Share

bab 11

Penulis: Pusparani Surya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.

Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.

Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat.

"Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan.

Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya.

"Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu.

"Kenapa bawa tas segala? Memang mau kemana?" tanya Wawan sambil membantu membawakan tas Yahya, "sini, biar saya bawakan," ujarnya tak bisa ditolak oleh Yahya yang memang sangat kerepotan membawa benda itu.

"Waduh, jadi merepotkan, Pak," balas Yahya tak enak hati, meski dia membiarkan tas bawaannya berpindah tangan.

Mantan kepala dusun di lingkungan setempat itu, menggeleng. Wawan juga membantu Yahya berjalan.

"Nggak merepotkan sama sekali, Mang Yahya. Mau kemana atuh? Dari tadi saya tanya belum dijawab," kekeh Wawan.

"Hehe, mau ke depan, Pak Wawan, ke dekat mini market," jawab Yahya, dia semakin merasa lega, saat langkah terseoknya berhasil membawa dirinya sampai di dekat mini market yang dia tuju.

"Kok pake bawa tas segala, Mang? Kayak yang mau pergi gitu," lanjut Wawan membantu Yahya duduk di kursi besi, yang ada di pelataran tempat parkir mini market tersebut.

"Oh, iya. Ini titipan orang, jadi mau tidak mau harus dibawa. Janjian ketemuan di sini," jelas Yahya sambil mengisi rongga dada dengan banyak oksigen, yang terasa lelah dengan hanya berjalan dari rumahnya ke depan saja.

Ternyata fisiknya benar-benar belum sembuh total. Tapi dengan tega, buah hati harapan masa tua, malah membuangnya bagai seonggok badan tanpa harga.

Ah, hati Yahya perih kembali mengingat perlakuan anaknya.

"Mani kararagok atuh janjian teh (tanggung amat janjiannya) padahal mah tinggal suruh ke rumah aja. Masuk dikit, udah." Wawan menatap wajah Yahya yang terlihat menahan kesedihan.

"Maunya ketemuan di sini katanya, Pak Wawan. Biar sambil lewat aja, terus dia langsung berangkat lagi," elak Yahya dengan lancar berbohong.

Entahlah, mungkin dosa atau tidak. Yang pasti saat ini Yahya hanya merasakan jarum jam berdetak sangat lambat. Dia sangat berharap Wawan segera pergi sesuai tujuannya, dan Ganjar segera datang untuk membawa dia pergi dari sana.

"Oh, ya sudah atuh kalau begitu, saya mau langsung ke kelurahan. Ada perlu," ujar Wawan melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya.

"Iya, Pak Wawan. Terima kasih udah dibantuin bawa tas," tanggap Yahya senang Wawan akan segera pergi.

"Iya, gampang itu. Hayu, ah! Hati-hati nanti balik ke rumahnya," pamit Wawan sambil menepuk pundak Yahya.

"Iya, Pak," balas Yahya.

Tapi sayangnya aku tidak balik ke rumah, Pak. Setidaknya sampai waktu yang tepat nanti. Batin Yahya pedih.

Wawan pun berlalu, dia lebih senang berjalan kaki kemana saja, "lebih sehat," begitu Wawan selalu bilang tiap ditanya, kenapa tidak memakai roda dua untuk mempercepat waktu sampai.

Yahya mengawasi sekitar dengan waspada, jangan sampai ada lagi tetangga yang lewat mengenali dia duduk sendiri di sana. Setiap ada yang lewat atau akan masuk ke mini market, dia akan menundukkan kepala dengan dalam, tas berisi perlengkapannya, dia simpan di bawah jadi tidak kentara oleh yang melihat.

Detik bergerak terasa lambat, menit berlalu seakan sengaja membuat Yahya menunggu, waktu satu jam yang biasa sangat tidak terasa berlalu, kali ini bahkan membutuhkan kesabaran ekstra untuk bisa melewatinya.

Matahari terus menyorot hangat, bising kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama, menemani Yahya yang menunggu dalam harap dan cemas takut ketahuan.

Namun, selambat apa pun waktu berjalan, pasti masa itu akan datang juga. Dari arah jalan utama, Ganjar mulai mencapai tempat yang dijadikan kakaknya tempat pertemuan mereka.

Dari jauh matanya sudah awas mencari, hingga kedua penglihatannya bisa dengan jelas mengenali sosok sang kakak yang duduk menyendiri. Hati Ganjar tercubit, rasa sesak juga sedih langsung menguasai dada. Dia sangat marah pada Tari--sang keponakan, bagaimana bisa Tari bertindak sekejam itu, dan tega mengusir bapaknya sendiri? Ingin rasanya dia menemui Tari dulu menanyakan alasannya.

Motor Ganjar terus mendekat, suara mesinnya menarik perhatian Yahya yang sesekali mengangkat wajah, untuk mengawasi sekitarnya.

Yahya tersenyum saat melihat adiknya sudah datang, namun air mata juga berdesakan ingin keluar menyertai hati yang sakit seakan dirajam. Tak lama lagi, dia akan pergi meninggalkan tempat yang selama puluhan tahun dijadikannya rumah ternyaman.

Kelebat bayangan dia dulu datang untuk menemui orang tua Ratna untuk melamar, kini dia akan pergi membawa semua kenangan dengan sakit yang mendekap hati.

"Kang," panggil Ganjar setelah mematikan mesin motornya.

"Langsung pergi lagi saja, Jar, biar aman!" ujar Yahya langsung berusaha berdiri, Ganjar pun segera turun dari atas tunggangannya untuk membantu Yahya.

"Kenapa buru-buru amat, Kang?" tanya Ganjar seraya meraih tas milik Yahya, lalu menyimpannya di depan.

"Biar tenang. Udah capek juga nunggu dari tadi, panas!" ujar Yahya memberikan alasan yang masuk akal. Karena memang di balik jaket yang melapisi bajunya, keringat sudah membanjiri tubuhnya di dalam sana.

"Beneran mau langsung pergi sekarang? Nggak nunggu si Zaki pulang sekolah dulu?" tanya Ganjar dengan memakaikan pelindung keselamatan ke kepala kakaknya.

"Nggak perlu! Zaki udah tahu akang mau pergi, kok. Kamu istirahat nanti di pasar kabupaten saja, sekalian akang mau jual emas," ujar Yahya melangkah mendekat ke motor Ganjar.

Dia tidak bohong lagi, kan? Zaki memang sudah tahu kalau dia akan pergi, tapi bukan sekarang dan dengan cara sembunyi-sembunyi.

Biarlah, urusan dosanya yang terus berbohong, hanya Tuhannya yang akan menilai. Saat ini dia hanya harus mengamankan diri, dari kemungkinan Yati atau tetangga yang lain kembali memergoki.

"Ya sudah kalau gitu mah. Sok atuh naek!" Ganjar dengan sabar membantu Yahya duduk di boncengan motornya, "udah nyaman?" tanyanya memastikan kalau Yahya duduk dengan benar di belakang tubuhnya.

"Sudah," jawab Yahya pelan, dia sedang menahan sesak agar tak sampai menangis, menyesali langkah yang diambilnya pergi diam-diam. Tongkatnya di simpan Ganjar di depan dengan disandarkan ke tubuhnya.

"Pegangan yang bener, Kang! Kalau perlu peluk biar makin aman, takut jatuh!" titah Ganjar menarik kedua tangan Yahya untuk melingkari perutnya.

"Iya, Akang sudah pegangan. Nggak perlu meluk juga, Jar," balas Yahya terharu dengan perhatian juga kasih sayang yang ditunjukan oleh adiknya.

Setelah yakin Yahya sudah aman di boncengan, Ganjar pun mulai menghidupkan kembali mesin roda duanya. Ucapan basmallah diucapkan, seiring dengan laju motor yang kembali meninggalkan parkiran mini market itu kemudian.

Yahya menoleh ke arah gang yang menuju rumahnya. Beruntung dia menggunakan helm yang kacanya sudah ditutup, karena secara kebetulan dia melihat Yati keluar dari pekarangan rumah miliknya, entah akan pergi kemana.

Yahya pamit dulu, Teh. Maaf harus pergi tanpa bilang. Titip Zaki. Yahya pasti kembali nanti.

Batin Yahya mengucap janji untuk dia penuhi nanti.

Dia pergi bukan menyerah atas perlakuan Tari padanya, hanya memberikan waktu pada dirinya sendiri, hingga sanggup kembali untuk menjadi kebanggaan bagi Zaki. Karena ternyata hanya Zaki yang masih menganggapnya berharga.

Mengingat anak lelakinya, Yahya menangis dalam diam sambil memandang jalanan yang akan dilewati.

Hatinya kini membeku, rasa sakit itu membuat matanya tak henti mencucurkan bukti kesedihan.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    cerita Yati

    Air mata Yahya semakin mengering, bersamaan dengan semakin jauhnya Ganjar membawa raganya pergi. Satu jam terlewati, hingga mereka kini sudah memasuki kota kabupaten tempat kelahiran Yahya. Menepuk pundak sang adik, Yahya mengingatkan Ganjar untuk mampir dulu ke toko emas, tempatnya membeli cincin kawin berpuluh tahun yang lalu."Jar, ke Toko Emas Bintang dulu," ingatnya sambil awas mengawasi keramaian suasana kota kelahirannya."Yakin mau dijual, Kang?" tanya Ganjar memelankan laju kendaraan roda duanya."Iya, Jar. Akang butuh duit," jawab Yahya tanpa keraguan."Jangan sampai nyesel nanti, kan itu cincin kenangan," ujar Ganjar membelokkan motornya begitu sampai di toko emas yang dimaksud Yahya."Kenangan akan tetap ada di hati, Jar," elak Yahya mencoba menguatkan hati."Terserah Akang, Ganjar hanya mengingatkan, jangan sampai setelah dijual malah Akang menyesal nanti," balas Ganjar lalu menghentikan motornya tepat di depan toko perhiasan yang lumayan ramai pengunjungnya itu."Mau Aka

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 1

    "Tari lelah, Pak! Setiap hari harus kerja, belum ngurus bapak yang sakit, belum lagi biaya buat si Zaki sekolah. Udah capek badan, uang gaji habis pula. Mending bapak pergi saja dari sini. Ikut si mbah, kek. Atau siapalah itu. Yang penting jangan di rumah ini saja. Capek!" omel Tari sambil menyimpan kasar piring plastik berisi sarapan Yahya, ada setengah piring nasi putih dengan dua potong tempe goreng di sana.Wajah masam Tari bukan sekali ini saja ditunjukan pada Bapaknya, sejak sebulan menikah dengan Badar, sikap putri sulung Yahya dan almarhum Ratna itu memang berubah. Sangat berubah bahkan. Selalu marah saat berbicara dengan bapaknya, memaki, mengomel, seakan lelaki yang baru bisa bangun lagi setelah empat tahun terbaring karena stroke, tak pernah memanjakan dia dengan segala kemewahan. Meski bukan seorang kaya raya, Yahya selalu berusaha mementingkan kebutuhan anak gadisnya saat dia bugar dulu. Handphone terbaru, motor matic terbaru, baju, dan semua perintilan khas anak gadis

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 2

    "Teh, dia Bapak kita! Bapakmu!" pekik Zaki yang kembali emosi. "Memang siapa bilang dia bukan bapakku? Aku hanya meminta dia pergi dari sini, karena aku sudah capek mengurusnya!" bentak Tari dengan kencang. "Iya, tapi mau kemana bapak pergi, Teh? Ini rumah Bapak!" Zaki masih mencoba menyadarkan kakaknya, apalagi melihat Yahya menghapus air matanya diam-diam, hati Zaki sakit sekali. "Terserah! Yang penting bukan di rumah ini. Kamu juga, kalau kamu mau pergi bareng bapak dari sini, ya silakan! Makin berkurang beban Teteh nanti," pungkas Tari dengan senyum meremehkan, dia lantas berbalik melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Dia harus bekerja, jangan sampai karena mengurus dua lelaki yang hanya bisa meminta uangnya, dia harus terlambat masuk bekerja dan mendapat surat peringatan. Perusahaan tempatnya bekerja, saat ini tengah sangat ketat menerapkan aturan, surat peringatan akan mudah sekali diberikan pada karyawan, meskipun hanya terlambat beberapa menit saja. Kalau dia sampai dipe

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 3

    "Te--""Zaki! Sudah!" tahan Yahya saat Zaki akan menumpahkan kekesalan pada kakaknya, tak berselang lama suara deru motor terdengar meninggalkan rumah mereka, pertanda Tari sudah pergi."Keterlaluan dia, Pak! Bahkan motor yang dia pakai sekarang pun adalah motor yang dibeli menggunakannya uang Bapak, rumah ini juga dibangun oleh Bapak, tapi kenapa si brengsek itu malah bersikap seperti itu pada Bapak?!" raung Zaki melepaskan kekesalan dalam dadanya, air matanya berjatuhan, lalu diusapnya kasar dengan lengan bajunya."Zaki! Zaki sadar, Nak. Istighfar! Sudah."Tangan Yahya melambai meminta Zaki yang tengah berdiri penuh kemarahan, mendekat padanya.Zaki menurut dia kembali bersimpuh di depan Yahya. Menangis menyembunyikan wajahnya di pangkuan sang ayah. "Maafkan Zaki, Pak. Sebagai anak laki-laki, Zaki tidak bisa melindungi Bapak, maaf," sesal Zaki sambil menangis. "Tidak, Nak. Kamu hanya belum bisa, bukan tidak bisa. Pergilah sekolah, jemput masa depan kamu, Nak." Yahya mengusap kepal

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 4

    Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya. "Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman. Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya. "Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya. "Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung. "Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki. "Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya. "Bertingkah gimana?

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 5

    "Assalamua'aikum," salam Yati memasuki rumah Yahya yang memang tidak dikunci. Dia langsung menuju ke ruang tengah di mana Yahya biasa duduk di sana saat siang."Wa'alaikumussalam, Teh!" jawab Yahya yang sudah sangat mengenal baik suara kakak satu-satunya Ratna. Ipar yang sangat peduli padanya."Kamu sudah makan, Mang?" tanya Yati menyematkan panggilan Mamang pada Yahya, mengikuti panggilan anak-anaknya pada lelaki itu."Sudah, Teh, sudah minum obat juga," jawab Yahya sebelum Yati bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.Sudah makan? Sudah minum obat? Perlu apa? Dan pertanyaan lain bentuk dari perhatian iparnya itu."Syukurlah, kalau sudah. Teteh ada yang mau ditanyain," kata Yati sambil duduk di kursi yang berjarak lumayan jauh dengan Yahya."Tanya apa, Teh?" tanya Yahya menatap wanita yang beda dua tahun dengan almarhum istrinya itu.Yati juga seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, dia berjuang seorang diri membesarkan kedua anak lelakinya sejak dari mereka mas

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 6

    "Yang nyuruh Yahya pergi bukan Badar, Teh, tapi Tari," ralat Yahya tak ingin menuduh orang tak bersalah. Belum tentu Badar mengetahui kalau Tari mengusirnya, bisa fitnah kan akhirnya?Yahya masih ingin berpikiran baik pada menantunya, meski dia juga sudah merasakan sikap Badar berubah padanya sejak berbulan lalu."Itulah, kamu selalu saja berpikir baik sama orang, tapi orang malah memanfaatkan kebaikan hati kamu itu. Buktinya jelaskan, kamu bahkan sampai dipecat dari pekerjaan karena fitnah dari teman yang kamu anggap baik itu?" racau Yati semakin jauh berkomentar, kejadian lima tahun silam pun tak luput dari bahasannya, kembali diungkit. Masalah yang sekuat tenaga Yahya berusaha lupakan, karena dari sanalah kemalangan hidupnya bermula, satu per satu kebahagiaan juga kesehatan tubuhnya terenggut, dan dia langsung menjadi beban anaknya Tari."Jadi jauh amat bahasannya, Teh?!" Yahya tertawa sumbang."Bukan maksud teteh mengungkit tapi mengingatkan saja, biar kamu tidak lagi dicurangi.

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 7

    "Eh, ada, Uwa," sapa Badar bersikap manis, berbeda dengan sikapnya pada Yahya, wajah akan terlihat menyebalkan menatap mertua lelakinya itu."Ada, makanya mau ada orang lain atau tidak, sikap kamu itu harus dijaga, bukan hanya bersikap manis pas ada orang lain saja," gerutu Yati menatap suami tari dengan sebal."Badar juga selalu bersikap baik pada siapapun, Wa, kok Uwa berkata seperti itu?" balas Badar sambil tersenyum masam."Heh, Badar! Jangan kamu pikir Uwa tidak tahu ya kelakuan kamu sama mang Yahya?! Uwa tahu semuanya. Sekarang malah si Tari ngusir bapaknya pergi. Kamu tahu nggak itu?" tanya Yati tanpa ingin berpura-pura baik pada suami keponakannya itu.Mendengar pengaduan Yati, Badar terlihat kaget, dia tak menyangka kalau ternyata istrinya melakukan itu."Apa, Wa? Tari ngusir bapak untuk pergi dari rumah?" tanya Badar tak percaya."Iya! Beneran kamu tidak tahu?!" selidik Yati menatap tajam pada Badar yang menggeleng."Enggak, Wa," sahut Badar dengan memasang wajah kaget seten

Bab terbaru

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    cerita Yati

    Air mata Yahya semakin mengering, bersamaan dengan semakin jauhnya Ganjar membawa raganya pergi. Satu jam terlewati, hingga mereka kini sudah memasuki kota kabupaten tempat kelahiran Yahya. Menepuk pundak sang adik, Yahya mengingatkan Ganjar untuk mampir dulu ke toko emas, tempatnya membeli cincin kawin berpuluh tahun yang lalu."Jar, ke Toko Emas Bintang dulu," ingatnya sambil awas mengawasi keramaian suasana kota kelahirannya."Yakin mau dijual, Kang?" tanya Ganjar memelankan laju kendaraan roda duanya."Iya, Jar. Akang butuh duit," jawab Yahya tanpa keraguan."Jangan sampai nyesel nanti, kan itu cincin kenangan," ujar Ganjar membelokkan motornya begitu sampai di toko emas yang dimaksud Yahya."Kenangan akan tetap ada di hati, Jar," elak Yahya mencoba menguatkan hati."Terserah Akang, Ganjar hanya mengingatkan, jangan sampai setelah dijual malah Akang menyesal nanti," balas Ganjar lalu menghentikan motornya tepat di depan toko perhiasan yang lumayan ramai pengunjungnya itu."Mau Aka

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 11

    Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat."Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan. Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya. "Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu. "Kenapa bawa tas segala? Memang

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 10

    Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya. Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya. "Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya. Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan. Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon. Dengan cepat dia pun segera menjawab

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 9

    "Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini."Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya."Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari."Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya. "Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas si

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 8

    "Ya Allah, rupanya kecurigaan teh Yati memang benar. Kalau menantu hamba sama dengan anak hamba, menginginkan hamba pergi dari sini," lirih Yahya sambil mengusap air mata di pipinya. Sirna sudah harapan dia akan terus tinggal di rumah miliknya sendiri, karena baik Tari maupun Badar jelas sudah tidak menginginkannya ada di rumah ini.Dengan langkah setengah diseret, Yahya beranjak meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya, tekadnya semakin bulat untuk pergi dari rumah itu. Namun dia juga tidak ingin terlalu ditekan, dia akan pergi setelah mengamankan sertifikat rumahnya. Ada hak Zaki di rumah ini, kalau nanti Tari sampai gelap mata melakukan hal yang lebih gila lagi, setidaknya harta peninggalan dia dan istrinya, tidak sia-sia di tangan Tari yang mulai semena-mena.Sementara di kamarnya, Badar tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan oleh Yati tadi. Berarti Tari memang sudah mengikuti apa yang dia katakan kemarin malam."Kamu memang hebat, Sayang. Nggak nyangka aku, kamu b

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 7

    "Eh, ada, Uwa," sapa Badar bersikap manis, berbeda dengan sikapnya pada Yahya, wajah akan terlihat menyebalkan menatap mertua lelakinya itu."Ada, makanya mau ada orang lain atau tidak, sikap kamu itu harus dijaga, bukan hanya bersikap manis pas ada orang lain saja," gerutu Yati menatap suami tari dengan sebal."Badar juga selalu bersikap baik pada siapapun, Wa, kok Uwa berkata seperti itu?" balas Badar sambil tersenyum masam."Heh, Badar! Jangan kamu pikir Uwa tidak tahu ya kelakuan kamu sama mang Yahya?! Uwa tahu semuanya. Sekarang malah si Tari ngusir bapaknya pergi. Kamu tahu nggak itu?" tanya Yati tanpa ingin berpura-pura baik pada suami keponakannya itu.Mendengar pengaduan Yati, Badar terlihat kaget, dia tak menyangka kalau ternyata istrinya melakukan itu."Apa, Wa? Tari ngusir bapak untuk pergi dari rumah?" tanya Badar tak percaya."Iya! Beneran kamu tidak tahu?!" selidik Yati menatap tajam pada Badar yang menggeleng."Enggak, Wa," sahut Badar dengan memasang wajah kaget seten

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 6

    "Yang nyuruh Yahya pergi bukan Badar, Teh, tapi Tari," ralat Yahya tak ingin menuduh orang tak bersalah. Belum tentu Badar mengetahui kalau Tari mengusirnya, bisa fitnah kan akhirnya?Yahya masih ingin berpikiran baik pada menantunya, meski dia juga sudah merasakan sikap Badar berubah padanya sejak berbulan lalu."Itulah, kamu selalu saja berpikir baik sama orang, tapi orang malah memanfaatkan kebaikan hati kamu itu. Buktinya jelaskan, kamu bahkan sampai dipecat dari pekerjaan karena fitnah dari teman yang kamu anggap baik itu?" racau Yati semakin jauh berkomentar, kejadian lima tahun silam pun tak luput dari bahasannya, kembali diungkit. Masalah yang sekuat tenaga Yahya berusaha lupakan, karena dari sanalah kemalangan hidupnya bermula, satu per satu kebahagiaan juga kesehatan tubuhnya terenggut, dan dia langsung menjadi beban anaknya Tari."Jadi jauh amat bahasannya, Teh?!" Yahya tertawa sumbang."Bukan maksud teteh mengungkit tapi mengingatkan saja, biar kamu tidak lagi dicurangi.

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 5

    "Assalamua'aikum," salam Yati memasuki rumah Yahya yang memang tidak dikunci. Dia langsung menuju ke ruang tengah di mana Yahya biasa duduk di sana saat siang."Wa'alaikumussalam, Teh!" jawab Yahya yang sudah sangat mengenal baik suara kakak satu-satunya Ratna. Ipar yang sangat peduli padanya."Kamu sudah makan, Mang?" tanya Yati menyematkan panggilan Mamang pada Yahya, mengikuti panggilan anak-anaknya pada lelaki itu."Sudah, Teh, sudah minum obat juga," jawab Yahya sebelum Yati bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.Sudah makan? Sudah minum obat? Perlu apa? Dan pertanyaan lain bentuk dari perhatian iparnya itu."Syukurlah, kalau sudah. Teteh ada yang mau ditanyain," kata Yati sambil duduk di kursi yang berjarak lumayan jauh dengan Yahya."Tanya apa, Teh?" tanya Yahya menatap wanita yang beda dua tahun dengan almarhum istrinya itu.Yati juga seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, dia berjuang seorang diri membesarkan kedua anak lelakinya sejak dari mereka mas

  • Pergilah, Pak! (Kuusir bapakku pergi)    bab 4

    Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya. "Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman. Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya. "Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya. "Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung. "Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki. "Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya. "Bertingkah gimana?

DMCA.com Protection Status