Bian dan Flavia sampai di apartemen. Mereka meletakkan belanjaan di atas meja. Flavia langsung membuka kancing tangan kemejanya, kemudian melipatnya agar nanti dapat memasak lebih leluasa. Tak lupa dia mengikat rambutnya. Agar nanti bergerak nyaman. Melihat Flavia yang mengikat rambutnya membuat Bian menelan salivanya. Leher jenjang terdengar begitu putih dan menggoda. “Kamu masukkan belanjaan ke dalam lemari pendingin.” Flavia berlalu sambil mengambil bahan masakan yang akan dibuatnya sekarang. Kemudian berlalu meninggalkan Bian. Bian hanya terpaku saja. Baru saat Flavia berlalu, dia baru tersadar. Bian memilih untuk membuka kancing tangan kemejanya. Kemudian menggulungnya. Belanjaan yang berada di atas meja dibawa oleh Bian ke dapur. Dia merapikan belanjaan ke dalam lemari pendingin. “Aku sudah bawa kotak-kotak penyimpaan. Kamu bisa masukkan belanjaan satu-satu ke dalam kotak lebih dulu sebelum memasukkannya ke dalam lemari pendingin.” Flavia mencari kursi yang biasa di dapur.
Bian langsung mengibas-gibaskan tangannya agar asapnya segera pergi. Tak mau Flavia terganggu. “Aku mau makan es krim, karena itu aku belum tidur.” Flavia ikut melihat pemandangan kota dari apartemen. Kemudian membuka es krim miliknya dan memakannya. Bian memerhatikan Flavia yang sedang asyik makan es krim cone yang dibawanya. Flavia yang terus menyilat es krim membuat Bian menelan salivanya. Pikirannya melayang membayangkan jika itu lehernya yang dijilat. Bayangan itu tentu saja membuat tubuhnya panas dingin. “Kamu sudah lama merokok?” Flavia menoleh ke arah Bian. Mendapati Flavia yang menoleh membuat Bian mengalihkan pandangannya. Memandang pemandangan yang berada di depannya. Tak mau ketahuan jika dia baru saja berpikiran kotor tentang Flavia. “Sejak sekolah menengah.” Bian menjelaskan pada Flavia. “Wah … anak sekolah sudah merokok, apa daddy dan mommy tidak marah?” “Tidak. Justru mereka tahu.” Bian menjelaskan. “Oh … ya?” Lalu mereka mengizinkan?” Flavia penasaran sekali.
Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut dengan yang dilakukan oleh Bian. Bian menggigit lembut bibir Flavia agar terbuka, kemudian memasukkan coklat yang masih berada di dalam mulutnya yang masih tersisa. Dengan segera Bian melepaskan tautan bibirnya tersebut setelah memberikan coklatnya. “Coklatnya sudah aku berikan. Jangan menarikku lagi.” Bian tersenyum. Dia berangsur bangun dari tubuh Flavia. Tidak aman untuk adik kecilnya jika berada dalam posisi intimnya.Flavia hanya terpaku. Dia menyesap coklat yang berada di mulutnya. Walaupun Bian tidak benar-benar menciumnya, tetapi bibir mereka sempat menempel.“Kenapa ini?” Flavia memegangi dada sebelah kiri. Di mana jantungnya berada. Dia merasa debaran jantungnya tak beraturan. Flavia tidak berani menyimpulkan apa-apa. Karena dia merasa takut dengan kesimpulannya itu. ***Pagi ini Flavia memilih berangkat lebih dulu ke kantor. Meninggalkan pesan pada Bian untuk menikmati sarapannya. Dia berusaha untuk mengh
Flavia sampai di rumah. Saat membuka pintu, aroma masakan tercium. Tentu saja itu membuat Flavia bingung. Siapa gerangan yang memasak. Dengan langkah cepat Flavia masuk. Dilihatnya sang suami yang sedang asyik memasak. Dari belakang punggung Bian tampak lebar sekali. Membuat Flavia yang melihat ingin rasanya memeluk dari belakang. Menyandarkan kepalanya di punggung itu. Astaga, kenapa aku berpikir seperti itu. Flavia menyingkirkan pikirannya yang berlebihan itu pada Bian. Dia merasa jika pikirannya sudah terlalu liar. “Kamu sudah pulang?” Ketika berbalik, Bian melihat Flavia. Tentu saja itu membuatnya senang. Siapa yang tidak senang melihat wanita yang baru saja membuatnya bahagia datang. Sejak mendapati jawaban Flavia tadi, Bian begitu bahagia sekali. Dia seolah mendapatkan pintu hati Flavia yang terbuka sedikit. “Iya.” Flavia mengangguk sambil mengayunkan langkahnya. “Kamu masak?” tanya Flavia yang mendekat ke arah Bian.“Baru mau masak.” Bian memang baru saja datang. Jadi dia
Pagi ini Flavia dan Bian menuju ke proyek pembangunan hotel Davis. Jika biasanya Flavia pergi dengan Daddy Bryan, kali ini dia pergi dengan Bian. Sebenarnya, Daddy Bryan menyarankan Bian untuk membawa supir saja. Sayangnya, Bian tidak mau. Dia merasa lebih baik berdua saja. Apalagi keadaan jauh lebih baik. Flavia semalaman tidak bisa tidur. Dia memikirkan jika kali ini dia harus lebih berhati-hati. Tak boleh tergoda atau justru menikmati apa yang dilakukan oleh Bian. Tidak mau hal kemarin terulang kembali. Sayangnya, karena semalam dia sulit tidur. Kini dia merasa mengantuk. Di dalam perjalanan Flavia terus menguap. Dia mengantuk sekali. Apalagi, mereka berangkat pagi-pagi sekali seperti sekarang ini. “Jika kamu mengantuk tidurlah.” Bian menoleh sejenak pada Flavia yang tampak begitu mengantuk sekali. “Tidak.” Flavia menggeleng. Dia tidak mau tidur. Apalagi Bian menyetir sendiri, tidak ada teman yang menemani. Bian pun tidak memaksakan jika Flavia memang tidak mau tidur. Lagi pul
Flavia memutuskan untuk berdandan di dalam mobil. Dengan segera dia mengikat rambutnya untuk lebih leluasa ketika merias wajahnya. Flavia menggunakan kaca di atas dashboard karena ukurannya lebih besar dari pada kaca di bedaknya. Bian menurunkan kursinya, setengah merebah, sambil memerhatikan Flavia yang sedang asyik mengikat rambutnya. Sejak kemarin, Bian terus disuguhi dengan leher jenjang milik Flavia. Rasanya, Bian seolah diuji dengan melihat leher jenjang nan putih itu. Sabar, Bi.Bian menguatkan hatinya ketika melihat leher jenjang Flavia tersebut. Karena tak tahan melihat hal itu, Bian memutuskan untuk mengalihkan pandangan lain. Berusaha melihat ke arah lain, tetap saja Bian tidak bisa. Seolah seperti magnet yang terus ingin menariknya, Bian akhirnya kembali ke arah Flavia. Melihat istrinya itu berdandan.Bian melihat jelas wajah Flavia sebelum memakai riasan. Wajah Flavia cantik alami. Riasan yang dipakai membuat wajah istrinya itu semakin cantik. Flavia memoles bibirnya y
Flavia dan Bian menuju ke proyek bersama dengan Aletha dan Axel. Mereka melihat sejauh apa proses pembangunan yang dilakukan oleh Adion. Sudah berjalan dua bulan proses cukup signifikan. Sudah berdiri setengah jalan. Padahal proyek diperkirakan akan selesai selama enam bulan. “Sepertinya akan selesai lebih awal.” Aletha melihat jelas proses yang begitu cepat sekali. “Kemungkinan begitu.” Bian mengangguk. Karena memang pekerja dibuat beberapa sift. Setiap hari non stop pekerjaan selalu ada. Jadi proses memang terbilang cepat. Mereka mengecek setiap bagian proyek. Ditemani pimpinan proyek, mereka mendapatkan penjelasan seberapa jauh pembangunan. Cukup lama Aletha, Axel, Bian, dan Flavia mengecek proyek. Aletha merasa tidak ada masalah dalam pembangunan. Jadi tentu saja itu membuatnya tenang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Saat makan siang, mereka membahas beberapa hal terkait proyek.Aletha, Axel, Bian, dan Flavia kembali ke hotel tepat jam empat sore. Bian memesan ka
“Aku tidak akan pernah macam-macam.” Flavia menatap Bian kesal. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal gila itu. “Kita lihat saja.” Bian tersenyum. Flavia malas bicara dengan Bian lagi. Dia memilih untuk segera mengambil bajunya. Tubuhnya sudah sangat lelah jadi ingin segera disegarkan. Bian yang menunggu Flavia pun memilih memainkan ponselnya sambil duduk di kursi yang berada di dalam kamar. Dia mengirim pesan pada mommy-nya. Memberikan kabar jika dia sudah di hotel. Beberapa menit berlalu, Flavia keluar dari pakaian lengkapnya. Bian pikir Flavia akan keluar dengan handuk saja. Namun, ternyata tak seindah bayangannya. Bergantian dengan Flavia, Bian memilih untuk segera masuk ke kamar mandi. Dia juga ingin menyegarkan tubuhnya. Flavia melihat kalender di ponselnya. Dia melihat jika minggu ini adalah jadwal datang bulannya. Namun, dia tidak merasakan tanda-tanda apa pun. “Apa jangan-jangan aku hamil?” Flavia memikirkan akan hal itu, tentu saja itu membuatnya merasa bingung. Dia
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber