Mama Lyra menatap Flavia. Dia sudah tahu apa yang terjadi pada Flavia dan Bian. Sebagai dokter tentu saja dia tidak bisa berbohong jika pengecekan setelah pembuahan tidak bisa. Karena secara medis tetap bisa, walaupun tidak akurat. “Secara medis bisa, tetapi tetap kurang akurat. Aku lebih menyarankan ketika masuk enam minggu. Karena akan lebih akurat.” Mama Lyra memberikan sarannya pada Flavia. Flavia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti yang dijelaskan oleh Mama Lyra. Dia pastinya tidak akan melakukan pengecekan karena pastinya akan lebih dini. Lagi pula, dia punya waktu enam bulan untuk menunggu. “Apa Bian membuatmu tidak nyaman?” Mama Lyra menatap Flavia. “Sebagai dokter aku bisa menyarankan ke psikiater jika kamu merasa takut atau tidak nyaman.” Mama Lyra tahu benar perasaan seorang pasien yang mungkin pasti tersakiti akibat apa yang terjadi padanya. “Tidak, Ma. Bian sejauh ini bersikap baik padaku.” Flavia tidak bisa memungkiri karena memang Bian sangat baik. Walaupun terka
“Mommy.” Anak-anak langsung menghampiri mommy-mommy mereka. Mereka begitu girang sekali ketika ibunya datang. Mereka berkumpul di ruang keluarga. Para ibu langsung diserang anak-anak mereka. Baru ditinggal sebentar saja mereka sudah menempel bak prangko. Bian yang melihat Flavia berdiri, menepuk sofa yang berada di sebelahnya. Meminta istrinya itu untuk duduk di sebelahnya. “Bagaimana kumpul-kumpulnya?” Bian menoleh pada sang istri. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada sang istri. “Seru.” Flavia menjawab singkat. Bian bersyukur Flavia bisa bergabung dengan yang lain. Berharap Flavia betah berada di antara keluarganya. “Apa kalian tadi bermain dengan baik?” Freya menatap anak-anaknya. “Tadi kami bermain dengan Unlce Bian.” Kean menjawab pertanyaan sang mommy sambil naik ke pangkuan sang mommy. “Tidak mau dengan daddy?” tanya Freya. “Tidak, daddy main catur dengan Daddy Al.” Kean menjawab sambil bermanja-manja dengan sang mommy. “Jadi mainnya dengan Uncle Bian saja?” Freya men
Suara Flavia itu seketika membuat Bian membuka matanya. Dia begitu terkejut ketika mendapati pertanyaan itu. Tentu saja dia tidak bisa mengatakan jika dirinya menikmati yang dilakukan Flavia. Yang ada istrinya itu akan merasa tidak nyaman. “Sakit.” Bian sedikit manja. “Tahan dulu. Kamu ini seperti anak kecil saja.” Flavia kembali melanjutkan mengolesi obat merah pada kaki Bian. “Auch ….” Bian kembali mengaduh. “Diamlah, ini harus diobati. Jika tidak bisa infeksi.” Flavia meminta Bian untuk diam. “Tapi, perih.” Bian merengek. Flavia meniup luka tersebut sambil mengolesi. Tentu saja itu membuat Bian semakin senang sekali. Karena Flavia begitu baik padanya. “Aku senang melihatmu perhatian.” Bian menatap Flavia penuh damba. Sejenak Flavia teringat dengan aksinya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa tadi dia khawatir sekali. Padahal jelas jika harusnya, dia bersikap dingin pada Bian seperti biasa. “Sudah selesai.” Flavia segera berdiri. Dia memilih untuk segera berlalu pergi. Bian
Malam ini Flavia dan Bian kembali tidur di kamar yang sama. Flavia tidur di kamar Bian karena merasa takut. Seperti kemarin, Flavia tidur di tempat tidur dan Bian tidur di sofa. Mereka berdua bersiap-siap untuk tidur. Melihat ke langit-langit kamar. “Boleh aku tahu sesuatu.” Bian tiba-tiba membuka mulutnya. Memecah keheningan di dalam kamar. “Apa?” Flavia menjawab sambil masih melihat ke langit-langit kamar. “Jika di rahimmu ada anak kita. Apa kamu akan membencinya?” Bian melemparkan pertanyaan itu pada Flavia. “Anak-anak tidak akan pernah minta dilahirkan dari rahim ibu mana. Jadi aku tidak berhak marah padanya. Dulu aku pernah marah pada Tuhan, kenapa aku harus lahir dari rahim ibu yang baru beberapa tahun aku hidup, dia harus pergi meninggalkan aku. Aku ingin lahir di rahim ibu yang selalu menemani aku. Sayangnya, aku tidak bisa memilihnya.” Flavia berkaca pada dirinya sendiri. Jadi untuk kali ini jika sampai dirinya hamil dia tidak akan pernah membencinya. Bian mengangguk-ang
Bian dan Flavia sampai di apartemen. Flavia menuju ke dapur lebih dulu karena tadi Cia dan Freya memberikan kue untuk mereka. Flavia meletakkan di lemari pendingin terlebih dahulu. Bian yang juga ikut ke dapur, ikut berdiri di belakang Flavia. “Mau apa kamu?” Flavia merasa bingung ketika Bian mengekornya ketika membuka pintu lemari pendingin. “Aku ingin minum.” Bian menjawab apa alasan berdiri di belakang Flavia. Mendengar itu, Flavia memberikan jalan pada Bian. Mengambil minuman kaleng yang berada di pintu lemari pendingin. Saat mendapatkan minuman, Bian memilih memundurkan tubuhnya. Memberikan ruang pada Flavia untuk meletakkan minuman. Bian membuka minuman soda yang berada di tangannya. Menikmati minuman dingin yang memberikan sensasi menggigit di lidah. Flavia melanjutkan kembali meletakkan kue yang didapatkannya dari Cia dan Freya. Kue-kue itu bisa dimakannya nanti malam. Karena sepertinya dia tidak mau makan berat lagi setelah tadi makan bersama kakak-kakak Bian. Bian mem
“Menyebalkan sekali.” Bian mendengkus kesal. “Kamu harus banyak bertanya pada daddy-mu bagaimana meluluhkan wanita agar dapat nafkah batin.” Papa Felix melirik temannya. “Memang Daddy juga tidak langsung mendapatkan nafkah batin?” Bian begitu penasaran sekali. Daddy Bryan melotot pada Papa Felix. Anak-anaknya hanya tahu jika mommy dan daddy-nya jatuh cinta dan akhirnya menikah. Apalagi El lahir sebelum waktunya. Jadi jika dilihat dari tanggal pernikahan, El hadir di dalam pernikahan, bukan sebelum pernikahan. “Mommy masih malu saat awal menikah. Jadi Daddy harus berusaha keras.” Daddy Bryan memberikan alasan pada anaknya. “Berapa lama?” Bian penasaran sekali. Daddy Bryan menghitung kira-kira berapa lama El hadir. Agar tidak salah menjawab. “Sebulan.” Setelah menghitung, akhirnya menjawab.Bian melihat pernikahannya belum berjalan sebulan. Baru sekitar tiga minggu, jadi mungkin Flavia belum luluh. Dia berharap jika Flavia akan luluh nanti dalam sebulan juga. ***Di
Sesuai dengan rencana Flavia yang akan memasak untuknya. Mereka berdua menuju ke supermarket yang masih berada dalam satu kawasan apartemen mereka. Bian menggunakan motornya, sedangkan Flavian menggunakan mobilnya. Seperti biasa Bian sampai lebih dulu. Dia asyik menikmati es krim yang dibelinya di depan supermarket. Flavia yang sampai melihat Bian tampak mengemaskan sekali. Pria itu menggendong sambil memakan es krim. Jika Bian tidak memakai jaket motor dan memakai baju sekolah, mungkin orang akan mengira jika Bian anak sekolah. Flavia menghampiri Bian. “Ayo.” “Bentar aku habiskan es krimku dulu.” Bian meminta Flavia untuk duduk di sebelahnya. Flavia harus menunggu Bian dulu. Alhasil, dia duduk di sebelah Bian. “Mau.” Bian menawari Flavia sambil menyodori es krimnya. Es krim tampak begitu menggiurkan. Tentu saja membuat Flavia tergoda. Dia bersiap untuk mendekatkan bibirnya ke arah es krim. “Tidak mau ya sudah.” Bian menarik kembali es krimnya.Flavia hanya membulatkan matanya
Bian dan Flavia sampai di apartemen. Mereka meletakkan belanjaan di atas meja. Flavia langsung membuka kancing tangan kemejanya, kemudian melipatnya agar nanti dapat memasak lebih leluasa. Tak lupa dia mengikat rambutnya. Agar nanti bergerak nyaman. Melihat Flavia yang mengikat rambutnya membuat Bian menelan salivanya. Leher jenjang terdengar begitu putih dan menggoda. “Kamu masukkan belanjaan ke dalam lemari pendingin.” Flavia berlalu sambil mengambil bahan masakan yang akan dibuatnya sekarang. Kemudian berlalu meninggalkan Bian. Bian hanya terpaku saja. Baru saat Flavia berlalu, dia baru tersadar. Bian memilih untuk membuka kancing tangan kemejanya. Kemudian menggulungnya. Belanjaan yang berada di atas meja dibawa oleh Bian ke dapur. Dia merapikan belanjaan ke dalam lemari pendingin. “Aku sudah bawa kotak-kotak penyimpaan. Kamu bisa masukkan belanjaan satu-satu ke dalam kotak lebih dulu sebelum memasukkannya ke dalam lemari pendingin.” Flavia mencari kursi yang biasa di dapur.