Majandra mendelik tajam kepada Alexandre. Sorot protes tampak jelas dari sepasang mata abu-abunya. Akan tetapi, pria itu seakan berpura-pura tak menyadari bahwa Majandra tengah menatap ke arahnya. Alexandre terus membalas ucapan Phillipe.
Merasa bahwa Alexandre tak menanggapi sikap protes yang dia tunjukkan, Majandra menggeser kakinya ke dekat kaki sang suami. Dia menginjak sepatu pantofel mengilap yang pria itu kenakan. Kebetulan, Majandra mengenakan sepatu dengan model wedges. Wanita cantik berponi tadi tersenyum manis pada Estelle yang ikut berbicara. Sedangkan, kaki kanannya terus menekan di atas pantofel Alexandre.
Makin lama, Alexandre merasa semakin tak nyaman. Dia sempat menunduk untuk memastikan. Sang pemilik La Bougenville tersebut mendehem pelan, sebagai kode agar Majandra menghentikan aksinya.
Seketika, raut wajah Estelle berubah. Dia yang tadinya sudah menunjukkan perlawanan, tiba-tiba merasa begitu tak berdaya. Wanita itu terisak pelan, dengan kepala menunduk dalam-dalam. “Dasar cengeng!” hardik Phillipe. “Sudah setua ini masih saja menangis seperti bocah!” ledeknya. “Kau juga sudah setua ini, tapi masih saja bermain gila dengan banyak wanita ….” “Tutup mulutmu!” sergah Phillipe. “Kita tidak sedang membahas masalah itu! Aku hanya ingin agar kau membujuk Majandra, supaya tak melanjutkan niatnya untuk bercerai dari Alexandre. Jika kau berhasil dalam melakukan itu, maka nyawamu akan baik-baik saja. Aku berjanji tak akan melakukan apa pun terhadap dirimu. Begitu juga dengan rahasia tentang Marlon Archambeau. Semuanya akan terjaga.” “Kau benar-benar licik, Phillipe! Pantas jika dulu kakek yang awalnya menyukaimu, tiba-tiba tak setuju saat ayah akan menjodohkan kita!” Bukannya tersinggung dengan ucapan Estelle, Phillipe justru tertawa renyah penuh ejekan. “Kakekmu adalah p
Sontak, Estelle dan Majandra serentak menoleh. Kedua wanita itu tak tahu sejak kapan Alexandre ada di sana. Majandra saling pandang dengan Estelle. Sorot mata keduanya penuh isyarat yang dimengerti oleh mereka. “Alex? Sejak kapan kau di sini?” tanya Majandra. Sebisa mungkin, dia menyembunyikan rasa gugup. “Kau mengatakan hanya ingin ke toilet. Aku menunggumu di mobil sejak tadi,” jawab Alexandre. “Ah, i-iya.” Majandra tampak salah tingkah. Dia lalu menoleh kepada Estelle. “Aku pulang dulu, Bu.” Setelah berpamitan, Alexandre dan Majandra melangkah keluar dari kediaman mewah Keluarga LaRue. Alexandre langsung membukakan pintu untuk sang istri, yang tak tertarik menanggapi sikap baiknya. Majandra bahkan tak mengucapkan terima kasih sama sekali. “Bagaimana jika kita berjalan-jalan dulu sebentar? Apa kau ingin sesuatu? Minuman dingin, es krim, atau ….” “Aku ingin turun di sini saja,” jawab Majandra dingin. Raut wajah Alexandre tiba-tiba berubah masam. Pria itu mengembuskan napas pel
“Kenapa kau berpikir demikian?” tanya Majandra, tanpa mengalihkan pandangan dari paras tampan Damien. “Entahlah. Aku hanya merasa belum percaya diri ….”“Aku akan segera bercerai dengan Alexandre,” tegas Majandra menyela ucapan Damien. Dia tak ingin pria itu meragukannya. “Akan segera bukan berarti sudah, Sayang,” bantah Damien. “Kau meragukanku?” protes Majandra.Damien menggumam pelan. Senyuman kalem yang menjadi ciri khas pria itu, terlihat menghiasi paras tampannya. Dia tahu bahwa Majandra tak menyukai apa yang dirinya ucapkan tadi. Mau tak mau, putra Julien Curtis tersebut harus memberikan sedikit rayuan. Damien meraih tangan berjemari lentik Majandra, lalu digenggam erat. Tak lupa, dia juga menciumnya dalam-dalam. “Aku rasa, justru kaulah yang takut kehilangan diriku,” ucap CEO muda tadi percaya diri. Majandra tak menanggapi. Dia segera memalingkan wajah dari pria itu. “Kau tak tahu apa yang terjadi,” ucap Majandra pelan. “Aku memang tak tahu, karena kau belum bercerita,” s
Majandra menatap lekat Julien. Raut wajah wanita asal Meksiko tersebut begitu serius. Pikirannya langsung terpusat kepada Phillipe. Setelah mengetahui sikap ayahanda Alexandre tersebut kepada Estelle, rasanya wajar bila dia mulai mengira yang tidak-tidak. “Apakah ayah mertuaku ada hubungannya dengan semua itu?” tanya Majandra ragu dan sangat hati-hati.“Apa maksudmu, Majandra?” tanya Damien tak mengerti. Dia menatap wanita cantik tadi, seakan meminta penjelasan darinya.Akan tetapi, Majandra terlihat ragu untuk memberitahukan secara detail.Sementara, Julien kembali berpikir. Sepertinya, pria itu mengetahui banyak hal.“Bagaimana, Tuan? Apakah Anda bisa memberikan sedikit informasi atau apapun itu?” tanya Majandra set
“Ancaman serius seperti apa?” tanya Damien seraya membetulkan posisi duduk. “Aku akan menceritakan sesuatu padamu. Namun, kau harus berjanji tak akan mengatakan ini pada siapa pun.” Majandra terlihat sangat serius. “Kau tidak percaya padaku? Mulutku hanya akan terbuka jika dirimu yang meminta,” ujar Damien kalem. “Ck!” Majandra berdecak pelan. Dia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa sambil melipat kedua tangan di dada. Tatapan wanita itu lurus tertuju pada tungku perapian. “Ini sesuatu yang di luar dugaan , Damien. Sore ini, aku mendengar perbincangan antara ayah dan ibu mertuaku. Aku tidak berniat menguping, tapi … ibu mertuaku ketakutan.” Damien menyimak penuturan Majandra dengan serius. “Mereka membahas tentang sesuatu yang berkaitan dengan nama baik Tuan Marlon Archambeau. Aku tidak tahu apa itu. Akan tetapi, hal tersebut telah membuat ibu mertuaku menjadi sangat tertekan. Selama ini, dia selalu diam dan menurut,” tutur Majandra lagi.Damien belum menanggapi. Dia masih terus
Damien memarkirkan mobil Jeep Wrangler-nya tepat di dekat undakan anak tangga menuju teras. Pria itu tak segera keluar. Dia terlihat begitu berat, dan seakan tak ingin membiarkan Majandra turun dari kendaraan. “Kau masih ingat dengan semua instruksi yang kukatakan tadi?” tanya Damien memastikan. “Iya,” jawab Majandra seraya mengangguk. “Kau yakin dengan rencana ini?” Majandra terdengar ragu. Senyum kalem penuh pesona terlukis di bibir Damien. Dia dapat merasakan dengan jelas, bahwa wanita itu sedang dilanda rasa gugup yang cukup besar. Damien melihat Majandra menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dalam situasi seperti ini, Damien menunjukkan bahwa dirinya merupakan pria yang paling tepat untuk mendampingi serta melindungi Majandra. Dia begitu lembut dalam memperlakukan wanita itu. Damien meraih lalu memperhatikan telapak tangan Majandra. Pria tampan tersebut mengusap lembut keringat yang membasahinya, hingga terasa kering. Sementara, Majandra hanya memperhatikan. Dia menatap
Alexandre menelan ludah dalam-dalam, setelah mendengar ucapan Majandra. Dia tak dapat menebak apa yang wanita itu pikirkan. Selama menjalani biduk rumah tangga, Majandra tak pernah mengambil tindakan seperti saat ini.“Kenapa kau harus pindah kamar? Selama ini, kita baik-baik saja tidur di satu ruangan dan kasur yang sama,” ujar Alexandre heran. “Aku tak akan menyentuhmu, jika kau tak menghendakinya,” ucap pria itu lagi.Majandra tak langsung menanggapi. Dia sadar bahwa Alexandre tak mengingat apa pun yang terjadi antara mereka berdua. Wanita cantik asal Meksiko tersebut tak ingin membahasnya. Lagi pula,, Majandra juga sudah membuang jauh segala hal, yang berkaitan dengan sang pemilik La Bougenville tadi.“Kau bisa tetap di sini, Majandra. Kita jalani hari-hari seperti
Sepeninggal Alexandre, Majandra langsung bangkit. Dia duduk bersandar pada headboard. Diliriknya piring berisi menu sarapan beserta segelas jus yang Alexandre bawakan tadi. Seulas senyuman penuh kemenangan, tersungging di bibir Majandra. Namun, hal manis yang Alexandre lakukan pagi ini, tak akan membuat dirinya terlena. Majandra lebih memilih meraih telepon genggam, lalu menghubungi Damien. “Selamat pagi, tampan,” sapa Majandra, saat panggilannya sudah tersambung. “Bagaimana kondisi perutmu hari ini?” tanyanya perhatian. “Selamat pagi, cantik,” balas Damien lembut, tapi masih terkesan gagah dan penuh wibawa. “Seharusnya, kunikahi kau saat ini juga. Dengan begitu, aku bisa melihat wajahmu sebelum dan setelah bangun tidur,” ujar Damien. Pria itu tengah sibuk merapikan dasi. “Hari ini, aku harus menghadiri pertemuan penting,” ucapnya kemudian. “Apakah seharian penuh?” tanya Majandra polos. “”Sepertinya begitu,” jawab Damien. “Aku punya waktu beberapa menit untuk istirahat makan siang.
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe