Share

bab 2

Penulis: Pusparani Surya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Teh, dia Bapak kita! Bapakmu!" pekik Zaki yang kembali emosi.

"Memang siapa bilang dia bukan bapakku? Aku hanya meminta dia pergi dari sini, karena aku sudah capek mengurusnya!" bentak Tari dengan kencang.

"Iya, tapi mau kemana bapak pergi, Teh? Ini rumah Bapak!" Zaki masih mencoba menyadarkan kakaknya, apalagi melihat Yahya menghapus air matanya diam-diam, hati Zaki sakit sekali.

"Terserah! Yang penting bukan di rumah ini. Kamu juga, kalau kamu mau pergi bareng bapak dari sini, ya silakan! Makin berkurang beban Teteh nanti," pungkas Tari dengan senyum meremehkan, dia lantas berbalik melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Dia harus bekerja, jangan sampai karena mengurus dua lelaki yang hanya bisa meminta uangnya, dia harus terlambat masuk bekerja dan mendapat surat peringatan.

Perusahaan tempatnya bekerja, saat ini tengah sangat ketat menerapkan aturan, surat peringatan akan mudah sekali diberikan pada karyawan, meskipun hanya terlambat beberapa menit saja. Kalau dia sampai dipecat, akan bagaimana dia membiayai Zaki? Makanya bapaknya harus diminta pergi untuk mengurangi bebannya.

Iya, be-ban!

Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh Zaki? Semua biaya dia dapet aku. Batin Tari saat dia menutup pintu kamar, dan melihat Zaki mendekat pada bapak mereka, sebelum bingkai kayu itu ditutup rapat.

"Pak, Bapak sabar, ya?! Jangan dimasukan ke hati ucapan teh Tari tadi. Zaki yakin, teteh hanya sedang kecapean, jadi bicaranya seperti itu," ucap Zaki bersimpuh di depan Yahya. Sama seperti Yahya, air mata Zaki juga turun begitu saja.

"Sudah, Bapak tahu itu. Kamu segera pergi sekolah saja sana. Jangan memikirkan tentang Bapak atau perkataan tetehmu, nanti juga dia baik lagi. Seperti biasa," jawab Yahya menepuk pundak anak lelaki kebanggaannya, "kamu sudah sarapan 'kan, Zaki?" lanjut Yahya, dia melihat pada piring plastik jatah sarapan yang diberikan Tari tadi, nasi putih yang berceceran di atas meja, diambilnya lalu disatukan lagi ke dalam piring.

"Sudah jangan diambilin, Pak. Nanti Zaki ambil lagi nasi yang baru," cegah Zaki menahan tangan bapaknya yang memunguti ceceran buliran nasi di atas meja.

"Tidak perlu. Ini juga masih bersih, masih bisa dimakan. Kamu sudah makan belum?" tanya Yahya mengulang pertanyaan yang belum dijawab Zaki tadi.

"Sudah, Pak, tadi Zaki sudah makan," jawab Zaki berbohong, padahal dia belum sarapan. Tadinya akan makan bareng dengan Yahya setelah siap berangkat sekolah, tapi ternyata kelakuan kakaknya malah membuat rasa laparnya menguap begitu saja. Lambungnya langsung penuh, oleh perlakuan dan kata-kata tajam yang terlontar dari bibir Tari.

"Kamu tidak berbohong kan, Zaki?" selidik Yahya menatap Zaki.

"Tidak, Pak. Zaki tidak berbohong. Beneran Zaki sudah sarapan tadi," yakin Zaki tanpa membalas tatapan sang ayah, tak ingin kebohongannya terbaca.

Suara langkah kaki Tari terdengar mendekat, dia sudah siap untuk berangkat bekerja. Harum parfum yang digunakannya, menguar memenuhi ruangan.

"Tuh, uang jajan kamu! Jangan boros!" kata Tari sambil melempar uang kertas dua puluh ribuan ke atas meja, "ingat, Pak, jangan lupa untuk menghubungi mang Ganjar. Nanti siang Tari akan telepon, dan Bapak harus sudah ada keputusan akan tinggal di mana," kata Tari menatap sekilas pada Yahya. Setelah itu dia melangkah pergi tanpa menoleh lagi meninggalkan rumahnya.

Ternyata kamu tega sama Bapak, Tari. Ada apa sebenarnya, Nak?!

Bab terkait

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 3

    "Te--""Zaki! Sudah!" tahan Yahya saat Zaki akan menumpahkan kekesalan pada kakaknya, tak berselang lama suara deru motor terdengar meninggalkan rumah mereka, pertanda Tari sudah pergi."Keterlaluan dia, Pak! Bahkan motor yang dia pakai sekarang pun adalah motor yang dibeli menggunakannya uang Bapak, rumah ini juga dibangun oleh Bapak, tapi kenapa si brengsek itu malah bersikap seperti itu pada Bapak?!" raung Zaki melepaskan kekesalan dalam dadanya, air matanya berjatuhan, lalu diusapnya kasar dengan lengan bajunya."Zaki! Zaki sadar, Nak. Istighfar! Sudah."Tangan Yahya melambai meminta Zaki yang tengah berdiri penuh kemarahan, mendekat padanya.Zaki menurut dia kembali bersimpuh di depan Yahya. Menangis menyembunyikan wajahnya di pangkuan sang ayah. "Maafkan Zaki, Pak. Sebagai anak laki-laki, Zaki tidak bisa melindungi Bapak, maaf," sesal Zaki sambil menangis. "Tidak, Nak. Kamu hanya belum bisa, bukan tidak bisa. Pergilah sekolah, jemput masa depan kamu, Nak." Yahya mengusap kepal

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 4

    Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya. "Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman. Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya. "Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya. "Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung. "Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki. "Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya. "Bertingkah gimana?

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 5

    "Assalamua'aikum," salam Yati memasuki rumah Yahya yang memang tidak dikunci. Dia langsung menuju ke ruang tengah di mana Yahya biasa duduk di sana saat siang."Wa'alaikumussalam, Teh!" jawab Yahya yang sudah sangat mengenal baik suara kakak satu-satunya Ratna. Ipar yang sangat peduli padanya."Kamu sudah makan, Mang?" tanya Yati menyematkan panggilan Mamang pada Yahya, mengikuti panggilan anak-anaknya pada lelaki itu."Sudah, Teh, sudah minum obat juga," jawab Yahya sebelum Yati bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.Sudah makan? Sudah minum obat? Perlu apa? Dan pertanyaan lain bentuk dari perhatian iparnya itu."Syukurlah, kalau sudah. Teteh ada yang mau ditanyain," kata Yati sambil duduk di kursi yang berjarak lumayan jauh dengan Yahya."Tanya apa, Teh?" tanya Yahya menatap wanita yang beda dua tahun dengan almarhum istrinya itu.Yati juga seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, dia berjuang seorang diri membesarkan kedua anak lelakinya sejak dari mereka mas

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 6

    "Yang nyuruh Yahya pergi bukan Badar, Teh, tapi Tari," ralat Yahya tak ingin menuduh orang tak bersalah. Belum tentu Badar mengetahui kalau Tari mengusirnya, bisa fitnah kan akhirnya?Yahya masih ingin berpikiran baik pada menantunya, meski dia juga sudah merasakan sikap Badar berubah padanya sejak berbulan lalu."Itulah, kamu selalu saja berpikir baik sama orang, tapi orang malah memanfaatkan kebaikan hati kamu itu. Buktinya jelaskan, kamu bahkan sampai dipecat dari pekerjaan karena fitnah dari teman yang kamu anggap baik itu?" racau Yati semakin jauh berkomentar, kejadian lima tahun silam pun tak luput dari bahasannya, kembali diungkit. Masalah yang sekuat tenaga Yahya berusaha lupakan, karena dari sanalah kemalangan hidupnya bermula, satu per satu kebahagiaan juga kesehatan tubuhnya terenggut, dan dia langsung menjadi beban anaknya Tari."Jadi jauh amat bahasannya, Teh?!" Yahya tertawa sumbang."Bukan maksud teteh mengungkit tapi mengingatkan saja, biar kamu tidak lagi dicurangi.

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 7

    "Eh, ada, Uwa," sapa Badar bersikap manis, berbeda dengan sikapnya pada Yahya, wajah akan terlihat menyebalkan menatap mertua lelakinya itu."Ada, makanya mau ada orang lain atau tidak, sikap kamu itu harus dijaga, bukan hanya bersikap manis pas ada orang lain saja," gerutu Yati menatap suami tari dengan sebal."Badar juga selalu bersikap baik pada siapapun, Wa, kok Uwa berkata seperti itu?" balas Badar sambil tersenyum masam."Heh, Badar! Jangan kamu pikir Uwa tidak tahu ya kelakuan kamu sama mang Yahya?! Uwa tahu semuanya. Sekarang malah si Tari ngusir bapaknya pergi. Kamu tahu nggak itu?" tanya Yati tanpa ingin berpura-pura baik pada suami keponakannya itu.Mendengar pengaduan Yati, Badar terlihat kaget, dia tak menyangka kalau ternyata istrinya melakukan itu."Apa, Wa? Tari ngusir bapak untuk pergi dari rumah?" tanya Badar tak percaya."Iya! Beneran kamu tidak tahu?!" selidik Yati menatap tajam pada Badar yang menggeleng."Enggak, Wa," sahut Badar dengan memasang wajah kaget seten

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 8

    "Ya Allah, rupanya kecurigaan teh Yati memang benar. Kalau menantu hamba sama dengan anak hamba, menginginkan hamba pergi dari sini," lirih Yahya sambil mengusap air mata di pipinya. Sirna sudah harapan dia akan terus tinggal di rumah miliknya sendiri, karena baik Tari maupun Badar jelas sudah tidak menginginkannya ada di rumah ini.Dengan langkah setengah diseret, Yahya beranjak meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya, tekadnya semakin bulat untuk pergi dari rumah itu. Namun dia juga tidak ingin terlalu ditekan, dia akan pergi setelah mengamankan sertifikat rumahnya. Ada hak Zaki di rumah ini, kalau nanti Tari sampai gelap mata melakukan hal yang lebih gila lagi, setidaknya harta peninggalan dia dan istrinya, tidak sia-sia di tangan Tari yang mulai semena-mena.Sementara di kamarnya, Badar tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan oleh Yati tadi. Berarti Tari memang sudah mengikuti apa yang dia katakan kemarin malam."Kamu memang hebat, Sayang. Nggak nyangka aku, kamu b

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 9

    "Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini."Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya."Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari."Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya. "Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas si

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 10

    Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya. Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya. "Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya. Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan. Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon. Dengan cepat dia pun segera menjawab

Bab terbaru

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    cerita Yati

    Air mata Yahya semakin mengering, bersamaan dengan semakin jauhnya Ganjar membawa raganya pergi. Satu jam terlewati, hingga mereka kini sudah memasuki kota kabupaten tempat kelahiran Yahya. Menepuk pundak sang adik, Yahya mengingatkan Ganjar untuk mampir dulu ke toko emas, tempatnya membeli cincin kawin berpuluh tahun yang lalu."Jar, ke Toko Emas Bintang dulu," ingatnya sambil awas mengawasi keramaian suasana kota kelahirannya."Yakin mau dijual, Kang?" tanya Ganjar memelankan laju kendaraan roda duanya."Iya, Jar. Akang butuh duit," jawab Yahya tanpa keraguan."Jangan sampai nyesel nanti, kan itu cincin kenangan," ujar Ganjar membelokkan motornya begitu sampai di toko emas yang dimaksud Yahya."Kenangan akan tetap ada di hati, Jar," elak Yahya mencoba menguatkan hati."Terserah Akang, Ganjar hanya mengingatkan, jangan sampai setelah dijual malah Akang menyesal nanti," balas Ganjar lalu menghentikan motornya tepat di depan toko perhiasan yang lumayan ramai pengunjungnya itu."Mau Aka

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 11

    Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat."Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan. Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya. "Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu. "Kenapa bawa tas segala? Memang

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 10

    Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya. Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya. "Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya. Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan. Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon. Dengan cepat dia pun segera menjawab

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 9

    "Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini."Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya."Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari."Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya. "Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas si

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 8

    "Ya Allah, rupanya kecurigaan teh Yati memang benar. Kalau menantu hamba sama dengan anak hamba, menginginkan hamba pergi dari sini," lirih Yahya sambil mengusap air mata di pipinya. Sirna sudah harapan dia akan terus tinggal di rumah miliknya sendiri, karena baik Tari maupun Badar jelas sudah tidak menginginkannya ada di rumah ini.Dengan langkah setengah diseret, Yahya beranjak meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya, tekadnya semakin bulat untuk pergi dari rumah itu. Namun dia juga tidak ingin terlalu ditekan, dia akan pergi setelah mengamankan sertifikat rumahnya. Ada hak Zaki di rumah ini, kalau nanti Tari sampai gelap mata melakukan hal yang lebih gila lagi, setidaknya harta peninggalan dia dan istrinya, tidak sia-sia di tangan Tari yang mulai semena-mena.Sementara di kamarnya, Badar tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan oleh Yati tadi. Berarti Tari memang sudah mengikuti apa yang dia katakan kemarin malam."Kamu memang hebat, Sayang. Nggak nyangka aku, kamu b

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 7

    "Eh, ada, Uwa," sapa Badar bersikap manis, berbeda dengan sikapnya pada Yahya, wajah akan terlihat menyebalkan menatap mertua lelakinya itu."Ada, makanya mau ada orang lain atau tidak, sikap kamu itu harus dijaga, bukan hanya bersikap manis pas ada orang lain saja," gerutu Yati menatap suami tari dengan sebal."Badar juga selalu bersikap baik pada siapapun, Wa, kok Uwa berkata seperti itu?" balas Badar sambil tersenyum masam."Heh, Badar! Jangan kamu pikir Uwa tidak tahu ya kelakuan kamu sama mang Yahya?! Uwa tahu semuanya. Sekarang malah si Tari ngusir bapaknya pergi. Kamu tahu nggak itu?" tanya Yati tanpa ingin berpura-pura baik pada suami keponakannya itu.Mendengar pengaduan Yati, Badar terlihat kaget, dia tak menyangka kalau ternyata istrinya melakukan itu."Apa, Wa? Tari ngusir bapak untuk pergi dari rumah?" tanya Badar tak percaya."Iya! Beneran kamu tidak tahu?!" selidik Yati menatap tajam pada Badar yang menggeleng."Enggak, Wa," sahut Badar dengan memasang wajah kaget seten

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 6

    "Yang nyuruh Yahya pergi bukan Badar, Teh, tapi Tari," ralat Yahya tak ingin menuduh orang tak bersalah. Belum tentu Badar mengetahui kalau Tari mengusirnya, bisa fitnah kan akhirnya?Yahya masih ingin berpikiran baik pada menantunya, meski dia juga sudah merasakan sikap Badar berubah padanya sejak berbulan lalu."Itulah, kamu selalu saja berpikir baik sama orang, tapi orang malah memanfaatkan kebaikan hati kamu itu. Buktinya jelaskan, kamu bahkan sampai dipecat dari pekerjaan karena fitnah dari teman yang kamu anggap baik itu?" racau Yati semakin jauh berkomentar, kejadian lima tahun silam pun tak luput dari bahasannya, kembali diungkit. Masalah yang sekuat tenaga Yahya berusaha lupakan, karena dari sanalah kemalangan hidupnya bermula, satu per satu kebahagiaan juga kesehatan tubuhnya terenggut, dan dia langsung menjadi beban anaknya Tari."Jadi jauh amat bahasannya, Teh?!" Yahya tertawa sumbang."Bukan maksud teteh mengungkit tapi mengingatkan saja, biar kamu tidak lagi dicurangi.

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 5

    "Assalamua'aikum," salam Yati memasuki rumah Yahya yang memang tidak dikunci. Dia langsung menuju ke ruang tengah di mana Yahya biasa duduk di sana saat siang."Wa'alaikumussalam, Teh!" jawab Yahya yang sudah sangat mengenal baik suara kakak satu-satunya Ratna. Ipar yang sangat peduli padanya."Kamu sudah makan, Mang?" tanya Yati menyematkan panggilan Mamang pada Yahya, mengikuti panggilan anak-anaknya pada lelaki itu."Sudah, Teh, sudah minum obat juga," jawab Yahya sebelum Yati bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.Sudah makan? Sudah minum obat? Perlu apa? Dan pertanyaan lain bentuk dari perhatian iparnya itu."Syukurlah, kalau sudah. Teteh ada yang mau ditanyain," kata Yati sambil duduk di kursi yang berjarak lumayan jauh dengan Yahya."Tanya apa, Teh?" tanya Yahya menatap wanita yang beda dua tahun dengan almarhum istrinya itu.Yati juga seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, dia berjuang seorang diri membesarkan kedua anak lelakinya sejak dari mereka mas

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 4

    Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya. "Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman. Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya. "Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya. "Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung. "Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki. "Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya. "Bertingkah gimana?

DMCA.com Protection Status