti sejenak di depan pintu, memandang Sam dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu baik-baik saja, Sam?"Sontak, Sam mengangukkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku baik-baik saja, Nyonya," jawabnya. "Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi, kita akan melakukan pencarian untuk menemukan jalang itu. Kita akhiri saja semuanya. Aku yakin. Semua anggota keluarga kita akan merasa tenang jika benalu itu lenyap." Kenzo menajamkan matanya. .... Dalam kegelapan malam, Reyna berlari tanpa henti, menerobos ranting-ranting kasar dan daun-daun lebat di hutan yang seolah mencoba menahannya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi karena gemetar perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Tangan kirinya masih berlumuran darah Hercules, pria yang pernah begitu mencintainya. Nafasnya berat, namun ia terus berlari, seolah mencoba melarikan diri dari bayang-bayang perbuatan yang baru saja dilakukannya."Tidak ada jalan kembali," gumamnya dalam hati, matanya membara
"Astaga..." "Nora!?" seru suara yang tidak asing dari belakang membuat gadis itu menolehkan kepalanya dengan cepat untuk melihat sosok yang telah memanggilnya. "Kenzo?" Nora menatap suaminya yang tiba-tiba sudah berada di sini bersama Sam. Kedua pria itu mendekat dan melihat Hercules yang masih tergeletak di atas lantai. Kenzo langsung membawa tubuh Nora ke dalam pelukannya dengan erat untuk menumpahkan rasa khawatirnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo penuh kekhawatiran. Nora menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi, pria ini." Rossa menunjuk tubuh Hercules dengan tatapan dingin. "Sam, cek keadaannya!" Aroma darah yang samar menyeruak di udara, membuat perut Sam terasa mual. Hercules tergeletak tak bergerak di lantai, genangan darah tampak mulai mengering di sekitarnya.Sam mendekati tubuh itu dengan hati-hati. Wajah Hercules pucat, matanya terbuka kosong, tidak lagi bernafas. Sam berlutut, memeriksa denyut nadinya di leher, tapi seperti yang sudah ia duga, tidak ada
Sesaat kemudian, wajah Kenzo terkena lampu sorot dari sebuah mobil yang berjalan mendekat. Tak lama, mobil itu berhenti di dekatnya dan terlihatlah siapa yang mengemudikan mobil tersebut. "Tuan!" seru Sam dari dalam mobil yang mana hal itu membuat Kenzo langsung berdiri dan bergerak cepat masuk ke dalam mobil. Setelah Kenzo masuk, mobil pun kembali melaju dengan cepat membelah jalanan yang terlihat cukup senggang. ....Rossa, dengan gerak langkah hati-hati, menelusuri lorong sempit menuju apartemen Hercules yang telah dirinya ketahui. Cahaya bulan yang redup dari jendela di ujung lorong cukup memberikan penerangan baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa dendam dan sedikit kekalutan mengisi udara di sekitarnya. Dia tahu bahwa Reyna dan pria itu sedang ada di dalam. Langkahnya semakin pelan saat dia mendekati pintu apartemen.Dengan cekatan, Rossa menyelipkan kunci cadangan yang berhasil ia peroleh dari mencari ke sekitar area pintu dan ternyata kunci itu berada
Di sisi lain, Kenzo yang berada di dalam kamar mengerjapkan matanya ketika tangannya meraba-raba ke samping dan tidak menemukan keberadaan sang istri di sampingnya. "Nora!?" panggil Kenzo dengan suara keras. "Dimana dia?" Pria itu bangun dari tidurnya dan beranjak duduk. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan sang Istri. Pintu kamar tertutup rapat. Pintu kamar mandi pun sama. Kenzo turun dari atas ranjang dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Saat ini, Kenzo telah keluar dari dalam kamar. Suasana rumah yang sepi seketika menyambutnya. Tanpa memikirkan penghuni lain akan merasa terganggu atau tidak, pria itu akhirnya berteriak. "Nora!" panggilnya yang mana hal itu membuat suaranya menggema di seluruh penjuru rumah. Kenzo dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada istrinya saat ini, mengingat baru saja mereka telah mengalami insiden mengerikan di area villa tersebut. Pria itu tidak tahu sa