Alexandre tertegun beberapa saat, ketika melihat penampakan seorang wanita yang sudah dirinya kenal. Pria itu menggeleng tak percaya. Namun, Alexandre berusaha tetap terlihat biasa saja. “Terima kasih atas kerjasamanya,” ucap suami Majandra tersebut.
“Apakah Anda menemukan sesuatu atau seseorang yang dirasa mencurigakan, Tuan?” tanya petugas di ruang pengawas keamanan.
"Aku rasa, ini hanya keteledoran kekasihku. Tidak apa-apa,” jawab Alexandre. Dia bergegas keluar dari ruangan itu. Alexandre kembali ke kamar penginapan. Di sana, dia mendapati Lea yang masih duduk bersandar di tempat tidur.
“Kau ingin makan apa?” tanya Alexandre.
“Terserah kau saja,” jawab Lea. Dia menatap aneh kepada Alexandre yang t
Majandra menahan tubuh tegap Damien yang hilang keseimbangan. Darah pun mengucur deras dari perut sebelah kanan. Tadinya, Damien bermaksud hendak merebut pisau dari tangan Lea. Namun, ternyata benda tajam itu justru bersarang di tubuhnya. “Astaga.” Lea terlihat resah. “Aku tidak bermaksud melukaimu. Sasaranku adalah Majandra,” ucapnya dengan raut teramat gelisah. Terlebih, saat Damien ambruk di lantai. “Apa yang kau lakukan, Lea?” Suara berat Alexandre terdengar di sana. Membuat Lea menjadi semakin tak karuan. “Ya, Tuhan,” desis pria itu. Meski Alexandre tak menyukai Damien, tapi dia merasa harus membantunya. Beberapa saat kemudian, Damien sudah dibawa ke fasilitas kesehatan yang berada tak jauh dari resort. Kebetulan, di sana fasilitasnya sudah memadai, sehingga Damien tak harus dirujuk ke tempat lain. Majandra ikut menemani, meski dirinya tak sempat berganti pakaian. Wanita itu masih mengenakan kimono tidur. Dia duduk seorang diri, menunggu di luar ruang tindakan. Majandra terus
Majandra tersenyum mencibir. Dia melipat kedua tangan di dada. Sikapnya terlihat sangat angkuh di hadapan Alexandre, yang justru memasang ekspresi sebaliknya. “Apa maksudmu, Alexandre? Jangan hanya karena kau membawakanku pakaian ganti dan makanan, lantas itu bisa membuat diriku seketika terkesan padamu.” Majandra tersenyum sinis. “Maaf, aku tidak ingin menjadi wanita bodoh lagi seperti dulu. Biarkan diriku menjalani hidup dengan tenang.”“Kau tahu bahwa ibu dan ayah tidak akan menyukai perceraian kita,” ucap Alexandre, seakan tengah membujuk Majandra. Namun, sayangnya gaya bicara sang pemilik La Bougenville tersebut tak bisa luwes seperti Damien. Sehingga, dia tak terlihat sedang membujuk seseorang.“Aku tak ingin memikirkan orang lain terus-menerus. Rasanya, aku juga berhak bahagia tanpa harus memedulikan apa at
“Apa semuanya sudah siap?” tanya Alexandre. Dia berdiri di ambang pintu kamar Majandra.“Sudah,” jawab Majandra singkat, tanpa menoleh kepada pria itu. Majandra bermaksud hendak menurunkan koper dari kasur.“Biar kubantu,” ucap Alexandre. Pria tampan berambut cokelat tembaga itu bergegas meraih koper berukuran cukup besar tadi. Dia menurunkannya ke lantai.Sikap baik Alexandre, tentu saja membuat Majandra seketika mengernyitkan kening. Akan tetapi, wanita itu tak ingin berkomentar apapun. Majandra berlalu dari hadapan sang suami, yang seakan ingin mencari perhatian darinya.“Apa kau butuh bantuan lain?” tawar Alexandre.“Aku rasa tidak ada,&rd
Majandra tertawa mencibir kepada Alexandre. Wanita asal Meksiko itu makin tak habis pikir, dengan perubahan yang terjadi dalam diri suaminya. “Sejak kapan kau mengakuiku sebagai istri?”“Kau tak perlu bertanya seperti itu. Kita memang suami istri, karena kau dan aku sudah terikat dalam ikatan suci pernikahan,” jawab Alexandre penuh percaya diri. Akan tetapi, ucapan pria tampan berambut cokelat tembaga itu justru menjadi olok-olok memuaskan bagi Majandra. Wanita cantik dengan midi dress floral lengan pendek itu lagi-lagi tertawa. “Alexandre LaRue,” sebutnya diiringi decakan pelan. “Aku tidak melihat malaikat turun ke bumi. Entah apa yang sudah memengaruhi pikiranmu, sehingga kau bersikap begini?” cibir Majandra lagi. “Memangnya ada yang aneh?” Alexandre menaikkan sebelah alis, sebagai tanda tak mengerti. “Ya, Tuhan.” Majandra menggeleng pelan. “Sudahlah, Alex. Cukup dan hentikan semua lelucon ini, karena kau hanya membuatku tak nyaman. Kau pikir ini menyenangkan? Jawabannya adalah t
Julien melayangkan tatapan penuh tanda tanya kepada Damien. Pria paruh baya itu seakan meminta penjelasan, tentang apa yang Aime katakan barusan. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari putra bungsunya tersebut, Julien menyuruh kedua cucunya keluar kamar. “Apa kau bisa menjelaskan sesuatu padaku?”Damien tidak segera menjawab. Dia menoleh sekilas kepada sang ayah, lalu tersenyum kalem seakan tak ada beban sama sekali. Pria tiga puluh empat tahun itu sadar, bahwa dirinya tak terbiasa menutupi sesuatu dari ayahnya. Tanpa mengatakan apa pun, bungsu dari dua bersaudara itu menaikkan bagian bawah T-Shirtnya, sehingga tampaklah perut yang ditutupi perban.“Ya, Tuhan,” decak Julien tak percaya. “Bukankah kau pergi berlibur? Jangan katakan jika dirimu melakukan salah satu dari hobi ekstrim yang sudah kularang.” Raut waja
Phillipe mengembuskan napas berat. Dia mengisap cerutu, lalu mengepulkan asapnya. “Setelah mendirikan La Bougenville, kau menjadi sangat sibuk. Akhirnya, kau tak tahu perkembangan perusahaan seperti apa,” ucap pria paruh baya itu, sambil duduk penuh wibawa di kursi kebesarannya. “Ayah tak pernah mengatakan apapun padaku,” balas Alexandre. Phillipe kembali mengisap cerutunya. “Aku tidak tahu harus memulai dari mana, untuk menceritakan masalah tadi denganmu. Satu yang pasti, saat itu kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja. Lebih dari buruk, Alex,” tutur suami Estelle tersebut. “Seberapa buruk, Ayah?” desak Alexandre. “Sudah kukatakan lebih dari buruk, karena kepemilikan perusahaan harus berpindah tangan pada Miguel Sandoval!” Nada bicara Phillipe tiba-tiba meninggi. Alexandre seketika membelalakan mata. Dia sampai berdiri, lalu melangkah ke dekat meja kerja Phillipe. “Sejak kapan itu terjadi?” tanyanya dengan sorot tak percaya. Alexandre bahkan menatap tajam sang ayah, yang
Seketika, Majandra membelalakan mata. Dia bahkan melepaskan genggaman tangannya dari Estelle. Rasa tak percaya atas apa yang telah didengar barusan, membuat wanita dua puluh lima tahun tersebut tak kuasa menyembunyikan ekspresi terkejut.“Bagaimana mungkin ayah bisa melakukan hal seperti itu?” tanya Majandra, masih dengan raut tak percaya. “Dia … dia terlihat sangat mencintaimu, Bu.” Tubuh wanita cantik tadi bergetar, menahan gejolak dalam dada yang tiba-tiba hadir. Kondisi sama pernah dia rasakan, saat pertama kali mengetahui perselingkuhan Alexandre dengan Lea.“Itulah kenyataannya, Sayang. Tak semua yang terlihat baik, memang benar-benar baik.” Estelle berkata dengan setengah berbisik, seakan tak ingin ada seorang pun yang mendengarnya. Tak juga dinding rumah itu yang seperti memiliki telinga.
Majandra mendelik tajam kepada Alexandre. Sorot protes tampak jelas dari sepasang mata abu-abunya. Akan tetapi, pria itu seakan berpura-pura tak menyadari bahwa Majandra tengah menatap ke arahnya. Alexandre terus membalas ucapan Phillipe.Merasa bahwa Alexandre tak menanggapi sikap protes yang dia tunjukkan, Majandra menggeser kakinya ke dekat kaki sang suami. Dia menginjak sepatu pantofel mengilap yang pria itu kenakan. Kebetulan, Majandra mengenakan sepatu dengan model wedges. Wanita cantik berponi tadi tersenyum manis pada Estelle yang ikut berbicara. Sedangkan, kaki kanannya terus menekan di atas pantofel Alexandre.Makin lama, Alexandre merasa semakin tak nyaman. Dia sempat menunduk untuk memastikan. Sang pemilik La Bougenville tersebut mendehem pelan, sebagai kode agar Majandra menghentikan aksinya.
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe